Tiga tahun sudah menjalani karir di bidang
jurnalistik. Tiga tahun lebih malah. Selama tahun-tahun itu, seringkali
terdapat nuansa campur aduk ketika bekerja bersama-sama rekan media lainnya.
Campur aduk antara kesal, miris, hingga sampai ke titik dimana pasrah seakan
hanya menjadi satu-satunya jalan.
Perasaan seperti itu muncul ketika mengamati
bagaimana beberapa pekerja media ibarat dibawa ke titik terendahnya; tidak ada
integritas, hanya karena kepada yang mampu membayarlah dia akan mengabdi.
Menjadi muak sudah tentu. Namun terkadang, pemakluman-pemakluman muncul;
semisal, media tempat dia bekerja bermasalah dalam hal upah, tunjangan, dan
lain-lain. Atau, tata kelola masyarakat kita memang bermasalah.
Meskipun dari pemakluman itu muncul rasa sangsi
juga. Terutama bila melihat beberapa rekan kerja yang sudah belasan tahun
berstatus kontributor atau stringer (status yang konon jauh dari kata
sejahtera), namun mampu membeli mobil, rumah, dan perintilan-perintilan
lainnya. Belum tentu, misalkan sistem ini berubah atau kantor tempat bekerja berubah,
para kontributor atau stringer itu berubah pula. Bisa jadi masalah tabiat yang
memiliki porsi terbesar. Terlebih bila mengingat bagaimana keunikan pekerja
media seperti wartawan yang sering berhubungan dengan banyak narasumber.
Apalagi bila wartawan tersebut punya koneksi terhadap narasumber yang memiliki
banyak akses dan sumber daya.
Bila sudah begitu, menjadi wartawan akan menjadi
sesuatu yang menyenangkan. Tidak jarang wartawan yang berubah menjadi staf
ahli, konsultan, sampai makelar proyek. Lantaran itulah jubah sebagai wartawan
akan dipandang berguna, dan beberapa di antaranya sampai tidak ingin membuka
jubah itu. Tidak perduli nafkah yang dihasilkannya rendah, yang terpenting
adalah penghasilan di luar itu terbuka luas.
Syukur-syukur seperti itu memang memberikan manfaat
bagi orang banyak. Tapi, kebanyakannya justru menjadi parasit. Jaman sekarang
bukanlah eranya kolektivitas. Pragmatisme dan individualis laissez faire adalah
semangat hari ini.
Perasaan mual memang cukup mendominasi tahun-tahun
belakangan ini. Namun bukan berarti pengalaman yang memunculkan antusiasme
tidak ada sama sekali. Setidaknya setelah aku pindah ke wilayah liputan yang
baru belum lama ini muncul sedikit antusiasme. Hal itu dipicu pertemuan dengan
beberapa rekan media dalam beberapa minggu terakhir.
Berkenalan dengan beberapa rekan baru, ternyata ada
yang masih memiliki semangat mencari berita. Seringkali turun ke lapangan
bersama-sama, ke dinas pemerintahan, maupun ke pelosok kota. Dalam momen-momen
seperti itu, tidak terdengar keluhan tidak ada pemberian ‘uang transportasi’
dari narasumber yang kami datangi. Justru diskusi mengenai berita yang justru
muncul; bagaimana angle yang akan dikemas? tujuan apa yang ingin diraih dari
berita yang sudah dibuat? Bagaimana latar belakang sebuah peristiwa/fenomena
yang kami hadapi? Cukup menyenangkan. Mencari berita masih menjadi perhatian
mereka. Bukan uang, bukan gratifikasi. Dan di zaman seperti ini, diskusi di
luar bingkai urusan pragmatis adalah barang mahal.
Ini berbeda dengan pengalamanku di daerah lainnya. Pengalamanku
sebelum-sebelumnya memang memprihatinkan. Umumnya pekerja media hanya
disibukkan oleh satu urusan; bagaimana caranya mendapatkan uang pada hari ini.
Seperti seorang kepala “pokja wartawan kepolisian”
di tempat liputanku dulu yang menyampaikan, bahwa kapolres sekarang sudah baik.
Berbeda ketika sang kapolres baru menjabat--sekitar dua bulan lalu--yang
dinilainya tidak baik. Lalu, apa ukuran baiknya? Sang kapolres sudah mau
memberikan uang bulanan ke kas pokja, katanya. Sungguh menyesakkan.
Independensi hanyalah mitos beraroma tai kuda seperti di Jalan Ganesha Bandung.
Hubungan antar manusia hanyalah sejauh seberapa besar mediasi uang yang ada di
antaranya.
Tapi, sekali lagi, mungkin memang seperti itu
cerminan zaman ini.
Zaman dimana uang sudah semakin merasuk ke relung
kehidupan manusia yang paling dalam. Zaman ketika kebutuhan manusia harus dimediasi
oleh uang, karena terhalangnya akses terhadap sarana produksi subsisten serta
kompleksnya penguasaan sumber daya untuk tujuan akumulasi kapital, dimana
persaingan bisnis menjadi panglimanya. Namun dampaknya, kita dituntut untuk
mencari celah dimana pundi-pundi mata uang mengalir. Tidak perduli bila aliran
uang itu mencoreng martabat, memperbudak, melunturkan kemanusiaan, atau
bersifat melecehkan sekalipun.Yang penting bisa menghasilkan uang.
Memikirkan kondisi itu, kerap muncul pikiran bahwa kita
menjadi budak atas kebutuhan kita bertahan hidup. Kita menjadi budak atas
keinginan kita mengakumulasikan sebanyak mungkin pendapatan kita. Kita menjadi
budak atas logika yang mendasari bagaimana sistem kemasyarakatan saat ini
berjalan.
Mengingat semua itu bagiku melelahkan. Namun
setidaknya aku ingin menikmati momen saat ini. Momen ketika antusiasme masih
menunjukkan sedikit denyutnya karena dipicu oleh pembahasan ide-ide, penerjemahan
imaji, dan beberapa petualangan di lapangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar