Kamis, 27 November 2014

Perang Senyap di Hari-Hari Hegemoni Kapital


Sudah ada tiga tahun Azu bekerja sebagai wartawan di Indramayu. Dia merupakan salah seorang wartawan yang cukup menonjol dibandingkan yang lainnya. Kemauannya cukup kuat dalam mencari berita, begitu juga dengan kegigihannya.


Sifatnya yang ngotot, dalam beberapa hal, kadang membuatku kesal. Tetapi, dia tipe wartawan yang selalu antusias mengikuti perkembangan informasi, dan mempunyai keinginan untuk mengejarnya. Sesuatu yang, sedih kutuliskan, sangat jarang di wilayah liputanku saat ini.

Suatu waktu di puncaknya siang, dia menyelonjorkan kaki, dan menyandarkan tubuhnya ke tiang penyangga atap masjid. Beristirahat sejenak setelah berkeliling mencari berita. Berlindung dari sengatan matahari yang memang terasa panasnya. Matahari pantai utara Jawa. 

Kemudian dia bercerita sedikit mengenai kehidupannya. Riwayatnya yang sempat menjadi tenaga medis lepas. Kemudian bagaimana dirinya sampai bisa menjadi wartawan, karena kenalannya menawarkan untuk bekerja di sebuah perusahaan yang berpusat di Surabaya. 

Lalu, dalam obrolan tersebut, dia juga menyinggung rencana kepindahannya dalam waktu dekat. Tidak beberapa lama lagi, dia berkata, hendak hijrah ke Jawa Timur. "Mungkin akhir tahun ini," katanya.

Obrolan ringan dengan keluarga besarnya menjadi pemicu rencana kepindahan dia ke Jawa Timur. Katanya untuk merekatkan tali silaturahmi dengan saudara yang ada di sana. Selama ini, keluarga besar Azu berada di Jawa Barat. Keluarga Azu menghendaki agar ada salah satu anggotanya yang menetap di Jawa Timur supaya hubungan dengan saudara jauh yang ada di sana tidak terputus. 

Azu cenderung mengiyakan kehendak keluarga besarnya itu. Setelah pertimbangan-pertimbangan yang dia pikirkan. Tidak hanya persoalan mempererat hubungan tali silaturahmi saja, namun juga persoalan ketidakjelasan status hubungan kerja dia dengan perusahaan tempatnya bekerja, turut menjadi pertimbangan Azu. 

Tiga tahun terakhir bekerja meliput berbagai peristiwa dan isu, dia tak kunjung diangkat menjadi karyawan tetap. Pertanyaan sudah beberapa kali diajukan kepada manajemen, namun tiada juga balasan. 

"Padahal, kalau dilihat dari produktivitas, saya bagus. Iklan, saya bagus. Begitu juga dengan oplah, baguslah saya mah hitung-hitungannya," kata dia mantap. 

Ketidakjelasan memang selalu meresahkan. Setiap kemungkinan yang bisa melepaskan diri dari keresahan, sudah secara naluriah pasti akan diambil. Begitu juga dengan Azu yang mempertimbangkan untuk pergi ke Jawa Timur. Mengiyakan kehendak keluarganya untuk mengikat silaturahmi dengan keluarganya, dan inisiatifnya sendiri: mencari pekerjaan baru. Entah kembali sebagai pekerja media, atau pekerjaan yang sama sekali berlainan. 

Dibalik kesan dan gengsi pekerja media selama ini, memang ada permasalahan internal yang laten. Persoalan-persoalan upah rendah, hubungan status yang tidak (di)jelas(kan). Eksploitasi menjadi persoalan-persoalan laten yang berada di dunia wartawan. 

Persoalan-persoalan itu juga kerap berdampak kepada persoalan-persoalan etika, seperti penerimaan amplop, sampai bagaimana wartawan ikut main dalam sebuah proyek sehingga independensinya terbentur. Memang tidak semua wartawan yang memiliki persoalan di atas berbenturan dalam hal etika jurnalistik seperti itu. Namun menemukan wartawan yang berada dalam kondisi kerja "bermasalah", sedangkan cara kerja wartawan itu sendiri tidak berbenturan dengan etika, sangat sulit hari-hari ini.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

oase