“I am convinced that if once the Javanese has land in his possession and is left to himself without any restriction, he will not work anymore than is absolutely necessary for him and his family, whose wants are besides of very little consequence – a poor bamboo house covered with leaves, a handkerchief and some few cloths for him and his wife, a small quantity of rice or Turkey-corn boiled in water, with some vegetables, and sometimes a small quantity of fish, this is all he wants. Lazy by nature, and effeminate by education, the Javanese seems only to exist to live in indolence, occupying himself by sleeping or sitting alongside a river, contemplating the current of the water, or if he is inclined, taking some fish for his dinner without ever feeling the desire to ameliorate his fate by work.”
Kutipan di
atas merupakan laporan Rothenbuhler, anggota komisi penyelidik permerintahan
kolonial, yang disampaikan kepada Letnan Gubernur Jawa Thomas Starnford Bingley
Raffles pada tahun 1812. Kutipan itu merupakan catatan kaki yang terdapat dalam
buku Keuntungan Kolonial Dari Kerja Paksa karya Jan Breman, halaman
131.
Kutipan di
catatan kaki itu menarik perhatian. Pasalnya, isinya menyentil soal kebiasaan
warga pribumi Jawa yang dipandang dari sudut elit kolonial sebagai orang
pemalas. Perhatikan saja dalam kalimat kedua dari kutipan tersebut. Dalam
kalimat itu, elit kolonial menganggap orang pribumi sudah dari asalinya adalah
seorang pemalas; hanya senang melamun di pinggir kali, lamban, ala kadarnya,
dan “tidak memiliki niat untuk memperbaiki nasibnya dengan bekerja lebih
keras”. Menurut pandangan Rothenbuhler, orang-orang pribumi memiliki sedikit
keinginan, tidak lebih dari ikan-ikan, ayam, dan rumah bambu sederhana untuk
bernaung, dimana kesemuanya itu dibutuhkan hanya untuk diri sendiri beserta
keluarganya saja.
Di hari-hari
lampau, aku pernah terlibat sebuah obrolan mengenai soal yang mirip-mirip
seperti ini, persoalan mengenai kemalasan ini. Pada intinya, patut untuk
dicermati dan dikritisi bila ada sebuah label yang diterapkan kepada orang atau
kelompok tertentu. Sebuah label, dogma, stereotype, atau semacamnya, pastilah
muncul dari pemikiran manusia. Sementara pemikiran manusia sendiri cenderung
bias.
Manusia
selalu mendapatkan pengaruh dari sejumlah faktor, baik itu pengalaman, maupun
lingkungannya. Kemudian, saat mendapatkan pengaruh tersebut, manusia tidak
menerimanya secara pasif, mencernanya begitu saja. Namun, manusia akan mencerna
sebuah pengalaman dari lingkungannya itu dengan terlebih dahulu menyaring
melalui seperangkat alat penilaian. Sementara alat penilaian itu sendiri,
bukanlah dibuat begitu saja dari nol, namun ada juga unsur-unsur
pengalaman-pengalaman manusia terdahulu.
Persepsi
manusia yang terbangun dari proses menyaring sebuah pengalaman seperti itu,
akan turut dipengaruhi oleh posisi sosial manusia itu sendiri di dalam
masyarakat. Sementara terdapat beragam posisi sosial manusia di dalam
masyarakat, baik itu yang didefinisikan oleh jenis pekerjaan, hubungan
pekerjaan, atau status sosialnya. Ada manusia yang menempati posisi penguasa,
ada manusia yang semenjak dilahirkan menempati posisi sebagai
budak. Mereka memiliki pandangannya masing-masing. Oleh sebab itu,
mengapa pemikiran manusia cenderung bias; seringkali pemikiran manusia hanya
ditopang dari posisinya saja, tidak mencakup seluruh posisi-posisi yang ada di
masyarakat. Atau, dengan kata lain, penilaian hanya berbasiskan versinya
saja.
Selain itu,
pembentukan posisi-posisi sosial manusia berproses seiring waktu, sehingga
terbangun secara akumulatif dan sistematis. Sementara manusia tidak memiliki
umur yang sama panjangnya dengan pembentukan posisi-posisi sosial itu tadi.
Namun demikian, pembentukan posisi-posisi sosial itu berlanjut melalui jalan
pewarisan, baik kepada keturunannya maupun lingkungannya (pembuatan
undang-undang, peraturan bersama, dll). Oleh sebab itu, seringkali terdapat
ketidaksadaran dalam benak manusia, dan menganggap semua hal yang dipikirkannya
adalah sesuatu hal yang lumrah. Semenjak lahir, mereka dibiasakan oleh
nilai-nilai yang terwariskan.
Kerja Paksa
Mencermati
posisi-posisi manusia, kemudian nilai-nilai yang terbentuk darinya, berguna
bila membaca apa yang dilaporkan oleh manusia semacam Rothenbuhler. Dia yang
menyebutkan bahwa orang pribumi sebagai pemalas. Tentu saja Rothenbuhler akan
mengatakan orang pribumi pemalas bila pola kerja orang pribumi tidak sesuai
dengan kepentingan kolonial untuk mendapatkan pemasukan tambahan dari hasil
ekspor kopi.
Rothenbuhler
merupakan manusia yang berkepentingan untuk menyukseskan peningkatan pendapatan
kolonial. Masa pada Rothenbuhler hidup merupakan masa reformasi (di tingkat
kolonial). Kerja paksa di wilayah dataran rendah Jawa dihapuskan, dan sebagai
gantinya, diberlakukan sistem sewa tanah. Sistem itu diberlakukan untuk
meningkatkan pendapatan rezim kolonial disamping eksploitasi hasil perkebunan
kopi melalui kerja paksa yang masih diberlakukan di dataran tinggi Jawa
(khususnya Priangan).
Untuk bisa
menerapkan sistem sewa tanah, maka sejumlah tanah dihakmiliki oleh pemerintah
kolonial untuk kemudian disewakan kepada pihak ketiga atau swasta. Dalam sistem
ini, penyewa bisa mengolah apa saja di tanah yang disewakan, sementara
pemerintah kolonial Inggris hanya memungut pajaknya saja. Sistem ini merupakan reformasi
atas kebijakan tanam paksa oleh kolonial Belanda. Tanam paksa dinilai tidak
efektif karena sejumlah alasan, seperti “tidak bergairahnya” pribumi untuk
bekerja, penyelewengan pendapatan dari produksi kopi oleh agen kolonial, sampai
melemahnya pasar diakibatkan perang Napoleon.
Sistem sewa
tanah keluar dengan asumsi, bahwa bila terdapat kebebasan mengolah tanah,
produktivitas akan terdongkrak, dan gilirannya pendapatan kolonial bisa
meningkat. Ketika sewa tanah diberlakukan, berarti pemerintah kolonial
merangkul pihak ketiga sebagai pihak yang akan mengelola lahan. Pihak
ketiga itu bisa orang-orang Eropa atau orang-orang Cina, namun tidak untuk
orang-orang pribumi. Pasalnya, pihak kolonial sudah mencap orang pribumi
sebagai orang pemalas. Orang-orang pribumi dianggap hanya akan
bekerja sebatas memenuhi kebutuhannya, dan sulit bekerja di luar itu, seperti
produksi untuk orientasi pasar luar negeri. Orang-orang pribumi dianggap tidak
mengenal pasar luar negeri, seperti halnya kepentingan pemerintah kolonial yang
mengharuskan adanya perdagangan luar negeri untuk meningkatkan pendapatan.
Pemerintahan
kolonial, bergerak maju dengan logika yang dibawa oleh sistem yang mensyaratkan
pemupukan laba secara terus menerus. Ekspansi dan penjajahan teritorial kaum
kolonialis bergerak dengan semangat seperti itu; bagaimana caranya membuka
lahan baru di negeri asing untuk pemupukan laba yang terus menerus
terakumulasi. Sementara negeri-negeri asing yang mereka datangi memiliki tata
kelola kehidupan masyarakatnya sendiri yang belum tentu selaras dengan logika
yang dibawa oleh kaum kolonialis tersebut. Masyarakat yang kaum kolonial itu
datangi belum tentu mengenal laba, profit, dan bla-bla-bla lainnya.
Oleh sebab
itu, kekerasan serta penundukkan total atas manusia menjadi syarat utama dari
logika kaum kolonialis; tanpa adanya asupan kerja yang melimpah di perkebunan,
tidak akan tercipta kopi untuk perdagangan luar negeri. Tanpa adanya kopi untuk
diperdagangkan, tidak akan tercipta pendapatan, dan tanpa adanya pendapatan,
tidak akan ada laba. Oleh sebab itu, diperlukan penundukkan terhadap
orang-orang yang hidup di negeri asing tersebut. Penundukkan orang-orang agar
tercipta kerja yang menghasilkan laba.
Kekuatan,
pemaksaan, dan penundukkan total terhadap manusia lainnya menjadi tabiat kaum
kolonial. Menjadi logika yang menggerakkan mereka, yang membuat mereka memiliki
pandangan bahwa ritme kerja orang yang hanya sebatas untuk kebutuhan dirinya
sendiri beserta keluarganya--tanpa orientasi laba--adalah seorang pemalas.
Dan terhadap hal seperti itu,
apabila kemalasan yang dilabeli pada seseorang hanya kata lain dari
penundukkan, perbudakan, dan pemaksaan, hanya ada satu kata: lawan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar