Minggu, 26 Juli 2009

Extrovert on Effect

Band rock/electro ala The Rapture yang saya dokumentasikan melalui tulisan. Enjoy.

Pelepasan Ekstrovert on Effect

Bagi beberapa orang, musik adalah wadah untuk menyalurkan segala emosi yang tidak tercurahkan dalam kehidupan sehari-hari. Makanya, seringkali kita mendengarkan musik dengan beragam warna “emosi”. Ada lagu yang terdengar sendu, senang, bahkan tidak jarang yang penuh dengan kemarahan. Dalam hal ini, musik menjadi “katarsis” bagi sang komposer. Sebuah curahan rasa dan pikiran dalam wujud komposisi lagu.

Terkait musik sebagai sarana pelepasan emosi, mungkin kita bisa melihat ke band elektro-disko-rock yang berasal dari Bandung, yakni Extrovert on Effect. Sebuah band yang didalamnya hanya terdiri dari dua personil, yakni Widdi Rangga Nugraha Rachmansyah Setiawan (groove box) dan Andika Krisnan alias Decay (synth). Dalam keseharian, duo ini bagai buah pinang dibelah dua. Keduanya memiliki karakter pendiam, bahkan cenderung pemalu. Tetapi, bila sudah ada di atas panggung untuk mementaskan musik, mereka tidak segan-segan untuk berlarian ke sana kemari, bahkan hingga berjingkrak-jingkrak liar.

“Mungkin itu adalah salah satu alasan, kenapa saya masih tetap bertahan di band ini. Saya memang senang sekali berada di panggung, memainkan musik kami dengan leluasa. Semuanya seperti terlepaskan, ketika berada di panggung,” ujar Widdi saat ditemui Bandung Ekspres, Jumat (17/7).

Selain itu, ada alasan yang cukup unik juga mengapa Widdi dan Decay menyematkan kata “Ekstrovert on Effect” sebagai nama band. Nama itu dipilih semata-mata, karena pada dasarnya mereka memiliki keinginan untuk menjadi pribadi yang ekstrovert, sebuah pribadi yang, menurut Jung (dalam Lefrancus, 1979: 421), ditandai dengan pribadi yang mudah bergaul, terbuka, dan mudah mengadakan hubungan dengan orang lain alias “supel”.

Karakter keseharian personil Ekstrovert on Effect ini pada dasarnya memang kebalikan dari ekstrovert, yakni introvert. Baik Widdi maupun Decay, keduanya mengaku adalah pribadi dengan karakter yang cenderung pemalu dan bisa dikatakan tidak supel bila berhubungan dengan orang lain. Bahkan, Widdi menambahkan, kepribadian yang tidak supel itu terkadang membawa dampak tidak baik juga terhadap kelangsungan band.

“Terkadang, untuk masalah relasi jadi terhambat. Padahal, dengan banyaknya relasi, setidaknya band bisa menjadi berkembang. Yah, setidaknya frekuensi mentas bisa meningkat,” kata Widdi.

Tentunya setiap orang mempunyai alasan tersendiri, ketika melakukan sesuatu. Seperti duo Widdi dan Decay ini, misalnya. Menjadi ekstrovert, dalam artian mudah bergaul, ternyata menjadi satu alasan mengapa mereka bergabung dan mengaransemen lagu dalam sebuah band bernama Ekstrovert on Effect. Nah, sekarang pertanyaannya, mengapa harus memakai kata “on Effect” di belakang Ekstrovert? “Kami ingin menjadi ekstrovert melalui suara-suara yang keluar dari efek yang kami mainkan,” jelas Widdi sambil tertawa.


Dulunya Jarang Menyapa, Sekarang Bekerja Sama

Sebenarnya duo yang tergabung dalam sebuah band bergenre rock/elektronik bernama Extrovert on Effect, yaitu Widdi Rangga Nugraha Rachmansyah Setiawan (groove box) dan Andika Krisnan alias Decay (synth), ini berasal dari satu sekolah yang sama. Tetapi, percaya atau tidak, selama tiga tahun menghabiskan waktu di tempat yang sama, kedua orang tersebut tidak saling mengenal. “Bahkan, waktu masih sekolah juga kami tidak pernah berbincang-bincang,” kata Widdi sambil diikuti oleh senyum kecil Decay saat ditemui oleh Bandung Ekspres, Jumat (16/7).

Widdi dan Decay menjadi dekat justru pada saat keduanya telah memasuki bangku kuliah. Saat itu, Widdi masih tergabung dalam band bernama Billygigs the Archionist. Sebuah band yang bergenre rock ‘n roll dan terpengaruh oleh sound yang ditawarkan oleh The International Noise Conspiracy (sebuah band rock dari Swedia, dimana salah satu personilnya, yaitu Dennis, merupakan mantan vokalis band hardcore/punk yang berpengaruh pada masanya, yakni Refused).

“Waktu itu saya masih bernyanyi untuk Billygigs the Archionist. Sedangkan Decay datang belakangan sebagai manajer. Sewaktu Decay datang sebagai manajerlah, lama kelamaan saya menjadi semakin akrab,” kata Widdi.

Disebabkan beberapa personil Billygigs the Archionist membuat band baru, sehingga membawa arah yang tidak pasti bagi kelangsungan band, maka pada tahun 2006, Widdi dan Decay memutuskan untuk membentuk Ekstrovert on Effect seperti yang sekarang ini. Band yang dibentuk oleh Widdi dan Decay ini sebagian besar terpengaruh oleh band-band seperti The Rapture dan The Cure. “Untuk The Rapture, saya sendiri terpengaruh oleh sound elektronik dan beatnya yang berbau-bau disko,” tambah Widdi.

Selama tergabung dalam Esktrovert on Effect, Widdi dan Decay juga pada akhirnya menemukan kenyamanan yang sama dalam hal bermusik, walaupun kenyamanan dalam bermusik itu bagi mereka bukanlah berarti pengaruh musik tiap personil yang juga harus serupa. “Justru, seringkali saya dan Decay, berbeda dalam hal pengaruh musik. Katakanlah, saya yang lebih menyenangi musik yang kerasnya, sedangkan Decay menyenangi musik yang cukup nge-pop, seperti Imogen Heap,” jelas Widdi.

Decay, yang selama wawancara lebih sering diam, akhirnya bicara mengenai hal ini. Bagi Decay, pertemanan dan kerja sama dengan Widdi selama ini memberikan kesempatan bagi dirinya untuk mengeksplorasi musik.

“Selama ini saya berpikir, kalau saya tuh sebenarnya sudah cukup tua. Suka malu juga, kalau mengingat kelakuan selama ini hanya diisi dengan bermusik dan bermusik yang bisa dibilang tidak jelas. Tetapi, ketika ada Widdi dan menemukan, bahwa dia ternyata memiliki frame yang sama tentang musik. Malah memacu saya untuk terus mengeksplorasi musik,” jelas Decay. 

Kenyamanan bagi Widdi dan Decay pada gilirannya dapat merangsang kreatifitas mereka dalam hal eksplorasi warna musik. Walaupun dalam kenyamanan tersebut, tidak selalu berarti mereka harus menjadi sama antara satu sama lainnya. “Penyaluran musik antara saya dan Widdi itu berbeda, tetapi pada akhirnya kami saling mengisi,” kata Decay. 


Eksplorasi ala Ekstrovert on Effect

Selama tiga tahun bekerja sama dalam Ekstrovert on Effect, duo ini juga tercatat sudah dua kali melakukan eksperimentasi musikal dibawah nama band yang berbeda, walaupun personilnya tetap mereka-mereka juga. Contohnya, seperti The Krash Overide. Bisa dibilang, The Krash Overide adalah alter-ego Ekstrovert on Effect dalam hal musik yang keras.

“Pada umumnya, lagu-lagu Ekstrovert on Effect masih dibilang dalam teritori pop. Tetapi, terkadang kami juga ingin memainkan musik yang keras. Nah, bila keinginan itu datang, maka terkadang kami memakai nama The Krash Overide dalam pentas. Lagu-lagunya itu sendiri lebih banyak terpengaruh oleh Digital Hardcore, semacam Atari Teenage Riot,” kata Widdi.

Selain itu, ada lagi eksperimentasi cukup unik yang dilakukan oleh Widdi dan Decay, yakni The Karembang Kayas Krew (TKKK). TKKK ini adalah sebuah eksperimen musik yang berusaha memadukan unsur musik sunda dan elektronik. Caranya, mereka mengaransemen ulang lagu-lagu sunda, seperti lagu Badminton karya Mang Koko dan Bajing Luncat karya Kostamandjaja. “Sebenarnya waktu itu ada acara kampus yang temanya budaya sunda gitu. Dari situ terbesit ide untuk memadukan unsur musik sunda dan elektronik. Maka jadilah TKKK,” jelas Decay.

Namun demikian, Widdi dan Decay lebih memilih untuk fokus dalam menggarap lagu dibawah bendera Ekstrovert on Effect dibandingkan band yang telah disebutkan di atas. Sebabnya, kedua proyek musikal tersebut buat mereka hanyalah sebagai selingan saja. 
Duo tersebut saat ini sedang fokus untuk membuat mini album yang rencananya diisi tiga buah lagu. Bila mini album itu terealisasi, rencananya mereka akan membagikannya secara gratis. Hal itu dilakukan untuk langkah awal memperkenalkan band ini ke publik yang lebih luas. “Saat ini juga ‘kan ada situs jaringan sosial, seperti facebook yang sangat popular. Bila ketiga lagu itu selesai digarap, mungkin akan kami sebarkan juga di facebook,” kata Widdi.

Walaupun memiliki label rekaman untuk memproduksi karya-karya Ekstrovert on Effect, tetapi duo ini juga memiliki impian untuk bisa melakukan kontrak dengan label rekaman luar negeri. Hingga saat ini, mereka masih mencari celah agar impian tersebut dapat direalisasikan. Menurut Widdi, salah satu alasan mengapa mereka mengimpikan label luar negeri, adalah karena dia merasa pesimis dengan suasana musik di tanah air. Menurutnya, mayoritas selera pendengar musik di Indonesia, masih homogen. Belum banyak yang bisa mengapresiasi genre musik diluar genre yang dipopularkan oleh media massa. 

“Selain itu, kayanya bangga aja kalau misalnya karya kita diedarin di luar negeri. Mereka bisa mengetahui ada band namanya Ekstrovert on Effect yang berasal dari Indonesia,” kata Widdy.
 

10 komentar:

baihaqi basya mengatakan...

teruskan bo...

hanifa paramitha siswanti mengatakan...

Ekstrovert on effect.
Seru nih kayanya.
Ngulik ah,

astri arsita mengatakan...

udah puny albumkah mereka? n kamu punya enggak albumnya bo? let me taste it, (nginjeum waeh gawe teh) hehhe... oyah anyway, segmentasi bandung express teh kumaha bo? hoyong terang...

abo si eta tea mengatakan...

baru ada 3 lagu, cil. belum ada album. baru demo2 ky gtu.

abo si eta tea mengatakan...

kalo keseluruhan, katanya menengah keatas.
kalo untuk rubrik musik, untuk kalangan label atau musisi. tujuannya mempromosikan si band ybs.

abo si eta tea mengatakan...

kamana arahna ki? heu.

Yas Dong mengatakan...

wow.. mantap kayaknya ini band. bisa minta link lagunya bo?

astri arsita mengatakan...

sip kalau begitu,, you're on the right track.
keep the good work :)
kalaukalau mereka akhirnya mengeluarkan album
let me know yah ;p
thanks..

baihaqi basya mengatakan...

ke jalan yang benar bo, seperti menulis musik mungkin hehe

abo si eta tea mengatakan...

di gua ada si, cuman selagu.