Senin, 28 April 2014

Di Ujung Batas Kritis


Air berwarna kemerah-merahan karena limbah terlihat di kali yang melintasi Sentra Pabrik Kerupuk di Blok Dukuh, Desa Kenanga, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, Kamis (3/4/2014).

Masalah selalu ada dalam keseharian. Ada di antara permasalahan dalam keseharian tersebut yang baru saja terjadi. Namun ada juga di antara permasalahan tersebut yang telah berlangsung bertahun-tahun. Untuk jenis permasalahan yang telah berlangsung lama, seringkali ditemui, masyarakat umum telah menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa, sehingga mencuat dalam ketaksadaran kolektif, bahwa hal tersebut bukanlah sebuah masalah.

Belum lama ini, aku memberitakan mengenai pencemaran limbah di kawasan pabrik kerupuk di Blok Dukuh, Desa Kenanga, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu. Setidaknya menurut penuturan warga-warga di sana, praktik membuang limbah kerupuk ke kali yang melintang di sepanjang kawasan pabrik kerupuk sudah berlangsung menahun. Namun tidak ada langkah konstruktif yang dilakukan terhadap praktik pembuangan limbah tersebut, baik oleh para pengusaha, maupun pemerintah, selama ini.

Awak media lokal pun tidak banyak memberitakan mengenai praktik tersebut. Mungkin karena memang praktik pembuangan limbah tersebut sudah berlangsung bertahun-tahun, dan ditambah fakta, bahwa tidak ada penanganan yang sifatnya konstruktif, sehingga awak media (maupun warga sekitar) secara perlahan melupakan permasalahan tersebut. Masalah yang dibiarkan selama bertahun-tahun itu, pada akhirnya memunculkan kesan, bahwa sebuah permasalahan bukanlah benar-benar sebuah masalah.

Saat hendak memberitakan praktik pencemaran itu, aku berpikir, bagi konsumsi media lokal Indramayu, berita pencemaran bukanlah sesuatu yang menarik. Hal itu sudah biasa, karena praktiknya sudah berlangsung menahun. Jadi, bagiku saat itu, berita pencemaran yang akan dibuat tidaklah mengandung sebuah unsur kebaruan. Pikiran yang muncul saat itu, berita yang hendak dibuat bersifat mengingatkan pembaca saja, bahwa masalah pencemaran limbah di kawasan industri masih ada. Bukan masalah yang baru, namun setidaknya masih aktual.

Lagipula, koran tempatku bekerja basisnya berada di Kota Bandung. Dalam pikiranku, berita ini mungkin akan menarik perhatian pembaca di Kota Bandung. Apalagi, saat itu terdapat pendukung berita berupa foto air kali yang warnanya merah muda akibat tercemar limbah. Hal itu bisa menjadi penarik perhatian mata pembaca, khususnya pembaca di Bandung.

Berita mengenai pencemaran tersebut akhirnya dimuat, dan menjadi headline di rubrik yang menjadi tanggungjawabku selama ini. Memang bukan headline di halaman satu. Meskipun demikian, setidaknya redaksi di Bandung melihat problem pencemaran di kawasan industri ini sebagai sesuatu hal yang menarik, sehingga memberikan ruang berita yang cukup besar.

Sehari setelah pemuatan berita, aku kembali mengangkat persoalan pencemaran limbah itu. Bila berita pertama mengangkat perspektif warga di sekitar kali yang tercemar limbah, berita kedua mengangkat perspektif pihak kantor lingkungan hidup. Pada intinya, pihak kantor lingkungan hidup mengakui bahwa kandungan limbah di kali tersebut tinggi, dan praktiknya sudah berlangsung menahun. Mereka berjanji akan memanggil para pengusaha di kawasan industri itu untuk membicarakan pencemaran limbah.

Janji pihak kantor lingkungan hidup itu ditepati. Sekitar dua minggu setelah pemberitaan kedua, mereka memanggil para pengusaha pabrik kerupuk. Dalam pertemuan itu, tercapai kesepakatan, bahwa instalasi pengolahan air limbah (IPAL) akan kembali difungsikan. Selama ini, IPAL di pabrik-pabrik yang ada di kawasan industri itu ternyata tidak pernah digunakan.

IPAL yang dipasang di pabrik itu telah dipasang semenjak tahun 2011 atas bantuan dari Kementrian Kelautan dan Perikanan. Namun karena ketidaktahuan pengusaha pabrik untuk mengoperasikannya, membuat IPAL tersebut terbengkalai. Alasan ini sebenarnya masih mengganjal. Mengapa ketidaktahuan yang berlangsung semenjak tahun 2011 tidak pernah terungkap hingga tahun 2014 ini? Lantas, di mana fungsi kantor lingkungan hidup dalam mengawasi pencemaran limbah selama ini? Siapakah yang sebenarnya lalai? Selain itu, apakah alasan yang dikemukakan sebenarnya mengada-ada?

Pertanyaan-pertanyaan itu masih belum terjawab. Namun, saat ini baiknya mengikuti saja dulu alur yang ada. Dalam artian, kesepakatan yang telah dicapai dalam pertemuan itu diikuti perkembangannya terlebih dahulu. Apakah penggunaan kembali IPAL oleh para pengusaha akan benar-benar ditindaklanjuti, ataukah itu semua (pertemuan dan kesepakatan) hanya akan menjadi omong kosong belaka.

Sebenarnya, ada rasa pesimistis mengenai kelanjutan penanganan pencemaran ini. Terlebih bila mengingat praktiknya sudah berlangsung menahun. Kemungkinan-kemungkinan penyuapan, atau permainan uang, menjadi prasangka-prasangka yang muncul di dalam benak. Semua orang rasa-rasanya sudah mahfum, permainan uang terjadi di setiap sektor pada jaman sekarang. Mereka yang memiliki banyak uang, sanggup membeli apa saja, termasuk membeli kesanggupan seseorang untuk tutup mulut, mata, dan telinga.

Aku teringat beberapa bulan ke belakang, ketika aku memberitakan sebuah pertambangan liar di daerah Kampung Cibolang, Desa Tugumukti, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat. Mirip dengan yang terjadi di Kabupaten Indramayu, praktik pertambangan liar di Cisarua itu sudah berlangsung menahun. Awak media di sana pun jemu memberitakannya. Diki, juru warta yang tergolong senior, sudah berkali-kali memberitakan pertambangan liar itu, dan tidak ada perubahan yang berarti sampai saat ini.

Muncul desas-desus di kalangan juru warta, bahwa pertambangan liar itu dibekingi oleh petinggi di sebuah institusi kepolisian. Hal itu yang membuat persoalan tidak pernah tuntas sampai sekarang. Terlepas dari dugaan petinggi kepolisian yang menjadi beking, namun pertambangan pasir yang masif melibatkan banyak perputaran uang di dalamnya. Kemungkinan-kemungkinan beking-membekingi akan selalu ada.

Dan pada akhirnya, dalam kondisi seperti demikian, sebuah pemberitaan hanya menjadi "sekadar" saja. Sekadar menghiasi halaman surat kabar, sekadar menjadi syarat pengiriman berita dari kantor. Selebihnya, dunia ini berjalan seperti sedia kala. Tidak ada masalah yang benar-benar berarti, dan perlu ditindaklanjuti.

Tidak ada komentar: