Jumat, 10 April 2015

Selubung Kekerasan di Balik Dalih Pemalas


“I am convinced that if once the Javanese has land in his possession and is left to himself without any restriction, he will not work anymore than is absolutely necessary for him and his family, whose wants are besides of very little consequence – a poor bamboo house covered with leaves, a handkerchief and some few cloths for him and his wife, a small quantity of rice or Turkey-corn boiled in water, with some vegetables, and sometimes a small quantity of fish, this is all he wants. Lazy by nature, and effeminate by education, the Javanese seems only to exist to live in indolence, occupying himself by sleeping or sitting alongside a river, contemplating the current of the water, or if he is inclined, taking some fish for his dinner without ever feeling the desire to ameliorate his fate by work.”


Kutipan di atas merupakan laporan Rothenbuhler, anggota komisi penyelidik permerintahan kolonial, yang disampaikan kepada Letnan Gubernur Jawa Thomas Starnford Bingley Raffles pada tahun 1812. Kutipan itu merupakan catatan kaki yang terdapat dalam buku Keuntungan Kolonial Dari Kerja Paksa karya Jan Breman, halaman 131.  

Kutipan di catatan kaki itu menarik perhatian. Pasalnya, isinya menyentil soal kebiasaan warga pribumi Jawa yang dipandang dari sudut elit kolonial sebagai orang pemalas. Perhatikan saja dalam kalimat kedua dari kutipan tersebut. Dalam kalimat itu, elit kolonial menganggap orang pribumi sudah dari asalinya adalah seorang pemalas; hanya senang melamun di pinggir kali, lamban, ala kadarnya, dan “tidak memiliki niat untuk memperbaiki nasibnya dengan bekerja lebih keras”. Menurut pandangan Rothenbuhler, orang-orang pribumi memiliki sedikit keinginan, tidak lebih dari ikan-ikan, ayam, dan rumah bambu sederhana untuk bernaung, dimana kesemuanya itu dibutuhkan hanya untuk diri sendiri beserta keluarganya saja. 

Di hari-hari lampau, aku pernah terlibat sebuah obrolan mengenai soal yang mirip-mirip seperti ini, persoalan mengenai kemalasan ini. Pada intinya, patut untuk dicermati dan dikritisi bila ada sebuah label yang diterapkan kepada orang atau kelompok tertentu. Sebuah label, dogma, stereotype, atau semacamnya, pastilah muncul dari pemikiran manusia. Sementara pemikiran manusia sendiri cenderung bias. 

Manusia selalu mendapatkan pengaruh dari sejumlah faktor, baik itu pengalaman, maupun lingkungannya. Kemudian, saat mendapatkan pengaruh tersebut, manusia tidak menerimanya secara pasif, mencernanya begitu saja. Namun, manusia akan mencerna sebuah pengalaman dari lingkungannya itu dengan terlebih dahulu menyaring melalui seperangkat alat penilaian. Sementara alat penilaian itu sendiri, bukanlah dibuat begitu saja dari nol, namun ada juga unsur-unsur pengalaman-pengalaman manusia terdahulu. 

Persepsi manusia yang terbangun dari proses menyaring sebuah pengalaman seperti itu, akan turut dipengaruhi oleh posisi sosial manusia itu sendiri di dalam masyarakat. Sementara terdapat beragam posisi sosial manusia di dalam masyarakat, baik itu yang didefinisikan oleh jenis pekerjaan, hubungan pekerjaan, atau status sosialnya. Ada manusia yang menempati posisi penguasa, ada manusia yang semenjak dilahirkan menempati posisi sebagai budak.  Mereka memiliki pandangannya masing-masing. Oleh sebab itu, mengapa pemikiran manusia cenderung bias; seringkali pemikiran manusia hanya ditopang dari posisinya saja, tidak mencakup seluruh posisi-posisi yang ada di masyarakat. Atau, dengan kata lain, penilaian hanya berbasiskan versinya saja. 

Selain itu, pembentukan posisi-posisi sosial manusia berproses seiring waktu, sehingga terbangun secara akumulatif dan sistematis. Sementara manusia tidak memiliki umur yang sama panjangnya dengan pembentukan posisi-posisi sosial itu tadi. Namun demikian, pembentukan posisi-posisi sosial itu berlanjut melalui jalan pewarisan, baik kepada keturunannya maupun lingkungannya (pembuatan undang-undang, peraturan bersama, dll). Oleh sebab itu, seringkali terdapat ketidaksadaran dalam benak manusia, dan menganggap semua hal yang dipikirkannya adalah sesuatu hal yang lumrah. Semenjak lahir, mereka dibiasakan oleh nilai-nilai yang terwariskan. 

Kerja Paksa

Mencermati posisi-posisi manusia, kemudian nilai-nilai yang terbentuk darinya, berguna bila membaca apa yang dilaporkan oleh manusia semacam Rothenbuhler. Dia yang menyebutkan bahwa orang pribumi sebagai pemalas. Tentu saja Rothenbuhler akan mengatakan orang pribumi pemalas bila pola kerja orang pribumi tidak sesuai dengan kepentingan kolonial untuk mendapatkan pemasukan tambahan dari hasil ekspor kopi. 

Rothenbuhler merupakan manusia yang berkepentingan untuk menyukseskan peningkatan pendapatan kolonial. Masa pada Rothenbuhler hidup merupakan masa reformasi (di tingkat kolonial). Kerja paksa di wilayah dataran rendah Jawa dihapuskan, dan sebagai gantinya, diberlakukan sistem sewa tanah. Sistem itu diberlakukan untuk meningkatkan pendapatan rezim kolonial disamping eksploitasi hasil perkebunan kopi melalui kerja paksa yang masih diberlakukan di dataran tinggi Jawa (khususnya Priangan). 

Untuk bisa menerapkan sistem sewa tanah, maka sejumlah tanah dihakmiliki oleh pemerintah kolonial untuk kemudian disewakan kepada pihak ketiga atau swasta. Dalam sistem ini, penyewa bisa mengolah apa saja di tanah yang disewakan, sementara pemerintah kolonial Inggris hanya memungut pajaknya saja. Sistem ini merupakan reformasi atas kebijakan tanam paksa oleh kolonial Belanda. Tanam paksa dinilai tidak efektif karena sejumlah alasan, seperti “tidak bergairahnya” pribumi untuk bekerja, penyelewengan pendapatan dari produksi kopi oleh agen kolonial, sampai melemahnya pasar diakibatkan perang Napoleon.

Sistem sewa tanah keluar dengan asumsi, bahwa bila terdapat kebebasan mengolah tanah, produktivitas akan terdongkrak, dan gilirannya pendapatan kolonial bisa meningkat. Ketika sewa tanah diberlakukan, berarti pemerintah kolonial merangkul pihak ketiga sebagai pihak yang akan mengelola lahan. Pihak ketiga itu bisa orang-orang Eropa atau orang-orang Cina, namun tidak untuk orang-orang pribumi. Pasalnya, pihak kolonial sudah mencap orang pribumi sebagai orang pemalas.  Orang-orang pribumi dianggap hanya akan bekerja sebatas memenuhi kebutuhannya, dan sulit bekerja di luar itu, seperti produksi untuk orientasi pasar luar negeri. Orang-orang pribumi dianggap tidak mengenal pasar luar negeri, seperti halnya kepentingan pemerintah kolonial yang mengharuskan adanya perdagangan luar negeri untuk meningkatkan pendapatan.

Pemerintahan kolonial, bergerak maju dengan logika yang dibawa oleh sistem yang mensyaratkan pemupukan laba secara terus menerus. Ekspansi dan penjajahan teritorial kaum kolonialis bergerak dengan semangat seperti itu; bagaimana caranya membuka lahan baru di negeri asing untuk pemupukan laba yang terus menerus terakumulasi. Sementara negeri-negeri asing yang mereka datangi memiliki tata kelola kehidupan masyarakatnya sendiri yang belum tentu selaras dengan logika yang dibawa oleh kaum kolonialis tersebut. Masyarakat yang kaum kolonial itu datangi belum tentu mengenal laba, profit, dan bla-bla-bla lainnya.

Oleh sebab itu, kekerasan serta penundukkan total atas manusia menjadi syarat utama dari logika kaum kolonialis; tanpa adanya asupan kerja yang melimpah di perkebunan, tidak akan tercipta kopi untuk perdagangan luar negeri. Tanpa adanya kopi untuk diperdagangkan, tidak akan tercipta pendapatan, dan tanpa adanya pendapatan, tidak akan ada laba. Oleh sebab itu, diperlukan penundukkan terhadap orang-orang yang hidup di negeri asing tersebut. Penundukkan orang-orang agar tercipta kerja yang menghasilkan laba.

Kekuatan, pemaksaan, dan penundukkan total terhadap manusia lainnya menjadi tabiat kaum kolonial. Menjadi logika yang menggerakkan mereka, yang membuat mereka memiliki pandangan bahwa ritme kerja orang yang hanya sebatas untuk kebutuhan dirinya sendiri beserta keluarganya--tanpa orientasi laba--adalah seorang pemalas.

Dan terhadap hal seperti itu, apabila kemalasan yang dilabeli pada seseorang hanya kata lain dari penundukkan, perbudakan, dan pemaksaan, hanya ada satu kata: lawan!  

Tidak ada komentar: