September tahun ini menjadi panen padi terakhir bagi Saifudin, petani asal Desa Bugis, Blok Cesan, Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu. Setelah belasan tahun menggarap sawah, kini Saifudin tidak akan lagi menggarapnya.
Di lahan sawah miliknya kini tertancap sejumlah tiang pancang. Saifudin akan merubah lahan sawah garapannya itu menjadi lahan untuk perumahan. Kamis (6/11/2014), tampak Saifudin beserta seorang kawannya sedang menyedot air dari sebuah irigasi untuk dialirkan ke lahan sawahnya. Dia ingin terlebih dahulu menggenangi lahannya itu sebelum ditanami pohon pisang.
Lahan sawah milik Saifudin terletak tepat di pinggir jalan raya yang menghubungkan antara Kecamatan Patrol menuju Desa Bugis, Kecamatan Anjatan. Lantaran jalan raya tersebut menjadi perlintasan utama masyarakat, Saifudin menganggap lahannya itu bisa menjadi lokasi strategis untuk sebuah perumahan.
Lahan sawah Saifudin yang akan dirubah menjadi perumahan luasnya 200 bata, atau 2.800 meter persegi. Di lahan tersebut, rencananya akan diperuntukkan untuk 16 kaveling. Sejauh ini, telah ada yang memesan lahan kepada Saifudin untuk empat unit kaveling. Baginya, itu telah menjadi berkah tersendiri.
Satu kaveling yang disediakan Saifudin, ukurannya seluas 45 meter per segi. Satu kavelingnya dipasang di harga Rp 70 juta. "Dengan harga Rp 70 juta per kaveling, saya bisa mendapatkan penghasilan total sampai Rp 1,1 miliar. Itu lebih besar daripada pendapatan saya ketika menggarap sawah. Hasilnya pun bisa membeli lagi lahan yang luasnya dua kali lipat dari yang saya miliki sekarang," tuturnya.
Dia mengaku, bila tetap menggarap sawah, bisa membeli lahan yang lebih luas akan lama terealisasinya. Oleh sebab itu, dia memandang merubah lahan garapannya menjadi lahan untuk pemukiman lebih cepat menghasilkan keuntungan.
Terlebih, dia menilai, menggarap sawah lebih banyak kesulitannya. Dia menyebutkan, panennya terakhir tidak maksimal, karena adanya hama wereng. Produksi padi yang seharusnya bisa mencapai 5 ton, malah turun menjadi 4 ton. Selain itu, persoalan pupuk pun seolah menjadi kendala yang tak kunjung selesai.
Dia menuturkan, setiap waktunya petani membutuhkan pupuk, persediaan pupuk malah tidak ada. Bilapun ada, harganya sangat mahal. "Jadi, lebih baik menyediakan tanah. Barangkali masyarakat ada yang berminat membuat rumah," katanya.
Dalam perspektif Saifudin, merubah lahan sawah garapannya menjadi lahan pemukiman tentu sah-sah saja. Toh, itu merupakan propertinya. Terlebih, berdasarkan pengakuannya, menggarap sawah selama ini tidak begitu menguntungkan, dan terlalu banyak hambatannya.
Apa yang dilakukan Saifudin merupakan satu contoh kecil saja. Tidak tertutup kemungkinan, banyak petani-petani lainnya yang berpikir, merasa, dan bertindak seperti Saifudin.
Dalam satu titik, perspektif petani seperti Saifudin tampak bagaikan sebuah satire bila dibandingkan dengan kondisi Indramayu yang saat ini digadang-gadang sebagai kawasan lumbung padi nasional. Dalam pidato hari jadi Kabupaten Indramayu belum lama ini, Bupati Anna Sophanah mengatakan, akan berupaya mendukung Indramayu sebagai sebuah daerah agraris, dimana sebagian besar mata pencaharian penduduknya adalah petani.
Persediaan beras yang selalu mengalami surplus, menurutnya, telah membuat Indramayu ditetapkan sebagai daerah lumbung padi nasional, dan konsekuensinya, lahan-lahan di Kabupaten Indramayu tidak diperkenankan banyak lokasi industrinya. Menurutnya, Pemkab Indramayu akan berusaha untuk menjaga alih fungsi lahan tidak berlangsung secara massif.
Akan tetapi, persoalan alih fungsi lahan sesungguhnya cukup kompleks. Persoalan itu bukan sekadar bagaimana pengusaha luar daerah yang kebanyakan uang membeli lahan dengan harga semurah mungkin. Namun juga menyentuh persoalan kesejahteraan petani itu sendiri.
Laju alih fungsi lahan mungkin bisa sedikit direm bila akses petani terhadap pupuk dipermudah. Begitu juga akses terhadap pestisida ketika hama wereng mulai mengganggu. Begitu juga akses terhadap infrastruktur seperti irigasi. Begitu juga dalam hal pendapatan dari hasil produksi padi yang bisa dibuat sedemikian rupa, sehingga menguntungkan petani. Bila hal-hal seperti itu bisa diatasi dan kesejahteraan petani direalisasikan, mungkin tidak terpikirkan oleh para petani untuk mengalihfungsikan lahannya.
Upaya utama untuk mengatasi hambatan produksi padi, infrastruktur pertanian, dan kesejahteraan petani adalah melalui politik anggaran. Namun sayangnya, anggaran sektor pertanian di Kabupaten Indramayu, daerah lumbung padi nasional, saat ini belum menjadi prioritas. Dalam RAPBD 2015 Kabupaten Indramayu, anggaran untuk Dinas Pertanian dan Peternakan adalah Rp 12.969.247.000. Jauh lebih kecil dari Dinas Bina Marga Rp 220.700.000.000, dan Dinas Kesehatan Rp 162.065.813.000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar