Kita hidup di zaman yang tidak terduga. Inovasi teknologi akhir-akhir ini menciptakan lompatan-lompatan besar, yang dalam satu titik, menghasilkan perdebatan-perdebatan membingungkan. Di sini aku membicarakan mengenai internet, mengenai dampaknya bagi tempatku bekerja selama ini di sebuah koran.
Siapa yang membaca lagi koran hari ini, kata orang-orang, sementara informasi dengan mudahnya bisa digenggam melalui telefon pintar.
Perkataan orang-orang itu tampaknya bisa keluar dari jalur common sense. Ada hasil-hasil penelitian mengenai pertumbuhan surat kabar yang konsisten menurun di Amerika Serikat mulai dari periode 2005-2012. Kemudian ada juga hasil penelitian mengenai konsumsi berita online yang terus menerus naik, sedangkan konsumsi berita dari media cetak konsisten menurun mulai dari periode 2004-2012.
Data di atas mengambil sampel di Amerika Serikat. Saya mencoba googling, namun tidak berhasil menemukan data pertumbuhan media massa cetak dan online di Indonesia. Namun tanpa ada data penelitian yang solid pun, akhir-akhir setidaknya masih terasa suasana muram bisnis koran. Kerap terdengar koran anu berhenti terbit pada akhir pekan, atau koran anu berhenti terbit setiap hari dan hanya terbit setiap akhir pekan saja.
Untuk wilayah perkotaan besar di Pulau Jawa, gonjang-ganjing perusahaan koran mengenai bisnis yang sedang mengalami turbulensi tampaknya tidak akan mereda dalam waktu dekat. Ditambah lagi kabar yang bermunculan mengenai beberapa koran yang berhenti terbit, membuat gonjang-ganjing semakin terasa.
Dan di tengah-tengah gonjang-ganjing itu, ada kaum pekerja koran. Kaum seperti kamu, kaum seperti saya.
Sedari awal perkuliahan, saya telah dididik dengan cara kerja media massa cetak. Semua tugas kuliah tentang cara menulis dan mengemas berita sebagian besarnya diasumsikan untuk disajikan di koran keesokan harinya (sementara tugas sisanya adalah untuk televisi).
Namun, empat tahun semenjak lulus kuliah, ternyata boom. Dunia lapangan sudah sangat sulit dimengerti. Dan kalkulasi bisnis...kalkulasi bisnis selalu membuat segalanya semakin rumit.
Media massa sebagai industri, kata orang-orang.
Akhir-akhir ini aku membaca buku tentang Marco Kartodikromo. Salah satu wartawan era perjuangan yang hidup di awal abad 20. Di dalam buku itu, tersimpan karya-karya yang telah dikeluarkan Marco, mulai dari artikel, sampai cerita macam roman. Karya-karya itu disajikan dengan cara menulis yang masih memakai ejaan lama.
Menarik juga membaca buku itu. Sedikit banyak bisa terbayang apa yang dipikirkan oleh aktivis-aktivis kemerdekaan dulu. Kemudian menilik berita-berita yang tertuang dalam koran Dunia Bergerak yang dipimpin Marco kala itu, penulisan beritanya sangat berbeda jauh dengan penulisan zaman sekarang. Porsi opini sangat besar dibandingkan data dan fakta.
Bila orang-orang zaman sekarang membacanya, mungkin akan terasa seperti pamflet propaganda. Isinya penuh dengan agitasi...ya, agitasi kepada boemipoetra untuk melawan penjajahan. Dalam ruang dan waktu dimana Marco hidup, gaya bertutur koran seperti itu tampaknya bisa dimengerti. Orang-orang yang "terperentah" memerlukan media untuk bersuara, dan sarana yang tersedia pada zaman itu adalah koran. Bukan facebook, bukan path, bukan instagram.
Buku tentang Marco belum seluruhnya selesai kubaca. Halamannya sangat banyak, 660 halaman. Dengan pekerjaan harian yang kubutuhkan agar bisa punya ongkos hidup, aktivitas membaca menjadi sangat lambat. Kadang hanya satu hari dari tujuh hari yang ada aku baru bisa membaca. Itu pun tidak lebih dari dua jam saja.
Perasaan gamang muncul ketika ku membaca suasana pers jaman dulu dan keadaan saat ini. Seringkali terngiang di dalam benakku akhir-akhir ini pertanyaan, seperti; dimanakah kau berada? kau mau apa dari hidupmu? kau mau berjalan kemana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar