Oktober lalu saya mengunjungi kampung halaman di Karawang. Sudah
Semenjak pensiun, Wa Iban sering menghabiskan waktu di Karawang daripada di
Selain mencari ketenangan, ia juga bisa bereksperimentasi ternak bebek di Karawang ini. Begitulah. Suatu waktu ketika nongkrong di teras rumah pagi-pagi, Wa Iban sudah stay tune di kebun. ‘Memonitoring’ situasi bebek-bebeknya. Sebagian lahan kebun dibuat menjadi kolam demi menampung bebek-bebek itu. Saya pun menghampirinya dengan niat agar bisa lebih akrab dengannya. Tetapi, basa-basi yang saya lontarkan seringkali tidak pernah nyambung. Penyebabnya, penyakit budek Wa Iban semakin menjadi-jadi. Jadinya lucu bila melihat kondisi Wa Iban sekarang. Kalo mau nyambung ngobrol, harus teriak keras-keras. Tapi volume suara harus dikontrol juga, karena Wa Iban suka protes kalau ada seseorang yang bicara kepadanya dengan suara yang terdengar seperti marah-marah. “Gua kaga budek-budek amat,” gitu katanya.
Penyakit budek itulah yang kadang membuat rungsing keluarga di Karawang. Suatu waktu Wa Ndas ngomong ke saya, “terkadang suka serba salah ngobrol sama si Iban,” katanya.
“Kalo ngomong keras…disangka marah. Tapi, kalo ngomong pelan…boro-boro nyahut. Kedengeran aja engga,” lalu, tambahnya lagi, “budeknya si Iban itu makin jadi pas pensiun. Waduh, ampun.”
Saya pengen ketawa ngedenger Wa Ndas ngomong gitu. Soalnya, di depan saya, tepatnya di depan rumah, ada Wa Iban yang nongkrong di kebun sedang memperhatikan bebek-bebeknya. Begitu tekun ia memonitor pergerakan bebek-bebeknya itu. Kata Wa Ndas, kelakuan Wa Iban semenjak pensiun makin tidak terprediksi. Tiba-tiba saja ia punya rencana ternak bebek.
“Masalahnya,” kata Bi Atam suatu waktu ketika saya nongkrong di warung kopinya, “Si Iban itu kagak punya pengalaman beternak bebek sebelumnya. Kok, dia ngedadak pengen ternak bebek?”
Bi Atam heran sama kelakuan Wa Iban. Geleng-geleng kepala terus kalau ngomongin Wa Iban si Bi Atam ini. Lucu. Saya sendiri tidak terlalu memikirkan kelakuan Wa Iban. Saya fokus ngegares bala-bala buatan Bi Atam sama nyeruput teh botol dingin. Sumpah. Karawang panas seperti neraka, walaupun saya belum bertandang ke neraka.
Kata Bi Atam lagi, selain mendadak ternak bebek, tiba-tiba Wa Iban berniat untuk selamanya menetap di Karawang. Rumah yang ada di
Tapi, intinya tersirat dalam cerita-cerita yang kudengar, bahwa Wa Iban menginginkan sebuah ketenangan dalam menjalani masa pensiun. Namun, penerjemahan ‘pencarian ketenangan masa pensiun’ ini ketika dipraktekkan seringkali menghasilkan cerita-cerita yang, bagiku, terdengar lucu dan terkadang aneh. Saya teringat kepada saudara yang lain, yaitu Wa Nurdin. Ia juga seorang pensiunan polisi. Bila Wa Iban memutuskan untuk berternak bebek semasa pensiunnya. Wa Nurdin lebih kepada pendalaman agama. Tiba-tiba saja buku-buku tentang agama terserak di rak bukunya. Bersanding dengan buku-buku tentang hukum yang selama ini dikoleksinya. Lalu, perilakunya juga ada yang aneh. Jadi, ia selalu mengikuti istrinya kemana-mana. Terkadang istrinya itu sering risih sendiri. Malah istrinya itu suka makin rungsing ketika keluar rumah kelewat batas. Telepon selularnya pasti terus-terusan bunyi. Begitulah. Semenjak pensiun, selain mendalami agama, Wa Nurdin juga mencari kesibukan baru. Kabar terakhir yang kudengar, ia sedang mencoba peruntungan di dunia politik. Baguslah, mungkin dengan begitu, saya bisa dapat koneksi politik.
Wa