Minggu, 14 Desember 2014

Hinggap di Alang-Alang Kering


Sudah dari malam hari, humas pemda menelefon. Mengabarkan RI 2 akan datang ke kota besok paginya. Mengunjungi lokasi pembangkit listrik tenaga uap yang ada di kota. Sudah dari malam harinya pula, humas pemda mewanti-wanti agar para awak media di kota datang meliputnya.


Bukan sesuatu yang rutin, bagaimana humas pemda intens menelefon awak media satu per satu. Mengabarkan soal agenda seperti itu. Biasanya, agenda hanya dikabarkan melalui surel. Itu pun dalam bentuk berita jadi, dan agendanya sudah lama selesai. 

Seringkali beberapa awak media ada yang menggerutu bila tidak diberitahu ada agenda menarik, dan hanya dikirim berita jadi seperti itu. Terlebih bila di dalam berita jadi itu ternyata ada narasumber yang menarik karena memiliki informasi tentang sesuatu hal.

Masalahnya, berita jadi dari humas pemda hanya memuat hal-hal yang sifatnya seremonial. Dengan dikirimnya berita jadi, otomatis awak media tidak bisa bertanya tentang hal lainnya. Dengan kata lain, mereka harus pasrah disuguhkan berita dengan angle yang telah ditentukan oleh pemda.

Kabag humas yang menelefon sedari malam memang sempat membuat heran. Namun mengingat RI 2 yang datang, serta lokasi yang akan dikunjunginya, membuat rasa heran itu terlupakan. Keesokan paginya, berangkatlah para wartawan ke lokasi yang dimaksud. 

***
PLTU. Lokasi ini menyimpan cerita yang menarik. Peningkatan produksi listrik yang mengharuskan adanya perluasan lahan ternyata diliputi oleh dugaan korupsi. Empat tersangka saat itu muncul karena diduga menaikkan harga jual tanah untuk kepentingan pengadaan lahan PLTU. AR, berhasil dijebloskan ke penjara, DH dan MI dibebaskan, sedangkan IMSS masih belum diproses hukum meski statusnya sudah tersangka.   

Tersangka IMSS ini memiliki cerita menarik tersendiri. Dia sudah menyandang status tersangka selama empat tahun, dari tahun 2010-2014. Dia menyandang status tersangka ketika berada dalam akhir-akhir masa jabatannya sebagai bupati di kota. Sudah dua periode dia menjabat bupati, yakni periode 2000-2005, dan 2005-2010. 

Kendati kini tidak lagi menjabat sebagai bupati, namun istrinya, yakni AS, naik ke tahta pimpinan di kota untuk menjabat selama periode 2010-2015. Kondisi itu tak pelak memunculkan kesan adanya "politik dinasti" di kota. Meski orang-orang pemda selalu berkilah, bahwa proses kekuasaan yang terbentuk di kota telah melalui sistem politik yang berlaku, dan oleh karena itu, munculnya AS sebagai pemimpin pada dasarnya sah secara hukum. 

Saat istrinya menjadi pemimpin kota, IMSS sendiri menjadi avonturir dunia politik. Lepas dari jabatannya sebagai bupati, dia berhasil menjabat sebagai wakil ketua dewan tingkat provinsi periode 2014-2019. Dia juga menjabat sebagai ketua partai pohon kuning di tingkat provinsi. 

Akses-akses kekuasaan di genggaman tangan IMSS memang menarik untuk disimak. Di kota sendiri, kekuasaan IMSS sudah jelas terasa pengaruhnya. Komposisi dewan dikuasai oleh partai pohon kuning. Birokrat-birokrat pun bekerja dengan dibayang-bayangi teguran dari IMSS --melalui AS-- dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan. 

Namun demikian, di bayang-bayang pengaruh IMSS, perbincangan di sudut-sudut gang, maupun warung-warung kopi, mengenai status tersangka IMSS yang tak kunjung jelas dan seolah-olah dibiarkan, seringkali muncul. Ada yang menganggap, bahwa status IMSS sengaja diulur-ulur oleh Jaksa semata-mata untuk menjadikannya sebagai sapi perahan. 

"Konon, IMSS saat itu berkata dengan intonasi menantang, bahwa dia tidak me-mark up harga lahan. Akhirnya oleh Jaksa dibuat seperti ini, kasusnya sengaja dibuat lama," kata seorang pewarta saat sedang ngopi di warung pinggir Sungai Cimanuk belum lama ini.

Kasus PLTU yang sudah empat tahun terakhir ini tidak menemukan kejelasan, seolah-olah menawarkan sesuatu yang baru kepada pewarta dengan adanya kehadiran RI 2 saat itu. Apalagi, IMSS juga akan datang ke lokasi. Itu tentu menjadi makanan yang empuk untuk diburu oleh para pewarta. 

***
Pewarta saat itu sudah berada di sisi gedung yang akan dimasuki oleh RI 2 bersama rombongannya. Mereka tidak diizinkan untuk memasuki gedung, karena alasan protokoler. Padahal, di dalam gedung itu ada pendingin ruangan. Di puncaknya siang pantai utara jawa, pendingin ruangan ibarat nirwana, dimana konon manusia tidak merasakan sakit, perih, atau perasaan-perasaan tidak menyenangkan lainnya. 

Namun apa boleh buat, ekspresi para pewarta menjadi mengkerut ketika menunggu kedatangan RI 2 di sisi gedung. Peluh-peluh mulai bercucuran karena terik matahari. Beberapa mulai menggunakan blok note kecil untuk dijadikan kipas.

Di tengah-tengah penantian itu, Humas Pemda mendatangi sejumlah pewarta yang sedang berkumpul. "Ke RI 2 nanti tanyakan soal kasus PLTU, ya. Tanyakan saja," katanya.

Ucapan itu kembali membuat heran pewarta. Memang itu yang akan ditanyakan, bisik-bisik para pewarta ke sesama temannya. 

Biasanya, Humas Pemda sangat cerewet soal pemberitaan. Mereka selalu menginginkan berita yang bernada positif. Sekalinya ada berita yang bernada negatif, mereka pasti akan menelefon pewarta yang bersangkutan. Dalam beberapa kasus, mereka sampai memanggil wartawan ke ruang Pemda. Menanyakan ini-itu, sampai menawarkan uang (bila memang itu yang diinginkan wartawan).

Tidak lama kemudian, terdengar deru helikopter. Orang yang ditunggu telah tiba. Semua yang ada di gedung sibuk menyiapkan segala sesuatunya. Para pewarta mulai berdiri. Para juru potret atau juru kamera, mencari-cari posisi yang pas untuk bahan gambar. Sementara wartawan tulis cukup santai, tidak terlalu dikejar-kejar oleh tuntutan visual. 

Para pewarta ternyata harus menunggu lagi. Di PLTU, RI 2 mengadakan pertemuan tertutup. Ada sejumlah pejabat yang hadir kala itu, seperti ketua dewan kota, bupati kota, wakil gubernur provinsi, dan menteri perdagangan. 

Namun penungguan yang kedua lebih enak dibandingkan sebelumnya, karena wartawan diperbolehkan masuk ke gedung. Hawa yang dingin telah membuat segalanya rileks. Beberapa pewarta ada yang mencari colokan listrik, mencuri-curi botol air mineral, sampai duduk-duduk di lantai sambil cengengesan bersama teman-temannya. 

Tidak lama kemudian, petugas protokoler yang kaku keluar dari ruang pertemuan. Pertanda bahwa pertemuan sebentar lagi selesai. Para pewarta pun kembali sigap. Mereka kemudian berkumpul di dekat pintu keluar gedung untuk bisa mewawancarai RI 2. 

RI 2 pun kemudian keluar dari ruang pertemuan. Gelagatnya, RI 2 tidak akan memberikan waktu yang cukup untuk wawancara. Seiring RI 2 menuju pintu keluar, para pewarta pun memanggil-manggil namanya. RI 2 pun sempat menghentikan langkahnya sebentar untuk menanggapi wartawan. Akan tetapi, cukup mengejutkan saat itu, pertanyaan pertama tidak keluar dari mulut wartawan. Namun dari kuasa hukum IMSS yang berada di tengah-tengah wartawan, KH. 

KH menanyakan persis seperti apa yang dikehendaki oleh Humas Pemda, mengenai ganjalan kasus dalam perluasan lahan PLTU. Otomatis, perhatian RI 2 pun tertuju kepadanya. 

"Saya akan  berusaha menjelaskan sebaik-baiknya kepada jaksa, bahwa perluasan ini adalah karena perintah saya. Perintah agar segera melaksanakannya," kata RI 2 saat itu. Singkat. 

Para pewarta tidak ada yang berhasil mewawancarainya, karena RI 2 kemudian berlalu ke arah helikopter. Dari hasil doorstop, hanya statement itulah yang berhasil didapatkan. 

Setelah RI 2 berangkat, para pewarta pun kemudian menghampiri IMSS. Kembali menanyakan kasus perluasan lahan. Kali ini tanpa adanya KH. Kepada wartawan, IMSS mengatakan, saat itu dirinya membantu mempercepat proses perluasan atas perintah RI 2. Menurut dia, bila tidak segera menuntaskan proses perluasan tanah, akan terkena denda. 

"Satu hari, dendanya bisa mencapai Rp 10 miliar. Sebagai bupati saat itu, saya mendapatkan tugas dari pemerintah pusat untuk mempercepat proses PLTU. Itu terkait juga dengan kepentingan bangsa. Terutama persoalan suplai energi," tuturnya.

***
Seusai acara, beberapa wartawan berkumpul. Membicarakan bahan-bahan yang telah mereka dapatkan. Mendiskusikan angle seperti apa yang akan dibuat menjadi sebuah berita.

Namun demikian, sebenarnya masih ada yang mengganjal soal pengumpulan informasi tadi, terutama ketika doorstop dengan RI 2. Beberapa wartawan masih ada yang belum mengetahui, bahwa yang mengajukan pertanyaan bukanlah pekerja media, akan tetapi kuasa hukum IMSS. 

Meski bukan sesuatu yang penting-penting amat, karena, toh, pertanyaan yang dilontarkan kuasa hukum itu selaras dengan keinginan para pekerja media, namun detail seperti itu hendaknya perlu diketahui. Siapa tahu berguna untuk menganalisa dengan konteks tertentu.

Asih, wartawati koran nasional, saat itu termasuk yang belum mengetahui, bahwa yang mengajukan pertanyaan ternyata adalah kuasa hukum IMSS. Dia pun ternyata cukup kaget ketika mengetahui bahwa yang mengajukan pengacara adalah seorang pengacara. "Ada apa, ya," kata dia. 

Kilasan ingatan pun kembali ke rangkaian peristiwa saat RI 2 masih ada di lokasi. Saat itu, untuk bisa meliput acara, diharuskan adanya tanda pengenal. Humas Pemda adalah salah satu pihak yang mengurus pemberian tanda pengenal kepada wartawan. Humas Pemda itu ternyata memberikan tanda pengenal juga kepada sang pengacara. Dalam tur singkat di lokasi PLTU, sang pengacara pun termasuk rombongan yang selalu dibawa oleh Humas Pemda. 

Spekulasi pun bermunculan mengenai kehadiran sang kuasa hukum. Apakah pertanyaan yang diajukannya itu untuk menyeret RI 2 ke dalam kasus PLTU? Seolah-olah dengan keluarnya pernyataan, bahwa RI 2 menyuruh IMSS untuk segera melaksanakan pembebasan lahan, mengindikasikan RI 2 pun terlibat? Apakah termuatnya pernyataan RI 2 di media massa akan menggiring opini ke arah seperti itu?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu bermunculan dari sebagian wartawan saat itu. Namun demikian, tampaknya terlalu konyol bila gerombolan IMSS ingin mengarahkan kasus PLTU seperti itu. Inti kasus PLTU adalah soal siapa yang melakukan mark up harga tanah. Bukan siapa yang menyuruh siapa melakukan pembebasan lahan. 

Pertanyaan-pertanyaan, dan dugaan-dugaan itu tidak terjawab. Sebagai gantinya, sebagian wartawan malah sibuk memikirkan angle seperti apa yang seharusnya dibuat. Pasalnya, muncul kekhawatiran dari sebagian wartawan, bila memuat angle seperti itu, berita akan jatuh kepada kepentingan hukum pihak IMSS semata. Namun ada juga yang berpendapat, bahwa pernyataan RI 2 baiknya dijadikan angle saja. Toh, dia memang menyatakan seperti itu. Menghilangkannya dari pemberitaan justru menjadi tidak benar. 

Pada akhirnya, diskusi menjadi mengambang. Juru warta akhirnya menuliskan beritanya masing-masing. Ada yang menulis seremonial belaka, yakni dengan menyajikan kegiatan RI 2 yang mengelilingi PLTU sebagai angle utama. Sementara pernyataan tentang kasus disajikan di paragraf tengah atau bawah. Namun ada juga yang langsung membuatnya menjadi angle utama. Semua sudah lelah dengan peliputan. 

***
Pagi-pagi benar, Jang dari Kantor Berita menelefon. Mengabarkan bahwa IMSS dijemput paksa oleh Jaksa. Aku yang masih belum begitu sadar, mengira bahwa Jang mengada-ada. 

"Eeh, coba googling. Baca beritanya," kata dia menimpali. 

Ternyata benar. Berita dalam sebuah situs on line mengabarkan bahwa IMSS dijemput paksa dini hari tadi. Aneh rasanya, terutama ketika memikirkan, bahwa baru saja kemarin melihat dia di PLTU. 

Redaktur ku pun kemudian mengirimkan pesan singkat mengenai berita itu. "Apakah benar?" kata dia dalam pesan singkat yang dikirimkan pada pagi hari.

Teman-teman lain pun tiba-tiba sudah ramai dengan kabar penjemputan paksa itu. Kami pun kemudian sepakat untuk mencari konfirmasi ke Jaksa kota. Kepala Jaksa Kota mengonfirmasi penjemputan paksa yang mendadak terhadap IMSS pada dini hari. 

Tidak hanya ke Jaksa Kota, kediaman IMSS pun kami datangi. Di kediamannya itu, baik IMSS maupun istrinya, AS, tidak ada di rumah. Hanya ada penjaga rumah, petugas Satpol PP, saat itu. Petugas itu mengaku tidak tahu menahu dimana keberadaan AS maupun IMSS. 

Penjemputan paksa IMSS saat itu menjadi menarik. Timbul pertanyaan-pertanyaan mengenai arah politik di kota ketika IMSS ditahan. Bagaimana dominasi kekuasaan IMSS melalui partai pohon kuning di kota saat ini? Bagaimana istrinya, AS, menjalani roda pemerintahan kota? Apakah penjemputan itu akan membuka tersangka lain, dan juga kasus-kasus lain? 

Di antara pertanyaan-pertanyaan itu, kami memilih menarik angle mengenai tanggapan AS atas ditangkapnya IMSS. Namun demikian, ada ganjalan. Selama menjabat sebagai bupati, AS sebenarnya tidak bisa apa-apa. Terlihat jelas bahwa AS sebenarnya hanyalah wayang, karena dalang sebenarnya adalah suaminya sendiri. Kepada wartawan, dia tidak terbuka. Bahkan, Humas Pemda pun seringkali memotong pertanyaan wartawan bila pertanyaannya dianggap sulit dijawab oleh AS, atau terlalu sensitif. 

Ganjalan itu sebenarnya terbukti. Kami tidak berhasil menemui AS. Ketika ingin menanyakan keberadaan AS, telefon Humas Pemda pun menjadi sangat sulit dihubungi. Berkebalikan ketika ada kunjungan RI 2, dimana Humas Pemda getol menelefon wartawan satu per satu. 

Keesokan harinya, penangkapan IMSS oleh Jaksa menjadi berita besar di media massa. Di media regional, berita penangkapan itu menjadi headline. Di sisi lain, AS pun entah menghilang kemana. Setiap ada acara, wakil bupati yang menghadirinya. 

Sementara itu, sampai sekitar seminggu terlewati sejak penjemputan IMSS. Kabar-kabar masih terdengar mengenainya, seperti bagaimana keinginan penangguhan penahanan dari kubu IMSS ditolak jaksa, bagaimana pemindahan lokasi lapas tempat penahanan IMSS dari pusat ke provinsi, sampai bagaimana IMSS mengeluarkan statement yang menduga adanya konspirasi politik dari Surya Brewok dibalik penahanan oleh Jaksa. 

"Lha, Ketua Jaksanya saja orang partai Surya Brewok," kata IMSS. Pihak Jaksa sendiri menampik tudingan IMSS, dan menyatakan, bahwa penahanan IMSS tidak ada kaitannya dengan persoalan politik. 

***
Kota dimana saya mencari nafkah saat ini memang aneh, baik dari segi kebudayaan, maupun soal pembangunannya. Khusus soal pembangunan, di satu sisi, sumber daya alam melimpah. Baik itu dalam hal pertanian, perikanan, perkebunan, maupun kehutanan. Namun di sisi lain, kota ini juga menjadi lumbung TKI, karena minimnya lapangan pekerjaan. Secara nasional, kota ini menduduki posisi kedua dalam hal penyaluran TKI setelah NTB.   

Kemudian, di beberapa wilayah pesisir pantai, terdapat kompleks pengolahan minyak dan gas bumi. Begitu juga dengan beberapa wilayah di lepas pantai, terdapat lokasi-lokasi pengeboran migas. Semua itu seolah-olah terlepas antara satu dengan yang lainnya, seakan tidak memiliki hubungan: di satu tempat uang berputar kencang, sedangkan di tempat yang lain, uang sangat sulit didapatkan, sehingga orang harus pergi ke luar negeri sebagai TKI. 

Mungkin begitu juga halnya dengan proyek PLTU ini. Terlepas dari persoalan korupsinya, suplai listrik utama tentunya adalah untuk industri. Bukan semata-mata penerangan warga.  

Aku ingat perbincangan dengan seorang nelayan di sebuah pantai kota, ketika baru saja menjadi pendatang. Saat itu kami membicarakan tembok penahan ombak yang sudah hancur. Sang nelayan rupanya menganggap pengerjaan penahan ombak oleh kontraktor asal-asalan. "Biasalah kontraktor, menekan harga semurah mungkin (dari pagu anggaran), tapi pengerjaannya suka asal-asalan," kata dia. 

Hancurnya tembok penahan ombak itu pada akhirnya membuat tingkat abrasi di pantai kota semakin parah. Bahkan, beberapa warung di bibir pantai terpaksa tutup, karena halamannya hilang tergerus ombak. 

Sang nelayan rupanya geram atas situasi seperti itu. Menurutnya, tidak ada yang sungguh-sungguh berbuat sesuatu demi masyarakat banyak. Baik pemerintah, maupun korporasi migas yang beroperasi di dekat pantai, tidak pernah bersungguh-sungguh meningkatkan taraf hidup warga di sekelilingnya. 

"Di kota ini, mas, setiap orang berjalan sendiri-sendiri. Pemerintah sibuk dengan urusannya masing-masing, sedangkan nelayan pun sibuk dengan urusannya masing-masing. Jadinya, setiap orang maju karena usahanya sendiri-sendiri, tanpa bantuan darimana pun," katanya. 

Sebuah pernyataan yang sinis, dan selalu terngiang olehku sampai saat ini. Begitu pun ketika aku mengingat peristiwa IMSS, dan orang-orang dibelakangnya, terutama Humas Pemda. Sekelompok orang-orang yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Urusan soal mempertahankan kekuasaan golongan sendiri. 

Dan, di kota ini, tiba-tiba saja saya membayangkan sedang berada di sebuah tanah luas, dimana beribu alang-alang tertanam. Namun semuanya itu mengering. Sebuah lahan yang luas namun kehidupan yang berada di dalamnya begitu tandus.

Tidak ada komentar: