Tahun 1998 adalah
tahun-tahun yang terasa campur aduk. Di satu sisi ada semangat dan optimisme
ketika penguasa otoriter Soeharto menyatakan pengunduran dirinya setelah
mengalami tekanan demonstrasi yang luar biasa. Elit-elit politik oposisi
Soeharto ditayangkan sebuah stasiun televisi tengah berjingkrak-jingkrak dan
saling memeluk ketika Soeharto membacakan surat pernyataan pengunduran diri.
Ratusan mahasiswa yang menduduki gedung parlemen ditayangkan di semua saluran
televisi.
Di sisi lain, ada
penjarahan, pembunuhan, pemerkosaan, konflik rasialis, dalam peristiwa itu.
Kisah korban-korbannya akan menjadi wajah muram dari runtuhnya rezim oligarki
yang militeristik tersebut.
Akan terlalu banyak
yang harus diungkapkan bila mengingat reformasi dari setiap seginya. Namun bagi
sebagian kecil orang - terutama sekelompok pelajar yang pertama kalinya
berdemonstrasi pada tahun 2003 di Bandung itu - reformasi seperti membuka
cakrawala lain mengenai perlawanan dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa
menggelinding semakin besar karenanya.
Bagi sekelompok
remaja yang baru meraba-raba dunia, reformasi menyuguhkan pompaan adrenalin:
turun ke jalan, bentrok dengan aparat, menduduki lembaga pemerintahan. Gambaran
itu begitu menggairahkan para pelajar yang siap untuk menyerap apa saja yang
ditawarkan oleh dunia yang tengah bergejolak.
Tahun-tahun dimana
hawa reformasi masih terasa, para pelajar itu seolah-olah menghadapi sebuah
limpahan informasi-informasi alternatif mengenai pemberontakan.
Informasi-informasi yang sebelumnya tidak pernah teraba. Pertama-tama limpahan
informasi itu dirasa aneh dan menyimpang. Tapi ketertarikan, antusiasme atas
semangat perlawanan dan penyimpangan itu mengalahkan antipati yang seharusnya
muncul dari persepsi keanehan dan penyimpangan. Hanya ada sensasi takjub ketika
pertama kali membaca Tan Malaka, Pramoedya Ananta Toer, dan pamflet-pamflet
yang beredar dari tangan ke tangan berisi kabar mengorganisir perlawanan.
Ide-ide perlawanan
saat itu memang tersebar di berbagai ruang, media dan akhirnya berimbas kepada
gaya hidup. Seorang pelajar di antaranya
menyenangi musik punk rock. Di sana ada beberapa band punk lokal yang
berteriak "lawan otoritas!" dalam lagu-lagunya. Ada juga di antara
pelajar itu yang berkenalan dengan fanzine, sebuah medium komunikasi yang
tercetak melalui kertas berukuran kuarto.
Fanzine-fanzine itu biasanya disimpan di distro-distro dalam bentuk
fotokopian. Saat itu yang namanya distro masih kental dengan semangat punk,
tidak sekadar toko fashion seperti yang sekarang dipahami banyak orang.
Penulis fanzine
menceritakan banyak hal seputar perlawanan di dalam setiap edisinya yang terbit
tidak berkala alias sewenang-wenang itu. Cerita biasanya tentang menantang
otoritas dengan turun ke jalan atau mengorganisir kelompok perlawanan.
Keseluruhan fanzine telah menjadi medium penyebar ide perlawanan terhadap
tatanan dominan di benak para pemuda itu. Didalamnya terdapat nilai-nilai
alternatif yang mengenalkan cara menjalani kehidupan di luar arus utama: etos
straight edge, anarkisme, anarkosindikalis, marxisme, DIY, anti-homophobic,
feminisme, squating, agnostik.
Tidak kalah
pentingnya adalah ketika penulis fanzine memberikan pengenalan-pengenalan
terhadap tokoh-tokoh atau kelompok-kelompok perlawanan: Guy Debord, Komune
Paris 1871, CrimethInc, Karl Marx, Michel Foucoult, Zapatista, Subcomandante
Marcos, Bakunin, Nietzche, Antonio Gramsci, Ema Goldman, Wiji Thukul.
Kemudian ada juga
resensi-resensi kelompok musik yang tidak sekadar bermusik. Namun juga
melakukan perlawanan, baik dalam komposisi musiknya, maupun dalam
kesehariannya. Band-band luar biasa seperti Refused, Seein' Red, Chumbawamba,
Propagandhi, Zack de la Rocha, menjadi perbendaharaan baru di cakrawala si
pelajar.
Apa yang sebelumnya
asing dan aneh sehingga menjadi tabu, saat itu tengah dilucuti hingga
telanjang.
Tahun-tahun penuh
sensasi dan suka cita telah menabur benih-benih aktivisme dalam diri si
pelajar. Setelah mengalami momen-momen pergulatan dan perenungan, keputusan
bergabung dengan Front Pembebasan Pelajar telah menjadi semaian awalnya dan
terus bergulir sampai turun ke jalan. Mengambil momentum Hari Pendidikan
Nasional, si pelajar memutuskan bergabung bersama-sama anggota organisasi
melakukan aksi unjuk rasa di jalanan. Mereka mendatangi sekolah-sekolah dengan
harapan mengajak para pelajar di sana untuk bersama-sama turun ke jalan.
Gambaran unjuk rasa
di Jakarta saat meletusnya reformasi, mahasiswa sejumlah daerah yang menduduki
gedung parlemen, aktivisme Refused, Chumbawamba, buku Sekolah Itu Candu karya
Roem Tupatimasarang, berkelebat cepat. Bagi salah seorang pelajar,
gambaran-gambaran itu membentuk persepsi rancak tentang sebuah perlawanan.
"Inilah
momentumnya," pikir pelajar itu, "sebuah praxis. Tindakan perlawanan
nyata terhadap tatanan dominan. Turun ke jalan untuk demonstrasi."
Di hari-hari ke
depan, sang pelajar tidak hanya merasakan medan unjuk rasa di dunianya saja,
yakni dunia pendidikan. Tapi juga merasakan medan lain yang lebih panas; unjuk
rasa para buruh di depan Gedung Sate Bandung. Saat itu, sang pelajar melihat
asap hitam membumbung tinggi dari tumpukan ban yang terbakar. Suasana
demonstrasi saat itu sangat jauh berbeda dengan unjuk rasa pelajar yang lebih
"tentram".
Dada sang pelajar
kala itu berdegup seiring asap hitam
tebal tidak henti-hentinya membumbung ke langit. Mengelilingi ban yang
terbakar, para buruh kala itu tidak beranjak jua dari Gedung Sate. Para buruh yang datang berdemonstrasi
di Gedung Sate saat itu jumlahnya berkali-kali lipat banyaknya dibandingkan
pelajar yang turun ke jalan berunjuk rasa. Sang pelajar hanya melihat dari
seberang Gedung Sate, tidak jauh dari tangga utama menuju Gasibu. Terpana
melihat pemandangan yang tumpah ruah di hadapannya: orator dengan pelantang
suaranya, sound system di bak mobil yang membuat volume pelantang suara sangat
keras, ratusan massa aksi, dan tumpukan ban yang dijilati api.
Sang pelajar memetik
kesan dari pengalamannya itu. Kesan yang kelak akan terpatri dalam kehidupannya
di tahun-tahun ke depan: bahwa hidup tidaklah begitu tenang dan damai. Ada
gejolak di dalam kehidupan yang membuat sebagian orang-orang melakukan
pemberontakan. Ada yang tidak beres di dalam kehidupan ini. Dan di
tengah-tengah kecamuk kehidupan, sebuah perlawanan terkadang tidak bisa
dielakkan.
Tulisan selanjutnya lihat di sini.
Tulisan selanjutnya lihat di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar