"The rational society subverts the idea of Reason."
Herbert Marcuse (1964)
Bila teori berangkat dari pengalaman di kehidupan nyata, kenapa dalam setiap perbincangan masih sering terdengar ucapan "ah, teori!", seperti itu? Ucapan tersebut secara tidak langsung, seperti menjelaskan kegagalan teori dalam menjelaskan kehidupan nyata. Tujuan utama dari teori untuk menjelaskan suatu fenomena kehidupan, dan juga berfungsi sebagai pemandu aktivitas manusia untuk mencapai "kebaikan tertinggi"-nya, berarti turut gagal pula. Lalu, ada apa dalam teori? Mengapa term tersebut begitu dipandang sinis oleh kebanyakan orang? Apakah kesinisan tersebut merupakan pertanda dari gagalnya sebuah teori dalam kehidupan sehari-hari? Bila teori memang gagal, berarti selama ini institusi pendidikan, seperti sekolah yang bergumul dengan dunia ide seperti teori, tidak menghasilkan sesuatu yang bermanfaat? Bila memang begitu, buat apa sekolah?
Pertanyaan itu akhir-akhir ini seringkali hinggap di benak saya.
Konon, sebelum muncul istilah teori, kaum pengangguran yang hidupnya ditopang oleh budak-budak dan sering dilabelkan sebagai filsuf di jaman Yunani kuno dahulu, mengidentifikasi adanya tata-tertib yang bersifat tetap dan tidak berubah dalam dinamika alam semesta. Tata tertib yang bersifat tetap dan tidak berubah-ubah itu disebutnya sebagai makrokosmos. Sang filsuf lalu beranggapan, bila tata-tertib itu diikuti, maka pengetahuan sejati bisa diperoleh. Pada gilirannya, pengetahuan yang sejati itu akan memandu kepada tingkah-laku yang sejati (baca: baik, tertib, dsb) pula. Oleh sebab itu, agar bisa berperilaku baik, maka manusia harus mencari pengetahuan yang sejati dengan cara mengikuti atau menyesuaikan diri dengan makrokosmos. Penyesuaian diri dengan makrokosmos itu ditempuh melalui cara yang disebut sebagai kontemplasi atas kosmos. Dalam istilah filasafat, kontemplasi atas kosmos itulah yang kemudian disebut sebagai teori.
Jadi, teori dalam pengertian filsafat itu saya pahami sebagai penemuan akan suatu hakikat yang sifatnya tidak berubah dan menjadi esensi dari perubahan-perubahan suatu alam semesta. Hakikat menjadi semacam 'sebab' dari akibat-akibat yang ada di alam semesta. Dalam pengertian ini, penemuan suatu hakikat, sudah sepantasnya dapat menjelaskan dinamika yang terjadi di alam semesta.
Namun demikian, konon, bersamaan dengan pengertian teori sebagai suatu hakikat yang tidak berubah-ubah itu, filsafat telah menarik garis batas antara 'ada' dan 'waktu', atau batas antara yang tetap dan yang berubah-ubah. Hakikat mengandaikan suatu ruang yang tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan diluarnya oleh karena sifatnya yang tetap tersebut. Dalam hal ini, maka teori harus bebas dari unsur-unsur yang berubah-rubah, seperti dorongan-dorongan, perasaan subyektif, dan kepentingan-kepentingan manusia sendiri. Sikap mengambil jarak dan membersihkan pengetahuan dari unsur-unsur yang berubah itu kemudian disebut sebagai sikap teorietis murni. Dari sini, konon, kontemplasi atas kosmos kemudian berubah menjadi kontemplasi bebas-kepentingan.
Dalam perkembangannya, teori yang bebas-kepentingan itu menempuh dua jalur. Jalur pertama disebut sebagai rasionalisme. Pada jalur ini, pengetahuan sejati dianggap terdapat dalam rasio manusia, maka untuk menemukan pengetahuan, manusia harus menemukan kembali pengetahuan yang sudah ada didalam rasionya. Bagi rasionalisme, pengetahuan adalah pikiran manusia sendiri, dan alam adalah refleksi dari pikiran manusia itu.
Jalur lainnya, yakni empirisme. Pada jalur ini, pengetahuan sejati diperoleh melalui pengamatan terhadap objek pengetahuan. Untuk menemukan pengetahuan sejati, maka tugas manusia adalah mengamati unsur-unsur yang berubah-ubah dan melakukan abstraksi atas unsur-unsur itu sehingga mendapatkan suatu inti atas perubahan-perubahan yang sifatnya tetap. Bersebrangan dengan rasionalisme, bagi empirisme, pikiran manusia adalah refleksi dari keadaan disekitar diri manusia.
Kedua jalur tersebut, walaupun berbeda titik pangkal, tetapi keduanya sama-sama berkeyakinan bahwa suatu teori murni diperoleh melalui pembebasan dari unsur-unsur yang berubah, seperti dorongan-dorongan dan kepentingan-kepentingan manusiawi.
Perumusan teori dengan cara menarik diri dari unsur-unsur yang berubah seperti itu hingga saat ini masih berpengaruh, khususnya terhadap ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan dikenal sebuah paradigma bernama paradigma positivis.
Anthony Giddens memaparkan tentang tiga pengandaian yang ada dalam paradigma positivis. Pertama, bahwa prosedur-prosedur metodologis dari ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu sosial. Kedua, hasil penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk 'hukum-hukum' seperti dalam ilmu-ilmu alam. Ketiga, ilmu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni. Pengetahuan itu harus dapat dipakai untuk keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terkait pada dimensi politis manusia.
Dalam paradigma ini, penemuan akan hakikat suatu realitas diandaikan menjadi suatu 'hukum' tersendiri yang dapat menjelaskan dinamika realitas. Cara pandang ini, dalam realitas sosial, membawa dampak pada tidak diperhitungkannya gerak subjektivitas, kepentingan, ataupun kehendak manusiawi. Karena pandangannya tentang hakikat yang 'baku' itulah, paradigma ini disebut sebagai paradigma yang memisahkan praxis hidup manusia (F. Budi Hardiman, 1990, hlm. 23). 'Hukum' itu seakan menara gading yang tak bergeming ditengah-tengah gerak historikal yang dinamis.
Semacam Curhat
Bila iseng-iseng melacak tentang asal muasal teori itu, khususnya dari paradigma positivis, sepertinya bisa dilihat sebab kesinisan orang-orang terhadap teori. Berdasarkan karakter paradigma positivis, setidaknya saya rasa ada dua hal yang membuat teori selalu dianggap remeh. Pertama, sifat positivis yang instrumentalis, dan kedua, terlepasnya praxis kehidupan manusia dari pengetahuan.
Pada dasarnya, 'niat' positivis mungkin masuk akal juga: untuk memudahkan kehidupan manusia, maka kenapa setiap metode pengetahuan harus bisa dipakai untuk keperluan manusia. Namun, dengan sifatnya yang menihilkan dinamika gerak manusia, maka pengetahuan bisa kehilangan konteksnya. Ketika pengetahuan kehilangan konteks, maka dua sumber kritik langsung muncul: pengetahuan menjadi instrumentalis, dan terlepas dari praxis manusia.
Salah satu efek dari sifat pengetahuan yang instrumentalis ini adalah, bahwa manusia terbiasa berpikir teknis. Tanpa diimbangi dengan kerangka konseptual yang kuat. Bila terbiasa berpikir teknis, saya jamin, untuk hal yang berbau kontemplatif (teori, filsafat, dll) bakal keburu muak duluan. Maka dari itu, kenapa teori-teori yang abstrak langsung dipandang remeh. Saya rasa, hal ini juga sebenarnya tidak terlepas dari tuntutan pola masyarakat industri kapitalisme sekarang ini. Teknologi industri yang canggih, membuat pembagian kerja makin kompleks, tetapi disisi lain, kecakapan manusia semakin rendah. Karena dengan teknologi industri yang canggih itu, yang dibutuhkan hanyalah semacam 'operator': mereka yang mengurus bidang yang sesuai dengan pembagian kerjanya itu. Dengan kata lain, manusia berkemampuan teknis.
Hal ini juga membawa kepada kritikan yang selanjutnya: terpisah dari praxis hidup manusia. Dengan ilmu yang bersifat instrumentalis, membawa dampak pada tindak manusia yang teknis. Hal itu erat kaitannya dengan kebutuhan industri akan pekerja teknis. Dengan begitu, maka ilmu pengetahuan yang diperoleh di bangku pendidikan itu sendiri terpisah dari kehidupan manusia. Ilmu itu didapat bukan untuk keperluan dirinya, untuk pengembangan dirinya, untuk pemahaman terhadap dirinya sendiri dan alam semesta dimana yang bersangkutan adalah satu bagian yang utuh. Tetapi, pengetahuan itu sendiri ditujukan untuk dipersembahkan kepada altar suci bernama tempat kerja. Sebuah tempat, dimana pengetahuan itu dipakai sebagai bekal untuk berproduksi, namun produknya itu sendiri pada akhirnya terpisah dari pembuatnya. Ketika wartawan menulis berita, pada akhirnya berita itu bukan lagi menjadi milik wartawan seutuhnya, tetapi menjadi bagian dari sebuah mata rantai produksi berita yang berangkai, mulai dari editing, hingga marketing.
Pada akhirnya pengetahuan menjadi 'sekadar' alat untuk bisa diterima dalam dunia industri, bukan sarana pemahaman diri sendiri tentang hidup. Herbert Marcuse berpendapat, ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang sebenarnya dapat membebaskan manusia, dalam mode produksi kapitalis, menjadi sistem penguasaan yang total di dalam masyarakat. Pengetahuan dan teknologi tidak mengabdi pada manusia, tetapi justru manusia yang dikendalikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.
Referensi:
Francisco Budi Hardiman. Kritik Ideologi.
Jan Hendrik Rapar. Pengantar Filsafat.
===========================================================================
16 Juni 2010. Kecil-kecilan melacak tentang teori, karena muak mendengarkan gerutuan orang yang menggampangkan teori...dan muak juga sama kuliah.