Minggu, 07 Oktober 2012

Tempat Tetirah


Adakah tempat yang membuat mu merasa tenang? Seperti apa?

Sepuluh bulan terakhir, kondisi mengharuskan ku menjalani ritme yang naik-turun. Jarang sekali sebuah hari dilalui dengan stabil. Akibatnya, seperti yang pernah kuceritakan pada temanku: rasa-rasanya aku tidak ingat apa-apa, kecuali merasa lelah.

Bagian menyulitkan dari semua itu adalah bagaimana menjalaninya seorang diri. Mau tak mau, diri sendiri perlu terus-menerus dilatih agar bisa diandalkan. Tak ada cara lain. Namun, akhir-akhir ini aku ingat perkataan temanku di waktu lampau. “Terkadang,” ujarnya, “seseorang akan bertemu seseorang lainnya yang identik.”

Perkataan temanku itu kadang terngiang di benakku belakangan ini.

Akhir-akhir ini aku sering berpikir, ada saja tempat untuk tetirah di sudut perkotaan yang kutinggali ini. Ada saja tempat ku bertemu dengan seseorang. Hari-hari yang kujalani seorang diri selama ini...ternyata masih menyisakan pertemuan dengan orang-orang lainnya.

Aku mengingat sebuah tempat di kawasan Batik Manteron. Aku mengingat sebuah kamar kosan yang hingar-bingar oleh musik techno dan dub. Aku mengingat sebuah tirai yang menghalau sinar matahari atau hujan memasuki kamarnya. Di saat dia sibuk memperdengarkan musik techno dan dub kesukaannya, lalu mengomentarinya, seringkali aku hanya mengiyakan saja. Sementara konsentrasiku sebenarnya ada di tempat lain, mengerjakan tugas yang harus diselesaikan.

Dalam ingatan lainnya, aku mengingat sebuah tempat di kawasan Viaduct. Kali ini tempatnya adalah sebuah museum. Bukan kos-kosan. Di tempat itu, angin sepoi-sepoi terasa memabukkan ketika siang sedang terik-teriknya. Di tempat itu juga, hawa dingin menusuk tulang ketika hujan turun. Namun, di tempat itu juga, aku merasa semakin kerasan.

Seorang relasi yang berada dalam kondisi yang sama dengan diriku, lebih dulu mendiami museum itu. Saban hari dia bisa kerasan duduk-duduk di warung yang terletak di pinggir museum, sambil berselancar di dunia maya atau mengetik berita melalui netbooknya. Dia lah yang mengajakku untuk duduk-duduk di sana, dan ajakannya memang membuatku kerasan sejauh ini.

Ingatanku beralih ke gelapnya malam. Waktu dimana aku biasa berkendara dari kedua tempat itu - kos-kosan atau museum itu  - ke kantor atau langsung pulang ke rumah. Mungkin karena akhir-akhir ini menyimpang ke dua tempat itu cukup rutin, jadi hanya suasana seperti itu yang ku ingat. Suasana malam yang dingin itu.

Aku berpikir, memang segala sesuatu tak perlu terlalu diharapkan atau diratapi, ketika segala sesuatu itu secara alamiah memungkinkan untuk bisa datang dan berlalu begitu saja. Sebenarnya, biarlah kedatangan dan keberlaluan itu membubuhkan beragam kesan dan tanda, baik itu yang menyenangkan atau sebaliknya. Penerimaan harus diusahakan dengan ikhlas di dalam hidup. Sama seperti bila ku mengingat hilangnya kabar orang-orang yang sempat dekat dulu. Setiap hari adalah hari yang baru. Jadi, terima lah semuanya. Hidup hanya sementara. Meskipun terasa berat.

Begitu juga dengan kebiasaan akhir-akhir ini. Mungkin besok orang-orang yang mendiami kosan atau museum itu bisa menghilang, dan pasti menghilang. Cepat atau lambat. Hanya saja, saat ini aku hanya ingin menikmati apa yang masih tersaji di kehidupanku. Menerima apa yang ada.

   

Tidak ada komentar: