Kamis, 30 Juli 2009
Minggu, 26 Juli 2009
Extrovert on Effect
Pelepasan Ekstrovert on Effect
Bagi beberapa orang, musik adalah wadah untuk menyalurkan segala emosi yang tidak tercurahkan dalam kehidupan sehari-hari. Makanya, seringkali kita mendengarkan musik dengan beragam warna “emosi”. Ada lagu yang terdengar sendu, senang, bahkan tidak jarang yang penuh dengan kemarahan. Dalam hal ini, musik menjadi “katarsis” bagi sang komposer. Sebuah curahan rasa dan pikiran dalam wujud komposisi lagu.
Terkait musik sebagai sarana pelepasan emosi, mungkin kita bisa melihat ke band elektro-disko-rock yang berasal dari Bandung, yakni Extrovert on Effect. Sebuah band yang didalamnya hanya terdiri dari dua personil, yakni Widdi Rangga Nugraha Rachmansyah Setiawan (groove box) dan Andika Krisnan alias Decay (synth). Dalam keseharian, duo ini bagai buah pinang dibelah dua. Keduanya memiliki karakter pendiam, bahkan cenderung pemalu. Tetapi, bila sudah ada di atas panggung untuk mementaskan musik, mereka tidak segan-segan untuk berlarian ke sana kemari, bahkan hingga berjingkrak-jingkrak liar.
“Mungkin itu adalah salah satu alasan, kenapa saya masih tetap bertahan di band ini. Saya memang senang sekali berada di panggung, memainkan musik kami dengan leluasa. Semuanya seperti terlepaskan, ketika berada di panggung,” ujar Widdi saat ditemui Bandung Ekspres, Jumat (17/7).
Selain itu, ada alasan yang cukup unik juga mengapa Widdi dan Decay menyematkan kata “Ekstrovert on Effect” sebagai nama band. Nama itu dipilih semata-mata, karena pada dasarnya mereka memiliki keinginan untuk menjadi pribadi yang ekstrovert, sebuah pribadi yang, menurut Jung (dalam Lefrancus, 1979: 421), ditandai dengan pribadi yang mudah bergaul, terbuka, dan mudah mengadakan hubungan dengan orang lain alias “supel”.
Karakter keseharian personil Ekstrovert on Effect ini pada dasarnya memang kebalikan dari ekstrovert, yakni introvert. Baik Widdi maupun Decay, keduanya mengaku adalah pribadi dengan karakter yang cenderung pemalu dan bisa dikatakan tidak supel bila berhubungan dengan orang lain. Bahkan, Widdi menambahkan, kepribadian yang tidak supel itu terkadang membawa dampak tidak baik juga terhadap kelangsungan band.
“Terkadang, untuk masalah relasi jadi terhambat. Padahal, dengan banyaknya relasi, setidaknya band bisa menjadi berkembang. Yah, setidaknya frekuensi mentas bisa meningkat,” kata Widdi.
Tentunya setiap orang mempunyai alasan tersendiri, ketika melakukan sesuatu. Seperti duo Widdi dan Decay ini, misalnya. Menjadi ekstrovert, dalam artian mudah bergaul, ternyata menjadi satu alasan mengapa mereka bergabung dan mengaransemen lagu dalam sebuah band bernama Ekstrovert on Effect. Nah, sekarang pertanyaannya, mengapa harus memakai kata “on Effect” di belakang Ekstrovert? “Kami ingin menjadi ekstrovert melalui suara-suara yang keluar dari efek yang kami mainkan,” jelas Widdi sambil tertawa.
Dulunya Jarang Menyapa, Sekarang Bekerja Sama
Sebenarnya duo yang tergabung dalam sebuah band bergenre rock/elektronik bernama Extrovert on Effect, yaitu Widdi Rangga Nugraha Rachmansyah Setiawan (groove box) dan Andika Krisnan alias Decay (synth), ini berasal dari satu sekolah yang sama. Tetapi, percaya atau tidak, selama tiga tahun menghabiskan waktu di tempat yang sama, kedua orang tersebut tidak saling mengenal. “Bahkan, waktu masih sekolah juga kami tidak pernah berbincang-bincang,” kata Widdi sambil diikuti oleh senyum kecil Decay saat ditemui oleh Bandung Ekspres, Jumat (16/7).
Widdi dan Decay menjadi dekat justru pada saat keduanya telah memasuki bangku kuliah. Saat itu, Widdi masih tergabung dalam band bernama Billygigs the Archionist. Sebuah band yang bergenre rock ‘n roll dan terpengaruh oleh sound yang ditawarkan oleh The International Noise Conspiracy (sebuah band rock dari Swedia, dimana salah satu personilnya, yaitu Dennis, merupakan mantan vokalis band hardcore/punk yang berpengaruh pada masanya, yakni Refused).
“Waktu itu saya masih bernyanyi untuk Billygigs the Archionist. Sedangkan Decay datang belakangan sebagai manajer. Sewaktu Decay datang sebagai manajerlah, lama kelamaan saya menjadi semakin akrab,” kata Widdi.
Disebabkan beberapa personil Billygigs the Archionist membuat band baru, sehingga membawa arah yang tidak pasti bagi kelangsungan band, maka pada tahun 2006, Widdi dan Decay memutuskan untuk membentuk Ekstrovert on Effect seperti yang sekarang ini. Band yang dibentuk oleh Widdi dan Decay ini sebagian besar terpengaruh oleh band-band seperti The Rapture dan The Cure. “Untuk The Rapture, saya sendiri terpengaruh oleh sound elektronik dan beatnya yang berbau-bau disko,” tambah Widdi.
Selama tergabung dalam Esktrovert on Effect, Widdi dan Decay juga pada akhirnya menemukan kenyamanan yang sama dalam hal bermusik, walaupun kenyamanan dalam bermusik itu bagi mereka bukanlah berarti pengaruh musik tiap personil yang juga harus serupa. “Justru, seringkali saya dan Decay, berbeda dalam hal pengaruh musik. Katakanlah, saya yang lebih menyenangi musik yang kerasnya, sedangkan Decay menyenangi musik yang cukup nge-pop, seperti Imogen Heap,” jelas Widdi.
Decay, yang selama wawancara lebih sering diam, akhirnya bicara mengenai hal ini. Bagi Decay, pertemanan dan kerja sama dengan Widdi selama ini memberikan kesempatan bagi dirinya untuk mengeksplorasi musik.
“Selama ini saya berpikir, kalau saya tuh sebenarnya sudah cukup tua. Suka malu juga, kalau mengingat kelakuan selama ini hanya diisi dengan bermusik dan bermusik yang bisa dibilang tidak jelas. Tetapi, ketika ada Widdi dan menemukan, bahwa dia ternyata memiliki frame yang sama tentang musik. Malah memacu saya untuk terus mengeksplorasi musik,” jelas Decay.
Kenyamanan bagi Widdi dan Decay pada gilirannya dapat merangsang kreatifitas mereka dalam hal eksplorasi warna musik. Walaupun dalam kenyamanan tersebut, tidak selalu berarti mereka harus menjadi sama antara satu sama lainnya. “Penyaluran musik antara saya dan Widdi itu berbeda, tetapi pada akhirnya kami saling mengisi,” kata Decay.
Eksplorasi ala Ekstrovert on Effect
Selama tiga tahun bekerja sama dalam Ekstrovert on Effect, duo ini juga tercatat sudah dua kali melakukan eksperimentasi musikal dibawah nama band yang berbeda, walaupun personilnya tetap mereka-mereka juga. Contohnya, seperti The Krash Overide. Bisa dibilang, The Krash Overide adalah alter-ego Ekstrovert on Effect dalam hal musik yang keras.
“Pada umumnya, lagu-lagu Ekstrovert on Effect masih dibilang dalam teritori pop. Tetapi, terkadang kami juga ingin memainkan musik yang keras. Nah, bila keinginan itu datang, maka terkadang kami memakai nama The Krash Overide dalam pentas. Lagu-lagunya itu sendiri lebih banyak terpengaruh oleh Digital Hardcore, semacam Atari Teenage Riot,” kata Widdi.
Selain itu, ada lagi eksperimentasi cukup unik yang dilakukan oleh Widdi dan Decay, yakni The Karembang Kayas Krew (TKKK). TKKK ini adalah sebuah eksperimen musik yang berusaha memadukan unsur musik sunda dan elektronik. Caranya, mereka mengaransemen ulang lagu-lagu sunda, seperti lagu Badminton karya Mang Koko dan Bajing Luncat karya Kostamandjaja. “Sebenarnya waktu itu ada acara kampus yang temanya budaya sunda gitu. Dari situ terbesit ide untuk memadukan unsur musik sunda dan elektronik. Maka jadilah TKKK,” jelas Decay.
Namun demikian, Widdi dan Decay lebih memilih untuk fokus dalam menggarap lagu dibawah bendera Ekstrovert on Effect dibandingkan band yang telah disebutkan di atas. Sebabnya, kedua proyek musikal tersebut buat mereka hanyalah sebagai selingan saja.
Duo tersebut saat ini sedang fokus untuk membuat mini album yang rencananya diisi tiga buah lagu. Bila mini album itu terealisasi, rencananya mereka akan membagikannya secara gratis. Hal itu dilakukan untuk langkah awal memperkenalkan band ini ke publik yang lebih luas. “Saat ini juga ‘kan ada situs jaringan sosial, seperti facebook yang sangat popular. Bila ketiga lagu itu selesai digarap, mungkin akan kami sebarkan juga di facebook,” kata Widdi.
Walaupun memiliki label rekaman untuk memproduksi karya-karya Ekstrovert on Effect, tetapi duo ini juga memiliki impian untuk bisa melakukan kontrak dengan label rekaman luar negeri. Hingga saat ini, mereka masih mencari celah agar impian tersebut dapat direalisasikan. Menurut Widdi, salah satu alasan mengapa mereka mengimpikan label luar negeri, adalah karena dia merasa pesimis dengan suasana musik di tanah air. Menurutnya, mayoritas selera pendengar musik di Indonesia, masih homogen. Belum banyak yang bisa mengapresiasi genre musik diluar genre yang dipopularkan oleh media massa.
“Selain itu, kayanya bangga aja kalau misalnya karya kita diedarin di luar negeri. Mereka bisa mengetahui ada band namanya Ekstrovert on Effect yang berasal dari Indonesia,” kata Widdy.
Rabu, 22 Juli 2009
Bapak Polantas
Teriakan Soleh itu menunjuk pada seorang perempuan pengendara motor mio yang baru saja melintas dari arah Jalan Laswi menuju Gatot Subroto. Dan perempuan yang diteriaki oleh Soleh itu menatap dingin dan angkuh. “Kumaha aing we, beul (bagaimana saya saja, sialan)!” balas perempuan itu sambil mengencangkan gas motornya.
Soleh, polantas yang pada sore itu mendapatkan giliran untuk menjaga perempatan Laswi-Gatsu hanya geleng-geleng kepala. Dia menatap lurus pada perempuan pengendara motor yang tidak menghiraukan peringatannya. Perempuan itu ngeloyor melewatinya dengan acuh ke arah BSM.
“Begitu lah, ya, pak,” kata Soleh yang terlihat gusar masih sambil geleng-geleng kepala, “terkadang di daerah ini serba salah juga menindak pelanggar lalu lintas. Biasanya pemuda-pemudi yang ada di daerah ini kebanyakannya anak kolong. Serba salah juga kalau menindak, kadang-kadang malah orang tuanya yang datang ke kita. Kita lah yang dimarahin akhirnya. Padahal, orang seperti saya ini termasuk keroco.”
Mungkin saja Soleh terlalu menggeneralisir pernyataannya mengenai anak kolong tersebut. Tetapi, sepertinya itu adalah uneg-uneg yang selama ini dia pendam. Dan ketika perempuan pengendara motor itu lewat di hadapannya, momentum untuk mengeluarkan uneg-uneg itu terbuka seketika. Tidak perduli apakah perempuan itu memang benar anak kolong atau bukan. Apakah pernyataannya itu akurat atau tidak. Pastinya, bersamaan dengan meningkatnya volume kendaraan, karena saat itu memang jamnya pulang kantor, Soleh secara tidak langsung menceritakan sedikit pengalamannya selama ini mengatur lalu lintas di perempatan Laswi-Gatsu.
“Nah, biasanya Pak, kalau dari arah barat dan arah utara, jam 5 sore ini puncaknya keramaian di perempatan ini. Biasanya kan jam-jam sekarang itu, jamnya pulang kantor,” jelas Soleh, ketika ditanya mengenai keadaan lalu lintas pada sore hari di perempatan Laswi-Gatsu, “Biasanya sehabis magrib, keramaian itu akan reda.”
Soleh menunjuk keramaian lalu lintas ke arah barat, atau kalau kita berdiri di jalan Gatsu, maka barat itu mengarah ke jalan Malabar. Pada sore itu, lalu lintas memang terlihat padat. Bila lampu merah menyala, terlihat antrian mobil yang mencapai hingga 200 meter di jalan yang mengarah ke arah Jalan Malabar itu.
“Kalau di perempatan ini, biasanya yang jadi penyebab macetnya itu belokan di arah Jalan Laswi yang ke Gatsu,” tambah Soleh sambil menunjuk belokan di sampingnya.
Jalan di perempatan Laswi-Gatsu memang sempit. Lebar jalan yang sempit itu tidak sebanding dengan jumlah kendaraan yang ada di Bandung. Coba saja lihat bila sore atau pagi menjelang. Mobil-mobil akan terlihat membludak. Alur belok yang terdapat di arah Jalan Laswi ke Gatsu itu, bila volume kendaraan sedang naik, bisa membuat repot juga. Mobil yang datang dari arah Jalan Malabar bisa tertahan. Makin repot lagi bila mobil yang tertahan itu mengantri hingga tengah perempatan, sedangkan di sisi lain, mobil yang datang dari arah Jalan Pelajar Pejuang ngotot melaju. Bisa berabe.
Bagi beberapa polantas, perempatan Laswi-Gatsu bisa dibilang sebagai perempatan yang merepotkan. Oleh sebab itu, polantas yang menjaga perempatan ini kerap berganti-ganti. Mereka tidak betah mengatur lalu lintas di daerah itu. Untuk Soleh, perempatan Laswi-Gatsu ini perkara lain. Sementara beberapa polantas emoh ditugaskan di perempatan Laswi-Gatsu, dia malah mengajukan diri untuk ditempatkan di situ. “Yah, untuk ngejaga di daerah ini, sih, sudah jalan tiga tahun,” kata Soleh.
Walaupun sudah ada lampu merah, toh, tetap saja ada polantas yang berdiri selama delapan jam untuk mengatur ketertiban lalu-lintas. Khususnya di perempatan, seperti perempatan Laswi-Gatsu ini. Lalu, apa gunanya lampu merah? Apakah para pengendara itu memang sedemikian menyebalkannya, sehingga harus diatur-atur lagi?
“Sebenarnya, ada lampu merah atau engga di perempatan itu tidak banyak artinya. Bila tidak ada yang ngejaga, tetap saja pengendara akan terus ngeloyor. Padahal, daerah ini ‘kan termasuk jalur cepat. Bila tidak dijaga, perempatan ini bakal kacau nantinya,” kata Asep, salah seorang Polantas yang kebagian menjaga perempatan Laswi-Gatsu pada pagi hari.
***
Bagi sebagian besar pengendara, menggambarkan imaji polantas, seperti ikut juga menorehkan rasa jengah di dalamnya. Selama ini, polantas identik dengan uang suap, ketika menyangkut urusan tilang-menilang. Tinggal beri uang minimal Rp 50.000, STNK dan SIM bisa diambil lagi dari tangan polantas yang menilang.
Sebenarnya, baik pengendara maupun polantas, keduanya sama-sama terlibat dalam praktek suap-menyuap. Ketika sifat pengendara yang ingin instan bertemu dengan kreatifitas polantas dalam hal tambahan nafkah, dan diperkeruh dengan tidak beresnya birokrasi di dalam jajaran kepolisian, maka suap-menyuap menjadi sebuah lingkaran setan yang tidak berkesudahan di jalan raya. Tetapi, selama ini, polantas lah yang ketiban porsi terbesar perihal imej terjelek dalam suap-menyuap di jalan raya.
Dan imej jelek itulah yang ada di dalam benak saya pertama kali mendapatkan penugasan untuk melaporkan suasana lalu lintas di perempatan jalan di Kota Bandung. “Saya akan berurusan dengan tukang suap,” pikir saya saat itu.
Maka merapatlah saya ke perempatan Binong. Ikut nongkrong bersama kedua polantas yang selama ini menjaga ketertiban lalu-lintas di perempatan Binong tersebut. Sambil menunggu telepon kantor, Salah satu polantas, yakni Pak Kusni, membelikan saya sebotol teh. “Santai aja, Mas. Duduk-duduk dulu sambil minum,” katanya.
Pembicaraan dengan Pak Kusni di tempat indomie telor yang lusuh itu berputar-putar di sekitar tema jalan raya dan segala problematikanya. Mulai dari masalah geng motor, hingga kesan-kesan Pak Kusni menjadi polantas. Tidak beberapa lama, datang rekan yang selalu menemani Pak Kusni bertugas, yaitu Pak Adi. Dibelakangnya, nampak seorang lelaki paruh baya yang terlihat kusam wajahnya. Saya baru mengerti, ketika melihat Pak Adi menggenggam STNK dan SIM. Ya, apalagi. Urusan langgar-melanggar dan tilang-menilang.
Mungkin bila tidak ada saya, pengemudi yang ditilang itu akan disuruh diam di tempat saya duduk sekarang. Tetapi, ada kontak mata dan saling-mengerti dikedua polantas tersebut. Maka, alih-alih menyuruh duduk sang pengemudi, Pak Adi malah menggiringnya ke lorong bagian belakang warung. Jaraknya cukup dekat dari tempat saya duduk, sehingga saya masih bisa mengintipnya sedikit-sedikit. Kedua orang yang berbeda profesi itu, pengemudi dan polantas, duduk berhadapan dan tertawa-tawa. Entah apa yang mereka bicarakan. Pastinya,tidak beberapa lama, pengemudi itu keluar dari lorong sambil memasukkan STNK dan SIM yang diambil Pak Adi kedalam dompetnya. “Mari, pak,” kata pengemudi itu tersenyum lalu ngeleos keluar warung.
Berbincang-bincang dengan Polantas yang saya temui di setiap perempatan merupakan sebuah kenikmatan tersendiri ditengah-tengah menjenuhkannya rutinitas laporan lalu-lintas selama ini. Ada cerita keseharian mereka yang memudarkan imej yang terpatri tentang polantas di dalam pikiran saya dan meringankan rasa lelah tubuh ini. Walaupun, untuk masalah suap-menyuap di jalan raya, seringkali menjadi sebuah realitas dan patut untuk disayangkan.
Namun demikian, ada satu potongan tulisan dari seseorang yang teringat olehku, ketika melihat para polantas itu:
"Yang aku pahami selama aku hidup hingga kini, apa yang bersinonim dengan kemiskinan bukanlah kemalasan, melainkan upah yang rendah. Tentu bukan kemalasan. Karena apabila kemiskinan bersinonim dengan kemalasan, siapa yang bekerja paling rajin di perusahaan tempat aku bekerja? Siapa yang harus selalu siap dengan jam kerja terpanjang?"
Sabtu, 18 Juli 2009
Ansaphone
Ansaphone: Post-Rock yang Dinamis
Bila ingin mencari referensi musik yang polanya jauh dari band-band pop karbitan yang sering hadir di layar kaca akhir-akhir ini, Ansaphone bisa jadi layak untuk disimak. Ansaphone adalah band yang lahir dari ikatan pertemanan semasa SMA. Namun demikian, band yang digawangi oleh Errol (drum), Jajat (vokal dan gitar), Riki (gitar), Adhitya (gitar), dan Rian (bass) ini, tidak sekadar berhenti menjadi band sekolah saja. Setidaknya mereka telah hadir selama kurang lebih tujuh tahun, semenjak pertama kali band itu terbentuk pada tahun 2002. Bahkan, pada tahun ini mereka mengeluarkan album EP-nya bertitel “Morning Lights Recover”.
Belum lama ini Bandung Ekspres bertemu dengan empat personel Ansaphone di sebuah studio musik di Jalan Sulanjana, Bandung, untuk membicarakan berbagai hal seputar eksistensi band tersebut. Saat itu, Jajat menceritakan mengenai benang merah yang menjadi konsep musik Ansaphone, yakni post-rock dan shoegaze. Walaupun benang merah Ansaphone berada dalam teritori post-rock dan shoegaze, konsep musik itu tidak menjadi sesuatu yang baku bagi perkembangan musikalitas Ansaphone. Karena, menurut Jajat, setiap kepala yang ada di Ansaphone memiliki pengaruh musik yang berbeda dan memberikan warna tersendiri. “Jadi, pada dasarnya kami lebih bereksplorasi dalam membuat musik,” katanya.
Contohnya adalah pada saat sang drumer, Errol, bergabung di band ini pada tahun 2008. Drumer yang belajar secara otodidak semenjak duduk di bangku SMP ini setidaknya berkontribusi dalam perkembangan Ansaphone. Menurut Jajat, dalam hal karakter, Errol ini lebih dipengaruhi oleh karakter jazz, sehingga berpengaruh terhadap arah musikalitas Ansaphone. “Setelah Errol masuk, lagu-lagu yang ada itu menjadi lebih terkonsep dibandingkan sebelumnya,” kata Jajat.
Errol pun mengiyakan, bahwa dirinya memang dipengaruhi oleh musik jazz. Lalu, Errol menceritakan kesannya saat pertama kali bergabung dengan Ansaphone. Menurutnya, saat pertama kali bergabung, dia merasakan aransemen Ansaphone pada awalnya terlalu monoton. Makanya, Errol mencoba memberikan suatu variasi terhadap aransemen melalui gebukan drumnya. “Sebenarnya, benang merah Ansaphone itu lebih ke post rock dan shoegaze. Tapi, mungkin, untuk saat ini aransemennya masih belum matang. Masih terus bereksplorasi,” kata Errol.
Kurang matangnya konsep itu memberi pengaruh juga pada album EP perdana mereka, yakni Morning Lights Recover. Errol menambahkan, pengerjaan album yang terburu-buru, hanya memakan waktu dua bulan, membuat penggarapan lagu belum maksimal. Pengerjaan yang terburu-buru itu disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah mengejar jadwal tur bertajuk “Supersonic Sound Festival” di empat kota, yakni Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya pada 18 Desember tahun lalu. “Jadi, konsep lagu atau aransemen tuh buat saya pribadi terkesan buru-buru. Karena memang, targetnya waktu itu launching album sekalian pas tur. Tapi, ternyata tidak terkejar, karena banyak faktor,” jelas Errol.
Walaupun untuk hal aransemen lagu masih dirasakan kurang maksimal oleh beberapa personel Ansaphone, namun bagi Jajat, dengan adanya tur empat kota tersebut, memberikan manfaat lain. Yakni, mengenalkan Ansaphone ke pendengar yang lebih luas lagi, hingga menjalin pertemanan baru.
“Tapi, setidaknya, walaupun banyak faktor X yang mengganggu proses rekaman EP kita, tetapi melalui tur ini, saya pribadi mendapatkan faktor lainnya yang lebih baik bagi kelangsungan Ansaphone. Setidaknya, sudah lumayanlah. Maksudnya, ada yang dikorbanin, tapi masih ada hasilnya,” jelasnya.
Mengenai Tur
Tidak hanya band besar dengan perusahaan rekaman besar dibaliknya yang dapat melakukan tur ke berbagai kota. Band yang tergolong underground pun setidaknya dapat melakukan hal serupa dengan memanfaatkan jalinan pertemanan dan teknologi internet. Untuk hal ini, mungkin kita bisa menengok sejenak terhadap band rock Ansaphone yang berasal dari Bandung.
Desember tahun lalu, Ansaphone melakukan tur bertajuk “Supersonic Sound Fest” bersama empat band lokal lainnya, yakni Sarin (Jakarta), Jelly Belly (Bandung), Mellon Yellow (Jakarta), dan Share Springs (Jakarta), di empat kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Tur ini berlangsung selama dua belas hari, dengan tur dimulai pertama kali di Jakarta (18/12/08), Bandung (21/12/08), Surabaya (26/12/08), dan Yogyakarta (28/12/08).
Jajat bercerita, bagaimana dirinya tidak menyangka, bahwa Ansaphone bisa melakukan tur di empat kota besar di pulau Jawa. Hanya saja, dia mengatakan, rencana tur itu berawal dengan sering nongkrong bersama komunitas-komunitas musisi underground yang ada di Bandung. Dari situ, relasi yang berguna untuk membukakan jalan bagi terlaksananya tur terbuka lebar. “Misalnya saja, si A punya kenalan di Jakarta atau Yogya, maka si A itu yang mengurus kesiapan tur di kedua kota tersebut,” jelasnya.
Biasanya dalam tur, setiap personel band mendapatkan sebuah pengalaman yang bisa dibilang berkesan. Errol, salah satu personil Ansaphone yang berperan menabuh drum, setidaknya sambil berkelakar menganggap tur Supersonic Sound Festival itu layaknya mengalami ospek kembali. “Soalnya, yang namanya susah senang itu bener-bener ditanggung bersama,” jelasnya sambil diiringi tawa.
Selama tur, lima band yang berpartisipasi numplek blek dalam satu bus. Jadi, terbayang bagaimana rasanya menempuh perjalanan jauh dengan orang-orang yang sebelumnya jarang menyempatkan waktu bersama. Gitaris Ansaphone, Ricky Herdiyansyah mengatakan, bagaimana dirinya kehabisan uang dalam perjalanan dan terpaksa meminjam uang dari teman-temannya yang ada di Ansaphone. Lalu, Jajat juga mengatakan, bagaimana susahnya mencari wc umum di Kota Yogyakarta. “Kadang, kalau mau ke wc umum, kita harus sabar nunggu. Kebayang sekitar dua puluh lima orang bergantian keluar masuk wc, nunggunya lama pisan,” kenangnya.
Namun demikian, ada satu pengalaman yang tidak terlupakan bagi seluruh personil Ansaphone. Pengalaman tidak terlupakan itu terjadi, ketika mereka kebagian jadwal mentas di Kota Surabaya pada 26 Desember 2009. Jajat menjelaskan, bagaimana rencana awal manggung di Surabaya saat itu seharusnya berformat out door. Tetapi, karena saat itu hujan mulai turun, sedangkan di sisi lain, acara di batasi hingga pukul sembilan malam. Acara pentas musik tersebut terancam batal. Maka, saat giliran manggung bagi Ansaphone tiba, para personilnya langsung berinisiatif memindahkan set panggung ke dalam bangunan. Pentas musik tersebut mendadak berformat indoor.
Jajat menjelaskan, tempat manggung di Surabaya saat itu memakai lahan halaman sebuah distro. Bangunan distro nya sendiri, menurut Jajat, tidak lah terlalu besar. Namun, daripada pementasan harus batal, karena masalah hujan, maka set panggung, mulai dari amplifier, hingga monitor sound semuanya dipindahkan ke dalam bangunan distro. Pada awalnya, kata Jajat, pemilik distro tersebut hanya terbengong-bengong melihat ulah para personel Ansaphone. Tetapi, pada akhirnya, sang pemilik pun mahfum. “Suasana di dalam bangunan itu, karena sempit, jadinya padat sekali. Numplek semua penonton yang berjumlah sekitar 150 orang di dalam bangunan. Jadinya, ya, panas, ya, keringetan,” kenangnya.
Point of Few
Menjalankan sebuah grup musik memang memerlukan sebuah disiplin. Hal itu diperlukan, agar sebuah band dapat berjalan dengan konsisten. Namun demikian, menegakkan disiplin bukanlah sesuatu yang mudah dijalani oleh setiap orang, khususnya personil Ansaphone. Saat perbincangan dengan beberapa personel Ansaphone belum lama ini di sebuah studio musik di Jalan Sulanjana, Bandung, mereka mengatakan, pada awalnya pola kerja personel Ansaphone belum rapih benar.
Jajat mengatakan, pada awalnya pola kerja personel Ansaphone bisa dibilang masih cuek. Dalam artian, belum giat benar dalam mengusahakan eksistensi Ansaphone. Walaupun begitu, kehadiran Uya, manajer mereka, pada tahun 2008 dapat membantu cara kerja Ansaphone menjadi lebih terkonsep dan terpola. “Pola kerja si Uya sebagai manager itu lebih terkonsep. Dan juga, cara kerjanya itu lebih ngebuat kami disiplin,” katanya.
Perbincangan di studio musik itu juga dihadiri oleh Uya. Maka, kali ini giliran dia yang memberikan kesan mengenai Ansaphone dalam kapasitasnya sebagai manajer. Menurut Uya, pada awal dia bergabung dengan Ansaphone, permasalahan utama yang ada di band tersebut adalah komunikasi. Menurutnya, rata-rata personel Ansaphone memiliki karakter yang jarang berbicara secara terbuka.
Bagi Uya, terbukanya komunikasi di antara personel Ansaphone adalah sesuatu yang perlu diusahakan. Karena masalah komunikasi ini menurutnya sangat penting. Bila tidak di perhatikan dengan baik, bisa fatal akibatnya.
“Misalkan, contoh kecilnya. Pernah beberapa menit Ansaphone mau main, ada seorang personel yang baru mengambil peralatan. Seharusnya sebelumnya ‘kan bisa ngomong dulu, kalau peralatan tidak ada. Sehingga bisa diusahakan dulu,” jelas Uya.
Menurut Uya, tidak terbukanya komunikasi itu bisa dikatakan sebagai dampak dari karakter sebagian besar personel Ansaphone yang memang tidak banyak bicara. Namun demikian, untuk saat ini, menurut Uya, dalam hal keterbukaan komunikasi sudah lebih baik ketimbang dirinya pertama kali bergabung dengan Ansaphone. “Yah, sekarang mah tidak separah dulu. Udah mulai giat sekarang mah,” jelasnya sambil diiringi tawa.
Rabu, 08 Juli 2009
Selasa, 07 Juli 2009
Mereka Tidak Pernah Jemu Bercumbu dengan Dirinya Masing-Masing
Saya tidak pernah paham masalah asmara. Tetapi, saya pernah mendengar beberapa teman berbicara perihal jodoh. Konon, bila satu dengan yang satunya lagi sudah jodoh, terkadang ada beberapa hal yang mirip atau identik diantara keduanya. Tidak tahu benar atau salah anggapan seperti demikian, tetapi tiba-tiba pikiran seperti itu yang terlintas saat melihat mereka berdua sore itu, si Ari dan Mita. Mereka senang sekali bila berhadapan dengan kamera.
Ari sudah saya kenal semenjak sekolah dulu. Dia senang sekali mematut-matut dirinya di depan cermin. Untuk mengurus rambutnya saja, memakan waktu lebih lama diantara teman laki-laki yang lainnya. Lalu, selintas melihat pose-pose fotonya di jejaring sosial seperti friendster dan facebook, Ari sepertinya melakukan persiapan yang lamanya memakan waktu seabad: pose-posenya terlihat begitu gaya dan necis.
Lalu Mita, saya tidak mengenal Mita. Tetapi dia adalah perempuan yang cantik dan juga bebas. Ya, bebas dalam artian dia tipikal perempuan yang tidak pernah memperdulikan omongan orang-orang disekitarnya. Sama seperti Ari, Mita pun senang sekali berhadapan dengan kamera. Ketika di studio, tidak terhitung berapa kali Mita memotret dirinya sendiri dengan kamera ponsel miliknya.
Suatu sore, ketika urusan di studio telah beres, kami berkendara di gang-gang yang sempit dan kecil. Mita dibonceng oleh Ari, sedangkan saya mengikuti dibelakangnya menggunakan motor. Beberapa orang yang nongkrong di sekitar gang itu pasti matanya tertujunya pada Ari dan Mita. Ari yang necis, dengan rambutnya yang hitam dan basah oleh gel. Belum lagi kacamata warna hitamnya yang memukau. Lalu, Mita yang bebas dengan busananya yang bisa dibilang ‘berani’. Kerah bajunya terbuka lebar, hanya menyisakan belahan dada dan tali penyangga payudaranya yang berwarna hitam (saya tidak tahu gaya busana seperti ini namanya apa?).
Kami lalu berhenti di sebuah pertigaan untuk menunggu Yunus keluar dari rumahnya. Sinar matahari pada saat itu tepat menyorot muka mereka berdua. Sinar matahari sore memang menyejukkan, tidak terasa panas, tetapi hangat.
“Say, muka saya bagus difoto kalau kena sorotan matahari seperti ini,” kata Mita kepada Ari.
“Mana, say, coba liat,” katanya sambil melihat ponsel milik Mita,”hmm…lumayan.”
“Ayo dong, say, foto berdua,” kata Mita lagi kepada Ari.
Dalam hati, sebenarnya saya takjub melihat tingkah laku pasangan itu. Begitu bebas. Di sekitar mereka terdapat sebuah lingkungan, dimana orang-orang yang hidup di dalamnya mungkin adalah mereka yang menerima BLT dari pemerintah. Tetapi, kedua pasangan itu seolah-olah lepas dari lingkungan dimana mereka berada. Ketika ada seorang nenek-nenek memakai kebaya lusuh sambil menengteng bungkusan cabai dan sayur-sayuran, mereka berfoto dengan mesra menggunakan ponsel tipe harga diatas satu juta. Belum lagi, ketika beberapa orang pemuda yang melewati pasangan itu. Mata mereka tidak pernah lepas dari belahan payudara Mita dan tali penyangga payudaranya yang berwarna hitam itu. Tetapi, Ari dan Mita…mereka tersenyum kepada layar ponsel, dan mengatur-atur posisi yang dirasa pas bila dipotret nanti.
Pada sore itu juga, ketika sinar matahari yang hangat menerpa wajah Ari dan Mita, terlintas suatu cerita mitologi yang sekilas pernah saya dengar. Kisah tentang bagaimana seseorang bernama Narkissus yang duduk di tepi telaga berhari-hari lamanya. Menganggumi dan mencintai pantulan wajahnya sendiri dari air telaga, hingga akhirnya tewas, karena lemas tidak makan dan minum berhari-hari. Sebuah cerita yang menyedihkan buatku. Terutama, ketika mengingat bagaimana cinta murni Ekhos terhadap Narkissus pada akhirnya adalah sebuah penderitaan dan kesunyian bagi dirinya sendiri: ia meninggal dengan cinta yang tak pernah terbalas. Yang tersisa hanyalah suara yang berulang-ulang terdengar, ketika seseorang berteriak di hutan atau gunung. Kisah Narkissus dan Ekhos adalah kisah yang tragis dan sedih, buatku.
…..
Ketika sore sudah habis, dan malam dengan bulan purnamanya yang sempurna kini menemaniku. Beberapa pertanyaan hilirmudik didalam kepala…hingga saat ini, saya tidak pernah mendapatkan poin penting apa yang bisa didapatkan dari seseorang atau sepasang kekasih yang mempertontonkan kemesraan mereka dengan cara yang berlebihan…
Apakah mencari peneguhan dari orang lain atas kebahagiaan yang telah mereka dapatkan? Ataukah pada akhirnya hanyalah untuk dirinya masing-masing…karena mereka memang tidak pernah jemu bercumbu dengan dirinya sendiri???
…atau mungkin saja Mita dan Ari memang bukan berasal dari lingkungan gang yang kecil dan sempit itu.