Sabtu, 25 April 2015

Antusiasme


Tiga tahun sudah menjalani karir di bidang jurnalistik. Tiga tahun lebih malah. Selama tahun-tahun itu, seringkali terdapat nuansa campur aduk ketika bekerja bersama-sama rekan media lainnya. Campur aduk antara kesal, miris, hingga sampai ke titik dimana pasrah seakan hanya menjadi satu-satunya jalan.


Perasaan seperti itu muncul ketika mengamati bagaimana beberapa pekerja media ibarat dibawa ke titik terendahnya; tidak ada integritas, hanya karena kepada yang mampu membayarlah dia akan mengabdi. Menjadi muak sudah tentu. Namun terkadang, pemakluman-pemakluman muncul; semisal, media tempat dia bekerja bermasalah dalam hal upah, tunjangan, dan lain-lain. Atau, tata kelola masyarakat kita memang bermasalah.

Meskipun dari pemakluman itu muncul rasa sangsi juga. Terutama bila melihat beberapa rekan kerja yang sudah belasan tahun berstatus kontributor atau stringer (status yang konon jauh dari kata sejahtera), namun mampu membeli mobil, rumah, dan perintilan-perintilan lainnya. Belum tentu, misalkan sistem ini berubah atau kantor tempat bekerja berubah, para kontributor atau stringer itu berubah pula. Bisa jadi masalah tabiat yang memiliki porsi terbesar. Terlebih bila mengingat bagaimana keunikan pekerja media seperti wartawan yang sering berhubungan dengan banyak narasumber. Apalagi bila wartawan tersebut punya koneksi terhadap narasumber yang memiliki banyak akses dan sumber daya.

Bila sudah begitu, menjadi wartawan akan menjadi sesuatu yang menyenangkan. Tidak jarang wartawan yang berubah menjadi staf ahli, konsultan, sampai makelar proyek. Lantaran itulah jubah sebagai wartawan akan dipandang berguna, dan beberapa di antaranya sampai tidak ingin membuka jubah itu. Tidak perduli nafkah yang dihasilkannya rendah, yang terpenting adalah penghasilan di luar itu terbuka luas.

Syukur-syukur seperti itu memang memberikan manfaat bagi orang banyak. Tapi, kebanyakannya justru menjadi parasit. Jaman sekarang bukanlah eranya kolektivitas. Pragmatisme dan individualis laissez faire adalah semangat hari ini.

Perasaan mual memang cukup mendominasi tahun-tahun belakangan ini. Namun bukan berarti pengalaman yang memunculkan antusiasme tidak ada sama sekali. Setidaknya setelah aku pindah ke wilayah liputan yang baru belum lama ini muncul sedikit antusiasme. Hal itu dipicu pertemuan dengan beberapa rekan media dalam beberapa minggu terakhir.

Berkenalan dengan beberapa rekan baru, ternyata ada yang masih memiliki semangat mencari berita. Seringkali turun ke lapangan bersama-sama, ke dinas pemerintahan, maupun ke pelosok kota. Dalam momen-momen seperti itu, tidak terdengar keluhan tidak ada pemberian ‘uang transportasi’ dari narasumber yang kami datangi. Justru diskusi mengenai berita yang justru muncul; bagaimana angle yang akan dikemas? tujuan apa yang ingin diraih dari berita yang sudah dibuat? Bagaimana latar belakang sebuah peristiwa/fenomena yang kami hadapi? Cukup menyenangkan. Mencari berita masih menjadi perhatian mereka. Bukan uang, bukan gratifikasi. Dan di zaman seperti ini, diskusi di luar bingkai urusan pragmatis adalah barang mahal.

Ini berbeda dengan pengalamanku di daerah lainnya. Pengalamanku sebelum-sebelumnya memang memprihatinkan. Umumnya pekerja media hanya disibukkan oleh satu urusan; bagaimana caranya mendapatkan uang pada hari ini.

Seperti seorang kepala “pokja wartawan kepolisian” di tempat liputanku dulu yang menyampaikan, bahwa kapolres sekarang sudah baik. Berbeda ketika sang kapolres baru menjabat--sekitar dua bulan lalu--yang dinilainya tidak baik. Lalu, apa ukuran baiknya? Sang kapolres sudah mau memberikan uang bulanan ke kas pokja, katanya. Sungguh menyesakkan. Independensi hanyalah mitos beraroma tai kuda seperti di Jalan Ganesha Bandung. Hubungan antar manusia hanyalah sejauh seberapa besar mediasi uang yang ada di antaranya.

Tapi, sekali lagi, mungkin memang seperti itu cerminan zaman ini.

Zaman dimana uang sudah semakin merasuk ke relung kehidupan manusia yang paling dalam. Zaman ketika kebutuhan manusia harus dimediasi oleh uang, karena terhalangnya akses terhadap sarana produksi subsisten serta kompleksnya penguasaan sumber daya untuk tujuan akumulasi kapital, dimana persaingan bisnis menjadi panglimanya. Namun dampaknya, kita dituntut untuk mencari celah dimana pundi-pundi mata uang mengalir. Tidak perduli bila aliran uang itu mencoreng martabat, memperbudak, melunturkan kemanusiaan, atau bersifat melecehkan sekalipun.Yang penting bisa menghasilkan uang.

Memikirkan kondisi itu, kerap muncul pikiran bahwa kita menjadi budak atas kebutuhan kita bertahan hidup. Kita menjadi budak atas keinginan kita mengakumulasikan sebanyak mungkin pendapatan kita. Kita menjadi budak atas logika yang mendasari bagaimana sistem kemasyarakatan saat ini berjalan.


Mengingat semua itu bagiku melelahkan. Namun setidaknya aku ingin menikmati momen saat ini. Momen ketika antusiasme masih menunjukkan sedikit denyutnya karena dipicu oleh pembahasan ide-ide, penerjemahan imaji, dan beberapa petualangan di lapangan.   

Tidak ada komentar: