Jumat, 11 Juli 2014

Eretan


Jumat, 30 Mei 2014, sebuah bis dibakar ratusan massa di Jalur Pantai Utara, Desa Eretan Wetan, Kecamatan Kandang Haur, Kabupaten Indramayu. Foto di atas merupakan bangkainya. Peristiwa itu terjadi karena dipicu meninggalnya seorang remaja yang hendak menyebrang jalan, karena ditabrak bis yang dibakar oleh massa tersebut. Pemicu lainnya adalah posisi bis saat itu yang melanggar lalu lintas dengan menerobos jalur berlawanan.

Peristiwa itu sempat membuat Jalur Pantura kacau seharian. Arus kendaraan yang berasal dari arah Subang terhenti, begitu juga dengan kendaraan yang berasal dari arah Cirebon. Jalur Pantura di lokasi kejadian saat itu dipenuhi oleh massa yang berkerumun. Saat aksi pembakaran terjadi, penumpang bis tidak ada yang menjadi korban, sedangkan supir bis berhasil melarikan diri dari sasaran amukan warga. 

Peristiwa itu juga tidak menguntungkan bagi polisi dan wartawan yang datang ke lokasi, terutama pada saat awal-awal kejadian. Terdapat cerita bagaimana seorang polisi yang hendak mengamankan lokasi mengalami luka-luka di bagian kepala karena dihajar massa. Seorang wartawan pun dikabarkan sempat mengalami pemukulan, namun untungnya berhasil melarikan diri.

Tidak lama setelah kejadian, Camat Kandanghaur, Dudung, sempat bercerita, dalam setahun terakhir setidaknya tercatat enam kali sebuah bis dibakar massa di Eretan. Pemicu pembakaran itu sama, akibat kecerobohan berlalu lintas yang menimbulkan korban di sisi pejalan kaki.

Daerah Eretan, bahkan bagi penduduk Indramayu sendiri, dicitrakan sebagai kawasan yang "panas" dan "keras". Citra itu terutama merujuk kepada temperamen penduduknya. Seorang wartawan asal Indramayu, Tomi, sempat bercerita tentang temperamen penduduk Eretan yang cepat naik pitam. 

Dia berpendapat, "panas"-nya temperamen penduduk Eretan ada kaitannya dengan kemiskinan yang meliputi daerah tersebut. Menurutnya, sebagian besar penduduk di sana miskin karena dipengaruhi juga oleh tingkat pendidikan yang rendah. Dengan terbelit masalah kemiskinan ini, dia mengatakan, pemantik untuk meletupkan suatu konflik sosial serta merta tersedia murah. Itulah mengapa cerita pembakaran bis seringkali rutin terdengar di Eretan, menurut pendapatnya. 

Pendapat yang bisa diperdebatkan. 

Daerah Eretan merupakan kawasan pesisir. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai nelayan tradisional, dengan perahu dan alat tangkap ikan yang seadanya. Sebagian besar kawasan pemukiman para nelayan Eretan itu kumuh, dan sangat sederhana. Cocok menjadi gambaran dari ucapan Tomi mengenai kemiskinan di daerah Eretan.  

Namun di tengah-tengah kondisi daerah seperti itu, melintas Jalur Pantura dimana setiap hari didalamnya hilir-mudik ratusan kendaraan berat pengangkut komoditas. Adanya kondisi ini cukup menarik, karena timbul pertanyaan: bagaimana rasanya menjadi seseorang yang setiap harinya dihadapkan oleh kesulitan memenuhi kebutuhan hidup yang mahal, sementara pada saat bersamaan, hilir mudik ratusan kendaraan yang mengangkut motor, mobil, sampai kulkas, untuk diperdagangkan, dan semua itu bisa dilihat dari depan rumah? Seolah-olah barang-barang itu merupakan "sesuatu" yang mudah untuk didapatkan. 

Pertanyaan klasik ekonomi pembangunan selalu menyinggung persoalan distribusi pendapatan. Dalam konteks pertumbuhan ekonomi, biasanya pertanyaan yang muncul adalah untuk siapakah pembangunan itu, siapakah yang paling diuntungkan dalam sebuah pembangunan?

Dalam kaitannya dengan Jalur Pantura, jalur itu telah memberi kontribusi signifikan bagi kelancaran arus bisnis perusahaan-perusahaan besar. Akan tetapi, bagaimanakah pernyataan itu diterapkan dalam kehidupan masyarakat Eretan? 

Di Jalur Pantura, semuanya berlangsung cepat, sedangkan kehidupan orang-orang Eretan sebagian besar dipaksa lambat akibat keterbatasan pendapatan. Dengan kondisi tersebut, apakah adanya jalur tersebut menguatkan mereka, ataukah mereka malah dibuat semakin bingung? Apakah "panas" dan "keras"-nya Eretan merupakan cermin sebuah kebingungan di dunia yang serba cepat...dan asing dalam keseharian?

Tidak ada komentar: