Minggu, 29 November 2009

Manipulate the Eclipse

“Replace my heart I'm no longer cold to
  a fallen beast inside of me
 We'll be the opposite of everything.

 Victor keep your head up, we don't
 Want to to see ourselves with tragedy
 Comes shifting of perspectives.”
-Manipulate the Eclipse by Hopesfall-


Hari seperti apa yang ingin kamu kenang, sementara waktu berlalu semakin cepat, meninggalkan apapun yang tak sempat teraih? Apa yang ingin kamu yakini, saat khotbah yang terdengar tak ubahnya seperti retorika yang semakin memberimu kehampaan? Ketulusan seperti apa yang ingin kau beri dan peroleh, ketika keintiman personal hanya menegaskan hubungan yang impersonal?

Life is worth when we can get closer enough to it’s essence, Boy.

Jumat, 27 November 2009

Ngacapruk: Motor Perubahan, Ceunah.

Tentu saja gampang memprotes apapun yang kita mau. Kita punya mulut, kita punya bacot. Atau bila tidak bisa ngebacot, kita bisa menulis. Menuliskan kata-kata yang beralasan ilmiah, dengan struktur ilmiah pula. Membuatnya menjadi semacam ‘mantra’ yang diselipkan ke dalam kalimat, seperti yang kamu baca di buku-buku kebudayaan dan politik itu. Dengan bisa mengucapkannya saja, kamu seakan-akan seorang pemikir handal. Singa podium.Membuat yang lain takjub sama diri kamu yang keren itu, karena kamu mengenal kata-kata semacam phantasme, afirmasi, disjungsi…atau apapun lah. Intinya, kata-kata itu membuat kamu lebih keren.

Atau bila belum cukup keren, bisalah kamu bisa mengutip orang-orang terkenal. Selipkan kutipan itu diantara obrolan, atau tulisan yang kamu lakukan…selipkan itu siapa Deleuze, siapa itu Freud, siapa itu Epicurus, siapa itu Emma Goldman, atau siapa itu Guy Debord. Siapapun. Semakin rumit apa yang orang-orang itu sampaikan, semakin keren imej mu sebagai pembangkang berwawasan intelek (karena bisa mengulang apa yang mereka katakan). Dengan begitu, semakin tinggi kamu diperhatikan, dan disegani.

Tapi sudah cukup disini, karena kata-kata pun memiliki ilusinya sendiri. Begitu banyak diksi, begitu banyak metafora, begitu banyak hiperbola, begitu banyak komposisi. Terkadang dia seperti mantra…atau film porno…membuatmu ejakulasi, tetapi didepan layar, bukan didepan orang yang bercinta dengan mu. Tidak real. Ilusi.

Dan masalah seperti ini, sudah pasti dihinggapi oleh kalangan seperti mahasiswa. Petani atau tukang becak tidak punya masalah seperti ini. Petani dan tukang becak mah kampring. Yang mereka tahu cuman duit, dan bayar utang. Udah gitu bau keringat lagi. Tidak seperti mahasiswa, mereka bisa hot spot-an di kampus sambil nunggu kuliah. Mereka bisa browsing buka-buka situs yang berbahasa inggris. Download bokep dan segala macem. Lebih gaya daripada tukang becak, kalau ngomongin mahasiswa mah. Mahasiswa punya akses ke dunia luar, dunia yang berbeda dengan lingkungannya, tetapi mempengaruhi lingkungannya.

 Makanya, paling sedap kalau mahasiswa sudah diajak untuk ngejelasin fenomena sosial. Mereka punya segepok teori, dan seabreg metode penelitian. Jadinya ada semacam label yang disematkan dikening mereka: agen perubahan. Dalam perubahan sosial, mereka adalah ‘avant-garde’. Terdepan dan terbaru. Dengan terbukanya akses informasi, mereka siap mentransformasikan sebuah masyarakat ke arah yang lebih ‘benar’.

Waduk, anjing. Tai ucing.

Apa yang bisa mereka kerjakan? Ngebacot dengan segudang kata-kata ga jelas, ngebacot nilai ideal yang dogmatis, ngebacot dengan kebanggaannya sebagai mahasiswa yang dikultuskan sebagai motor perubahan. Waduuuukkkkkk, anjiiiiiiiinggg!!!!!

Apa yang saya anggap sebagai mahasiswa adalah mereka yang tidak pernah tuntas ngelakuin sesuatu. Tarik satu contoh: demonstrasi. Uh, ini paling seksi buat mahasiswa. Demonstrasi adalah kata lain buat mengatakan, kalau diri saya keren, karena radikal. Dengan begitu, saya jadi yang paling seksi. Dan itu juga yang ngebuat pekerjaan ga tuntas-tuntas…, karena yang mereka lakukan hanya melompat dari satu demonstrasi ke demonstrasi yang lain. Tanpa pernah ada semangat untuk memilih satu pekerjaan, dan menekuninya hingga menjadi sebuah pergerakan yang memiliki landasan yang kuat dan solid. Selalu saja ingin memulai dengan langkah besar, seringkali reaksioner pula. Hanya kalau ada isu yang besar saja mereka baru turun demo. Sesudah demo, balik lagi ke kampus.

Contoh lain: KKN. Anjing. Ini apalagi…buat saya jadi kaya ajang yang nontonin betapa ga nyambungnya mahasiswa sama orang-orang yang “non-mahasiswa”. Ngangkat pupuk ngeluh, ngobrol ma peternak sapi ga mau da bau tai sapi si peternaknya, jalan di sawah nyerocos terus da lumpurnya kena sepatu. anjiiiinggggg, naon deui atuh! Tapi disisi lain, tabiat arogan mereka timbul lagi, ketika ngobrol program sama pejabat kelurahan. Ngomong ini-itu make segepok teori. Pake kata-kata ilmiah yang ga tau artinya apa. Dengan begitu, seolah-olah mereka paling tau adat disana. Serasa motor perubahan dan terjebak ilusi na tea.

Perubahan naon lah…empat atau tujuh tahun juga mahasiswa mah bisa lulus. Tenaganya udah bisa dimanfaatin sama yang punya saham. Udah gitu, mereka bisa bangga, berkoar ke siapapun tentang pekerjaannya yang digaji tiga juta rupiah sebulan (belum ditambah uang pesangon). Perubahan naon lah. Waduk. Ngomongin mahasiswa, umpamanya mah kaya, ngeloncatin tai kuda untuk mendarat di tai kuda yang lain. Lompat dari satu ilusi ke ilusi yang lain. 

Gimana mau perubahan, ngobrol sama tukang odading wae teu nyambung. Apa yang mau dirubah, kalau gaji tiga juta sebulan bikin kamu ngangguk-ngangguk aja ama si bos. Motor perubahan naon…mun tabiat aroganna masih kitu keneh. Mungkin agen perubahan itu emang ilusi. Karena sebenarnya dunia memang baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dirubah. Kalaupun ada yang berubah, toh, itu cuman perubahan di gedung parlemen aja. Karena orang-orang di gedung parlemen juga dulunya kan mahasiswa, dulunya agen perubahan. Perubahan dikalangan mereka aja (da tara pernah nyambung mun ngobrol jeung tukang odading mah). Sebenarnya dunia baik-baik saja, tanpa harus ada ‘agen perubahan’.

Dan membicarakan ini, ujung-ujungnya selalu tidak jelas. Solusinya juga pasti standar: kalau ga balik lagi ke diri sendiri, ya, saya nya aja yang sentimen dan nyama-ratain semuanya. Soalnya ini masalah motif, siapa yang tau kedalaman hati manusia. Bahkan selama dua puluh empat tahun ini, belum tentu saya mengenal Ayah atau Ibu saya sendiri. Tapi, pastinya saya akan keluar duluan dari shaf, kalau ada orang-orang yang ngaku sebagai agen perubahan ‘avant-garde’ ini tiba-tiba datang dan berkoar, kalo mereka paling tahu apa yang harus saya lakukan dalam hidup saya.  
 
 

Minggu, 22 November 2009

Ngacapruk: Progress Assault Zero, Bung!

Kadang saya berpikir, kami hanyalah seperti atom. Kecil. Namun demikian, ia terpecah-pecah dalam peta sub-urban dimana didalamnya setiap wilayah dibatasi dan dibagi oleh jalan raya dan petak-petak lahan bisnis. Dengan begitu, tiada keterkaitan antara satu atom dengan atom lainnya. Menjadi asing satu sama lain. Dan individu, dengan hanya menjadi atom saja, tanpa adanya keterkaitan dengan atom lain, dia tidak akan menjadi molekul, tidak akan menjadi siapa-siapa.

Dalam beberapa hal, selalu ada pengecualian. Ketika “atom-atom” yang kecil dan terpisah itu, entah bagaimana, terkoneksi satu sama lainnya atas dasar “kesamaan pandangan”. Terangkai menjadi sebuah molekul. Sebutlah itu komunitas, paguyuban, atau sekte sekalipun. Namun demikian, dalam sebuah peta sub-urban, dimana wilayah yang terpetakan bukanlah dimaksudkan untuk kepentingan para atom agar saling terkoneksi menjadi molekul, maka rangkaian molekul itu hanya bersifat sekadar “pelepasan di akhir pekan” saja. Karena esoknya (hari Senin), kami kembali terpetakan. “Pelepasan” itu tak ubah seperti ajang para filantropis bersosialiasi di hotel paling mewah di kotamu. Namun bedanya, tempat yang kami ambil adalah pelataran parkir gedung yang kosong, bukan hotel mewah.

Dalam peta sub-urban, kesamaan pandangan yang kami miliki, ternyata tidak relevan dengan kehidupan yang kami jalani, ketika sendiri. Bagaimana bisa kami menjalani sebuah alternatif kehidupan, bila ternyata yang kami perbincangkan di akhir pekan, seperti memperbincangkan “betapa-kerennya-kami”, atau betapa indahnya masa lalu. Dan sistem kemasyarakatan, kita semua tau, tidak sesederhana obrolan yang niatnya terbatas sekadar ingin memancing perhatian orang lain seperti itu. Membicarakan alternatif kehidupan, berarti berbicara tentang perombakan landasan dan institusi yang menopang kehidupan dominan yang kita jalani sekarang. Bukan sekadar bagaimana berkoar mengekspresikan kebebasan dengan membuat lubang sebesar Babon di telinga kiri mu. Seolah-olah dengan begitu, kamu telah melanggar norma masyarakat, dan bisa dipuji dengan label pembangkang yang disematkan kepada harga dirimu.

Apa gunanya menjadi “pemberontak-gaya hidup” yang dengannya kamu selalu banggakan itu, bila dalam keseharian, kehidupan yang kamu dan aku jalani sama seperti yang sudah-sudah? Apa yang alternatif bila transaksi dengan pegawai Circle K, landasannya masih sama seperti sebelumnya? Bedanya hanya dandanan kamu nyeleneh dibandingkan dengan yang lainnya.      

Mungkin problem yang sama terus menerus berulang. Ketidaksepahaman. Dan antara kamu dan saya, kehidupan ini selebihnya hanya saya saja yang menjalaninya. Begitu juga dengan mu. Kata yang lain, ketidaksepahaman seolah-olah memberikan ruang bagi tiap individu mengembangkan gagasannya. Memberdayakan dirinya masing-masing. Di sisi yang lain, ketidaksepahaman seperti jalinan benang yang kusut dan kacau balau. Selalu menghambat tiap kemajuan yang dicoba untuk dibuat. Dan untuk ini, saya muak untuk memilih kesepakatan yang mana yang akan saya ambil terhadap salah satu sisi yang berlainan seperti itu. Mungkin, selama ini saya memang tidak pernah akur berinteraksi dengan orang-orang. Mungkin. Mungkin. Mungkin. Ah, kemungkinan.

                                                                  ***

Secara metafor, atom mencerminkan inti. Dan inti, seperti akar. Dia menghujam ke kedalaman tanah. Dengan begitu, dia memberikan fondasi, menuntun gerak, dan layaknya metafor pohon yang memiliki akar kuat terpatri lurus ke inti bumi: dia kuat menahan ganasnya terpaan angin ribut.  Tetapi itu bila akar dipelihara secara simultan. Ada orang yang ibaratnya selalu mau menyiram apa yang dia miliki setiap hari. Penuh kesabaran dan intensitas. Bila tidak, mungkin gambaran gurun tandus di Nevada atau dataran gersang di Texas, Amerika, sana cocok untuk dijadikan perumpamaan. Sangat sedikit sekali air disana, sedangkan manusia, sebagian besar tubuhnya dipenuhi oleh air.


Kamis, 19 November 2009

Ngalor-Ngidul: Quality Time.

Hujan. Sudah musim hujan lagi. Biasanya bila jarum jam sudah bertengger di angka dua siang, awan hitam diprediksi sudah berkoalisi. Dan saya selalu ingin berada di rumah. Tidur. Bila terjebak dijalanan, repot. Serba basah. Tidak  seperti dulu. Biasanya saya selalu senang bila hujan turun. Cepat-cepat memesan kopi, cepat-cepat mencari angkot yang bangku belakangnya kosong. Cepat-cepat memutar walkman. Biasanya ujung-ujungnya melamun di angkot. Melihat pemandangan dibalik jendela. Kelakuan yang sia-sia memang. Masa bodohlah.

Sekarang, saya tidak suka hujan. Merepotkan. Saya masih ingat, ketika bersama teman-teman naik gunung di daerah Majalengka. Kira-kira sepuluh menit lagi waktu itu kami mencapai puncak. Sudah terlihat batas ketinggian gunung. Tetapi, tiba-tiba hujan turun cukup deras. Untungnya kami sedang berada di daerah yang cukup terlindung dari hembusan angin dan hujan. Ada semacam tebing kecil yang didepannya dikelilingi oleh pepohonan. Langsung saja kami membuka tenda disitu. Pendakian jadi molor semalam.

Saya juga ingat, ketika jaman PKL dulu di sebuah koran lokal di Bandung. Ada kecelakaan pesawat. Saya disuruh datang ke lokasi kejadian oleh redaktur. Waktu itu saya baru saja tiba ke kantor. Langsung ditugasi lagi untuk pergi. Sialnya, diluar hujan. Hujan deras. Raincoat teman yang kupinjam ternyata tidak bebal terhadap hujan. Jadinya tentu basah kuyup. Saya benar-benar merasakan kedinginan selama meliput kecelakaan pesawat itu. 

Bagiku sekarang, hujan selalu terasa menghambat. Entahlah, salah satu penyebabnya kurasa, karena sekarang saya sudah punya motor. Jadi, bila hujan sangat tidak terlindung. Dulu, kemana-mana selalu jalan kaki, selalu naik angkot. Jadi bila hujan turun, tidak terlalu menjadi masalah. Bila misalnya sedang jalan kaki, tinggal cari kios terdekat untuk berteduh. Kamu tinggal nongkrong sambil lihat orang-orang yang naik motor basah kuyup. Syukur-syukur di kios itu juga menyediakan gorengan plus kopinya sekalian…nikmat.

Sekarang boro-boro. Seringkali rutukan yang keluar. Semua dicela, mulai dari “The Mighty Dude”, sampe angkot yang semena-mena berhenti di tengah jalan, dan menghambat laju kendaraan dibelakangnya (ini hujan, bung! Setiap pengendara motor dijalan raya tergesa-gesa). Masalahnya, bila berhenti ditengah jalan, kamu tidak bisa pergi jauh-jauh, karena ada motor yang harus kamu jaga. Mau tidak mau, misalkan kamu berhenti di jalan yang sepi, kamu harus diam disitu.


Rain is only feeling.

Dulu, memang selalu ada perasaan adem kalau hujan datang. Ibarat kehidupan terasa tidak terlalu gersang, tetapi teduh. Membawa tenang. Kalau kebetulan lagi nongkrong pas hujan, nikmatnya kerasa. Merokok nikmat. Ngobrol nikmat, atau sekadar melamun sendirian sambil mendengarkan lagu dari walkman juga terasa nikmatnya.

Bila sekarang dipikir-pikir lagi, seakan-akan waktu hilang percuma bila aktivitas terhambat oleh hujan. Seakan-akan ada sesuatu yang tidak sempat terkejar. Ada kesempatan yang terbuang sia-sia. Makanya, bila ditengah perjalanan terjebak hujan, selalu saja perasaan gelisah yang hadir. Bukan kenikmatan seperti dulu lagi. Tetapi seperti perasaan dikejar-kejar. Seperti, ada hal lain yang lebih berguna untuk kamu kerjakan, ketimbang berhenti karena terhambat oleh hujan.

Saya sebenarnya heran juga mengenai berubahnya perasaan saya tentang hujan ini. Apakah memang, karena faktor usia juga? Semakin tua, semakin banyak hal yang harus dikerjakan, dan dipikirkan? Dari sini, saya tidak tahu harus merutuk atau tidak. Bila memang penyebabnya adalah umur dan kesibukan yang bertambah, saya tidak tahu harus senang atau sedih. Saya tidak tahu, apakah akhirnya saya terkena juga hukum efisiensi dan intensifikasi di dunia kapitalisme ini?

Apakah pada akhirnya, akibat segala pemampatan dan percepatan terhadap pola hidup ini, membuat kenikmatan yang dulu selalu kurasakan, ketika hujan datang pada akhirnya tercerabut? Ataukah seperti yang teman saya katakan, “ah, lu mah hati doang rinto.”

Melankolia berlebihan. Terserah, mau disebut hati rinto atau apapun yang temanku inginkan. Sejauh menyangkut hujan, akhir-akhir ini guyurannya memang merepotkan.

Jumat, 06 November 2009

Teringat Gattaca Ketika di Jatinangor


Pernah nonton film Gattaca? Film yang diperankan oleh Ethan Hawke, Jude Law, dan Uma Thurman ini adalah semacam drama sains-fiksi yang mengambil setting di suatu masa entah kapan, dimana kehidupan manusia, sukses atau tidaknya mereka, ditentukan oleh bawaan genetisnya ketimbang prestasi atau kecerdasannya.

Di film Gattaca, dunia di setting untuk menjadi sebuah tempat yang dihidupi oleh manusia-manusia sempurna secara genetis. Manusia yang sempurna secara genetis ini dikategorikan sebagai manusia “valid”. Ketika seorang Ibu akan melahirkan, terlebih dahulu dapat diketahui komposisi genetis si cabang bayi. Apakah nantinya dia termasuk “valid” atau “in-valid” (manusia yang dikategorikan cacat secara genetik). Bila ternyata calon bayinya mengandung gen yang dikategorikan “in-valid” oleh sistem, maka melalui teknologi bayi tabung, setiap orang tua dapat mensetting keturunannya kelak menjadi “valid” dengan melakukan rekayasa genetik.

Dampak secara sosialnya dengan masyarakat seperti itu adalah terbaginya komposisi masyarakat menjadi dua kelas, yakni kelas yang dimanakan “valid” dan “in-valid”. Di dunia seperti itu, bagi individu yang dikategorikan “valid”, sudah dipastikan mereka dapat melakukan apapun yang mereka inginkan. Jenjang karir yang menjanjikan, masa depan yang cerah, dan kehidupan yang terjamin. Berbeda dengan mereka yang dikategorikan “in-valid”. Untuk hal kecil seperti jenjang karir saja sudah dipastikan tidak akan bisa mencapai level yang tinggi.

Lalu, dampak lainnya, kehidupan bermasyarakat pun menjadi terpaku pada semacam alat detektor genetik yang dapat mengetahui “valid” atau tidaknya seseorang. Alat detektor itu ada disemua tempat, khususnya diperkantoran. Bila ada seseorang yang ingin melamar pekerjaan misalnya, maka mata orang itu akan dipindai oleh detektor gen. Setelah itu akan muncul foto, status “valid” atau tidak, beserta riwayat orang tersebut di layar detektor. Tetapi kebanyakan, foto dan riwayat orang yang dipindai itu tidak akan dilihat. Karena yang paling penting bagi sistem seperti itu adalah apakah kamu tergolong individu yang “valid” atau “in-valid”.

Dan hal yang terparah dari teknologi detektor genetik ini ialah, orang-orang menjadi tidak perduli dengan wajahmu seperti apa. Seorang manusia yang cerdik, seperti Vincent Freeman (Ethan Hawke) misalnya, dapat melenggang bebas di Gattaca Inc, sebuah korporasi ulang-alik seperti NASA, dimana tempat ini adalah satu-satunya akses bagi Vincent untuk bisa merealisasikan impiannya selama ini, yakni pergi keluar angkasa.

Vincent adalah individu yang dikategorikan “in-valid”. Semenjak dalam kandungan, dia sudah divonis mengalami beberapa “kecacatan”, seperti masalah dalam hal emosi, penglihatan yang buruk, dan paling parah adalah, bahwa harapan hidup Vincent diprediksi tidak akan lebih dari 30 tahun. Saat sang Ibu ditanya apakah akan melakukan semacam “perbaikan genetis” melalui teknologi bayi tabung. Dihadapkan dengan tawaran seperti itu, dengan segera sang Ibu menolaknya. Dia menginginkan seorang keturunan dengan cara yang alamiah. Begitulah akhirnya Vincent bisa hadir di dunia yang sudah kehilangan sentuhan personalnya itu: melalui kelahiran alamiah dengan serta merta membawa kekurangannya.

Dalam film ini setidaknya tersirat, ada sesuatu yang jauh melebihi keterbatasan manusia yang divoniskan kepadanya, yakni impian dan imajinasi. Setidaknya kehidupan manusia sejauh ini, terlepas dari kehidupan baik dan buruknya, digerakkan oleh impian dan imajinasi. Impian dan imajinasi Vincent tentang luar angkasa pada akhirnya mempertemukan dirinya dengan Jerome Morrow (Jude Law). Seorang atlit berperawakan gagah yang “valid”, namun mengalami kelumpuhan di kedua kakinya karena suatu kecelakaan. Jerome ini memang sengaja menjual gennya untuk digunakan oleh mereka yang “in-valid”. Motif Jerome menjual gen nya itu tentu saja untuk alasan uang.

Dunia Gattaca memang aneh, kategorisasi “valid” dan “in-valid” dalam masyarakat ternyata menjadi pemicu munculnya penyimpangan-penyimpangan seperti jual-beli gen seperti yang terjadi antara Vincent dan Jerome. Jual-beli gen itu terjadi semata-mata bertujuan hanya untuk mengelabui detektor genetis saja.

Ketika Vincent membeli gen Jerome, otomatis identitas Vincent pun ikut berubah. Dia bukan lagi seorang “in-valid” yang memiliki harapan hidup tidak lebih dari 30 tahun, dan hanya bisa bekerja sebagai cleaning service Gattaca Inc. Sekarang dia adalah seseorang yang “valid”. Seseorang yang bernama Jerome Morrow. Atlit yang reputasinya sangat baik, dan dihormati. Setidaknya dihadapan detektor genetis. Dan hal seperti itu dampaknya besar bagi Vincent. Dia dapat memasuki Gattaca dan mengikuti pelatihan bagi astronot yang akan diluncurkan ke luar angkasa. Sebuah tujuan yang lama telah diimpikannya.

Dengan bergantinya identitas Vincent menjadi Jerome, Vincent selalu lolos melewati dektektor genetis. Padahal, yang muncul di layar detektor adalah wajah Jerome. Segala riwayat hidupnya pun adalah riwayat dari Jerome. Bukan dirinya. Dan yang lebih parahnya lagi, petugas yang memegang detektor genetis itu selalu tidak menyadari adanya perbedaan antara wajah yang ada dilayar dengan wajah Vincent. Petugas itu hanya terpaku ke layar detektor genetis. Di dunia Gattaca, kehidupan seakan-akan menjadi kehilangan sentuhan antar-pribadi. Seperti tidak ada emosi. Semuanya terjadi semata-mata, karena kehidupan masyarakat ditentukan oleh kategori ilusif seperti “valid” dan “in-valid” yang tertera di layar detektor genetis itu.


Sepotong Adegan Gattaca di Jatinangor

"It is questionable if all the mechanical inventions yet made have lightened the
day's toil of any human being."

-John Stuart Mill –

Suatu malam saya dengan seorang kawan terdampar di Jatinangor. Tepatnya di sebuah minimarket di daerah Sukawening. Saat itu kami membeli beberapa barang dan makanan. Setelah keluar dari minimarket, kawanku ini untuk sesaat nampak tercenung sambil memegang barang belanjaannya.

“Tadi belanja, saya ngerasa absurd,” katanya, “saya tadi beli roti dua, susu, sama rokok sebungkus. Uangnya duapuluh ribu…tapi kembaliannya empat belas ribu.”

Absurd. Bila kawanku memaknai kejadian itu dengan satu kata, yakni absurd. Tentu saja. Malah bagiku mendekati sesuatu yang lucu dan satir. Bagaimana tidak, petugas minimarket itu menggunakan mesin detektor harga yang sudah umum di minimarket manapun. Mesin detektor harga itu diciptakan untuk menentukan harga melalui pemindaian label barcode yang ada disetiap bungkus produk. Tujuannya tentu, membuat pekerjaan menjadi lebih efisien. Diharapkan sang petugas minimarket dapat bekerja lebih cepat menentukan harga, tanpa harus repot-repot mengutak-ngatik kalkulator dengan jarinya yang bergerak lambat itu. Dengan detektor harga, kamu hanya tinggal menempelkan detektor ke barcode yang ada di sebuah produk, dan tidak lama kemudian, di mesin kas akan muncul harga produk tersebut. Tidak perlu bersusah-payah. Tetapi, hey, karena detektor harga itu juga setidaknya kawanku itu mendapatkan untung sebesar empat belas ribu rupiah.

Tentu saja kami berdua menertawakan kejadian konyol itu. Pikiran saya sendiri langsung menuju ke film Gattaca yang tulis diatas. Dalam kasus demikian, entah siapa yang error. Apakah mesin detektor itu yang sudah aus kehabisan baterai? Ataukah memang petugasnya yang tolol? Tetapi, lucu juga. Masalahnya, mesin detektor itu selalu dipegang oleh petugas minimarket bila memindai suatu produk. Setidaknya, sang petugas dapat mengetahui kejadian yang aneh dengan mesin detektornya, ketika dia melihat label harga yang tertera di mesin kas adalah Rp 6.000, sedangkan kawanku ini membawa setumpuk produk belanjaannya yang tidak mungkin semuanya itu hanya seharga Rp 6.000. 

Nnaaahhh…mungkin mesin detektornya memang sudah karatan, dan disisi lain, petugasnya memang sedang error juga. Soalnya kawanku itu juga berkata, ketika dirinya akan membayar produk belanjaannya, dia melihat dan mendengar petugas minimarket itu menggerutu sendiri.

“Dia terlihat kerepotan…’duh, ripuh kieu’, katanya”, cerita temanku itu kemudian.


Jangan Hancurkan Mesinnya, tapi….

Teknologi seperti mesin memang diyakini akan membawa kemudahan bagi kehidupan manusia. Sejarah munculnya mesin itu sendiri tergolong sudah cukup lama. Dari abad delapan belas kalau tidak salah. Dan itu bisa dilacak pertama kali, ketika peristiwa revolusi industri yang dipicu oleh penemuan mesin uap. Sejarah mesin itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari munculnya pabrik-pabrik. Karena pabriklah alasan dan tempat mesin itu eksis pada awal mulanya.

Dengan kata lain, inovasi seperti mesin itu pada awal mulanya ditujukan untuk memproduksi sebanyak mungkin barang di pabrik. Mengapa memproduksi banyak sekali barang? Jawabannya adalah persaingan. Di Inggris, sepertinya pabrik tidak hanya satu, dan dari tiap pabrik juga sepertinya produk yang dibuat tidak selamanya heterogen. Dari tiap pabrik tentunya ada juga yang memproduksi produk yang jenisnya sama. Dan antara pabrik yang satu dengan yang lainnya, sudah barang tentu persaingan itu ada.

Dengan ketatnya persaingan, tentu pemilik pabrik tidak ingin rugi. Maka, mesin adalah jawabannya. Dengan mesin yang terus menerus disempurnakan, tentu diharapkan produktifitas meningkat, dan seiring dengan produktifitas yang meningkat, harga dari produk yang dihasilkan tersebut dapat dibuat murah. Seperti yang menjadi jargon para pedagang: “harga bisa bersaing”. Semakin murah harga, tentu semakin diminati pembeli.

Meningkatnya produktifitas, karena investasi pemodal di mesin tersebut, turut serta membawa perubahan pola produksi di tataran para pekerja pabrik. Setidaknya begitu yang saya baca dari laporan yang dibuat oleh Mr. Ferrand pada tahun 1863 mengenai keadaan didalam pabrik di Inggris. Di laporan itu dia menulis:

“Delegasi pekerja dari 16 distrik Lancashire dan Clashire, yang atas mandatnya saya berbicara, memberitakan kepada saya, bahwa pekerjaan di pabrik-pabrik, karena penyempurnaan-penyempurnaan mesin, selalu meningkat. Jika dulu seorang pekerja dengan dua pembantu/pemagang melayani dua mesin tenun, sekarang seorang pekerja tanpa pembantu melayani tiga mesin, dan sama sekali bukan hal yang tidak biasa bagi seseorang untuk melayani empat buah mesin. 12 jam kerja, sebagaimana yang terbukti dari kenyataan-kenyataan yang dikemukakan, kini dipadatkan menjadi kurang 10 jam. Oleh karenanya jelaslah, hingga seberapa jauh kerja pekerja pabrik telah meningkat selama 10 tahun terakhir".

Patut dipertanyakan apakah kehadiran mesin memang memudahkan kehidupan manusia? Penemuan mesin yang diyakini akan membawa keringanan bagi hidup manusia, pada kenyataannya malah membuat manusia semakin sibuk. Contohnya, seperti keadaan pekerja pabrik di Inggris itu…penemuan teknologi mesin tenun bukannya membuat pekerjaan semakin mudah, tetapi pekerja malah semakin repot, karena harus menangani tiga hingga empat mesin sekaligus.

Di tataran psikologis, seorang manusia malah seakan-akan terasing dari kehidupan disekelilingnya. Pola hubungan produksi antara manusia dengan mesin, dimana dalam hal ini manusia yang harus mengikuti ritme mesin itu, malah membuat mereka seperti kehilangan kesadaran dengan dunia diluar dirinya. Seperti contoh kasus Gattaca, atau petugas minimarket yang kerepotan di daerah Sukawening, Jatinangor itu.

Dalam hal ini, apakah yang harus dipermasalahkan adalah kehadiran mesin-mesin itu? tetapi, toh, secara substansi mesin hanyalah sebuah alat. Sebuah alat pada dasarnya akan bergerak kearah manapun, selama yang mengendalikannya bergerak ke arah yang dikehendakinya. Lalu, permasalahan sesungguhnya ada dimana? Apakah dunia ini memang bermasalah? Atau sepertinya memang saya saja yang bermasalah, karena terlalu banyak melamun….

Teringat Gattaca Ketika di Jatinangor

Pernah nonton film Gattaca? Film yang diperankan oleh Ethan Hawke, Jude Law, dan Uma Thurman ini adalah semacam drama sains-fiksi yang mengambil setting di suatu masa entah kapan, dimana kehidupan manusia, sukses atau tidaknya mereka, ditentukan oleh bawaan genetisnya ketimbang prestasi atau kecerdasannya.

Di film Gattaca, dunia di setting untuk menjadi sebuah tempat yang dihidupi oleh manusia-manusia sempurna secara genetis. Manusia yang sempurna secara genetis ini dikategorikan sebagai manusia “valid”. Ketika seorang Ibu akan melahirkan, terlebih dahulu dapat diketahui komposisi genetis si cabang bayi. Apakah nantinya dia termasuk “valid” atau “in-valid” (manusia yang dikategorikan cacat secara genetik).   Bila ternyata calon bayinya mengandung gen yang dikategorikan “in-valid” oleh sistem, maka melalui teknologi bayi tabung, setiap orang tua dapat mensetting keturunannya kelak menjadi “valid” dengan melakukan rekayasa genetik.

Dampak secara sosialnya dengan masyarakat seperti itu adalah terbaginya komposisi masyarakat menjadi dua kelas, yakni kelas yang dimanakan “valid” dan “in-valid”. Di dunia seperti itu, bagi individu yang dikategorikan “valid”, sudah dipastikan mereka dapat melakukan apapun yang mereka inginkan. Jenjang karir yang menjanjikan, masa depan yang cerah, dan kehidupan yang terjamin. Berbeda dengan mereka yang dikategorikan “in-valid”. Untuk hal kecil seperti jenjang karir saja sudah dipastikan tidak akan bisa mencapai level yang tinggi.

Lalu, dampak lainnya, kehidupan bermasyarakat pun menjadi terpaku pada semacam alat detektor genetik yang dapat mengetahui “valid” atau tidaknya seseorang. Alat detektor itu ada disemua tempat, khususnya diperkantoran. Bila ada seseorang yang ingin melamar pekerjaan misalnya, maka mata orang itu akan dipindai oleh detektor gen. Setelah itu akan muncul foto, status “valid” atau tidak, beserta riwayat orang tersebut di layar detektor. Tetapi kebanyakan, foto dan riwayat orang yang dipindai itu tidak akan dilihat. Karena yang paling penting bagi sistem seperti itu adalah apakah kamu tergolong individu yang “valid” atau “in-valid”.  

Dan hal yang terparah dari teknologi detektor genetik ini ialah, orang-orang menjadi tidak perduli dengan wajahmu seperti apa. Seorang manusia yang cerdik, seperti Vincent Freeman (Ethan Hawke) misalnya, dapat melenggang bebas di Gattaca Inc, sebuah korporasi ulang-alik seperti NASA, dimana tempat ini adalah satu-satunya akses bagi Vincent untuk bisa merealisasikan impiannya selama ini, yakni pergi keluar angkasa.

Vincent adalah individu yang dikategorikan “in-valid”. Semenjak dalam kandungan, dia sudah divonis mengalami beberapa “kecacatan”, seperti masalah dalam hal emosi, penglihatan yang buruk, dan paling parah adalah, bahwa harapan hidup Vincent diprediksi tidak akan lebih dari 30 tahun. Saat sang Ibu ditanya apakah akan melakukan semacam “perbaikan genetis” melalui teknologi bayi tabung. Dihadapkan dengan tawaran seperti itu, dengan segera sang Ibu menolaknya. Dia menginginkan seorang keturunan dengan cara yang alamiah. Begitulah akhirnya Vincent bisa hadir di dunia yang sudah kehilangan sentuhan personalnya itu: melalui kelahiran alamiah dengan serta merta membawa kekurangannya.

Dalam film ini setidaknya tersirat, ada sesuatu yang jauh melebihi keterbatasan manusia yang divoniskan kepadanya, yakni impian dan imajinasi. Setidaknya kehidupan manusia sejauh ini, terlepas dari kehidupan baik dan buruknya, digerakkan oleh impian dan imajinasi. Impian dan imajinasi Vincent tentang luar angkasa pada akhirnya mempertemukan dirinya dengan Jerome Morrow (Jude Law). Seorang atlit berperawakan gagah yang “valid”, namun mengalami kelumpuhan di kedua kakinya karena suatu kecelakaan. Jerome ini memang sengaja menjual gennya untuk digunakan oleh mereka yang “in-valid”. Motif Jerome menjual gen nya itu tentu saja untuk alasan uang.

Dunia Gattaca memang aneh, kategorisasi “valid” dan “in-valid” dalam masyarakat ternyata menjadi pemicu munculnya penyimpangan-penyimpangan seperti jual-beli gen seperti yang terjadi antara Vincent dan Jerome. Jual-beli gen itu terjadi semata-mata bertujuan hanya untuk mengelabui detektor genetis saja.

Ketika Vincent membeli gen Jerome, otomatis identitas Vincent pun ikut berubah. Dia bukan lagi seorang “in-valid” yang memiliki harapan hidup tidak lebih dari 30 tahun, dan hanya bisa bekerja sebagai cleaning service Gattaca Inc. Sekarang dia adalah seseorang yang “valid”. Seseorang yang bernama Jerome Morrow. Atlit yang reputasinya sangat baik, dan dihormati. Setidaknya dihadapan detektor genetis. Dan hal seperti itu dampaknya besar bagi Vincent. Dia dapat memasuki Gattaca dan mengikuti pelatihan bagi astronot yang akan diluncurkan ke luar angkasa. Sebuah tujuan yang lama telah diimpikannya.

Dengan bergantinya identitas Vincent menjadi Jerome, Vincent selalu lolos melewati dektektor genetis. Padahal, yang muncul di layar detektor adalah wajah Jerome. Segala riwayat hidupnya pun adalah riwayat dari Jerome. Bukan dirinya. Dan yang lebih parahnya lagi, petugas yang memegang detektor genetis itu selalu tidak menyadari adanya perbedaan antara wajah yang ada dilayar dengan wajah Vincent. Petugas itu hanya terpaku ke layar detektor genetis. Di dunia Gattaca, kehidupan seakan-akan menjadi kehilangan sentuhan antar-pribadi. Seperti tidak ada emosi. Semuanya terjadi semata-mata, karena kehidupan masyarakat ditentukan oleh kategori ilusif seperti “valid” dan “in-valid” yang tertera di layar detektor genetis itu.


Sepotong Adegan Gattaca di Jatinangor

"It is questionable if all the mechanical inventions yet made have lightened the
day's toil of any human being."
-John Stuart Mill –

Suatu malam saya dengan seorang kawan terdampar di Jatinangor. Tepatnya di sebuah minimarket di daerah Sukawening. Saat itu kami membeli beberapa barang dan makanan. Setelah keluar dari minimarket, kawanku ini untuk sesaat nampak tercenung sambil memegang barang belanjaannya.

“Tadi belanja, saya ngerasa absurd,” katanya, “saya tadi beli roti dua, susu, sama rokok sebungkus. Uangnya duapuluh ribu…tapi kembaliannya empat belas ribu.”

Absurd. Bila kawanku memaknai kejadian itu dengan satu kata, yakni absurd. Tentu saja. Malah bagiku mendekati sesuatu yang lucu dan satir. Bagaimana tidak, petugas minimarket itu menggunakan mesin detektor harga yang sudah umum di minimarket manapun. Mesin detektor harga itu diciptakan untuk menentukan harga melalui pemindaian label barcode yang ada disetiap bungkus produk. Tujuannya tentu, membuat pekerjaan menjadi lebih efisien. Diharapkan sang petugas minimarket dapat bekerja lebih cepat menentukan harga, tanpa harus repot-repot mengutak-ngatik kalkulator dengan jarinya yang bergerak lambat itu. Dengan detektor harga, kamu hanya tinggal menempelkan detektor ke barcode yang ada di sebuah produk, dan tidak lama kemudian, di mesin kas akan muncul harga produk tersebut. Tidak perlu bersusah-payah. Tetapi, hey, karena detektor harga itu juga setidaknya kawanku itu mendapatkan untung sebesar empat belas ribu rupiah.

Tentu saja kami berdua menertawakan kejadian konyol itu. Pikiran saya sendiri langsung menuju ke film Gattaca yang tulis diatas. Dalam kasus demikian, entah siapa yang error. Apakah mesin detektor itu yang sudah aus kehabisan baterai? Ataukah memang petugasnya yang tolol? Tetapi, lucu juga. Masalahnya, mesin detektor itu selalu dipegang oleh petugas minimarket bila memindai suatu produk. Setidaknya, sang petugas dapat mengetahui kejadian yang aneh dengan mesin detektornya, ketika dia melihat label harga yang tertera di mesin kas adalah Rp 4.000, sedangkan kawanku ini membawa setumpuk produk belanjaannya yang tidak mungkin semuanya itu hanya seharga Rp 4.000.

Nnaaahhh…mungkin mesin detektornya memang sudah karatan, dan disisi lain, petugasnya memang sedang error juga. Soalnya kawanku itu juga berkata, ketika dirinya akan membayar produk belanjaannya, dia melihat dan mendengar petugas minimarket itu menggerutu sendiri.

“Dia terlihat kerepotan…’duh, ripuh kieu’, katanya”, cerita temanku itu kemudian.


Jangan Hancurkan Mesinnya, tapi….

Teknologi seperti mesin memang diyakini akan membawa kemudahan bagi kehidupan manusia. Sejarah munculnya mesin itu sendiri tergolong sudah cukup lama. Dari abad delapan belas kalau tidak salah. Dan itu bisa dilacak pertama kali, ketika peristiwa revolusi industri yang dipicu oleh penemuan mesin uap. Sejarah mesin itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari munculnya pabrik-pabrik. Karena pabriklah alasan dan tempat mesin itu eksis pada awal mulanya.

Dengan kata lain, inovasi seperti mesin itu pada awal mulanya ditujukan untuk memproduksi sebanyak mungkin barang di pabrik. Mengapa memproduksi banyak sekali barang? Jawabannya adalah persaingan. Di Inggris, sepertinya pabrik tidak hanya satu, dan dari tiap pabrik juga sepertinya produk yang dibuat tidak selamanya heterogen. Dari tiap pabrik tentunya ada juga yang memproduksi produk yang jenisnya sama. Dan antara pabrik yang satu dengan yang lainnya, sudah barang tentu persaingan itu ada.

Dengan ketatnya persaingan, tentu pemilik pabrik tidak ingin rugi. Maka, mesin adalah jawabannya. Dengan mesin yang terus menerus disempurnakan, tentu diharapkan produktifitas meningkat, dan seiring dengan produktifitas yang meningkat, harga dari produk yang dihasilkan tersebut dapat dibuat murah. Seperti yang menjadi jargon para pedagang: “harga bisa bersaing”. Semakin murah harga, tentu semakin diminati pembeli.

Meningkatnya produktifitas, karena investasi pemodal di mesin tersebut, turut serta membawa perubahan pola produksi di tataran para pekerja pabrik. Setidaknya begitu yang saya baca dari laporan yang dibuat oleh Mr. Ferrand pada tahun 1863 mengenai keadaan didalam pabrik di Inggris. Di laporan itu dia menulis:

“Delegasi pekerja dari 16 distrik Lancashire dan Clashire, yang atas mandatnya saya berbicara, memberitakan kepada saya, bahwa pekerjaan di pabrik-pabrik, karena penyempurnaan-penyempurnaan mesin, selalu meningkat. Jika dulu seorang pekerja dengan dua pembantu/pemagang melayani dua mesin tenun, sekarang seorang pekerja tanpa pembantu melayani tiga mesin, dan sama sekali bukan hal yang tidak biasa bagi seseorang untuk melayani empat buah mesin. 12 jam kerja, sebagaimana yang terbukti dari kenyataan-kenyataan yang dikemukakan, kini dipadatkan menjadi kurang 10 jam. Oleh karenanya jelaslah, hingga seberapa jauh kerja pekerja pabrik telah meningkat selama 10 tahun terakhir".

Quote John Stuart Mill diatas buat saya menarik. Patut dipertanyakan apakah kehadiran mesin memang memudahkan kehidupan manusia? Penemuan mesin yang diyakini akan membawa keringanan bagi hidup manusia, pada kenyataannya malah membuat manusia semakin sibuk. Contohnya, seperti keadaan pekerja pabrik di Inggris itu…penemuan teknologi mesin tenun bukannya membuat pekerjaan semakin mudah, tetapi pekerja malah semakin repot, karena harus menangani tiga hingga empat mesin sekaligus.

Di tataran psikologis, seorang manusia malah seakan-akan terasing dari kehidupan disekelilingnya. Pola hubungan produksi antara manusia dengan mesin, dimana dalam hal ini manusia yang harus mengikuti ritme mesin itu, malah membuat mereka seperti kehilangan kesadaran dengan dunia diluar dirinya. Seperti contoh kasus Gattaca, atau petugas minimarket yang kerepotan di daerah Sukawening, Jatinangor itu.

Dalam hal ini, apakah yang harus dipermasalahkan adalah kehadiran mesin-mesin itu? tetapi, toh, secara substansi mesin hanyalah sebuah alat. Sebuah alat pada dasarnya akan bergerak kearah manapun, selama yang mengendalikannya bergerak ke arah yang dikehendakinya. Lalu, permasalahan sesungguhnya ada dimana? Apakah dunia ini memang bermasalah? Atau sepertinya memang saya saja yang bermasalah, karena terlalu banyak melamun….
 



 

Minggu, 01 November 2009

Adidas Superstar dan Negeri Katak

Suatu waktu, dia adalah seorang wirausahawan. Sebut saja begitu. Melihat kelakuannya yang selalu menjual barang hasil carding di internet. Berbagai macam barang dia jual, mulai dari cd, sweater, kaos, hingga sepatu. Apapun. Biasanya barang itu suka ditawar-tawarkan ke orang-orang disekolah. Suatu waktu juga, saya menginginkan sepatu Adidas Superstar. Sebuah model sepatu yang pada jamannya pernah digandrungi. Banyak sekali dipakai. Orang-orang terkenal macam Fred Durst (masih ingat siapa dia?) saja memakai sepatu Adidas seperti itu. Melihat orang terkenal memakai sepatu seperti itu, dan ditambah trend, saya pun terpengaruh…entahlah, mungkin memang terpengaruh. Kejadiannya sudah lama… dan sebenarnya saya sedang  ingin menulis ngalor-ngidul…kalau sejauh ini ada yang masih membaca tulisan ini, berarti kamu menyia-nyiakan waktumu saja….

Well, balik lagi. Temanku ini ternyata menjual sepatu Adidas Superstar. Langsung saja saya beli. Tentu saja saya senang, sepatu yang diidam-idamkan selama ini ternyata bisa kubeli dengan harga miring. Karena sepatu itu telah lama diidam-idamkan, saya menjadi tidak sabaran untuk segera memakainya. Maka, tepat setelah pulang sekolah, saya pakai sepatu itu. Sepatu yang lama saya masukkan ke tas. Adidas Superstar itu masih bersih tentunya. Kinclong. Berkilau ala sepatu baru yang keluar dari toko (walaupun sebenarnya kiriman kurir, dan hasil carding pula).

Tentu saja teman-teman banyak yang mengomentari sepatu itu. Biasalah, komentar-komentar nada ngejek-bercanda seperti itu. Tapi saya tidak perduli ocehan mereka, karena saya cukup senang memakai sepatu baru itu. Singkat cerita, sehabis pulang sekolah ada dua orang teman yang mengajak untuk main ke rumah…ehm, sebut saja si Dun. Rumah si Dun ini sebenarnya aneh. Letaknya di daerah Dago. Dago Utara tepatnya. Daerah Cigadung. Angkot masih ada di daerah Cigadung…tetapi untuk kerumah si Dun ini ternyata angkot tidak ada. Biasanya bila kerumah si Dun kami selalu jalan kaki dari daerah Cigadung. Kalau jalan kaki, cukup jauh juga jaraknya. Tidak heran bila rumah si Dun ini selalu dijuluki dengan “negeri katak” oleh teman-teman. Letaknya dekat ke kota, tetapi seakan-akan terasing dari mana-mana…angkot tidak ada, perumahan sedikit, tanah lapang banyak. Begitulah. Walaupun terasing, tetapi bila jalan kaki tidak sendirian, tentu saja ramai. Apalagi bila sambil bakar weed, dan kamu bisa melihat suasana bukit dan tanah hijau yang cukup lapang.

Kami berjalan kaki bertiga waktu itu kerumah si Dun…kalau tidak salah dengan si Toples, Satpam, dan saya. Singkat cerita, setelah ngalor-ngidul cukup lama di rumah Dun, sore harinya kami pulang. Maklum, sehabis magrib angkot di Cigadung sudah tidak ada (negeri katak yang terasing!). Jadi sore-sore kami jalan kaki dari rumah Dun ke arah Cigadung untuk mencari angkot. Jaraknya cukup jauh, tetapi suasana sore di daerah rumah si Dun cukup menyenangkan.

Kami melewati jalan yang serupa cekungan yang cukup dalam: mudun curam, naiknya pun curam. Angin sepoi-sepoi, matahari sudah hampir terbenam, dan hawa dingin khas dago utara terasa cukup nyaman. Kami bertiga ngobrol, dan merokok sambil jalan kaki. Waktu itu, kami melalui semacam jalan pintas. Berbeda dengan jalur yang kami lewati saat pertama kali datang ke rumah Dun.

Tiba-tiba kami sampai disuatu tanah merah yang lapang. Mungkin karena sebelumnya turun hujan, tanah merah itu becek dan, kalau kata orang sunda, “legok”. Mau tidak mau, kami harus melewati tanah merah itu. Kalau kembali berputar ke arah jalan biasa, sudah kejauhan pikir kami. Lagipula, toh, cuman tanah merah yang basah. Bukan masalah. Tetapi yang menjadi masalah adalah, ketika saya melewati tanah merah itu. Sepatu Adidas Superstar baru saya jadi korban. Lumpur yang lekat menempel di alas sepatu. Begitu tebal. Belum lagi cipratan-cipratan lumpur yang menempel di permukaan sepatu. Sangat mengesalkan. Membuat sepatu Adidas itu terlihat sangat kotor. Kondisinya benar-benar kontras, ketika ku pakai pertama kali di sekolah. Jadi sangat kumel. Toples dan Satpam tentu saja puas melihat kekesalan saya.

Sepanjang perjalanan tidak henti-hentinya mereka mentertawakan dan mengejek saya. Sore itu benar-benar menjadi hari yang menyenangkan bagi mereka berdua, tetapi tidak bagiku. Parahnya lagi, keesokan harinya tertawaan dan ejekan mereka itu tidak berhenti. Disekolah malah mereka menggembar-gemborkan cerita tanah merah itu. Tentu saja banyak teman-teman yang antusias mentertawakan dan mengejek. Tentu saja saya hanya senyam-senyum masam. Tahu bakal seperti itu ceritanya, setelah mendapatkan Adidas itu tentunya tidak akan langsung dipakai dulu. Setidaknya sedikit bersabar.


***
Hingga saat ini, angkot tidak pernah melalui daerah rumah si Dun. Suasananya juga masih seperti dulu. Tidak terlalu banyak perumahan. Masih tergolong asri dan sepi. Jalan yang curam itu masih tetap seperti sedia kala: cukup membahayakan bila ada kendaraan yang tenaganya loyo, dan cukup melelahkan bila ada orang yang menapakinya seperti kami dulu.

Rumah Dun juga masih seperti dulu, cukup sederhana bila dibandingkan rumah-rumah disekelilingnya yang desainnya cukup mewah. Rumah dia tergolong paling kecil. Ayah dan Ibunya ternyata masih mengenal saya. Mereka orang tua yang ramah. Keduanya berprofesi sebagai dosen. Entah, mungkin karena profesi mereka sebagai dosen, jadi rumah yang terlihat kecil dari luar itu, didalamnya dipenuhi oleh buku yang tersusun di sebuah lemari atau berserakan di sana-sini. Dari dulu seperti itu.

Kamar Dun juga masih disitu, dan begitu. Masih ada gitar, ampli, dan cd-cd bekas yang terserak di meja…artefak remaja rocker yang saat ini berprofesi sebagai EO. Dun tidak merokok, tetapi kamarnya selalu dipenuhi asap rokok bila dulu kami bertandang ke kamarnya. Sekarang pun begitu, walaupun hanya saya seorang yang ada dikamarnya, tanpa kehadiran teman-teman yang lain.

Mungkin satu-satunya perbedaan adalah saya tidak perlu memikirkan angkot bila pulang larut malam dari Dun, karena saya mengendarai motor. Tidak jalan kaki seperti dulu. Tidak melewati tanah merah sialan itu.


***
Menyenangkan bertemu teman lama. Kamu bisa ingat lagi dirimu yang dulu. Memikirkan seperti apa dirimu dahulu, dan bagaimana ceritanya dirimu bisa menjadi seperti sekarang ini. Katakan itu nostalgia. Terbayang lagi siapa kamu “saat itu”. Mengingat sudah banyak yang berubah dari diri ini, dan melihat temanmu yang “saat itu” juga sudah berubah, tentunya ada serpihan-serpihan dari “saat itu” yang membuatmu sadar tentang perubahan-perubahan yang telah terjadi selama ini. Katakan ini semacam “back to roots”. Amunisi yang menjaga agar identitas tak terombang-ambing kesana kemari. 

Dan aku tidak sabar ingin bertemu dengan orang-orang baru. Teman-teman baru yang akan memberiku perspektif yang lain lagi.