Akhir-akhir ini
aku sering berada di tengah massa. Menyaksikan apa yang sedang terjadi, dan
menyimak isu apa yang sedang hangat diperbincangkan di antara mereka. Di
tengah-tengah semua itu, ku merasa ada sebuah asa yang mencuat dari mereka.
Sebuah asa yang mencerminkan optimisme.
Optimisme itu
berasal dari elemen yang berada di level teratas piramida massa (bila memang
piramida imajiner itu diakui). Dengan kata lain, dari mereka-mereka yang
memiliki pengaruh terhadap kehidupan massa secara luas, karena kontrol yang
dimiliki atas kebijakan-kebijakan ‘rumah tangga makro’.Optimisme para ‘elit
massa’ itu terutama berkaitan dengan dongeng tentang pertumbuhan ekonomi.
Dalam setiap
kesempatan, ada saja sembulan dongeng tentang Indonesia sebagai kawasan
prospektif. Ditargetkan, katanya, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di
kisaran 6,8% pada 2013. Elit massa itu optimistis pertumbuhan ekonomi pada
tahun depan akan berada di atas 6%, setelah berkaca pada pertumbuhan ekonomi
tahun 2011 lampau.
Pada tahun itu,
pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat 6,4%. Hal itu didongengkan sebagai
sesuatu yang baik. Mengingat, situasi perekonomian global saat itu (hingga
sekarang) berada dalam kondisi yang limbung. Beberapa negara di kawasan Eropa
terkena krisis finansial, sementara sektor perumahan di Amerika Serikat masih mengalami
efek-efek kredit macet yang pertama kali mencuat ke permukaan pada 2009.
Akibatnya bagi
perdagangan dunia, kedua kawasan itu menjadi tempat yang buruk untuk bisnis.
Permintaan melemah bersamaan dengan meningginya tingkat pengangguran, suasana
tak kondusif karena gerombolan warga turun ke jalanan menuntut kehidupan yang
lebih baik. Bagi negara yang biasa biasa berdagang di kedua kawasan itu, cerita-cerita
seperti itu artinya ada pelemahan pasar: barang dan jasa bisa menganggur karena
tak terjual. Efek lanjutannya kemudian adalah bagaimana dongeng realisasi
ekspor melemah di luar kebiasaan.
Indonesia berada
di tengah situasi demikian pada 2011. Namun, berdasarkan dongeng yang
berhembus, pertumbuhan ekonominya tetap meningkat. Apa sebab? Konon, pasar
domestik Indonesia menjadi sebabnya. Dikisahkan, meski daya beli massa di
kawasan Eropa dan AS melemah, tidak demikian halnya dengan Indonesia. Daya beli
massa yang kawasannya sempat dipimpin Mahapatih Gajahmada berabad-abad silam
itu cukup kuat. Hal itu jugalah yang menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia,
hingga sekarang. Konon.
Seorang menteri,
belum lama ini, juga mengemukakan optimismenya, setelah mengamati bahwa neraca
perdagangan Indonesia yang surplus, dan defisit yang rendah pada September
2012.
Optimisme
lainnya, adalah tentang investasi di negeri ini. Dongeng tentang investasi itu
masih cukup segar; mengambil waktu pada Oktober 2012. Didongengkan, nilai investasi
di Indonesia hingga triwulan III/2012 menjadi rekor terbaru. Nilainya mencapai
Rp 229,9 triliun, dan meningkat 27% dibandingkan tahun lalu pada periode yang
sama.
Berdasarkan dongeng-dongeng
optimisme pertumbuhan tersebut, mungkin bisa juga menjadi dasar bagi para pendongeng
untuk mendongengkan hal lainnya. Contohnya, seperti dongeng tentang Indonesia sebagai
negara yang diproyeksikan menyerupai negara-negara ‘baru’ yang menjadi ‘mammoth’
perekonomian global, seperti BRIC (Brazil-Rusia-India-China).
Indonesia, dalam
hal ini, didongengkan sebagai calon ‘mammoth perekonomian baru’, bersanding
dengan negara-negara seperti Meksiko, Korea Selatan, dan Turki.
***
Pada akhirnya,
yang kuamati selama ini memang hanyalah angka statistik, dan dongeng yang
dikisahkan elit massa.... Mengambil analogi hilir sebuah sungai, dongeng
seperti itu muaranya bisa kemana saja; apakah berakhir sebagai desas-desus yang
berputar-putar di udara, atau sampai ke bumi, tempat massa dari berbagai
piramida sosial itu berpijak.
Aku pernah
berbincang-bincang dengan seseorang mengenai pertumbuhan ekonomi ini. Temanya
klasik, dan sudah didongengkan pula di mana-mana, yakni tentang pertumbuhan
ekonomi yang berkualitas.
Perbincangan itu pada
mulanya berpijak pada angka statistik yang biasa diumumkan oleh pemerintah.
Dikisahkan, pasangan bicara ku itu pernah berada dalam situasi perdebatan
dengan sebuah ormas agama. Ormas itu mempermasalahkan laporan statistik
pemerintah tentang keberhasilan pembangunan yang dicirikan oleh peningkatan
pendapatan.
Dia berkisah,
berdasarkan laporan pemerintah, tingkat keberhasilan pembangunan meningkat
bersamaan dengan adanya peningkatan pendapatan masyarakat. Ormas itu rupanya tidak
merasakan bahwa kehidupan yang mereka jalani itu selaras dengan angka yang
tertera di laporan statistik.
Lawan bicaraku
itu bukan orang sembarangan. Dia pintar, dan paham betul soal metode statistik.
Mengenai perdebatan laporan statistik itu, dia berujar, “Sebenarnya, inti permasalahan bukan pada salahnya metode perhitungan
indikator-indikator
kemiskinan dalam laporan statistik itu, tetapi masyarakat memang
melihat dan merasakan hal-hal yang tidak terepresentasikan oleh
indikator-indikator tersebut.”
Masyarakat
sebagai sebuah totalitas, terdiri dari beragam lapisan sosial. Dalam konteks ini,
indikator lapisan sosial itu mengambil bentuk strata berdasarkan pendapatan
ekonomi: ada mereka yang berada di strata menengah ke atas, karena
pendapatannya sebesar sekian, dan ada
mereka yang menengah ke bawah karena pendapatannya sebesar sekian.
Sementara dalam
laporan statistik dari pemerintah, lapisan-lapisan sosial yang ada di masyarakat itu tidak pernah
diikutsertakan semuanya. Terkecuali masyarakat dari lapisan sosial yang
berpendapatan ekonomi menengah ke atas.
Kenapa hanya
mereka yang berpendapatan ekonomi menengah ke atas saja? Berdasarkan dongeng
lawan bicaraku itu, metode statistik yang dipakai oleh pemerintah biasanya
hanya menampilkan angka rata-rata umum. Jumlah angka rata-rata umum tersebut,
menurut dia, dikalkulasikan dari variabel-variabel yang memiliki nilai
tertinggi saja.
Bila konsep
seperti itu diturunkan ke bumi tempat masyarakat dari beragam lapisan sosial
berpijak, itu artinya hanya masyarakat yang berasal dari piramida tertinggi (dan
paling sedikit jumlahnya) saja yang dimasukan dalam penghitungan. Sementara masyarakat
yang berada di lapisan menengah ke bawah tidak.
“Otoritas
statistik itu sebenarnya mengetahui, bahwa terdapat beragam lapisan sosial di
masyarakat. Namun, hingga saat ini saya tidak mengetahui kenapa beragam lapisan
sosial itu tidak dimasukkan agar lebih komprehensif,” ujarnya, “ saya menduga,
ada beberapa hal (kenapa tidak seluruh variabel lapisan sosial dimasukkan dalam
statistik) penyebabnya. Pertama, penghitungan seperti itu membutuhkan proses
rumit, dan waktu lama. Kedua, otoritas tersebut memang mengasumsikan bahwa
lapisan sosial itu ada, bahwa mereka yang miskin itu ada, dan sudah menjadi ‘pengetahuan
umum’ (?). Dengan demikian, tidak dimasukkan (ke dalam indikator statistik).”
Berdasarkan
obrolan ku dengan dia, dongeng pertumbuhan ekonomi berkualitas yang selama ini
beredar, tampaknya cenderung mengarah ke desas-desus. Dengan kata lain,
cenderung menjadi konsep yang canggih, namun berantakan ketika dibawa ke level
praktis.
Dan itu baru dari
segi laporan statistik. Sebuah cermin satu sisi dari realitas pendapatan
masyarakat. Belum langsung menyentuh kondisi yang membuat pendapatan masyarakat
berbeda-beda, dan dalam titik ekstrimnya, seringkali membuat ketimpangan yang
dalam.
***
Saat ini, lawan
bicaraku itu sedang membuat proyek bersama kolega-koleganya. Secara umum,
proyeknya itu berada di tataran statistik. Meski tidak tertutup kemungkinan
meluas juga ke bidang-bidang lainnya yang terkait pertumbuhan ekonomi.
Terkait proyek
statistik itu, dia bersama koleganya membuat suatu kanal yang menyediakan
laporan statistik dengan menggunakan indikator-indikator alternatif yang selama
ini jarang digunakan. Dia menyontohkan indikator kemiskinan yang selama ini
digunakan pemerintah.
“Selama ini indikator kemiskinan yang digunakan oleh
pemerintah adalah mereka yang memiliki pendapatan Rp 200.000/orang. Padahal,
ada indikator alternatif yang diakui dunia internasional, yakni pendapatan
sebesar 2 dolar AS/orang, atau sekitar Rp 10.000/orang,” katanya.
Dia mempunyai pemikiran, perdebatan mengenai
pertumbuhan ekonomi yang terjadi di masyarakat akan berkualitas bila tersedia
juga data yang komprehensif mengenainya. Dengan ada laporan statistik
alternatif, masyarakat bisa dibekali dengan data ketika mengawasi kinerja
pemerintah dalam hal pembangunan ekonomi. Menurutnya, hal itu bisa meningkatkan
kualitas demokrasi.
Dongeng yang canggih.
Dari sekian banyak dongeng perekonomian yang sampai ke
telinga akhir-akhir ini, aku terkesan dengan dongeng yang sempat dia utarakan.
Apalagi, latar belakang orang itu juga tidak asal-asalan. Saat ini, dia bekerja
di sebuah fakultas ekonomi perguruan tinggi negeri di Bandung. Begitupun dengan
kolega dia yang membuat proyek kanal data statistik alternatif tersebut.
Setidaknya, dalam pandanganku, kredibilitas laporan statistik mereka dapat
dipertanggungjawabkan nantinya, karena berasal dari sebuah lembaga ilmiah yang
relatif independen dari intervensi politis.
***
Dongeng perekonomian, bagiku, seringkali terdengar
absurd. Contohnya, seperti optimisme yang kudongengkan pada awal-awal tulisan
ini. Lalu, dongeng tentang laporan statistik yang tidak mencerminkan realitas
yang ada, seperti dikisahkan lawan bicaraku itu.
Dalam titik tertentu, aku seperti membaca berita
tentang 40 ribu kepala keluarga di Kab. Karawang tidak teraliri listrik, karena
tidak memiliki dana untuk memasang jaringan listrik. Sementara pada waktu
bersamaan, terdapat berita tentang pemerintah pusat yang menargetkan pembangunan bandara baru di
Karawang yang berkonsep eco green, serta dilengkapi fasilitas jalan tol dan
kereta api, pada 2015. Sungguh absurd.
Dalam hal ini, aku semakin berkeyakinan, bahwa
pertumbuhan ekonomi berkualitas cenderung mengarah ke desas-desus. Ia masuk ke
telinga orang-orang, namun keluar lagi dengan cepat, dan menghabiskan sebagian
besar waktunya berputar-putar di udara....
Jadi, apa yang harus dilakukan sekarang?
Aku belum tahu. Aku belum tahu. Terlalu banyak dongeng
yang keluar masuk di telingaku.... Saat ini aku hanya butuh waktu untuk
mencerna semua keabsurdan dongeng-dongeng itu.
3 komentar:
nice post, Bo.
mungkin ada baiknya enggak terlalu sering denger dongeng yah kita :)
Hai, Fi. Makasii :)
hehe, iya...ada baiknya...hehe.
JPSPOKER adalah Situs Poker Online paling terpercaya dan terbesar di indonesia dan J P S P O K E R memberikan pelayanan yang sangat ramah dan sopan bagi playernya
ayo buruan bergabung di J P S P O K E R khusus new member kami memberikan bonus 10.000 minimal mendeposit 15.000. daftarkan dirimu dam dapatkan bonus new membernya
dan dapatkan bonus yang lainnya yang hanya ada di J P S P O K E R
Posting Komentar