Sabtu, 18 Juli 2009

Ansaphone

Memoria jaman job training, ketika menulis tentang sebuah band post-rock asal Bandung: Ansaphone. Enjoy.

Ansaphone: Post-Rock yang Dinamis

Bila ingin mencari referensi musik yang polanya jauh dari band-band pop karbitan yang sering hadir di layar kaca akhir-akhir ini, Ansaphone bisa jadi layak untuk disimak. Ansaphone adalah band yang lahir dari ikatan pertemanan semasa SMA. Namun demikian, band yang digawangi oleh Errol (drum), Jajat (vokal dan gitar), Riki (gitar), Adhitya (gitar), dan Rian (bass) ini, tidak sekadar berhenti menjadi band sekolah saja. Setidaknya mereka telah hadir selama kurang lebih tujuh tahun, semenjak pertama kali band itu terbentuk pada tahun 2002. Bahkan, pada tahun ini mereka mengeluarkan album EP-nya bertitel “Morning Lights Recover”.

Belum lama ini Bandung Ekspres bertemu dengan empat personel Ansaphone di sebuah studio musik di Jalan Sulanjana, Bandung, untuk membicarakan berbagai hal seputar eksistensi band tersebut. Saat itu, Jajat menceritakan mengenai benang merah yang menjadi konsep musik Ansaphone, yakni post-rock dan shoegaze. Walaupun benang merah Ansaphone berada dalam teritori post-rock dan shoegaze, konsep musik itu tidak menjadi sesuatu yang baku bagi perkembangan musikalitas Ansaphone. Karena, menurut Jajat, setiap kepala yang ada di Ansaphone memiliki pengaruh musik yang berbeda dan memberikan warna tersendiri. “Jadi, pada dasarnya kami lebih bereksplorasi dalam membuat musik,” katanya.

Contohnya adalah pada saat sang drumer, Errol, bergabung di band ini pada tahun 2008. Drumer yang belajar secara otodidak semenjak duduk di bangku SMP ini setidaknya berkontribusi dalam perkembangan Ansaphone. Menurut Jajat, dalam hal karakter, Errol ini lebih dipengaruhi oleh karakter jazz, sehingga berpengaruh terhadap arah musikalitas Ansaphone. “Setelah Errol masuk, lagu-lagu yang ada itu menjadi lebih terkonsep dibandingkan sebelumnya,” kata Jajat.

Errol pun mengiyakan, bahwa dirinya memang dipengaruhi oleh musik jazz. Lalu, Errol menceritakan kesannya saat pertama kali bergabung dengan Ansaphone. Menurutnya, saat pertama kali bergabung, dia merasakan aransemen Ansaphone pada awalnya terlalu monoton. Makanya, Errol mencoba memberikan suatu variasi terhadap aransemen melalui gebukan drumnya. “Sebenarnya, benang merah Ansaphone itu lebih ke post rock dan shoegaze. Tapi, mungkin, untuk saat ini aransemennya masih belum matang. Masih terus bereksplorasi,” kata Errol.

Kurang matangnya konsep itu memberi pengaruh juga pada album EP perdana mereka, yakni Morning Lights Recover. Errol menambahkan, pengerjaan album yang terburu-buru, hanya memakan waktu dua bulan, membuat penggarapan lagu belum maksimal. Pengerjaan yang terburu-buru itu disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah mengejar jadwal tur bertajuk “Supersonic Sound Festival” di empat kota, yakni Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya pada 18 Desember tahun lalu. “Jadi, konsep lagu atau aransemen tuh buat saya pribadi terkesan buru-buru. Karena memang, targetnya waktu itu launching album sekalian pas tur. Tapi, ternyata tidak terkejar, karena banyak faktor,” jelas Errol.
Walaupun untuk hal aransemen lagu masih dirasakan kurang maksimal oleh beberapa personel Ansaphone, namun bagi Jajat, dengan adanya tur empat kota tersebut, memberikan manfaat lain. Yakni, mengenalkan Ansaphone ke pendengar yang lebih luas lagi, hingga menjalin pertemanan baru.

“Tapi, setidaknya, walaupun banyak faktor X yang mengganggu proses rekaman EP kita, tetapi melalui tur ini, saya pribadi mendapatkan faktor lainnya yang lebih baik bagi kelangsungan Ansaphone. Setidaknya, sudah lumayanlah. Maksudnya, ada yang dikorbanin, tapi masih ada hasilnya,” jelasnya.


Mengenai Tur

Tidak hanya band besar dengan perusahaan rekaman besar dibaliknya yang dapat melakukan tur ke berbagai kota. Band yang tergolong underground pun setidaknya dapat melakukan hal serupa dengan memanfaatkan jalinan pertemanan dan teknologi internet. Untuk hal ini, mungkin kita bisa menengok sejenak terhadap band rock Ansaphone yang berasal dari Bandung.

Desember tahun lalu, Ansaphone melakukan tur bertajuk “Supersonic Sound Fest” bersama empat band lokal lainnya, yakni Sarin (Jakarta), Jelly Belly (Bandung), Mellon Yellow (Jakarta), dan Share Springs (Jakarta), di empat kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Tur ini berlangsung selama dua belas hari, dengan tur dimulai pertama kali di Jakarta (18/12/08), Bandung (21/12/08), Surabaya (26/12/08), dan Yogyakarta (28/12/08).

Jajat bercerita, bagaimana dirinya tidak menyangka, bahwa Ansaphone bisa melakukan tur di empat kota besar di pulau Jawa. Hanya saja, dia mengatakan, rencana tur itu berawal dengan sering nongkrong bersama komunitas-komunitas musisi underground yang ada di Bandung. Dari situ, relasi yang berguna untuk membukakan jalan bagi terlaksananya tur terbuka lebar. “Misalnya saja, si A punya kenalan di Jakarta atau Yogya, maka si A itu yang mengurus kesiapan tur di kedua kota tersebut,” jelasnya.

Biasanya dalam tur, setiap personel band mendapatkan sebuah pengalaman yang bisa dibilang berkesan. Errol, salah satu personil Ansaphone yang berperan menabuh drum, setidaknya sambil berkelakar menganggap tur Supersonic Sound Festival itu layaknya mengalami ospek kembali. “Soalnya, yang namanya susah senang itu bener-bener ditanggung bersama,” jelasnya sambil diiringi tawa.

Selama tur, lima band yang berpartisipasi numplek blek dalam satu bus. Jadi, terbayang bagaimana rasanya menempuh perjalanan jauh dengan orang-orang yang sebelumnya jarang menyempatkan waktu bersama. Gitaris Ansaphone, Ricky Herdiyansyah mengatakan, bagaimana dirinya kehabisan uang dalam perjalanan dan terpaksa meminjam uang dari teman-temannya yang ada di Ansaphone. Lalu, Jajat juga mengatakan, bagaimana susahnya mencari wc umum di Kota Yogyakarta. “Kadang, kalau mau ke wc umum, kita harus sabar nunggu. Kebayang sekitar dua puluh lima orang bergantian keluar masuk wc, nunggunya lama pisan,” kenangnya.

Namun demikian, ada satu pengalaman yang tidak terlupakan bagi seluruh personil Ansaphone. Pengalaman tidak terlupakan itu terjadi, ketika mereka kebagian jadwal mentas di Kota Surabaya pada 26 Desember 2009. Jajat menjelaskan, bagaimana rencana awal manggung di Surabaya saat itu seharusnya berformat out door. Tetapi, karena saat itu hujan mulai turun, sedangkan di sisi lain, acara di batasi hingga pukul sembilan malam. Acara pentas musik tersebut terancam batal. Maka, saat giliran manggung bagi Ansaphone tiba, para personilnya langsung berinisiatif memindahkan set panggung ke dalam bangunan. Pentas musik tersebut mendadak berformat indoor.

Jajat menjelaskan, tempat manggung di Surabaya saat itu memakai lahan halaman sebuah distro. Bangunan distro nya sendiri, menurut Jajat, tidak lah terlalu besar. Namun, daripada pementasan harus batal, karena masalah hujan, maka set panggung, mulai dari amplifier, hingga monitor sound semuanya dipindahkan ke dalam bangunan distro. Pada awalnya, kata Jajat, pemilik distro tersebut hanya terbengong-bengong melihat ulah para personel Ansaphone. Tetapi, pada akhirnya, sang pemilik pun mahfum. “Suasana di dalam bangunan itu, karena sempit, jadinya padat sekali. Numplek semua penonton yang berjumlah sekitar 150 orang di dalam bangunan. Jadinya, ya, panas, ya, keringetan,” kenangnya.   


Point of Few

Menjalankan sebuah grup musik memang memerlukan sebuah disiplin. Hal itu diperlukan, agar sebuah band dapat berjalan dengan konsisten. Namun demikian, menegakkan disiplin bukanlah sesuatu yang mudah dijalani oleh setiap orang, khususnya personil Ansaphone. Saat perbincangan dengan beberapa personel Ansaphone belum lama ini di sebuah studio musik di Jalan Sulanjana, Bandung, mereka mengatakan, pada awalnya pola kerja personel Ansaphone belum rapih benar.

Jajat mengatakan, pada awalnya pola kerja personel Ansaphone bisa dibilang masih cuek. Dalam artian, belum giat benar dalam mengusahakan eksistensi Ansaphone. Walaupun begitu, kehadiran Uya, manajer mereka, pada tahun 2008 dapat membantu cara kerja Ansaphone menjadi lebih terkonsep dan terpola. “Pola kerja si Uya sebagai manager itu lebih terkonsep. Dan juga, cara kerjanya itu lebih ngebuat kami disiplin,” katanya.

Perbincangan di studio musik itu juga dihadiri oleh Uya. Maka, kali ini giliran dia yang memberikan kesan mengenai Ansaphone dalam kapasitasnya sebagai manajer. Menurut Uya, pada awal dia bergabung dengan Ansaphone, permasalahan utama yang ada di band tersebut adalah komunikasi. Menurutnya, rata-rata personel Ansaphone memiliki karakter yang jarang berbicara secara terbuka.

Bagi Uya, terbukanya komunikasi di antara personel Ansaphone adalah sesuatu yang perlu diusahakan. Karena masalah komunikasi ini menurutnya sangat penting. Bila tidak di perhatikan dengan baik, bisa fatal akibatnya.

“Misalkan, contoh kecilnya. Pernah beberapa menit Ansaphone mau main, ada seorang personel yang baru mengambil peralatan. Seharusnya sebelumnya ‘kan bisa ngomong dulu, kalau peralatan tidak ada. Sehingga bisa diusahakan dulu,” jelas Uya.

Menurut Uya, tidak terbukanya komunikasi itu bisa dikatakan sebagai dampak dari karakter sebagian besar personel Ansaphone yang memang tidak banyak bicara. Namun demikian, untuk saat ini, menurut Uya, dalam hal keterbukaan komunikasi sudah lebih baik ketimbang dirinya pertama kali bergabung dengan Ansaphone. “Yah, sekarang mah tidak separah dulu. Udah mulai giat sekarang mah,” jelasnya sambil diiringi tawa.





13 komentar:

astri arsita mengatakan...

hihi, akupun pernah interview mereka buat di belia bo. kalau soal musiknya ku juga suka, semacam glumi2 gitu, kuping saya banget. dan si drummernyah ternyata senior ketika esemuu.. nais bo!

abo si eta tea mengatakan...

mang soto ayam pake nais satu!
hehe, yow. thx.

abo si eta tea mengatakan...

mang soto ayam pake nais satu!
hehe, yow. thx.

abo si eta tea mengatakan...

selain drummernya, semuanya tuh temen sekolah saya pas smp dulu cil. heheh.

astri arsita mengatakan...

hiii, banyak teman menjadi artis. tapi belum ada teman yang cukup dekat yang menjadi artis. sok atuh bo,, geura jadi artis :)

abo si eta tea mengatakan...

waeeeeeeee.

astri arsita mengatakan...

eeeeeaw! hiii,, naha tiada mau jadi artis?
dan titip pesan bo, jikalau nanti kamu sudah jadi orang besar, jadilah orang besar yang berjiwa besar,, jangan kepala besar,, hehe. piss...

abo si eta tea mengatakan...

ai kepala besar teh sama jeung kepala batu teu???

abo si eta tea mengatakan...

heheh, nanaon deuih.

abo si eta tea mengatakan...

eh, ini teh saran atow langsung ke sayah?

astri arsita mengatakan...

saran booo... terlalau banyak orang kepala besar,, jadi sumpek hehe. eh yang saya maksud bukan vito loh,, dia mah muka besar ;p hiehiehie... kemana yah si vito betewe,, biasanya menulis...

abo si eta tea mengatakan...

O, suganteh kelakuan saya ujug2 bikin kesel. hehe. iyalah, saran anda ditampung.

abo si eta tea mengatakan...

lagi ngegalauin hidupnya meureun...jadi hoream nulis. hihi.