Minggu, 29 Desember 2013

Kehidupan yang Layak


Sebelum natal, hujan selalu turun di Bandung. Curahnya sangat tinggi. Di wilayah Kabupaten Bandung Barat beberapa kali terjadi peristiwa longsor akibat hujan yang hampir setiap hari mengguyur dengan curah yang tinggi tersebut.
Beberapa kali pula aku bertugas meliput peristiwa longsor seperti itu. Bukan pekerjaan yang mudah. Mencapai lokasi longsor seakan-akan bergelut dengan beragam ketidakrasionalan. Mulai dari jarak tempuh yang jauh, medan yang berat, dan tuntutan deadline yang sangat mepet. Alhasil, beberapa minggu terakhir badan serasa remuk.

Kadang terlintas dalam benak, bahwa aku seperti menjalani hidup yang tidak normal selama menjalani aktivitas seperti itu. Tapi, itu hanya lintasan pikiran saja, karena selebihnya pikiranku teralihkan kepada momen-momen yang saat itu tersaji di hadapan mata: longsoran tanah dari perbukitan, rumah yang ambruk, jalanan yang dipenuhi lumpur, bebatuan dan pohon yang tercerabut dari akarnya, serta manusia-manusia yang kebingungan menghadapi kenyataan, bahwa alam ternyata bisa berlaku tanpa ampun. Sebuah visualisasi yang berantakan dan kacau balau.

Minggu-minggu sebelum natal tersebut, apa yang tersaji di hadapan mata seolah-olah kemurungan total; awan hitam, hujan yang mengguyur sangat deras, serta bencana yang mengikutinya seolah-olah mentahbiskan, bahwa kemuraman itu nyata adanya.

Mengendarai motor di tengah-tengah kondisi seperti itu tidaklah menyenangkan. Setiap gerakan tubuh terasa sangat berat karena tertekan oleh air hujan yang mengucur sangat kencang. Apalagi ketika kamu bergerak dengan mengendarai motor besar. Setiap kali pulang ke rumah, rasa-rasanya tubuh seperti digilas oleh sesuatu yang sangat-sangat berat. Kepayahan.

Aku selalu menahan diriku untuk terbawa pertanyaan-pertanyaan tidak penting, seperti kenapa aku harus melakukan hal yang aku lakukan, kenapa aku bisa berada dalam situasi yang serba mendadak dan semacamnya. Aku selalu meyakinkan diriku untuk terus bergerak, dan memakai kacamata kuda; kamu sudah berada di sana, lakukan tugasmu, dan selesaikan dengan sebaik-baiknya. Habis perkara.

Minggu-minggu sebelum natal, setiap harinya aku berada dalam kondisi seperti itu. Di tengah-tengah kemuraman karena cuaca. Di tengah-tengah ketidaktentraman, karena siapa tahu, ada longsor lain lagi di daerah yang lainnya.

Hal seperti itu terus berjalan hari demi harinya. Hingga suatu saat, aku berada di Jalan Ganesha sedang mengendarai motor. Kurasakan saat itu angin sore lembut menyentuh kulit. Matahari dari arah barat memancarkan sinarnya yang terasa hangat. 

Sementara di trotoar, ku melihat sejumlah orang seolah-olah berjalan dengan ringan; sepasang kekasih bergandengan tangan sambil berbicara dengan simpulan senyum yang sesekali mencuat, manula berjalan dengan lambat, seorang ayah menggandeng tangan anaknya. Dari jalan utama, tukang delman pelan-pelan mengarahkan kudanya.

Aku kemudian menepi tepat di depan gerbang masuk bagian barat ITB. Lama aku melihat matahari di arah barat yang akan tenggelam. Kupikir, begitu indahnya suasana. Begitu tentram. Tak lama kemudian aku seperti tersadarkan, sudah empat hari semenjak natal tidak ada hujan. Segalanya tampak terang benderang, dan angin sore yang menerpa saat itu tiba-tiba membuat segala sesuatunya seperti ringan.

Motor kemudian kupacu lagi dengan kecepatan sedang. Aku menyusuri ruas jalan utama; Siliwangi, Balubur, Surapati, Dago, Gasibu, Dipatiukur. Tidak ada tujuan pasti kemana aku akan pergi. Hanya mengikuti ruas jalan. Menikmati sisa-sisa sore yang akan habis. Bila di ruas jalan itu ada belokan, aku belok. Bila pengendara yang lain banyak yang belok, aku belok. Tidak ada tujuan pasti, hanya menikmati suasana, dan terbawa arus entah kemana.

Semasa menjadi pelajar dulu, kegiatan yang kusukai adalah jalan kaki. Bersama-sama kawan, aku pernah berjalan pulang dari sekolah di Jalan Riau sampai perempatan Antapani. Kami sering melakukannya. Tidak hanya sekali-dua kali. Saat itu tidak ada keluhan karena jarak yang jauh atau tidak nyaman. Kami meresapi suasana petang di Kota Bandung dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Berjalan kaki dengan sinar matahari petang yang lembut dan hangat menerpa tubuh. Sesekali senyum mengembang dari wajah kami, entah karena banyolan seorang teman, atau kelakuan bodoh yang baru saja kami lakukan.

Sungguh masih tetap terasa aneh bila kamu berpikir, bagaimana waktu yang terasa menjadi lebih pendek ini, seperti telah merubah banyak dirimu. Sekarang, jalan kaki dengan jarak jauh seperti itu mungkin akan menyita waktu, karena banyak pekerjaan lain yang menunggu. Ya, pekerjaan lain.  

Terlepas dari semuanya, di bawah sinar matahari senja itu, kamu seperti berpikir bahwa dunia sudah berjalan dengan sangat tidak masuk akal selama ini. Tapi, pada saat bersamaan, entah bagaimana ada setitik keyakinan, bahwa di balik semua itu masih ada kehidupan yang layak. Seperti sinar hangat matahari dan suasana sore saat itu.

Tidak ada komentar: