Jumat, 26 Oktober 2012

Desas-desus: Pertumbuhan Ekonomi



Akhir-akhir ini aku sering berada di tengah massa. Menyaksikan apa yang sedang terjadi, dan menyimak isu apa yang sedang hangat diperbincangkan di antara mereka. Di tengah-tengah semua itu, ku merasa ada sebuah asa yang mencuat dari mereka. Sebuah asa yang mencerminkan optimisme.

Optimisme itu berasal dari elemen yang berada di level teratas piramida massa (bila memang piramida imajiner itu diakui). Dengan kata lain, dari mereka-mereka yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan massa secara luas, karena kontrol yang dimiliki atas kebijakan-kebijakan ‘rumah tangga makro’.Optimisme para ‘elit massa’ itu terutama berkaitan dengan dongeng tentang pertumbuhan ekonomi.

Dalam setiap kesempatan, ada saja sembulan dongeng tentang Indonesia sebagai kawasan prospektif. Ditargetkan, katanya, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 6,8% pada 2013. Elit massa itu optimistis pertumbuhan ekonomi pada tahun depan akan berada di atas 6%, setelah berkaca pada pertumbuhan ekonomi tahun 2011 lampau.

Pada tahun itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat 6,4%. Hal itu didongengkan sebagai sesuatu yang baik. Mengingat, situasi perekonomian global saat itu (hingga sekarang) berada dalam kondisi yang limbung. Beberapa negara di kawasan Eropa terkena krisis finansial, sementara sektor perumahan di Amerika Serikat masih mengalami efek-efek kredit macet yang pertama kali mencuat ke permukaan pada 2009.

Akibatnya bagi perdagangan dunia, kedua kawasan itu menjadi tempat yang buruk untuk bisnis. Permintaan melemah bersamaan dengan meningginya tingkat pengangguran, suasana tak kondusif karena gerombolan warga turun ke jalanan menuntut kehidupan yang lebih baik. Bagi negara yang biasa biasa berdagang di kedua kawasan itu, cerita-cerita seperti itu artinya ada pelemahan pasar: barang dan jasa bisa menganggur karena tak terjual. Efek lanjutannya kemudian adalah bagaimana dongeng realisasi ekspor melemah di luar kebiasaan.

Indonesia berada di tengah situasi demikian pada 2011. Namun, berdasarkan dongeng yang berhembus, pertumbuhan ekonominya tetap meningkat. Apa sebab? Konon, pasar domestik Indonesia menjadi sebabnya. Dikisahkan, meski daya beli massa di kawasan Eropa dan AS melemah, tidak demikian halnya dengan Indonesia. Daya beli massa yang kawasannya sempat dipimpin Mahapatih Gajahmada berabad-abad silam itu cukup kuat. Hal itu jugalah yang menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia, hingga sekarang. Konon.

Seorang menteri, belum lama ini, juga mengemukakan optimismenya, setelah mengamati bahwa neraca perdagangan Indonesia yang surplus, dan defisit yang rendah pada September 2012.    

Optimisme lainnya, adalah tentang investasi di negeri ini. Dongeng tentang investasi itu masih cukup segar; mengambil waktu pada Oktober 2012. Didongengkan, nilai investasi di Indonesia hingga triwulan III/2012 menjadi rekor terbaru. Nilainya mencapai Rp 229,9 triliun, dan meningkat 27% dibandingkan tahun lalu pada periode yang sama.

Berdasarkan dongeng-dongeng optimisme pertumbuhan tersebut, mungkin bisa juga menjadi dasar bagi para pendongeng untuk mendongengkan hal lainnya. Contohnya, seperti dongeng tentang Indonesia sebagai negara yang diproyeksikan menyerupai negara-negara ‘baru’ yang menjadi ‘mammoth’ perekonomian global, seperti BRIC (Brazil-Rusia-India-China).

Indonesia, dalam hal ini, didongengkan sebagai calon ‘mammoth perekonomian baru’, bersanding dengan negara-negara seperti Meksiko, Korea Selatan, dan Turki.

***
Pada akhirnya, yang kuamati selama ini memang hanyalah angka statistik, dan dongeng yang dikisahkan elit massa.... Mengambil analogi hilir sebuah sungai, dongeng seperti itu muaranya bisa kemana saja; apakah berakhir sebagai desas-desus yang berputar-putar di udara, atau sampai ke bumi, tempat massa dari berbagai piramida sosial itu berpijak.

Aku pernah berbincang-bincang dengan seseorang mengenai pertumbuhan ekonomi ini. Temanya klasik, dan sudah didongengkan pula di mana-mana, yakni tentang pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.

Perbincangan itu pada mulanya berpijak pada angka statistik yang biasa diumumkan oleh pemerintah. Dikisahkan, pasangan bicara ku itu pernah berada dalam situasi perdebatan dengan sebuah ormas agama. Ormas itu mempermasalahkan laporan statistik pemerintah tentang keberhasilan pembangunan yang dicirikan oleh peningkatan pendapatan.

Dia berkisah, berdasarkan laporan pemerintah, tingkat keberhasilan pembangunan meningkat bersamaan dengan adanya peningkatan pendapatan masyarakat. Ormas itu rupanya tidak merasakan bahwa kehidupan yang mereka jalani itu selaras dengan angka yang tertera di laporan statistik.

Lawan bicaraku itu bukan orang sembarangan. Dia pintar, dan paham betul soal metode statistik. Mengenai perdebatan laporan statistik itu, dia berujar, “Sebenarnya, inti permasalahan bukan pada salahnya metode perhitungan indikator-indikator kemiskinan dalam laporan statistik itu, tetapi masyarakat memang melihat dan merasakan hal-hal yang tidak terepresentasikan oleh indikator-indikator tersebut.”

Masyarakat sebagai sebuah totalitas, terdiri dari beragam lapisan sosial. Dalam konteks ini, indikator lapisan sosial itu mengambil bentuk strata berdasarkan pendapatan ekonomi: ada mereka yang berada di strata menengah ke atas, karena pendapatannya sebesar sekian, dan ada mereka yang menengah ke bawah karena pendapatannya sebesar sekian.

Sementara dalam laporan statistik dari pemerintah, lapisan-lapisan sosial yang ada di masyarakat itu tidak pernah diikutsertakan semuanya. Terkecuali masyarakat dari lapisan sosial yang berpendapatan ekonomi menengah ke atas.

Kenapa hanya mereka yang berpendapatan ekonomi menengah ke atas saja? Berdasarkan dongeng lawan bicaraku itu, metode statistik yang dipakai oleh pemerintah biasanya hanya menampilkan angka rata-rata umum. Jumlah angka rata-rata umum tersebut, menurut dia, dikalkulasikan dari variabel-variabel yang memiliki nilai tertinggi saja.

Bila konsep seperti itu diturunkan ke bumi tempat masyarakat dari beragam lapisan sosial berpijak, itu artinya hanya masyarakat yang berasal dari piramida tertinggi (dan paling sedikit jumlahnya) saja yang dimasukan dalam penghitungan. Sementara masyarakat yang berada di lapisan menengah ke bawah tidak.

“Otoritas statistik itu sebenarnya mengetahui, bahwa terdapat beragam lapisan sosial di masyarakat. Namun, hingga saat ini saya tidak mengetahui kenapa beragam lapisan sosial itu tidak dimasukkan agar lebih komprehensif,” ujarnya, “ saya menduga, ada beberapa hal (kenapa tidak seluruh variabel lapisan sosial dimasukkan dalam statistik) penyebabnya. Pertama, penghitungan seperti itu membutuhkan proses rumit, dan waktu lama. Kedua, otoritas tersebut memang mengasumsikan bahwa lapisan sosial itu ada, bahwa mereka yang miskin itu ada, dan sudah menjadi ‘pengetahuan umum’ (?). Dengan demikian, tidak dimasukkan (ke dalam indikator statistik).”

Berdasarkan obrolan ku dengan dia, dongeng pertumbuhan ekonomi berkualitas yang selama ini beredar, tampaknya cenderung mengarah ke desas-desus. Dengan kata lain, cenderung menjadi konsep yang canggih, namun berantakan ketika dibawa ke level praktis.

Dan itu baru dari segi laporan statistik. Sebuah cermin satu sisi dari realitas pendapatan masyarakat. Belum langsung menyentuh kondisi yang membuat pendapatan masyarakat berbeda-beda, dan dalam titik ekstrimnya, seringkali membuat ketimpangan yang dalam.     

***
Saat ini, lawan bicaraku itu sedang membuat proyek bersama kolega-koleganya. Secara umum, proyeknya itu berada di tataran statistik. Meski tidak tertutup kemungkinan meluas juga ke bidang-bidang lainnya yang terkait pertumbuhan ekonomi.

Terkait proyek statistik itu, dia bersama koleganya membuat suatu kanal yang menyediakan laporan statistik dengan menggunakan indikator-indikator alternatif yang selama ini jarang digunakan. Dia menyontohkan indikator kemiskinan yang selama ini digunakan pemerintah. 
“Selama ini indikator kemiskinan yang digunakan oleh pemerintah adalah mereka yang memiliki pendapatan Rp 200.000/orang. Padahal, ada indikator alternatif yang diakui dunia internasional, yakni pendapatan sebesar 2 dolar AS/orang, atau sekitar Rp 10.000/orang,” katanya.

Dia mempunyai pemikiran, perdebatan mengenai pertumbuhan ekonomi yang terjadi di masyarakat akan berkualitas bila tersedia juga data yang komprehensif mengenainya. Dengan ada laporan statistik alternatif, masyarakat bisa dibekali dengan data ketika mengawasi kinerja pemerintah dalam hal pembangunan ekonomi. Menurutnya, hal itu bisa meningkatkan kualitas demokrasi.

Dongeng yang canggih.

Dari sekian banyak dongeng perekonomian yang sampai ke telinga akhir-akhir ini, aku terkesan dengan dongeng yang sempat dia utarakan. Apalagi, latar belakang orang itu juga tidak asal-asalan. Saat ini, dia bekerja di sebuah fakultas ekonomi perguruan tinggi negeri di Bandung. Begitupun dengan kolega dia yang membuat proyek kanal data statistik alternatif tersebut. Setidaknya, dalam pandanganku, kredibilitas laporan statistik mereka dapat dipertanggungjawabkan nantinya, karena berasal dari sebuah lembaga ilmiah yang relatif independen dari intervensi politis.

***
Dongeng perekonomian, bagiku, seringkali terdengar absurd. Contohnya, seperti optimisme yang kudongengkan pada awal-awal tulisan ini. Lalu, dongeng tentang laporan statistik yang tidak mencerminkan realitas yang ada, seperti dikisahkan lawan bicaraku itu. 

Dalam titik tertentu, aku seperti membaca berita tentang 40 ribu kepala keluarga di Kab. Karawang tidak teraliri listrik, karena tidak memiliki dana untuk memasang jaringan listrik. Sementara pada waktu bersamaan, terdapat berita tentang pemerintah pusat yang  menargetkan pembangunan bandara baru di Karawang yang berkonsep eco green, serta dilengkapi fasilitas jalan tol dan kereta api, pada 2015. Sungguh absurd.

Dalam hal ini, aku semakin berkeyakinan, bahwa pertumbuhan ekonomi berkualitas cenderung mengarah ke desas-desus. Ia masuk ke telinga orang-orang, namun keluar lagi dengan cepat, dan menghabiskan sebagian besar waktunya berputar-putar di udara....

Jadi, apa yang harus dilakukan sekarang? 

Aku belum tahu. Aku belum tahu. Terlalu banyak dongeng yang keluar masuk di telingaku.... Saat ini aku hanya butuh waktu untuk mencerna semua keabsurdan dongeng-dongeng itu.

3 komentar:

Efi Yanuar mengatakan...

nice post, Bo.
mungkin ada baiknya enggak terlalu sering denger dongeng yah kita :)

abo mengatakan...

Hai, Fi. Makasii :)
hehe, iya...ada baiknya...hehe.

JPS POKER mengatakan...

JPSPOKER adalah Situs Poker Online paling terpercaya dan terbesar di indonesia dan J P S P O K E R memberikan pelayanan yang sangat ramah dan sopan bagi playernya
ayo buruan bergabung di J P S P O K E R khusus new member kami memberikan bonus 10.000 minimal mendeposit 15.000. daftarkan dirimu dam dapatkan bonus new membernya
dan dapatkan bonus yang lainnya yang hanya ada di J P S P O K E R