Kamis, 20 Januari 2011

Wherever the Sun Sets

Rating:★★★
Category:Music
Genre: Pop
Artist:Anoraak
Mereka yang menyenangi musik-musik elektronik bertempo up-beat, atau dalam beberapa hal, terjebak dalam paradigma tahun '80an mungkin cocok mendengarkan Anoraak. Damn, album ini sangat '80an. Synthnya itu dong: khas musik-musik tahun '80an. Terus, karena temponya yang up beat, moodnya pun menjadi cerah. Enerjik.

Membaca beberapa review tentang album Whereever the Sun Sets, album ini ternyata mencoba mengeksplor tentang suasana pantai saat senja. Tentunya suasana yang kental dengan paradigma tahun '80an (coba lihat kovernya? anjir, gayanya lawas pisan!). Damn, ini album lawas...atau ga tau terjebak masa lalu. Pastinya, musiknya buat saya sangat menyenangkan. Lucu, gitu.

Kebayang jalan-jalan di pantai, pake jas yang bahunya lebar kaya saint saiya. Terus rambut dibuat kaya vokalis Duran-Duran, Simon Le Bon. Udah gitu, Jalan sama cewe yang pake baju gombrang motif garis-garis merah kaya tawanan. Terus rambut si cewenya itu pendek, dan ditata elegan layaknya Cynthia Rothrock! What a view.

Saya ga tau, apakah ini album yang cheesy atau bagus. Tapi saya mengetik sambil tidak berhenti bergoyang. Ow yeah, let's dance all day long, brother and sister...

Oya, Anoraak ini adalah nama pseudo dari Frederic Riviere. Scenester elektronik dari Prancis. Saya tidak terlalu mengetahui seluk-beluk musik elektronik. Tapi bila melihat aktivitas Riviere di situsnya, dia telah cukup banyak mengeluarkan rilisan Anoraak ini (termasuk kompilasi, EP, dan LP). Dan untuk album Whereever the Sun Sets ini merupakan LP yang ke dua dikeluarkan pada tahun 2009, setelah LP pertama pada tahun 2008 bertitel 'Nightdrive With You'.

Sudah ah. Cukup reviewnya. I'm gonna dance again...with http://www.filestube.com/8K8LW5nUik6hThlXraXCUd/Anoraak-Wherever-the-Sun-Sets-2010-JUST.html

Minggu, 16 Januari 2011

"subkultur"


Penampilan dia dalam memainkan musik saya kira cukup membuat mereka yang berada di Common Room malam itu terheran-heran. Bagaimana tidak, alat musik yang Justice Yieldham pakai tidaklah lazim. Dia menggunakan pecahan kaca sebagai instrumen utamanya. Potongan kaca yang cukup besar dan berbentuk seperti gergaji (namun tanpa gerigi) itu ditempeli semacam mikrofon. Kabel dari mikrofon itu lalu tersambung ke efek. Ada kira-kira empat efek yang digunakan. Saya tidak mengerti efek apa saja, karena saya menonton cukup jauh jaraknya dari dia.

Selasa, 11 Januari 2011

Never Cross the Dead

Rating:★★★★
Category:Music
Genre: Childrens Music
Artist:Hooded Menace
Dalam beberapa review yang saya baca, disebutkan, Hooded Menace memainkan musik semacam old skool death metal yang dimix lagi dengan funeral doom, seperti Winter dan Cathedral. Dalam pendengaran saya, bila Hooded Menace disebut old skool death metal, saya rasa saya harus setuju. Dalam beberapa hal, saya teringatkan kembali oleh elemen-elemen death metal yang pernah didengarkan di era 90an, seperti Asphyx, Autopsy, dan tentu saja, Obituary.

Apalagi Hooded Menace ini datang dari daratan Finlandia. Di negara itu, band-band yang berkarakter old skool death metal berhamburan dimana-mana. Sepertinya memainkan old skool death metal menjadi kegemaran mayoritas metalhead di negara itu. Dan diantara band-band yang berhamburan dengan karakter old skool death metal di Finlandia, nampaknya Hooded Menace yang cukup stand out. Dalam artian dikenal luas oleh publik metal.

Stand out itu juga bisa dilihat dari bagaimana rilisan album teranyar Hooded Menace ini. Dalam rilisan tahun 2010 kemarin, mereka bekerja sama dengan label Profound Lore. Sebuah label berbahaya dan disegani dalam ranah metal. Profound Lore pernah mengeluarkan rilisan dari band-band cadas yang mendapat sorotan positif dari publik metal, seperti Altar of Plagues, Salome, Cobalt, dan Krallice.

Bila melihat dari lagu-lagu yang dipasang di album Never Cross the Dead, saat masuk track pertama, pikiran saya melayang kepada Obituary era '90an akhir. Dalam track yang berjudul sama dengan titel albumnya itu, musik berkarakter old skool death metal, namun dengan gaya mid tempo membuka 'gempuran' pertama dari band asal Finlandia ini. Riff-riffnya groovy, dan terdengar Sabbathical dengan versi yang lebih harsh dan berat. Mau tidak mau membuat saya terus menyimak band ini, sambil pikiran tetap saja teringat akan Obituary. Dan yang berkesan adalah, ketika vokal masuk. Karakter vokalis Hooded Menace, Lasse, terdengar growling dengan nuansa growling Lee Dorian era Cathedral dalam album Forrest of Equilibrium. Wah, this record is fun as hell, pikir saya. Setidaknya beat yang groovy, pas untuk menjadi pemancing perhatian di track pertama ini.

Masuk ke track kedua, Terror Castle, komposisi menjadi lebih doom, namun dengan feel yang metal, tidak bluesy seperti doom/stoner. Saya pikir, seperti funeral doom dengan tempo yang tidak 'selambat' band funeral doom pada umumnya. Sehingga masih ada groovy yang bisa membuatmu mengangguk-anggukkan kepala. Dari track dua hingga track akhir, yakni track delapan, hentakan doom metal yang berdentum dan berat sangat mendominasi. Selama 52 menit, atmosfir dipenuhi oleh gempuran sound yang berat, harsh dan bernuansa 'horror' dengan tempo dilevel middle.

Saya pikir Hooded Menace masih tetap berada di tataran doom metal. Walaupun memang unsur death metalnya tidak bisa diremehkan juga. 'Feel' dan 'vibe'-nya sangat terasa. Dan saya pikir, Hooded Menace akan menjadi band favorit saya tahun ini. Album yang awesome dengan kover yang juga awesome, cocok dengan atmosfir lagu-lagu yang ada di album 'Never Cross the Dead': horrifying!

========================================================
Track Listing:
01. Never Cross the Dead (08:30)
02. Terror Castle (06:59)
03. Night of the Deathcult (06:47)
04. the House of Hammer (06:53)
05. Rituals of Mortal Cremation (06:19)
06. As the Creatures Ascend (05:49)
07. From their Coffined Slumber (07.00)
08. Theme From Return of the Evil Dead (03:06)

========================================================
Horrifying Terror:
http://www.megaupload.com/?d=CUCR6A4E

Senin, 10 Januari 2011

Words that Go Unspoken, Deeds that Go Undone

Rating:★★★★
Category:Music
Genre: Childrens Music
Artist:Ackercocke
Ackercocke adalah perpaduan antara death metal dengan sentuhan melodi progresif yang terdengar seperti Enslaved di album Isa. Secara gampangan, mungkin saya akan menyebut karakter band yang berasal dari Inggris ini dengan 'melodic-progressive/ekstrem metal'.

Words that Go Unspoken, Deeds that Go Undone ini sebenarnya rilisan lama. Dikeluarkan pertama kali di Eropa pada tahun 2005, dan di Amerika Serikat pada 2006 melalui Earache. Bagaimana dengan di Indonesia? Tahun berapa dikeluarkannya? Ah, kami-kami di Indonesia mah meureun cukup mendonlod weh nyak. Sebagai...third world order, teu boga duit meuli cd nu make kurs dollar...duitna mending dibeulikeun rokok. Bisa leuwih ti tilu pak na meureun..

Heup ah.

Sekarang coba mari lihat-dilihat bagaimana secara audial...ada apakah dengan album ini secara audial? Tidak bisa tidak, urusan audial mah sudah termasuk wilayah personal kami. Secara audial, album ini seperti mengingatkan lagai bagaimana kami menyenangi musik metal. Ada groove, ada speed, dan ada agresi di dalam Words that Go Unspoken, Deeds that Go Undone ini.

Satu hal yang menjadi kelebihan dari Ackercocke ini adalah bagaimana mereka mengaransemen lagu. Buat kami, aransemen mereka terdengar sangat bagus. Mungkin julukan progresif metal buat mereka selama ini tepat. Mereka mengaransemen lagu dengan memasukkan kombinasi antara agresifitas dan melodi yang harmonis. Sehingga hasilnya, dalam perjalanan mendengarkan album ini, kamu akan menemukan bagaimana brutalnya death metal, tiba-tiba saja bertabrakan dan lalu berubah menjadi sebuah komposisi yang lebih harmonis.

Pergantian-pergantian 'mood', dari yang death metal hingga yang harmonis seperti itu, tidak membuat pengalaman mendengarkan kesepuluh lagu yang ada di album ini terdengar monoton. Sehingga dalam mendengarkan kesepuluh lagu yang berdurasi hampir 49 menit ini, kamu akan disuguhkan gaya bermain yang bervariatif. Tidak hanya metal, namun eksplorasi ke dalam ranah musikalitas klasik rock melalui melodi-melodinya. Top Notch.

Setelah album Words that Go Unspoken, Deeds that Go Undone, album teranyar Ackercocke adalah Anti-Christ, yang dikeluarkan pada tahun 2007. Sedangkan bila melihat diskografi band yang berasal dari Inggris ini, ternyata sudah cukup banyak rilisan yang dikeluarkan oleh mereka. Terdapat empat album yang sudah dirilis sebelum album Words that Go Unspoken, Deeds that Go Undone keluar. Well, mungkin akan lebih menarik apabila keempat album itu mulai dicari, dan dicermati bagaimana perkembangannya dari album ke album.

Minggu, 02 Januari 2011

the Forth Estate

Sudah hampir menginjak tahun ketujuh saya berada disebuah jurusan yang berkonsentrasi pada pengembangan ilmu jurnalistik. Selama hampir tujuh tahun itu pula saya akrab dengan serba-serbi teori maupun konsep mengenai media massa yang melingkupi dunia jurnalisme. Dunia yang menjadi fokus kajian saya di Unpad kampus Jatinangor ini.

Sedikit mengingat masa lalu, terdapat kebanggaan tersendiri pada awal mula saya memasuki jurusan jurnalistik. Kebanggaan, yang saya pikir, tidak terlepas dari pengaruh pergaulan lingkungan jurusan jurnalistik di kampus juga. Mulai dari proses perkuliahan di bidang studi jurnalistik, proses inisiasi sebagai tanda peresmian bagi mahasiswa yang memasuki jurusan jurnalistik, rutinitas organisasi himpunan mahasiswa jurnalistik, hingga pergaulan dengan sesama teman-teman satu jurusan.

Terdapat suatu konsep yang disadari atau tidak berkembang didalam pikiran mengenai sesuatu bernama jurnalistik selama menjalani proses-proses di atas. Dimana konsep-konsep yang tertanam itu pada gilirannya berkembang menjadi sebuah kebanggaan tersendiri. Seperti, salah satu contohnya, konsep jurnalisme sebagai the 4th estate, misalnya. Konsep 4th estate ini juga, saya pikir cukup mempengaruhi mayoritas mahasiswa jurnalistik dalam memandang dirinya sendiri dan lingkungannya.

the forth estate

Sudah hampir menginjak tahun ketujuh saya berada disebuah jurusan yang berkonsentrasi pada pengembangan ilmu jurnalistik. Selama hampir tujuh tahun itu pula saya akrab dengan serba-serbi teori maupun konsep mengenai media massa yang melingkupi dunia jurnalisme. Dunia yang menjadi fokus kajian saya di Unpad kampus Jatinangor ini.

Sedikit mengingat masa lalu, terdapat kebanggaan tersendiri pada awal mula saya memasuki jurusan jurnalistik. Kebanggaan, yang saya pikir, tidak terlepas dari pengaruh pergaulan lingkungan jurusan jurnalistik di kampus juga. Mulai dari proses perkuliahan di bidang studi jurnalistik, proses inisiasi sebagai tanda peresmian bagi mahasiswa yang memasuki jurusan jurnalistik, rutinitas organisasi himpunan mahasiswa jurnalistik, hingga pergaulan dengan sesama teman-teman satu jurusan.

Terdapat suatu konsep yang disadari atau tidak berkembang didalam pikiran mengenai sesuatu bernama jurnalistik selama menjalani proses-proses di atas. Dimana konsep-konsep yang tertanam itu pada gilirannya berkembang menjadi sebuah kebanggaan tersendiri. Seperti, salah satu contohnya, konsep jurnalisme sebagai the 4th estate, misalnya. Konsep 4th estate ini juga, saya pikir cukup mempengaruhi mayoritas mahasiswa jurnalistik dalam memandang dirinya sendiri dan lingkungannya.

Konsep 4th estate adalah konsep yang lahir pada abad 18 di dataran Anglo-Saxon, khususnya di Amerika Serikat. Konsep ini memiliki arti yang terkait faktor kekuasaan dan independensi pers dalam hubungannya dengan institusi-institusi negara. Pada abad itu, sebuah lembaga pers masih bekerja dalam budaya partisan. Dalam artian, pemberitaan pers kental dengan prinsip political judgement. Mereka (pers) masih bisa menyuarakan sikap politiknya dalam pemberitaan, sehingga implikasinya, mereka memiliki kejelasan sikap mengenai apa dan siapa yang harus didukung, dan sebaliknya, apa dan siapa yang tidak harus didukung.

Kejelasan posisi seperti itu bukanlah sesuatu yang aneh. Alexis de Tocqueville menunjukkan bagaimana isi berita salah satu pers di Amerika tentang presiden AS ketujuh, Andrew Jackson. salah satu pers di AS saat itu menyebut Presiden Jackson dalam isi beritanya sebagai: "a heartless despot exclusively concerned with preserving his own power...a gambler without shame or restraint." [1]. Selain itu, Chalmers Robert menunjukkan pula bagaimana sikap politik koran the Washington Post di awal pendiriannya pada 1877. Sebagai contoh, dalam isi berita the Washington Post tertera bagaimana dukungan koran itu terhadap partai Demokrat di parlemen AS, sebagaimana yang tertulis seperti berikut: "the Washington Post pledge itself to do what it can to uphold the Democratic majority in the House and the majestic Democratic minority in the Senate." [2]. Dan yang lucu juga, selain memosisikan diri sebagai koran yang mendukung partai Demokrat, koran ini juga pernah memuat sebuah headline "ejekan" mengenai pidato presiden yang datang dari partai Republik (rivalnya kalangan partai Demokrat). Yang lucu, headline itu ditulis dengan judul: "TWADDLE OF THE FRAUD" [3].

Melihat bagaimana pada era itu pers memiliki sikap dan kekuatan politiknya sendiri, maka pers saat itu dianalogikan sebagai sebuah lembaga tersendiri yang independen setelah kekuatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang duduk didalam pemerintahan. Thomas Carlyle (1795-1881), seorang sejarawan cum esais asal Skotlandia, dan yang pertama kali menggagas konsep jurnalisme sebagai the 4th estate menyebutkan: "there were Three Estates in Parliament; but, in the Reporters' Gallery yonder, there sat a Fourth Estate more important far than they all." [4].

Konsep jurnalisme sebagai kekuatan keempat yang mandiri dalam parlemen ini mengibaratkan adanya sebuah kekuatan dan kekuasaan politik yang besar dalam masyarakat. Dengan pengibaratan seperti itu, jurnalisme dipandang sebagai suatu aktivitas yang memiliki tanggungjawab besar. Seperti yang ada dalam sebuah pepatah, "within great power, theres come great responsibility". Dalam kekuasaan yang besar, terdapat pula tanggungjawab yang besar. Adalah sebuah tanggungjawab yang besar menyuarakan sebuah aspirasi demi kemaslahatan umat. Butuh keberanian untuk mau bertindak dengan menanggung beban berat seperti itu. Didalam setiap kata yang dirangkai wartawan dalam sebuah berita, terdapat pertanyaan dan kritik terhadap tatanan dominan yang sedang berjalan di masyarakat. Pertanyaan dan kritik itu tidak sekadar kata, tetapi juga merefleksikan keadaan dan keluh kesah yang muncul dalam realitas sosiologis. Keadaan dan keluh-kesah yang muncul dalam keseharian masyarakat.

Dengan melihat pekerjaan wartawan yang memikul tanggungjawab besar seperti itu, dan bagaimana mereka harus bergulat dengan ancaman dan represi karenanya, dapat dipahami bagaimana bila pekerjaan sebagai wartawan merupakan pekerjaan yang dipandang terhormat dan disegani, walaupun penghasilannya kecil: mereka dilihat mau memikul tanggungjawab yang besar dan secara sukarela mau menerima resiko dari pekerjaannya itu.

Di Indonesia, sekitar tahun 1945-1965, juga pernah terdapat suatu era dimana pers merupakan sebuah kekuatan politik yang memiliki sikap, dan relatif bebas dari intervensi institusi negara yang berpengaruh. Sebelum tahun 1965, koran-koran saat itu berafiliasi dengan partai tertentu. Sehingga terdapat beragam koran yang menyuarakan aspirasi politiknya masing-masing. Mulai dari pers yang bernafaskan agama, seperti Duta Masyarakat, Sinar Harapan, dan Kompas. Lalu, pers yang condong menyuarakan aspirasi sosialis-komunis, seperti Harian Rakyat, Bintang Timur, dan Huo Chi Pao. Bahkan hingga pers yang menyuarakan anti sosialis-komunis itu sendiri, seperti Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, dan Waspada [5].

Dengan kisah mengenai pers sebagai kekuatan besar dalam masyarakat itu, dapat dipahami bagaimana seseorang yang mempelajari ilmu jurnalistik dapat menjadi bangga karenanya. Mereka disiapkan untuk sebuah pekerjaan yang berat dan yang membutuhkan tanggungjawab yang besar pula. Mereka bukan hanya bekerja untuk dirinya sendiri, tetapi ada kepentingan orang banyak juga didalamnya. Mereka sesungguhnya mengemban amanat hati nurani rakyat setiap kali melakukan tugasnya.

Mungkin itupula sebabnya, mengapa di jaket jurusan saya, emblem berlogo the 4th estate tertempel di lengan sebelah kanan. Emblem itu seolah-olah menjadi pengingat bagi mereka yang mengenakan jaket jurusan jurnalistik itu. Pengingat tentang siapakah mereka, dan bagaimana peranan mereka dalam masyarakat nantinya. Mungkin itu juga sebabnya, mengapa mereka yang baru bisa memperoleh jaket jurusan jurnalistik setelah melalui proses inisasi yang cukup berat begitu bangga mengenakannya. Sehingga tidak ingin melepasnya walaupun cuaca sangat panas: mereka telah berhasil melewati sebuah proses yang menunjukkan kualitas diri mereka sebagai seseorang yang disiapkan untuk mengemban tanggungjawab yang besar kepada masyarakat.


"Tempus mutantur, et nos mutamur in illid". Waktu berubah, dan kita ikut berubah didalamnya.

Selama menjalani hidup sebanyak duapuluh enam tahun, saya mengalami cukup banyak perubahan, dan juga cukup banyak menyaksikan perubahan. Khususnya menyaksikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri teman-teman sesama satu jurusan di jurnalistik selepas mereka meninggalkan dunia kampus dan terjun kedalam dunia industri media massa.

Ada perubahan yang terjadi menyaksikan bagaimana sikap mereka terhadap ilmu yang dulu pernah diajarkan di kampus, dengan kenyataan hidup yang mereka alami sehari-hari terkait dengan dunia media massa dan jurnalisme. Ada cerita tentang seorang teman yang mengumpat mengenai cara kerja industri media massa yang sama sekali berbeda dengan yang pernah diajarkan di kampus. Ada juga cerita seorang teman yang melanggar etika jurnalisme yang pernah diajarkan, karena lingkungan di industri media memang menuntutnya harus bertindak demikian (melanggar etika jurnalisme).

Dengan kenyataan sehari-hari yang dihadapi itu, beberapa teman ada yang mencoba membanting stir dengan melakukan pekerjaan yang sama sekali jauh berbeda dengan yang diajarkan dulu. Terdapat beragam alasan untuk ini, mulai dari alasan yang mengandung kekecewaan berat terhadap ilmu jurnalistik, sampai alasan ekonomis (gaji, peluang karir, dsb). Semua alasan itu saling bertumpang-tindih. Walaupun masih ada juga mereka yang bertahan dijalurnya sebagai wartawan. Rela setiap hari banting-tulang turun ke jalan yang panas dan berdebu, hanya untuk mengasongkan recorder ke hadapan mulut orang lain (sambil berdesak-desakkan pula dengan wartawan lainnya).

Menyaksikan perubahan-perubahan seperti itu, khususnya perubahan negatif mengenai sikap terhadap ilmu jurnalistik, timbul pikiran dalam benak, bahwa betapa besarnya jurang yang ada antara ilmu yang diajarkan di kampus dengan kenyataan sehari-hari yang harus dihadapi. Sehingga kebanggaan yang sempat tertanam, tidaklah begitu membanggakan lagi, ketika mulai bergelut setiap hari dalam industri media massa. Seringkali pragmatis menjadi sesuatu kata yang muncul dalam pilihan, ketika menjalani hidup. Alih-alih idealis seperti yang sering kali dipelajari dan dibuat desain kaos dalam kehidupan kampus.

Hal lainnya yang muncul dalam benak, ketika menyaksikan perubahan itu adalah, bahwa seperti ada kekosongan konteks historis dalam beberapa konsep mengenai jurnalisme yang dipelajari di kampus. Seperti contohnya, konsep mengenai jurnalisme sebagai the 4th estate yang sempat ditulis diatas. Apa yang saya rasakan, konsep the 4th estate ini seringkali dicoba diterapkan dalam kehidupan kampus yang berkaitan dengan jurnalistik. Namun, penerapan konsep ini tidak dielaborasi lagi dengan kondisi industri media dalam masyarakat yang berbasiskan kapitalisme seperti sekarang. Ibaratnya, konsep yang lahir di abad 18 ditempelkan lagi di masyarakat abad 21. Tentu saja antara abad 18 dan abad 21 kehidupan masyarakat tidak serupa persis.

Padahal penerapan konsep yang ahistoris ini, saya pikir, bisa menjadi sumber frustasi bagi mereka yang pernah belajar jurnalistik secara ilmu, dan kemudian menerapkannya dalam dunia kerja. Tentu menjadi sesuatu yang frustratif bagi mereka yang biasa diajarkan mengenai peran wartawan sebagai sosok kritis dalam menyikapi kekuasaan dominan dalam masyarakat. Namun pada kenyataannya, ketika mereka bekerja di sebuah media, hal yang mereka lakukan adalah diam di pos pemerintahan tertentu, dan mengikuti tokoh elit di pos itu kemanapun dia pergi. Dalam hal ini, ibaratnya mereka menjadi penyambung lidah tokoh elit tersebut. Mengutip jargon Harmoko: mereka bekerja berdasarkan prinsip "jurnalisme sambung rasa".

Sekalinya mencoba kritis, tidak jarang keluhan pun keluar terkait rutinitas organisasi media, seperti swa-sensor dari editor, kedekatan perusahaan media dengan tokoh politik tertentu, hingga rutinitas media yang biasa menempatkan wartawan di pos-pos tertentu agar efisien. Pada intinya, semua itu menunjukkan bagaimana antara konsep yang didapat dalam ilmu jurnalistik, menjadi sama sekali berbeda saat terjun kedalam dunia industri media massa. Ada kesenjangan antara ilmu yang diperoleh di kampus dengan kehidupan nyata yang dialami sehari-hari.


Industri Media Massa Modern

Saya pikir, untuk sejenak saya harus menoleh terhadap literatur mengenai karakter industri media massa modern abad 21 yang pernah diutarakan oleh Daniel Hallin [6]. Sebab, menurut saya, melihat karakteristik media massa pada abad 21 dan kemudian membandingkannya dengan karakteristik media pada abad 18 seperti yang telah ditulis diatas sebelumnya, bisa menjadi panduan untuk sedikit memahami keluhan-keluhan yang sering muncul terkait dengan kesenjangan besar antara ilmu jurnalistik yang dipelajari di kampus dengan keadaan yang dialami diluar kampus.

Kehidupan industri media massa di abad 21 sangatlah berbeda dibandingkan kehidupan di abad 18. Di masa ini, pers bukanlah institusi yang secara aktif berperan dalam aktivitas politik seperti pers diabad 18. Kiprah pers di abad ke 21, sudah terkait erat dengan orientasi bermotif profit yang menjadi basis dari masyarakat modern dalam berproduksi dan bereproduksi. Sehingga motif seperti itu seringkali menjadikan institusi pers berkarakter pragmatis, dan melestarikan status quo.

Mengenai kehidupan media massa modern ini, Daniel Hallin pernah menyebutkan, bahwa media massa modern ditandai oleh dua karakteristik, yakni pertama, media menjadi suatu institusi yang berdasarkan kepemilikan pribadi (privatisasi), dan berorientasi kepada profit. Atau dengan kata lain, menjadi institusi komersial yang secara ekonomi independen dari kekuasaan negara.

Perubahan media massa dari segi ekonomi ini menghantarkan kepada karakteristik media massa modern kedua, yakni jurnalisme menjadi dipandang sebagai suatu profesi. Dalam hal ini, wartawan diposisikan kedalam suatu ideologi mengenai profesionalisme yang memiliki tujuan utama untuk membuat wartawan independen secara politis, atau tidak berpihak. Hal ini berbeda dari abad sebelumnya, dimana posisi politis wartawan dalam pemberitaan terlihat sangat jelas. Dalam media massa modern, posisi politis seperti itu tidak lagi ditemui. Wartawan diposisikan menjadi semacam “pengamat dari luar” yang menulis berita berdasarkan fakta, dan tanpa kepemihakan.

Ideologi jurnalisme profesional itu juga memunculkan hal yang penting terkait proses produksi berita, yakni berkembangnya konsep mengenai prinsip “jurnalisme objektif”. Menurut Hallin, prinsip jurnalisme objektif itu hadir di era dimana akal manusia dipandang bisa menyesatkan, fakta dipandang relatif rentan menjadi subyek manipulasi, dan nilai dipandang sepenuhnya sebagai bias. Untuk merespon era tersebut, kalangan praktisi media mengembangkan sebuah sikap yang dinamakan “disinterested realism” [7]. Secara lentur, “disinterested realism” saya artikan sebagai sikap yang menempatkan wartawan sebagai subyek yang bebas nilai. Dalam artian, wartawan berperan seolah-olah sebagai pengamat dan pelapor sebuah fakta yang “apa adanya”; fakta yang tidak dicampuri oleh penilaian atau kepemihakkan wartawan itu sendiri.

Bagi wartawan maupun organisasi media, prinsip objektifitas seperti itu memberikan suatu fungsi legitimasi atas kekuasaan mereka dalam melakukan pemberitaan. Sebabnya, media massa modern menjadi suatu kekuatan yang berpengaruh di masyarakat; media mengontrol sebagian besar akses informasi bagi masyarakat. Tetapi disisi lain, basis dari media massa itu adalah kepemilikan pribadi (private), atau swasta. Dengan begitu, media massa pada dasarnya tidak memiliki tanggungjawab langsung terhadap publik atau negara. Tanggung jawab media massa swasta, hanyalah kepada pemiliknya.

Dengan adanya ideologi jurnalisme profesional, maka hal itu dapat memberi legitimasi bagi institusi media dan pekerjanya (baca: wartawan) untuk merespon kritik atas kekuatan yang dimiliki media dalam hal akses informasi dengan menggunakan argumen prinsip jurnalisme objektif [8].   

Merujuk pada Hallin, prinsip jurnalisme objektif dapat ditandai dengan tiga karakter, yakni:
  1. Independensi. Seorang wartawan harus bebas dari setiap sikap politis tertentu, dan bebas dari tekanan eksternal, seperti dari tekanan dari pemerintah, aktor politik, pengiklan, dan dari organisasi media tempat wartawan itu sendiri bekerja.
  2. Objektifitas. Tugas mendasar seorang wartawan adalah menampilkan fakta. Namun tidak melakukan penilaian terhadap fakta tersebut. Opini harus dipisahkan secara tegas dari berita.
  3. Keberimbangan. Penyajian berita tidak boleh memihak kepada aktor atau kelompok tertentu.

Namun demikian, Hallin melihat, bahwa dalam praktiknya, prinsip jurnalisme objektif itu memantapkan hubungan ketergantungan antara pers dan negara. Seperti yang diungkapnya dibawah:

[…] Journalist were regularly taken into the confidence of government officials, for whom they were the primary means of communication with the public and often also with other officials, with foreign governments, and with a variety of other political audiences” [9].

Prinsip jurnalisme objektif membuat seorang wartawan bergantung kepada pihak pemerintah sebagai sumber informasi. Selain itu, pemberitaan pun seringkali terfokus kepada aktivitas pihak pemerintah itu, karena dianggap sebagai aktivitas yang memiliki nilai berita tinggi. Dengan begitu, pihak pemerintah termasuk diuntungkan, karena mereka dapat membagi perspektif mereka dengan lebih leluasa.Lebih lanjut, prinsip jurnalisme objektif itu tidak saja memantapkan hubungan ketergantungan antara pers dan negara, melainkan prinsip itu juga merasionalisasikan hubungan ketergantungan itu. Dengan kata lain, hubungan ketergantungan antara pers dan negara dianggap lumrah [10].

Keadaan media massa yang digambarkan oleh Hallin itu, bagi saya masih relevan untuk melihat bagaimana keadaan dunia industri media massa di Indonesia. Dilihat dari cara produksi dan reproduksi, jelas terlihat bagaimana media tergantung pada akumulasi kapital. Jelas terlihat juga bagaimana kepemilikan media massa dikuasai secara privat melalui para pemegang saham. Apalagi bila dilihat dari konteks sosio-ekonomi masyarakat Indonesia pasca 1998 yang terintegrasi kedalam arus utama neoliberalisme. Pengintegrasian itu membuat media massa sebagai salah satu bagian dari keseluruhan masyarakat mau tidak mau mengikuti pola pasar bebas bila ingin bertahan dari kerasnya kompetisi antar media.


"Benturan antar Abad"

Menurut saya, dengan melihat perubahan pola kinerja media massa modern seperti itu, terdapat suatu ketegangan yang berhubungan juga dengan konsep jurnalisme sebagai "the 4th estate" seperti yang sebelumnya telah ditulis diatas. Kekuasaan dan sikap politik yang besar seperti pers abad ke 18 tidak mutlak diperlukan di abad 21 ini. Sebabnya, media massa modern bukanlah institusi yang memiliki interes terhadap politik, walaupun terdapat rubrik "politik & hukum" didalamnya. Institusi media massa modern adalah institusi yang beroperasi dengan  basis kepemilikan pribadi (swasta) yang berorientasi kepada perolehan kapital. Bukan lagi organ partai atau elit politik yang dimaksudkan untuk menyuarakan suatu pandangan tertentu.

Saya pikir, cukup bisa menjadi hal yang frustatif bagi mereka yang biasa mempelajari nilai-nilai yang dikandung dalam sebuah konsep yang dilahirkan pada masa dimana pandangan dan sikap politik merupakan sesuatu yang diperlukan, untuk kemudian mempraktikannya di sebuah masa dimana pandangan dan sikap politik itu ternyata menjadi sesuatu yang tidak diperlukan. Seperti kita membayangkan bagaimana media massa sebagai kekuatan politik mandiri dalam parlemen, tetapi apa yang tersaji di keseharian justru adalah media massa yang beroperasi dengan tuntutan untuk mengakumulasi kapital. Jadi ada kesenjangan dalam ide mengenai media massa sebagai aspek politik, dengan praktik keseharian media massa yang bertujuan untuk memperoleh profit, selain menyuarakan hati nurani rakyat.

Kesenjangan-kesenjangan seperti itu yang, saya pikir, memiliki pengaruh dalam perubahan sikap beberapa teman mengenai ilmu jurnalistik selepas keluar dari kehidupan kampus. Perubahan-perubahan yang terjadi disaat mereka menemukan bagaimana kehidupan diluar ternyata jauh berbeda dengan ideal-ideal yang dipelajari didalam kampus.

Saya pikir, hal yang perlu dipelajari oleh kita yang belajar ilmu jurnalistik saat ini tidak hanya ilmu tentang bagaimana menyusun berita atau apakah jurnalistik itu. Tetapi juga kita membekali diri dengan ilmu yang mempelajari dinamika suatu masyarakat dalam level makro. Sehingga dengan begitu, kita juga bisa memperoleh bekal mengenai media massa sebagai salah satu bagian dari dinamika masyarakat yang berubah-ubah. Dimana perubahan yang terjadi didalam masyarakat itu turut membentuk juga praktik media massa. Sehingga dengan pengertian ini, media massa dipandang sebagai institusi yang berada dalam suatu konteks sejarah dan situasi sosio-ekonomi tertentu.

Dengan begitu, diharapkan individu yang belajar ilmu jurnalistik akan memahami posisinya selepas keluar dari dunia kampus. Dengan memahami posisinya itu, saya pikir, bisa menurunkan tingkat frustasi yang diakibatkan oleh kesenjangan antara ilmu yang didapat didalam kampus dengan kehidupan yang dijalani sehari-hari selepas keluar dari kampus. Minimal kita bisa mencoba memahami dan mengenali "ketidakberesan" yang kita hadapi sehari-hari terkait dunia media massa dan jurnalisme. Akan lebih baik lagi bila ternyata pemahaman itu pada akhirnya membuat kita berbuat sesuatu untuk merubah "ketidakberesan" dalam keseharian yang dijalani.

Menurut saya, hal seperti itu akan lebih baik, ketimbang hanya mempelajari suatu konsep ideal yang berasal dari abad lampau, tetapi pada akhirnya konsep itu tidak berarti apa-apa dalam keseharian. Dan kita menjadi sosok yang putus asa karenanya.



Catatan Kaki:
[1] dalam Daniel Hallin, Uncensored War: the Media and Vietnam. New York: Oxford University Press Inc, 1986: hlm. 65.

[2] ibid.

[3] ibid.

[4] Thomas Carlyle, "Lecture V: The Hero as Man of Letters. Johnson, Rousseau, Burns", 1840.

[5] http://deadline-asmaradhana.blogspot.com/2007/09/sikap-berpihak-dan-tidak-berpihak.html

[6] Daniel C. Hallin adalah Professor Komunikasi dari Universitas Kalifornia, Los Angeles, AS. Penelitian Hallin sebagian besar fokus dalam bidang kajian komunikasi politik dan peran pemberitaan media dalam konteks demokrasi. Dia telah melakukan sekitar tujuh publikasi. Data mengenai kondisi media massa di abad  21 ini diambil dari penelitiannya mengenai pemberitaan media selama perang vietnam dalam rentang waktu 1962-1965 yang dibukukan dengan judul "Uncensored War: the Media and Vietnam", dan terbit  pertama kali pada tahun 1986.

[7] Daniel Hallin, Uncensored War: the Media and Vietnam. New York: Oxford University Press Inc, 1986: hlm. 66.

[8] Ibid, hlm. 67.

[9] Ibid, hlm. 69.

[10] Ibid, hlm. 70.