Senin, 27 Maret 2017

Menabur Arang di Jalan Tanpa Nama (3-Selesai)




Tulisan sebelumnya lihat di sini.  

Musim berganti, tahun-tahun terlewati. Ragam dinamika kehidupan tak henti-hentinya bergejolak seiring usia para pelajar bertambah. Realita sehari-hari membenturkan segala idealisme, harapan, optimisme, cita-cita, yang sempat tertanam. Kenyataan sehari-hari telah menjadi guru terbaik bagi para pelajar itu.

Di satu masa, ada pergulatan mengenai arah aktivisme di salah satu musim yang tengah bergulir. Pergulatan mulai dari ketidaksetujuan terhadap arah organisasi, ketidaknyamanan dalam cara kerja organisasi, sampai rasa jemu. Sebagian besar pelajar akhirnya berpencar ke dunia di luar keorganisasian. Meneruskan kehidupan dengan caranya masing-masing. Sangat sedikit di antara mereka yang masih memegang erat nilai-nilai perlawanan yang sempat terpupuk di awal-awal keruntuhan rezim orde baru.
 
Delapan belas tahun setidaknya sudah terlewati dari era reformasi. Di era sesudah reformasi, ada kelonggaran dalam menyampaikan pendapat, terutama setelah adanya media sosial. Masyarakat saat ini pun tidak segan-segan mengkritik pemerintah. Sesuatu hal yang sulit dilakukan ketika Soeharto masih berkuasa.

Namun demikian, reformasi bukanlah berarti perubahan total atas struktur masyarakat secara keseluruhan. Reformasi yang terjadi 18 tahun lalu pada dasarnya lebih kepada pergantian elit politik dan penghapusan regulasi-regulasi yang represif, seperti dibubarkannya dwi fungsi ABRI, pembubaran Kementerian Penerangan, dihapusnya SIUPP.
 
Meski Soeharto dan kroni-kroninya runtuh, namun itu hanya menandakan hilangnya suatu kekuasaan monopolistik yang sempat menguasai banyak sumber daya vital selama periode orde baru. Kehilangan itu akan dengan cepatnya tergantikan oleh agen-agen kapital lainnya. Sementara, sistem perekonomian masih sama seperti yang sebelum-sebelumnya dan problem ketimpangan masih belum terpecahkan sampai saat ini.  

Reformasi tidaklah berarti "kartu jaminan"  yang menyembuhkan semua penyakit kemiskinan. Reformasi bukanlah jamu yang pasti manjur untuk menyejahterakan warga-warga miskin yang tidak bermodal. Liberalisasi perekonomian justru semakin mengencang pasca reformasi. Sama seperti rezim orde baru, menarik investasi dengan corak penetrasi kapital, dan mengarahkan kebijakan ekonomi agar terintegrasi dengan pasar kapitalisme global, masih menjadi logika bangsa ini.

Rezim hari ini, pemerintahan Presiden Joko Widodo, terus menerus mengabarkan tentang perekonomian global yang melemah sehingga berdampak kepada aktivitas perekonomian dalam negeri. Di tengah pelemahan ekonomi itu,  rezim terus mewacanakan pentingnya peningkatan-peningkatan investasi, daya saing, dan efisiensi dari warganya. Nilai-nilai tersebut ditempatkan dalam logika bussiness as usual ala kapitalisme.  Sama seperti Orde Baru. Hanya saja, bedanya saat ini tidak ada kroni-kroni yang  memegang kuasa modal dan melakukan monopoli usaha. Modal-modal kini lebih terbuka untuk diperebutkan bagi para agen-agen kapital.

Sementara masyarakat miskin masih bercerita hal yang sama: semena-menanya perusahaan memperlakukan kontrak kerja, uang lembur yang menguap, akses bank yang di awang-awang, biaya sekolah mahal, tanah diserobot, rumah digusur, pakan ternak mahal dan pasokannya hampir sulit didapat, jalan raya untuk membawa telur ke pasar masih berlubang,     

Di tengah kondisi-kondisi tersebut, si pelajar kini berada. Meskipun kini ia telah tumbuh dengan tidak dilingkupi imaji pemberontakan liar Paris ’68, agitasi sampul Chumbawamba yang menaruh potret aktivis anarkis Bienaventura Durruti, atau cuplikan tulisan provokatif Bakunin di dalam fanzine, seperti sebelumnya. Tahun-tahun pergolakan ide yang aneh dan menyimpang seolah-olah telah berada di waktu-waktu yang sangat kuno, jauh di belakang.

Kini si pelajar telah membaur dalam dunia industri, mencurahkan tenaga kerjanya untuk memperoleh ongkos sehari-hari. Sang pelajar kini telah semakin terintegrasi dengan sistem besar akumulasi kapital.  Si pelajar telah berada di posisi menengah. Posisi yang serba tanggung dan tidak jelas. Terselip sedikit saja, si pelajar bisa dengan mudahnya jatuh ke dalam jurang kemiskinan. Sementara dengan peruntungan baik atau jilat pantat atasan, dia bisa naik ke tingkat atas piramida.

Dalam momen kesendiriannya, entah itu ketika menyepi saat jam istirahat kerja atau di kemacetan jalan raya ketika hendak pulang ke rumah, si pelajar terkadang tak kuasa menahan muntahan memori tak utuh yang berkelebat mengenai hari-hari setelah reformasi.  Si pelajar kerap bertanya ketika memori-memori itu tengah berkelebat, apa kabarnya gairah gelora perlawanan terhadap tiran yang menyelimuti manusia-manusia di penghujung era 1990 lalu? Masihkah merasakan keresahan dan terbakar karenanya?

Zaman ternyata dirasakan berputar sangat cepat bagi pelajar, meskipun begitu banyak kabar telah didengarnya tentang kondisi tanah air yang tidak kunjung membaik setelah reformasi.

Pilihan demi pilihan ditemui pelajar dalam kesehariannya. Begitu juga dengan motif demi motif manusia yang hidup di dalam industri besar. Dalam keseharian, setiap orang hanya berupaya bertahan hidup dan menjalani apa yang sudah tersaji di hadapan mereka. Kurang lebih 18 tahun semenjak reformasi, situasi setidaknya tetap stabil bagi kapitalisme.

Tidak ada komentar: