Adakah
tempat yang membuat mu merasa tenang? Seperti apa?
Sepuluh bulan terakhir, kondisi mengharuskan ku menjalani ritme yang naik-turun. Jarang sekali sebuah hari dilalui dengan stabil. Akibatnya, seperti yang pernah kuceritakan pada temanku: rasa-rasanya aku tidak ingat apa-apa, kecuali merasa lelah.
Bagian
menyulitkan dari semua itu adalah bagaimana menjalaninya seorang diri. Mau tak
mau, diri sendiri perlu terus-menerus dilatih agar bisa diandalkan. Tak ada
cara lain. Namun, akhir-akhir ini aku ingat perkataan temanku di waktu lampau. “Terkadang,”
ujarnya, “seseorang akan bertemu seseorang lainnya yang identik.”
Perkataan
temanku itu kadang terngiang di benakku belakangan ini.
Akhir-akhir
ini aku sering berpikir, ada saja tempat untuk tetirah di sudut perkotaan yang
kutinggali ini. Ada saja tempat ku bertemu dengan seseorang. Hari-hari yang
kujalani seorang diri selama ini...ternyata masih menyisakan pertemuan dengan
orang-orang lainnya.
Aku
mengingat sebuah tempat di kawasan Batik Manteron. Aku mengingat sebuah kamar
kosan yang hingar-bingar oleh musik techno dan dub. Aku mengingat sebuah tirai
yang menghalau sinar matahari atau hujan memasuki kamarnya. Di saat dia sibuk
memperdengarkan musik techno dan dub kesukaannya, lalu mengomentarinya, seringkali
aku hanya mengiyakan saja. Sementara konsentrasiku sebenarnya ada di tempat
lain, mengerjakan tugas yang harus diselesaikan.
Dalam
ingatan lainnya, aku mengingat sebuah tempat di kawasan Viaduct. Kali ini
tempatnya adalah sebuah museum. Bukan kos-kosan. Di tempat itu, angin
sepoi-sepoi terasa memabukkan ketika siang sedang terik-teriknya. Di tempat itu
juga, hawa dingin menusuk tulang ketika hujan turun. Namun, di tempat itu juga,
aku merasa semakin kerasan.
Seorang
relasi yang berada dalam kondisi yang sama dengan diriku, lebih dulu mendiami
museum itu. Saban hari dia bisa kerasan duduk-duduk di warung yang terletak di
pinggir museum, sambil berselancar di dunia maya atau mengetik berita melalui
netbooknya. Dia lah yang mengajakku untuk duduk-duduk di sana, dan ajakannya
memang membuatku kerasan sejauh ini.
Ingatanku
beralih ke gelapnya malam. Waktu dimana aku biasa berkendara dari kedua tempat
itu - kos-kosan atau museum itu - ke
kantor atau langsung pulang ke rumah. Mungkin karena akhir-akhir ini menyimpang
ke dua tempat itu cukup rutin, jadi hanya suasana seperti itu yang ku ingat.
Suasana malam yang dingin itu.
Aku
berpikir, memang segala sesuatu tak perlu terlalu diharapkan atau diratapi, ketika
segala sesuatu itu secara alamiah memungkinkan untuk bisa datang dan berlalu
begitu saja. Sebenarnya, biarlah kedatangan dan keberlaluan itu membubuhkan
beragam kesan dan tanda, baik itu yang menyenangkan atau sebaliknya. Penerimaan
harus diusahakan dengan ikhlas di dalam hidup. Sama seperti bila ku mengingat
hilangnya kabar orang-orang yang sempat dekat dulu. Setiap hari adalah hari
yang baru. Jadi, terima lah semuanya. Hidup hanya sementara. Meskipun terasa
berat.
Begitu
juga dengan kebiasaan akhir-akhir ini. Mungkin besok orang-orang yang mendiami
kosan atau museum itu bisa menghilang, dan pasti menghilang. Cepat atau lambat.
Hanya saja, saat ini aku hanya ingin menikmati apa yang masih tersaji di
kehidupanku. Menerima apa yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar