Sabtu, 10 Oktober 2015

Cerita dari Jalur Kledung



“Haarrkkk…harrrkkk...harrrkk”

Suara aneh dan tidak jelas itu terdengar begitu nyaring pada malam hari ketika kami berkemah tidak jauh dari Pos 3 pendakian Gunung Sindoro di jalur Desa Kledung, Kabupaten Tumenggung, Provinsi Jawa Tengah. Saat itu jam menunjukkan pukul 21.00. Kawan lainnya yang sedang beristirahat di dalam tenda tiba-tiba saja saling memandang satu sama lainnya saat mendengar suara yang terasa menakutkan itu. “Babi hutan,” ujar seorang kawan, Damar Fery Ardian. 

Pendaki lainnya yang berkemah tidak jauh dari tempat kami pun terdengar saling mengungkapkan keterkejutannya atas suara hewan tersebut. Salah seorang diantaranya berteriak kepada kami dari dalam tendanya, mencoba mengonfirmasi bahwa suara yang ia dengar merupakan suara babi hutan. Meskipun kami belum melihat secara langsung babi hutan, tetapi kami mengiyakan pertanyaan pendaki yang menjadi tetangga berkemah itu. 

Salah seorang kawan, Gun Gun Gunawan, yang saat itu kebetulan berada di luar tenda untuk memasak air, berupaya melihat-lihat ke sekeliling. Memastikan bahwa tidak ada babi hutan yang berkeliaran di dekat tempat kami berkemah. “Tidak ada di dekat sini. Sumber suaranya jelas berada di wilayah bawah dari tempat kita berkemah sekarang,” ujarnya saat masuk ke dalam tenda. 

Meskipun ketegangan sedikit mereda setelah memastikan tidak ada babi hutan di dekat perkemahan, namun di sela-sela istirahat setelah kurang lebih lima jam pendakian, sesekali kami berempat saat itu terbangun dari rebahan begitu suara babi hutan itu terdengar lagi. Terbangun karena waspada, dan kemudian memastikan kembali bahwa babi hutan itu tidak mendekati tenda. 

Upaya pemastian yang lemah sebenarnya, karena salah satu di antara kami hanya berupaya dengan menjulurkan kepala keluar tenda. Setelah itu masuk lagi dan kembali berbaring. Lama kelamaan, lantaran sudah teramat lelah, kami hanya bisa membuka mata sambil berbaring bila babi hutan itu kembali mengeluarkan suaranya. Seakan pasrah bila sewaktu-waktu babi hutan menyeruduk tenda kami.

Peringatan

Seiring suasana yang cukup mendebarkan pada malam itu, ingatan saya meluncur ke saat-saat ketika mendaftar pendakian di Basecamp Jalur Kledung. Saat itu, penjaga basecamp memberikan kami sebuah peta jalur pendakian. Sebuah peta sederhana yang tidak begitu detail. Isinya hanya memuat gambar garis yang berawal dari basecamp dan berakhir di puncak gunung. Ada beberapa keterangan di dalamnya, seperti pos pendakian yang terdapat di sepanjang jalur pendakian, keterangan hutan maupun spot penanda titik pendakian, serta penanda jalan yang tidak bisa dilewati.

Penjaga basecamp yang memberikan peta itu adalah anak muda setempat. Mereka tergabung dalam kelompok bernama Pecinta Alam Gabungan Remaja Anak Sindoro atau disingkat Grasindo. Salah seorang penjaga basecamp kemudian memberikan informasi seputar pendakian dengan merujuk pada peta yang telah diberikan kepada kami. Informasi tentang apa yang boleh dan tidak boleh kami lakukan selama pendakian. 

Sepanjang jalur pendakian, terdapat 4 pos. Namun, pendaki hanya boleh membuka kemah sampai kawasan Hutan Lamtoro yang terletak sebelum pos 4. Selebihnya, pendaki tidak diperbolehkan membuka tenda. Pasalnya, selepas Hutan Lamtoro, tanaman maupun pohon rindang sudah sangat jarang. Dikhawatirkan, ujar penjaga basecamp itu, pendaki mengalami musibah bila cuaca sedang buruk. Ketinggian yang sudah di atas 2.600 mdpl, belum lagi wilayah yang terbuka luas tanpa rerimbunan pohon, membuat seseorang rentan tersambar petir. 

Bahkan, bila kami sudah melewati wilayah Pos 4, kami sangat disarankan untuk mematikan telefon selular dan barang-barang elektronik lainnya untuk mengantisipasi kemungkinan terkena sambaran petir. Selain itu, penjaga basecamp juga menyebutkan tentang angin yang menerjang ganas bila sedang terjadi badai. Hembusan angin yang kencang itu dikhawatirkan mencederai pendaki yang berkemah di wilayah terbuka selepas Pos 4. 

Informasi lainnya, penjaga basecamp itu juga mengingatkan kami agar tidak berlama-lama bila berada di puncak gunung. Diusahakan pendaki harus berada di puncak Sindoro antara pukul 7.00-12.00. Dalam rentang waktu tersebut, kami diingatkan agar berada di puncak maksimal selama 1 jam. Pasalnya, kandungan gas belerang yang keluar dari dalam kawah dikhawatirkan bisa membahayakan kesehatan pendaki. 

Penyampaian informasi mengenai jalur pendakian oleh penjaga basecamp itu juga menyentuh soal adanya babi hutan. Penjaga itu mengatakan, meskipun wilayah Pos 3 bisa dibuat sebagai tempat berkemah, tetapi perlu diwaspadai adanya babi hutan yang seringkali berkeliaran. Diestimasikan ada sekitar 6 babi hutan yang berkeliaran di wilayah Pos 3. Kami disarankan untuk menghindari yang berbau amis agar terhindar dari babi hutan. Selain itu, kami disarankan pula untuk membuka tenda yang lokasinya lebih atas dari Pos 3. 

Ucapan penjaga basecamp itu kami ingat. Saat mendaki, kami sepakat untuk tidak membuka tenda di Pos 3. Kami sepakat untuk membuka kemah di wilayah Hutan Lamtoro yang lokasinya berada di pertengahan antara Pos 3 dan Pos 4. Itu artinya, kami harus naik sedikit dari lokasi Pos 3 dengan waktu tempuh 1 jam perjalanan.

Saat kami melewati Pos 3, telah banyak para pendaki yang membuka tenda. Tanah terbuka yang dikelilingi oleh hutan itu dipenuhi oleh tenda-tenda yang jumlahnya di atas 10 buah. Puluhan pendaki terlihat menjalani aktivitasnya masing-masing di lokasi perkemahan Pos 3. Lantaran waktu pendakian kami bertepatan dengan libur panjang di bulan Mei, Gunung Sindoro menjadi sangat diramaikan oleh kedatangan para pendaki dari berbagai wilayah. 

Gangguan Babi Hutan

Saat berada di dalam tenda pada malam harinya, dan merasa cukup ketakutan karena mendengarkan suara babi hutan, ingatan kemudian mengarah ke sekelompok pendaki yang berkemah di Pos 3. Pos yang sempat kami lalui pada saat pendakian. Teman saya, Gun Gun, yang sempat memeriksa sekeliling tenda mengatakan bahwa sumber suara babi hutan berada di bawah tempat kami berkemah. Itu artinya, puluhan pendaki yang berkemah di Pos 3 kemungkinan besar bisa sangat direpotkan oleh kedatangan babi hutan. 

Dugaan itu akhirnya terbukti benar. Keesokan paginya, banyak rombongan pendaki dari Pos 3 melewati tempat kami berkemah. Kami bertanya kepada setiap pendaki yang lewat mengenai suara babi hutan pada malam hari. Setidaknya 3 rombongan pendaki yang melewati tenda kami menuturkan tentang kedatangan babi hutan ke lokasi perkemahan mereka di Pos 3. 

Beragam cerita mengenai bagaimana babi hutan membuat kelabakan para pendaki yang sedang berkemah pun sampai ke telinga kami. Ada pendaki yang menceritakan bagaimana babi hutan masuk ke salah satu tenda dan mengacak-acak apa saja yang ada di dalamnya. Kemudian, ada juga cerita mengenai bagaimana tenda salah satu rombongan pendaki sampai jebol karena diseruduk. Ada juga yang tendanya hampir rubuh karena diseret-seret babi hutan.

Dari beragam cerita itu, ada satu garis cerita yang sama: hampir semua pendaki di Pos 3 tidak tidur dengan cukup. Mereka terpaksa harus terjaga untuk bisa mengusir babi hutan. Sebuah rombongan bahkan ada yang mengaku terpaksa menerapkan “siskamling” bergiliran demi mempertahankan keutuhan tenda mereka. Padahal, perjalanan dari Pos 3 sampai ke puncak masih cukup jauh, yakni sekitar 4 jam perjalanan lagi.

Ada hal yang cukup menggelikan mengenai gangguan babi hutan di Pos 3. Mungkin lantaran sejumlah pendaki yang berkemah di sana merasa kesal, mereka sampai membuat papan informasi sendiri di wilayah tersebut. Sebelumnya, penanda informasi di Pos 3 hanya berbentuk papan yang berisi tulisan “Pos 3”. Namun, ketika kami dalam perjalan turun dari puncak dan melewati Pos 3, terlihat adanya papan baru yang berisi tulisan “Pos Celeng”. Papan baru itu ditempel tepat di bawah papan informasi yang lama.  

Kerepotan seperti dialami para pendaki yang berkemah di Pos 3, tidak menimpa perkemahan kami yang berada di posisi atas. Setidaknya kami masih bisa merasakan tidur yang cukup dan berkualitas. Mungkin, dugaan saya, seiring banyaknya pendaki, maka banyak pula perbekalan makanan yang ada, dan hal tersebut bisa sangat mengundang kedatangan babi hutan. Bisa dibayangkan, bagaimana puluhan pendaki dari belasan tenda yang berdiri di satu lokasi sama, memasak makanan yang bervariasi. Aroma makanan itu tentu bisa menjadi perangsang yang kuat bagi indera penciuman babi hutan. 

Tantangan dan Pelipur Lara

Saya sempat mengatakan ke tiga kawan seperjalanan mengenai karakter Gunung Sindoro dari jalur pendakian Kledung ini sebagai gunung yang ganas dan tidak ramah. Bahkan bila membandingkan dengan pendakian yang sempat dilakukan di saudara kembarnya, yakni Gunung Sumbing. Ganas dalam artian, jalur pendakiannya yang terus menerus curam dari pos 1 sampai puncak -- anti landai. Selain itu, porsi bebatuan pun terasa sangat banyak di sepanjang perjalanan dari awal pendakian sampai menuju puncak. 

Tidak hanya dirasakan ganas, namun juga sejumlah tempat yang ada di jalur pendakian Kledung ini saya bilang tidak cukup ramah. Bayangkan saja, bila hendak berkemah di Pos 3, maka kita harus bersiap-siap menghadang kedatangan babi hutan yang bisa mengacak-acak tenda yang telah dibangun. Sementara bila kita mencoba nekad tidak menggubris larangan mendirikan tenda di selepas Pos 4, maka kita harus bersiap-siap terkena petir atau terhempas angin puting beliung bila tiba-tiba cuaca memburuk. 

Tidak cukup dengan babi hutan, petir, atau angin puting beliung, para pendaki juga diwanti-wanti untuk mewaspadai tebalnya kabut yang bisa ada di sepanjang perjalanan. Rombongan pendaki dihimbau sedari awal untuk tidak berpencar, itu untuk antisipasi kemungkinan tersesat bila seandainya kabut sedang menebal. Penjaga basecamp bahkan sangat menyarankan kami lebih baik berhenti mendaki bila kabut benar-benar tebal. Menunggu sampai kabutnya berangsur-angsur menghilang. 

Sewaktu pendakian, beberapa kali kami menghadapi kabut tebal, namun durasinya tidak lama. Kabut tebal itu kami hadapi ketika perjalanan turun dari puncak, tepatnya di wilayah padang edelweiss (sekitar 1 jam perjalanan dari puncak).  Meskipun saat itu durasi kabutnya sebentar, namun cukup membatasi jarak pandang, sehingga melangkah harus sangat berhati-hati. 

Selain tantangan yang sumbernya berasal dari alam, ada juga yang sumbernya dari manusia. Sebelum mendaki, petugas basecamp mewanti-wanti kami untuk tidak meninggalkan peralatan di tenda ketika akan melanjutkan pendakian ke puncak. Pasalnya, kerap terdapat kasus peralatan yang hilang karena ditinggalkan di dalam tenda oleh pendaki. Bahkan dalam tata tertib pendakian di Jalur Kledung, sampai tertulis peringatan: untuk menghindari kehilangan ransel, pendaki dilarang meletakkan ransel di luar saat tidur atau meninggalkannya di sepanjang perjalanan maupun di puncak dengan cara ditutupi rumput. 

Hilangnya ransel di jalur pendakian sebenarnya memprihatinkan. Tidak hanya di Gunung Sindoro, kasus serupa juga saya alami ketika mendakiGunung Merbabu beberapa waktu lalu. Saat itu, saya dan seorang kawan meninggalkan peralatan di tenda. Kami ke puncak hanya membawa peralatan seadanya. Namun sekembalinya dari puncak, ternyata barang-barang kami di tenda banyak yang hilang. Bila kami hanya kehilangan peralatan seperti baju, makanan, dan perlengkapan mandi, tetangga berkemah kami saat itu sampai kehilangan yang lebih parah. Ransel berukuran 70 liter beserta seluruh isinya miliknya saat itu hilang diambil pencuri. 

Di balik segala tantangan yang ada selama pendakian Gunung Sindoro jalur Kledung, sebenarnya terdapat banyak pemandangan yang memikat. Terutama pemandangan saudara kembar Sindoro, yakni Gunung Sumbing, yang membayangi selama pendakian menuju puncak. Memikatnya pemandangan Gunung Sumbing dari sudut pandang Gunung Sindoro akan terasa ketika mendaki mulai dari Pos 3 hingga ke puncak. Selama pendakian di jalur tersebut, kita akan dibayangi oleh pemandangan Gunung Sumbing yang menjulang tinggi, dimana di sekeliling tubuhnya dibalut oleh awan tebal maupun tipis. 

Sangat disarankan perjalanan ke puncak dilakukan sedari subuh. Lantaran menjelang fajar, panorama yang disuguhkan oleh Gunung Sindoro seolah-olah menjadi penyemangat dan obat atas kelelahan yang didapatkan dari pendakian selama berjam-jam. Guratan warna merah di garis horison dan bulan yang kemerah-merahan terkena pancaran sinar matahari yang sedang beranjak naik menjadi pemandangan yang menakjubkan sekaligus mengharukan. Terlepas dari segala tantangan yang disuguhkan Gunung Sindoro, tidak bisa dipungkiri bahwa pendakian di gunung tersebut memberikan kesan yang dikemudian hari akan selalu dikenang.


***Tulisan ini pernah dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat sekitar September 2015 (lupa tanggal persisnya). 

1 komentar:

GuratanBaday mengatakan...

Kerennnnn jangg