Rabu, 22 Oktober 2014

Ironi dari Tinumpuk



Sekitar 3 kilometer ke arah timur dari kompleks pengolahan minyak bumi dan gas milik PT Pertamina di Kecamatan Balongan, Kabupaten Indramayu, kita akan tiba di Desa Tinumpuk, Kecamatan Juntinyuat. Berbeda dengan kesan megah saat melewati kompleks pengolahan minyak Pertamina melalui jalan raya Balongan-Juntinyuat, di Desa Tinumpuk kita akan melihat kesederhanaan layaknya suasana pedesaan. 

Beberapa penduduknya terlihat ada yang sedang mengolah lumpur dari sawah yang mengering untuk dijadikan batu bata. Sementara sekelompok ibu-ibu terlihat juga sedang bercengkrama satu sama lainnya di halaman sebuah rumah yang jauh dari kesan mewah.

Membandingkan kondisi Desa Tinumpuk dengan kompleks pengolahan minyak bumi dan gas di dekatnya, seolah-olah mencerminkan, bahwa tingginya tingkat investasi tidak melulu berbanding lurus dengan kesejahteraan penduduk dimana wilayah investasi itu berada. 

Meski berdekatan dengan kompleks pengolahan minyak bumi dan gas, namun sebagian besar warga Desa Tinumpuk harus bekerja di luar negeri sebagai TKI. Minimnya lapangan pekerjaan, dan rendahnya pendapatan, menjadi penyebab umum sebagian besar warga Desa Tinumpuk memilih bekerja sebagai TKI. 

Balai Desa Tinumpuk mencatat, terdapat 539 warganya yang tahun ini bekerja sebagai TKI. Tidak lebih dari 50 di antaranya adalah laki-laki, sedangkan selebihnya adalah perempuan. 

Adapun jumlah penduduk Desa Tinumpuk mencapai sekitar 5.000 jiwa. Ikatan Mantan Buruh Migran Tinumpuk (Ibu-Tin) mencatat, dari total jumlah penduduk Desa Tinumpuk sekitar 5.000 jiwa, 3.000 jiwa di antaranya merupakan TKI aktif dan mantan TKI.

Mukarromah (29) merupakan salah seorang mantan TKW asal Desa Tinumpuk. Sudah tiga kali dia berangkat ke luar negeri dalam periode tahun 2002-2011. Dalam periode tersebut, dia sempat bekerja di Kuwait, Arab Saudi, dan Yaman.

Dia menuturkan, alasan pertama kali berangkat sebagai TKI adalah ingin membantu keluarga. Minimnya pendapatan membuat perekonomian keluarga besar Mukarromah tidak menentu. Di sisi lain, lapangan pekerjaan di wilayahnya pun dirasakan kecil. 

"Tidak ada pabrik, atau tempat kerja yang pendapatannya memang layak. Sementara bekerja di sawah, sifatnya musiman. Pendapatan dari pertanian tidak stabil," katanya.
  
Selama bekerja sebagai TKI, memang terdapat perbaikan dalam kondisi perekonomian keluarga Mukarromah. Dia mengaku, bisa membangun rumah, dan membelikan perabotan rumah untuk keluarga besarnya. 

Mukarromah menjalani masa-masa sebagai TKI saat dirinya masih melajang. Saat ini, sudah tiga tahun terakhir dia berhenti menjadi TKW, dengan alasan telah menikah.

Meski alasan telah berkeluarga menyebabkan seseorang berhenti menjadi TKI, namun demikian, terdapat banyak perempuan lainnya yang tetap menjadi TKW walaupun telah menikah dan mempunyai anak. Seringkali, para TKW tersebut harus meninggalkan suami dan anaknya semata-mata untuk memperkuat fondasi perekonomian keluarga.  

Balai Desa Tinumpuk mencatat, pada tahun ini, terdapat 319 anak yang ibunya bekerja di luar negeri. Rinciannya, 103 anak berumur antara 0-5 tahun, 104 anak berusia 6-9 tahun, 76 anak berusia 10-13 tahun, dan 36 anak berusia 16-21 tahun. 

Bila berinteraksi dengan beberapa warga di Desa Tinumpuk, kerap dijumpai orang tua yang sedang mengemong cucu-cucunya. Adapun ibu mereka sedang mencari nafkah di luar negeri. Sebagian besar TKW yang sudah memiliki anak, memang seringkali menitipkannya kepada orang tua mereka. Ada juga beberapa di antaranya yang memakai jasa perawat anak, namun sangat sedikit jumlahnya. Pasalnya, menggunakan jasa perawat anak dianggap boros biaya lagi. 

Mukarromah sendiri mengaku, pernah dititipkan ke rumah neneknya saat dia masih duduk di bangku SD, karena ibunya saat itu bekerja di luar negeri sebagai TKW. Dia mengaku, saat itu tidak terlalu terpengaruh dengan kepergian ibunya ke luar negeri. Terlebih, dia mengaku sudah tidak terlalu ingat jelas masa-masa duduk di bangku SD.

Namun demikian, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional belum lama ini menjadikan Desa Tinumpuk sebagai percontohan untuk mengimplementasikan program Model Integratif Strategik Keluarga TKI.  Program tersebut pada intinya merupakan strategi peningkatan ketahanan keluarga TKW dengan empat sasaran utama, yakni TKW/calon TKW, suami, anak, kader dan caregiver. 

Adanya program tersebut mencerminkan permasalahan laten terkait keutuhan keluarga ketika salah satu anggotanya bekerja sebagai TKI/TKW. Kepala BKKBN, Fasli Jalal mengatakan, migrasi TKW ke luar negeri berpengaruh langsung pada struktur keluarga dan pelaksanaan fungsi-fungsi keluarga, seperti fungsi pengasuhan, perawatan, sosialisasi dan pendidikan anak. Dia menilai, masalah itu muncul akibat ketidakmampuan para suami untuk mengganti peran ibu yang dipercayakan oleh istri selama menjadi TKW di luar negeri. 

Pengurus Ibu-Tin, Mutiah mengatakan, TKW yang bekerja dengan menitipkan anak-anaknya ke kerabat memang banyak dijumpai di Desa Tinumpuk. Meski jumlahnya tidaklah dominan, dia mengatakan, persoalan-persoalan terkait keluarga dalam keluarga TKW tetaplah ada. 

"Pada dasarnya, sebagian besar TKI/TKW itu enggan kalau sampai pulang-pergi ke luar negeri mencari nafkah. Apalagi sampai berkorban meninggalkan keluarga selama beberapa tahun.Tetapi, apa boleh buat, seringkali kondisi mengharuskannya begitu. Lantaran di sini memang lahan pekerjaan sedikit," ujarnya.

Tidak ada komentar: