Tentu saja gampang memprotes apapun yang kita mau. Kita punya mulut, kita punya bacot. Atau bila tidak bisa ngebacot, kita bisa menulis. Menuliskan kata-kata yang beralasan ilmiah, dengan struktur ilmiah pula. Membuatnya menjadi semacam ‘mantra’ yang diselipkan ke dalam kalimat, seperti yang kamu baca di buku-buku kebudayaan dan politik itu. Dengan bisa mengucapkannya saja, kamu seakan-akan seorang pemikir handal. Singa podium.Membuat yang lain takjub sama diri kamu yang keren itu, karena kamu mengenal kata-kata semacam phantasme, afirmasi, disjungsi…atau apapun lah. Intinya, kata-kata itu membuat kamu lebih keren.
Atau bila belum cukup keren, bisalah kamu bisa mengutip orang-orang terkenal. Selipkan kutipan itu diantara obrolan, atau tulisan yang kamu lakukan…selipkan itu siapa Deleuze, siapa itu Freud, siapa itu Epicurus, siapa itu Emma Goldman, atau siapa itu Guy Debord. Siapapun. Semakin rumit apa yang orang-orang itu sampaikan, semakin keren imej mu sebagai pembangkang berwawasan intelek (karena bisa mengulang apa yang mereka katakan). Dengan begitu, semakin tinggi kamu diperhatikan, dan disegani.
Tapi sudah cukup disini, karena kata-kata pun memiliki ilusinya sendiri. Begitu banyak diksi, begitu banyak metafora, begitu banyak hiperbola, begitu banyak komposisi. Terkadang dia seperti mantra…atau film porno…membuatmu ejakulasi, tetapi didepan layar, bukan didepan orang yang bercinta dengan mu. Tidak real. Ilusi.
Dan masalah seperti ini, sudah pasti dihinggapi oleh kalangan seperti mahasiswa. Petani atau tukang becak tidak punya masalah seperti ini. Petani dan tukang becak mah kampring. Yang mereka tahu cuman duit, dan bayar utang. Udah gitu bau keringat lagi. Tidak seperti mahasiswa, mereka bisa hot spot-an di kampus sambil nunggu kuliah. Mereka bisa browsing buka-buka situs yang berbahasa inggris. Download bokep dan segala macem. Lebih gaya daripada tukang becak, kalau ngomongin mahasiswa mah. Mahasiswa punya akses ke dunia luar, dunia yang berbeda dengan lingkungannya, tetapi mempengaruhi lingkungannya.
Makanya, paling sedap kalau mahasiswa sudah diajak untuk ngejelasin fenomena sosial. Mereka punya segepok teori, dan seabreg metode penelitian. Jadinya ada semacam label yang disematkan dikening mereka: agen perubahan. Dalam perubahan sosial, mereka adalah ‘avant-garde’. Terdepan dan terbaru. Dengan terbukanya akses informasi, mereka siap mentransformasikan sebuah masyarakat ke arah yang lebih ‘benar’.
Waduk, anjing. Tai ucing.
Apa yang bisa mereka kerjakan? Ngebacot dengan segudang kata-kata ga jelas, ngebacot nilai ideal yang dogmatis, ngebacot dengan kebanggaannya sebagai mahasiswa yang dikultuskan sebagai motor perubahan. Waduuuukkkkkk, anjiiiiiiiinggg!!!!!
Apa yang saya anggap sebagai mahasiswa adalah mereka yang tidak pernah tuntas ngelakuin sesuatu. Tarik satu contoh: demonstrasi. Uh, ini paling seksi buat mahasiswa. Demonstrasi adalah kata lain buat mengatakan, kalau diri saya keren, karena radikal. Dengan begitu, saya jadi yang paling seksi. Dan itu juga yang ngebuat pekerjaan ga tuntas-tuntas…, karena yang mereka lakukan hanya melompat dari satu demonstrasi ke demonstrasi yang lain. Tanpa pernah ada semangat untuk memilih satu pekerjaan, dan menekuninya hingga menjadi sebuah pergerakan yang memiliki landasan yang kuat dan solid. Selalu saja ingin memulai dengan langkah besar, seringkali reaksioner pula. Hanya kalau ada isu yang besar saja mereka baru turun demo. Sesudah demo, balik lagi ke kampus.
Contoh lain: KKN. Anjing. Ini apalagi…buat saya jadi kaya ajang yang nontonin betapa ga nyambungnya mahasiswa sama orang-orang yang “non-mahasiswa”. Ngangkat pupuk ngeluh, ngobrol ma peternak sapi ga mau da bau tai sapi si peternaknya, jalan di sawah nyerocos terus da lumpurnya kena sepatu. anjiiiinggggg, naon deui atuh! Tapi disisi lain, tabiat arogan mereka timbul lagi, ketika ngobrol program sama pejabat kelurahan. Ngomong ini-itu make segepok teori. Pake kata-kata ilmiah yang ga tau artinya apa. Dengan begitu, seolah-olah mereka paling tau adat disana. Serasa motor perubahan dan terjebak ilusi na tea.
Perubahan naon lah…empat atau tujuh tahun juga mahasiswa mah bisa lulus. Tenaganya udah bisa dimanfaatin sama yang punya saham. Udah gitu, mereka bisa bangga, berkoar ke siapapun tentang pekerjaannya yang digaji tiga juta rupiah sebulan (belum ditambah uang pesangon). Perubahan naon lah. Waduk. Ngomongin mahasiswa, umpamanya mah kaya, ngeloncatin tai kuda untuk mendarat di tai kuda yang lain. Lompat dari satu ilusi ke ilusi yang lain.
Gimana mau perubahan, ngobrol sama tukang odading wae teu nyambung. Apa yang mau dirubah, kalau gaji tiga juta sebulan bikin kamu ngangguk-ngangguk aja ama si bos. Motor perubahan naon…mun tabiat aroganna masih kitu keneh. Mungkin agen perubahan itu emang ilusi. Karena sebenarnya dunia memang baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dirubah. Kalaupun ada yang berubah, toh, itu cuman perubahan di gedung parlemen aja. Karena orang-orang di gedung parlemen juga dulunya kan mahasiswa, dulunya agen perubahan. Perubahan dikalangan mereka aja (da tara pernah nyambung mun ngobrol jeung tukang odading mah). Sebenarnya dunia baik-baik saja, tanpa harus ada ‘agen perubahan’.
Dan membicarakan ini, ujung-ujungnya selalu tidak jelas. Solusinya juga pasti standar: kalau ga balik lagi ke diri sendiri, ya, saya nya aja yang sentimen dan nyama-ratain semuanya. Soalnya ini masalah motif, siapa yang tau kedalaman hati manusia. Bahkan selama dua puluh empat tahun ini, belum tentu saya mengenal Ayah atau Ibu saya sendiri. Tapi, pastinya saya akan keluar duluan dari shaf, kalau ada orang-orang yang ngaku sebagai agen perubahan ‘avant-garde’ ini tiba-tiba datang dan berkoar, kalo mereka paling tahu apa yang harus saya lakukan dalam hidup saya.