Rabu, 22 Juli 2009

Bapak Polantas

“Itu helmnya pake, oy!” teriak Soleh di perempatan Jalan Laswi-Gatsu pada suatu sore.

Teriakan Soleh itu menunjuk pada seorang perempuan pengendara motor mio yang baru saja melintas dari arah Jalan Laswi menuju Gatot Subroto. Dan perempuan yang diteriaki oleh Soleh itu menatap dingin dan angkuh. “Kumaha aing we, beul (bagaimana saya saja, sialan)!” balas perempuan itu sambil mengencangkan gas motornya.

Soleh, polantas yang pada sore itu mendapatkan giliran untuk menjaga perempatan Laswi-Gatsu hanya geleng-geleng kepala. Dia menatap lurus pada perempuan pengendara motor yang tidak menghiraukan peringatannya. Perempuan itu ngeloyor melewatinya dengan acuh ke arah BSM.

“Begitu lah, ya, pak,” kata Soleh yang terlihat gusar masih sambil geleng-geleng kepala, “terkadang di daerah ini serba salah juga menindak pelanggar lalu lintas. Biasanya pemuda-pemudi yang ada di daerah ini kebanyakannya anak kolong. Serba salah juga kalau menindak, kadang-kadang malah orang tuanya yang datang ke kita. Kita lah yang dimarahin akhirnya. Padahal, orang seperti saya ini termasuk keroco.”

Mungkin saja Soleh terlalu menggeneralisir pernyataannya mengenai anak kolong tersebut. Tetapi, sepertinya itu adalah uneg-uneg yang selama ini dia pendam. Dan ketika perempuan pengendara motor itu lewat di hadapannya, momentum untuk mengeluarkan uneg-uneg itu terbuka seketika. Tidak perduli apakah perempuan itu memang benar anak kolong atau bukan. Apakah pernyataannya itu akurat atau tidak. Pastinya, bersamaan dengan meningkatnya volume kendaraan, karena saat itu memang jamnya pulang kantor, Soleh secara tidak langsung menceritakan sedikit pengalamannya selama ini mengatur lalu lintas di perempatan Laswi-Gatsu.

“Nah, biasanya Pak, kalau dari arah barat dan arah utara, jam 5 sore ini puncaknya keramaian di perempatan ini. Biasanya kan jam-jam sekarang itu, jamnya pulang kantor,” jelas Soleh, ketika ditanya mengenai keadaan lalu lintas pada sore hari di perempatan Laswi-Gatsu, “Biasanya sehabis magrib, keramaian itu akan reda.”

Soleh menunjuk keramaian lalu lintas ke arah barat, atau kalau kita berdiri di jalan Gatsu, maka barat itu mengarah ke jalan Malabar. Pada sore itu, lalu lintas memang terlihat padat. Bila lampu merah menyala, terlihat antrian mobil yang mencapai hingga 200 meter di jalan yang mengarah ke arah Jalan Malabar itu.

“Kalau di perempatan ini, biasanya yang jadi penyebab macetnya itu belokan di arah Jalan Laswi yang ke Gatsu,” tambah Soleh sambil menunjuk belokan di sampingnya.

Jalan di perempatan Laswi-Gatsu memang sempit. Lebar jalan yang sempit itu tidak sebanding dengan jumlah kendaraan yang ada di Bandung. Coba saja lihat bila sore atau pagi menjelang. Mobil-mobil akan terlihat membludak. Alur belok yang terdapat di arah Jalan Laswi ke Gatsu itu, bila volume kendaraan sedang naik, bisa membuat repot juga. Mobil yang datang dari arah Jalan Malabar bisa tertahan. Makin repot lagi bila mobil yang tertahan itu mengantri hingga tengah perempatan, sedangkan di sisi lain, mobil yang datang dari arah Jalan Pelajar Pejuang ngotot melaju. Bisa berabe.

Bagi beberapa polantas, perempatan Laswi-Gatsu bisa dibilang sebagai perempatan yang merepotkan. Oleh sebab itu, polantas yang menjaga perempatan ini kerap berganti-ganti. Mereka tidak betah mengatur lalu lintas di daerah itu. Untuk Soleh, perempatan Laswi-Gatsu ini perkara lain. Sementara beberapa polantas emoh ditugaskan di perempatan Laswi-Gatsu, dia malah mengajukan diri untuk ditempatkan di situ. “Yah, untuk ngejaga di daerah ini, sih, sudah jalan tiga tahun,” kata Soleh.

Walaupun sudah ada lampu merah, toh, tetap saja ada polantas yang berdiri selama delapan jam untuk mengatur ketertiban lalu-lintas. Khususnya di perempatan, seperti perempatan Laswi-Gatsu ini. Lalu, apa gunanya lampu merah? Apakah para pengendara itu memang sedemikian menyebalkannya, sehingga harus diatur-atur lagi?

“Sebenarnya, ada lampu merah atau engga di perempatan itu tidak banyak artinya. Bila tidak ada yang ngejaga, tetap saja pengendara akan terus ngeloyor. Padahal, daerah ini ‘kan termasuk jalur cepat. Bila tidak dijaga, perempatan ini bakal kacau nantinya,” kata Asep, salah seorang Polantas yang kebagian menjaga perempatan Laswi-Gatsu pada pagi hari.

***

Bagi sebagian besar pengendara, menggambarkan imaji polantas, seperti ikut juga menorehkan rasa jengah di dalamnya. Selama ini, polantas identik dengan uang suap, ketika menyangkut urusan tilang-menilang. Tinggal beri uang minimal Rp 50.000, STNK dan SIM bisa diambil lagi dari tangan polantas yang menilang.

Sebenarnya, baik pengendara maupun polantas, keduanya sama-sama terlibat dalam praktek suap-menyuap. Ketika sifat pengendara yang ingin instan bertemu dengan kreatifitas polantas dalam hal tambahan nafkah, dan diperkeruh dengan tidak beresnya birokrasi di dalam jajaran kepolisian, maka suap-menyuap menjadi sebuah lingkaran setan yang tidak berkesudahan di jalan raya. Tetapi, selama ini, polantas lah yang ketiban porsi terbesar perihal imej terjelek dalam suap-menyuap di jalan raya.

Dan imej jelek itulah yang ada di dalam benak saya pertama kali mendapatkan penugasan untuk melaporkan suasana lalu lintas di perempatan jalan di Kota Bandung. “Saya akan berurusan dengan tukang suap,” pikir saya saat itu.

Maka merapatlah saya ke perempatan Binong. Ikut nongkrong bersama kedua polantas yang selama ini menjaga ketertiban lalu-lintas di perempatan Binong tersebut. Sambil menunggu telepon kantor, Salah satu polantas, yakni Pak Kusni, membelikan saya sebotol teh. “Santai aja, Mas. Duduk-duduk dulu sambil minum,” katanya.

Pembicaraan dengan Pak Kusni di tempat indomie telor yang lusuh itu berputar-putar di sekitar tema jalan raya dan segala problematikanya. Mulai dari masalah geng motor, hingga kesan-kesan Pak Kusni menjadi polantas. Tidak beberapa lama, datang rekan yang selalu menemani Pak Kusni bertugas, yaitu Pak Adi. Dibelakangnya, nampak seorang lelaki paruh baya yang terlihat kusam wajahnya. Saya baru mengerti, ketika melihat Pak Adi menggenggam STNK dan SIM. Ya, apalagi. Urusan langgar-melanggar dan tilang-menilang.

Mungkin bila tidak ada saya, pengemudi yang ditilang itu akan disuruh diam di tempat saya duduk sekarang. Tetapi, ada kontak mata dan saling-mengerti dikedua polantas tersebut. Maka, alih-alih menyuruh duduk sang pengemudi, Pak Adi malah menggiringnya ke lorong bagian belakang warung. Jaraknya cukup dekat dari tempat saya duduk, sehingga saya masih bisa mengintipnya sedikit-sedikit. Kedua orang yang berbeda profesi itu, pengemudi dan polantas, duduk berhadapan dan tertawa-tawa. Entah apa yang mereka bicarakan. Pastinya,tidak beberapa lama, pengemudi itu keluar dari lorong sambil memasukkan STNK dan SIM yang diambil Pak Adi kedalam dompetnya. “Mari, pak,” kata pengemudi itu tersenyum lalu ngeleos keluar warung.

Berbincang-bincang dengan Polantas yang saya temui di setiap perempatan merupakan sebuah kenikmatan tersendiri ditengah-tengah menjenuhkannya rutinitas laporan lalu-lintas selama ini. Ada cerita keseharian mereka yang memudarkan imej yang terpatri tentang polantas di dalam pikiran saya dan meringankan rasa lelah tubuh ini. Walaupun, untuk masalah suap-menyuap di jalan raya, seringkali menjadi sebuah realitas dan patut untuk disayangkan.

Namun demikian, ada satu potongan tulisan dari seseorang yang teringat olehku, ketika melihat para polantas itu:

"Yang aku pahami selama aku hidup hingga kini, apa yang bersinonim dengan kemiskinan bukanlah kemalasan, melainkan upah yang rendah. Tentu bukan kemalasan. Karena apabila kemiskinan bersinonim dengan kemalasan, siapa yang bekerja paling rajin di perusahaan tempat aku bekerja? Siapa yang harus selalu siap dengan jam kerja terpanjang?"

1 komentar:

Yas Dong mengatakan...

iya, bo.. masalah sistem yg buruk dan semrawut. entah itu di penggajian dan kenaikan pangkat. sama masyarakat yg ga patuh aturan. tapi, bersyukur aja kita punya polantas