Tulisan sebelumnya lihat di sini.
Musim berganti, tahun-tahun terlewati. Ragam dinamika kehidupan tak henti-hentinya bergejolak seiring usia para pelajar bertambah. Realita sehari-hari membenturkan segala idealisme, harapan, optimisme, cita-cita, yang sempat tertanam. Kenyataan sehari-hari telah menjadi guru terbaik bagi para pelajar itu.
Di satu masa, ada pergulatan mengenai arah aktivisme di salah satu musim yang tengah
bergulir. Pergulatan mulai dari ketidaksetujuan terhadap arah organisasi,
ketidaknyamanan dalam cara kerja organisasi, sampai rasa jemu. Sebagian besar
pelajar akhirnya berpencar ke dunia di luar keorganisasian. Meneruskan
kehidupan dengan caranya masing-masing. Sangat sedikit di antara mereka yang
masih memegang erat nilai-nilai perlawanan yang sempat terpupuk di awal-awal
keruntuhan rezim orde baru.
Delapan belas tahun setidaknya sudah terlewati dari era reformasi. Di era
sesudah reformasi, ada kelonggaran dalam menyampaikan pendapat, terutama
setelah adanya media sosial. Masyarakat saat ini pun tidak segan-segan mengkritik
pemerintah. Sesuatu hal yang sulit dilakukan ketika Soeharto masih berkuasa.
Namun demikian,
reformasi bukanlah berarti perubahan total atas struktur masyarakat secara
keseluruhan. Reformasi yang terjadi 18 tahun lalu pada dasarnya lebih kepada
pergantian elit politik dan penghapusan regulasi-regulasi yang represif,
seperti dibubarkannya dwi fungsi ABRI, pembubaran Kementerian Penerangan, dihapusnya
SIUPP.
Meski Soeharto dan kroni-kroninya runtuh, namun itu hanya menandakan hilangnya
suatu kekuasaan monopolistik yang sempat menguasai banyak sumber daya vital
selama periode orde baru. Kehilangan itu akan dengan cepatnya tergantikan oleh
agen-agen kapital lainnya. Sementara, sistem perekonomian masih sama seperti
yang sebelum-sebelumnya dan problem ketimpangan masih belum terpecahkan sampai
saat ini.
Reformasi tidaklah
berarti "kartu jaminan" yang menyembuhkan semua penyakit
kemiskinan. Reformasi bukanlah jamu yang pasti manjur untuk menyejahterakan
warga-warga miskin yang tidak bermodal. Liberalisasi perekonomian justru semakin
mengencang pasca reformasi. Sama seperti rezim orde baru, menarik investasi
dengan corak penetrasi kapital, dan mengarahkan kebijakan ekonomi agar
terintegrasi dengan pasar kapitalisme global, masih menjadi logika bangsa ini.
Rezim hari ini,
pemerintahan Presiden Joko Widodo, terus menerus mengabarkan tentang
perekonomian global yang melemah sehingga berdampak kepada aktivitas
perekonomian dalam negeri. Di tengah pelemahan ekonomi itu, rezim terus mewacanakan pentingnya
peningkatan-peningkatan investasi, daya saing, dan efisiensi dari warganya.
Nilai-nilai tersebut ditempatkan dalam logika bussiness as usual ala kapitalisme. Sama seperti Orde Baru. Hanya saja, bedanya
saat ini tidak ada kroni-kroni yang memegang
kuasa modal dan melakukan monopoli usaha. Modal-modal kini lebih terbuka untuk
diperebutkan bagi para agen-agen kapital.
Sementara masyarakat
miskin masih bercerita hal yang sama: semena-menanya perusahaan memperlakukan
kontrak kerja, uang lembur yang menguap, akses bank yang di awang-awang, biaya
sekolah mahal, tanah diserobot, rumah digusur, pakan ternak mahal dan
pasokannya hampir sulit didapat, jalan raya untuk membawa telur ke pasar masih berlubang,
Di tengah
kondisi-kondisi tersebut, si pelajar kini berada. Meskipun kini ia telah tumbuh
dengan tidak dilingkupi imaji pemberontakan liar Paris ’68, agitasi sampul
Chumbawamba yang menaruh potret aktivis anarkis Bienaventura Durruti, atau
cuplikan tulisan provokatif Bakunin di dalam fanzine, seperti sebelumnya.
Tahun-tahun pergolakan ide yang aneh dan menyimpang seolah-olah telah berada di
waktu-waktu yang sangat kuno, jauh di belakang.
Kini si pelajar
telah membaur dalam dunia industri, mencurahkan tenaga kerjanya untuk
memperoleh ongkos sehari-hari. Sang pelajar kini telah semakin terintegrasi
dengan sistem besar akumulasi kapital. Si pelajar telah berada di posisi menengah.
Posisi yang serba tanggung dan tidak jelas. Terselip sedikit saja, si pelajar
bisa dengan mudahnya jatuh ke dalam jurang kemiskinan. Sementara dengan
peruntungan baik atau jilat pantat atasan, dia bisa naik ke tingkat atas
piramida.
Dalam momen
kesendiriannya, entah itu ketika menyepi saat jam istirahat kerja atau di
kemacetan jalan raya ketika hendak pulang ke rumah, si pelajar terkadang tak
kuasa menahan muntahan memori tak utuh yang berkelebat mengenai hari-hari
setelah reformasi. Si pelajar kerap
bertanya ketika memori-memori itu tengah berkelebat, apa kabarnya gairah gelora
perlawanan terhadap tiran yang menyelimuti manusia-manusia di penghujung era
1990 lalu? Masihkah merasakan keresahan dan terbakar karenanya?
Zaman ternyata dirasakan
berputar sangat cepat bagi pelajar, meskipun begitu banyak kabar telah
didengarnya tentang kondisi tanah air yang tidak kunjung membaik setelah
reformasi.
Pilihan demi pilihan
ditemui pelajar dalam kesehariannya. Begitu juga dengan motif demi motif
manusia yang hidup di dalam industri besar. Dalam keseharian, setiap orang
hanya berupaya bertahan hidup dan menjalani apa yang sudah tersaji di hadapan
mereka. Kurang lebih 18 tahun semenjak reformasi, situasi setidaknya tetap
stabil bagi kapitalisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar