Rabu, 20 Agustus 2014
Perang Kami, Kedamaian Kami
Menyerap keseharian. Kemudian dalam satu titik merasakan gejolak di dalam rutinitas yang berjalan teratur dan berulang-ulang, seolah-olah mengingat kembali apa yang pernah terasa pada tahun-tahun lampau; kehidupan rupanya tidak begitu beres benar. Ada keresahan, ada eksploitasi, dan perbudakan, dalam bentuknya yang paling halus, maupun paling barbar.
Hal itu mencuat ke dalam kesadaran, ketika kami bertiga saat itu menunggu kedatangan ormas di sebuah warung kecil. Dikabarkan, ormas akan menyerang tempat penyimpanan miras di Jatibarang, Indramayu, saat itu. Jalanan saat itu lengang. Ratusan polisi sudah berjaga-jaga di jalan utama. Sebuah mobil water canon terlihat diparkirkan tidak jauh dari gudang miras yang akan disasar ormas tersebut.
Gudang miras yang disasar ormas itu letaknya tidak jauh dari sebuah rel kereta api yang mengarah ke Stasiun Jatibarang. Suasana di jalan utama, dan sekitar gudang miras saat itu tergolong mencekam.
Lantaran tidak mengetahui persis jam kedatangan ormas itu, Tardi, Yadi, dan aku sudah nongkrong di sebuah warung kopi kecil di sudut sebuah jalan sejak pagi hari. Menunggu kedatangan ormas agar bisa kami potret, dan kami dokumentasikan dalam sebuah berita.
Kami bertiga memilih datang sejak pagi hari. Berharap tidak kehilangan momen ketika ormas itu datang ke Jatibarang. Di warung kecil di sudut jalan itulah, kami menghabiskan waktu-waktu hampir setengah hari. Menghabiskannya dengan menyeruput secangkir kopi murahan, rokok, dan membicarakan apa saja, terutamanya kondisi kelas pekerja media, seperti kami.
Obrolan mengenai kondisi pekerja media itulah yang menarik perhatianku. Karena pada satu titik, aku menyadari, eksploitasi itu benar adanya. Terutama setelah menyimak obrolan Tardi mengenai pengalamannya bekerja sebagai juru warta.
***
Tardi adalah seorang wartawan lokal Indramayu yang sudah cukup malang melintang di dunia media. Sudah tujuh tahun terakhir dia menghabiskan waktunya mencari berita. Di warung kopi kecil itulah, Tardi berkisah pengalamannya banting tulang di koran lokal milik sebuah grup media yang kantor pusatnya di Surabaya.
Berawal sebagai sales di sebuah surat kabar lokal Indramayu. Posisi sales itu menjadi pintu gerbang Tardi memasuki dunia kewartawanan. Lantaran di surat kabarnya itu sedang kekurangan wartawan, tiba-tiba saja Tardi ditarik dari posisi sales ke posisi wartawan. Dari sanalah, sampai saat ini, Tardi menekuni profesinya.
Mendengarkan penuturannya tentang kondisi kerja yang dialami selama lima tahun di korannya yang pertama, sebut saja koran RC, terasa memprihatinkan. "Selama lima tahun itu, saya ga diangkat-angkat jadi kontrak. Tergolongnya, ya, kontributor itu. Dibayar per berita tok, ga ada tunjangan apa-apa. Wah, saya sudah bingung saja. Apalagi ada istri dan anak," kata dia sambil geleng-geleng kepala.
Meski tidak pernah diangkat menjadi karyawan kontrak, namun kerja Tardi bukanlah kerja yang santai. Tetap saja dia dibebani keharusan mengirim berita 3-4 per hari. Belum lagi target mencari pelanggan, dan oplah. Sudah seperti lelucon satir saja; multitasking, single payment.
Setelah lima tahun bekerja di koran RC, grup koran tersebut ternyata membuat koran yang baru lagi, sebut saja namanya koran RI. Banyak dari pekerja koran RC yang hijrah ke koran RI. Tardi pun diajak untuk masuk ke koran tersebut. "Saat ditawari itu, saya dijanjikan bisa mendapatkan status kontrak," katanya.
Lantaran tidak mendapatkan kepastian pengangkatan status, dan kondisi kerja yang buruk, Tardi pun memutuskan pindah. Dua tahun terakhir, Tardi terus meliput untuk koran RI. Meski hanya sebagai pekerja berstatus kontrak, akan tetapi dia menilai kondisi kerjanya yang sekarang cukup baik, karena ada tunjangan-tunjangan tertentu. Selain itu, upahnya pun tergolong stabil bila dibandingkan koran tempat dia sebelumnya bekerja.
Menyimak soal kerja di luar batas kewajaran itu, kenangan teringat ke kawan lainnya, Ardi. Dia juga merupakan wartawan lokal di Indramayu. Suatu saat dia sakit. Demam dan pusing, katanya. Kemudian dia meminta izin kepada atasannya untuk tidak meliput.
Tapi, permintaannya itu, sayangnya, tidak dikabulkan. "Ya kirim-kirim sajalah berita mah, 2-3 berita," kata Ardi menirukan jawaban atasannya.
Ardi tentu saja hanya geleng-geleng kepala. Permintaan atasannya itupun dia kabulkan. Meminta berita kesana-kesini ke sesama wartawan dari kamarnya. "Ya, mau bagaimana lagi," katanya ketika ditanya kenapa dia mau-mau saja menerima perintah atasannya itu di kala sakit.
***
Obrolan di sebuah warung kecil tersebut kemudian terhenti, ketika ratusan petugas polisi yang ada di ruas jalan utama tiba-tiba tampak sibuk bersiaga. Ormas yang ditunggu sejak pagi rupanya sudah dekat ke lokasi. Tidak beberapa lama, dari kejauhan terdengar suara knalpot motor berderung.
Ormas yang ditunggu sejak pagi sudah datang. Jumlah mereka saat itu banyak, mencapai seratusan orang. Tampak juga beberapa di antara mereka yang membawa rotan serta bambu.
Begitu sampai di ruas jalan utama Jatibarang, ormas itu berorasi. Merapalkan kutukan berulang terhadap gudang penyimpanan miras yang ada di sana. Meski sebenarnya gudang itu kosong, karena sebelumnya polisi sudah menyita miras tersebut.
Namun demikian, ormas itu tetap tidak puas. Setelah berorasi, mereka merengsek ke arah gudang. Posisi gudang tersebut dekat dengan Stasiun Kereta Api Jatibarang, persis di depan rel kereta api yang datang dari arah Cirebon.
Saat ormas itu hendak mendekati gudang, dari arah timur rel kereta api tampak sudah bersiaga pula kerumunan orang lainnya. Beberapa ada yang bilang, bahwa kerumunan orang itu adalah preman-preman yang dibayar oleh pemilik gudang. Namun, kebenarannya masih diragukan.
Pastinya, seiring gerombolan ormas dan kerumunan orang tak dikenal itu jaraknya semakin dekat, potensi konflik tidak bisa dihindarkan. Entah siapa yang pertama kali memulai, tiba-tiba saja bebatuan berukuran kecil maupun besar sudah melayang-layang di udara. Bentrokan terjadi. Gas air mata yang dilepaskan oleh aparat kepolisian pun tak terhindarkan. Suasana benar-benar kacau.
Di tengah kerusuhan itu, kulihat Tardi dan beberapa kawan lainnya berupaya mendekati sumber kekacauan. Sambil menenteng kamera, dan pandangan yang berkonsentrasi terhadap sumber kekacauan. Bebatuan yang melayang di sekitar seolah-olah tidak dihiraukan. Meski kemungkinan, bahwa bebatuan tersebut mendarat di kepala mereka terbuka lebar.
Melihat pemandangan itu, menyembul ingatanku tentang obrolan di warung kecil. Obrolan tentang eksploitasi kerja, kesejahteraan, dan resiko-resiko yang harus dihadapi oleh mereka. Benar-benar tidak sebanding.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar