Baca majalah Madina edisi Juni 2008, di situ ada wawancara dengan Rabi Yahudi, Yisroel Dovid Weiss, yang berkunjung ke Indonesia dalam rangka peringatan 60 tahun Pendudukan Israel di Palestina yang diadakan oleh Penerbit Mizan, 15 Mei 2008, di Universitas Al Azhar, Jakarta. Ada informasi menarik yang keluar dari mulut rabi yang sekaligus aktivis Naturei Karta Internasional (kelompok Yahudi yang menentang Pendudukan Palestina) ini. Yisroel mengatakan, bahwa Zionisme dan Judaisme adalah dua hal yang jauh berbeda.
Di masyarakat kebanyakan saat ini apa yang dilakukan oleh Zionisme memang benar-benar kabur. Pergerakan itu terdistorsi sedemikian rupa, sehingga Zionisme bercampur aduk dan masyarakat luas jadi menganggap bahwa Zionisme adalah satu paket dengan agama Yahudi (Yudaisme) secara keseluruhan. Ternyata, kenyataannya Zionisme dan Yudaisme berdiri sendiri-sendiri, walaupun memang ada saling mempengaruhi di antara keduanya. Walaupun begitu, keduanya memiliki karakteristik yang berbeda, bahkan saling bertolak belakang.
Yisroel mengatakan, bahwa sebenarnya Zionisme adalah paham yang sama sekali tidak melandaskan agama, untuk hal ini Yudaisme (agama Yahudi), dalam setiap pergerakannya. Berdasarkan wawancara Yisroel itu, hal yang sebenarnya terjadi dalam Zionisme adalah, bahwa mereka (kaum Zionis) berusaha untuk ‘memutuskan ikatan’ dengan segala tradisi dan kepercayaan masa lalu kaum Yahudi. Hal itu berarti, Zionisme sedang berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkan kepercayaan Yudaisme di segala segi kehidupan masyarakat Yahudi.
“Yudaisme adalah agama yang telah berusia ribuan tahun. Zionisme adalah kepercayaan yang baru berusia sekitar seratus tahun. Zionisme didirikan oleh orang-orang Yahudi yang sepenuhnya tidak relijius,” kata Yisroel dalam wawancaranya di majalah Madina.
Yisroel juga menunjukkan sebuah dokumen berupa catatan harian milik Theodorl Hertzl yang isinya tentang, bagaimana kaum Yahudi modern haruslah menjadi generasi terakhir kaum Yahudi yang melaksanakan ajaran Judaisme. Di catatan harian Hertzl juga, ada tulisan yang menyatakan, bahwa orang Yahudi yang masih taat pada ajaran Yudaisme akan diperlakukan sebagai warga kelas dua di Israel, karena Israel adalah negara kebangsaan dan bukan negara agama. Melihat isi yang terkandung dalam catatan harian itu (bila memang benar begitu), bisa disimpulkan kalau Zionisme adalah sebuah pergerakan yang mempunyai ciri sekuler.
Berdasarkan wawancara Yisroel itu tergambar, bahwa dalam pergerakannya, Zionisme justru ‘menunggangi’ Yudaisme untuk mencapai tujuan politik-kekuasaannya sendiri. Hal ini juga tercermin dalam pernyataannya tentang Pendudukan Israel selama ini. “Awal mulanya,” katanya dalam petikan wawancara, “rencana asli kaum Zionis untuk negara Yahudi adalah Uganda. Pada akhirnya, mereka memilih Palestina, sebab orang Yahudi berdoa setiap hari sesuai petunjuk Torah (Taurat) agar Tuhan membebaskan kami dari keadaan terusir, eksil, ini. Dalam kitab kami, disebutkan penghancuran Kuil Solomon, dan sejak itu bangsa Yahudi menjadi eksil. Kami dianggap tak layak untuk tinggal di suatu negeri sebagai sebuah bangsa. Ini, menurut kitab kami, karena dosa-dosa kami. Kami harus menunggu sampai Tuhan mengakhiri keadaan eksil ini. Kami percaya suatu saat nanti, Tuhan akan melakukan sebuah perubahan metafisikal. Dalam perubahan ini, seluruh dunia akan mengenali keagungan-Nya, dan seluruh umat manusia akan mengabdi dalam damai dan keselarasan.
Kami berdoa setiap hari untuk keadaan ini. Kami tidak berdoa untuk kehadiran sebuah negara-bangsa. Kami berdoa untuk hadirnya perdamaian.”
Dalam kaitannya dengan pendudukan Israel, menurut Yisroel, kaum Zionis mengetahui dengan tepat bagaimana memanfaatkan relijiusitas kaum Yahudi. Bagaimana mereka, kaum Yahudi itu, begitu merindukan sebuah tanah di Palestina, karena disitulah segalanya berawal bagi hamba Yahweh itu. Di tanah itulah reruntuhan kerajaan Salomon berada. Maka, kaum Zionis memanfaatkannya dengan mengajak kaum Yahudi untuk menduduki tanah yang memang mereka rindukan dalam setiap doa-doanya itu.
Dalam kitab Torah terdapat suatu wahyu yang diturunkan kepada Nabi Solomon (Sulaeman dalam Islam), dimana kaum Yahudi diharuskan bersumpah terhadap wahyu tersebut. Menurut Yisroel, sumpah tersebut ditujukan kepada kaum Yahudi untuk tiga hal: pertama, kaum Yahudi tidak boleh mendatangi Palestina dalam jumlah besar. Kedua, kaum Yahudi harus menjadi warga negara yang patuh di setiap negeri dimana kaum Yahudi itu tinggal. Ketiga, jangan mencoba mengakhiri eksil mendahului kehendak Tuhan. Bisa dibilang, sumpah ini adalah sebuah penebusan atas dosa-dosa yang telah dilakukan oleh Bangsa Yahudi.
Bila memang dalam kitab Torah terdapat wahyu seperti demikian, maka pendudukan Israel selama ini jelas-jelas telah melanggar sumpah yang telah diambil oleh Bangsa Yahudi. Terutama sumpah bagian terakhir, yaitu tidak mengakhiri eksil mendahului kehendak Tuhan. Jelas, disamping motif kekuasaan belaka, alasan menjemput Messiah atau penyelamat yang pada gilirannya mengakhiri eksil Bangsa Yahudi merupakan salah satu alasan diantara alasan-alasan lainnya dalam Pendudukan Israel selama ini. Walaupun, untuk alasan ini, kaum Zionis terdengar seperti memanipulasinya agar memperoleh dukungan kuat dari kaum Yahudi relijius seperti yang dikatakan oleh Yisroel (bila memang itu benar). Tetapi, bila mengambil rujukan terhadap Kitab Torah seperti yang telah ditunjukan oleh Yisroel itu, terutama pada bagian wahyu yang berisi sumpah, maka berarti selama ini berdirinya negara Israel telah bertentangan dengan isi Kitab Torah.
Lalu, masih berdasarkan wawancara Yisroel, ada informasi lainnya yang menarik seputar Pendudukan Israel selama ini di Palestina. Kaum Zionis, ketika memulai Pendudukan, sebenarnya mengutip Kitab Injil untuk membenarkan tindakannya itu. Hal itu dilakukan, karena dalam Kitab Torah mengambil tindakan Pendudukan tidak dibenarkan. Namun, dalam Injil, terdapat suatu bagian dimana isinya mengatakan, bahwa Tuhan telah memberikan Palestina sebagai tanah bagi orang Yahudi, tanah yang dijanjikan. Hal itu dimanfaatkan oleh Kaum Zionis untuk memanipulasi orang Yahudi.
Ada satu lagi kutipan wawancara yang cukup menarik juga yang keluar dari Yisroel, “Zionisme adalah antitesa agama. Mereka menghancurkan tanah dan membunuh orang Palestina. Tapi mereka juga menghancurkan jiwa orang Yahudi. Sebetulnya, Anda akan melihat bahwa orang Yahudi yang relijius di mana pun di seluruh dunia, adalah anti-Zionisme. Di mana pun Anda melihat komunitas Yahudi yang relijius, Anda akan menemukan mereka anti-Zionisme.”
Saya jadi inget tulisannya Thomas L. Friedman di buku Dari Beirut ke Jerusalem yang mengangkat tentang pembagian masyarakat di Israel selama penugasannya menjadi kepala biro surat kabar The New York Times di Beirut dan Jerusalem era ’84-’88. Sebelumnya, saya pengen curhat dulu sedikit. Thomas L. Friedman atau Tom ini adalah seorang wartawan yang berdarah Yahudi kental, namun dalam tulisan-tulisannya dia benar-benar tidak mencerminkan bagaimana seorang Yahudi harus bersikap dalam memandang gejolak di Timur Tengah. Inilah yang saya suka dari dirinya: tanpa tedeng aling-aling ia menghajar setiap elemen yang bertikai di Timur Tengah mulai dari Islam, Kristen, Israel, Judaisme, Syiah, Sunni, Maronit…semua dibabat habis olehnya kalau memang perlu dibabat habis. Kasarnya dia tidak pilih-pilih dalam mengkritisi. Pay respect when respect is due. Buku Dari Beirut ke Jerusalem yang ia tulis, yang disebut-sebut sebagai buku anekdot, otobiografi, reportase, dan sejarah serta analisis sejarah Timur Tengah yang orisinal dan mengesankan oleh orang-orang, buat saya mencerminkan sikap seorang wartawan ideal yang sedang berhadapan dengan konflik multidimensional: tidak terikat dan mendekati apa adanya dalam memandang realitas (bila tidak ingin disebut obyektif) serta menawarkan solusi melalui analisisnya yang tajam dan mendalam.
Nah, oke, balik lagi ke obrolan. Selama penugasannya sebagai kepala biro The New York Times di Jerusalem, Tom memandang negara Israel itu terdiri dari empat kelompok besar pengikut. Kelompok besar pertama dan menjadi mayoritas adalah orang Israel sekuler yang tidak taat. Kelompok ini datang ke Israel sebagai pemberontak yang ingin memutuskan adat istiadat nenek moyang Yahudi yang masih memeluk erat Yudaisme. Bagi kelompok pertama ini, membangun sebuah masyarakat dan tentara modern, serta menjalankan hari-hari besar nasional di satu-satunya negara Yahudi di muka bumi, lebih dari cukup untuk menjadi pengganti bagi ibadah dan iman. Ilmu pengetahuan, teknologi dan mengubah gurun pasir menjadi hijau adalah Torah baru mereka dan juga melepaskan upacara keagamaan sebagai ciri penentu identitas Yahudi mereka. Bagi kelompok ini, istilahnya, buat apa mempraktekan ajaran Yudaisme lagi apabila tanah, udara, serta air di sekitarnya sudah murni menjadi milik Kaum Yahudi.
Kelompok kedua, Tom menyebutnya sebagai Zionis relijius. Mereka adalah orang ortodoks modern atau tradisional, yang sepenuhnya mendukung negara Zionis sekuler namun tetap berpendapat bahwa negara Israel bukanlah pengganti Sinagog (tempat ibadat Yahudi). Mereka memandang negara dan sinagog serta cara hidup berdasarkan ajaran Torah sebagai suatu keharmonisan. Mereka percaya bahwa terbentuknya Israel merupakan peristiwa keagamaan dan bahwa Yudaisme dapat berkembang dengan baik di sebuah negara Yahudi modern.
Kelompok ketiga, terdiri dari Zionis relijius namun lebih condong bersifat mesianik. Bagi mereka, kelahiran kembali negara Yahudi bukan sekadar peristiwa keagamaan tapi merupakan langkah awal sebuah proses yang akan memuncak dengan datangnya Mesiah. Menurut pandangan mereka, Israel merupakan alat penting untuk membawa Mesiah dan politik, pertahanan serta kebijakan luar negeri Israel untuk tujuan datangnya Mesiah tersebut.
Kelompok terakhir ialah kelompok orang Yahudi bukan Zionis dan ultra-Ortodoks yang dikenal dalam bahasa Yahudi sebagai kaum Haredim atau “mereka yang diliputi rasa takut kepada Tuhan”. Di Israel, kaum Haredim menempati 15 persen dari populasi Yahudi. Kaum Haredim tidak memandang kelahiran kembali Israel sebagai suatu peristiwa yang memiliki arti relijius yang penting. Mereka percaya bahwa sebuah negara Yahudi akan perlu dirayakan secara relijius hanya setelah datangnya Mesiah dan setelah tegaknya hukum Yahudi secara total. Untuk sementara waktu, mereka puas hidup di bumi Israel, tanpa perduli siapa yang berkuasa, karena mereka merasa lebih dekat dengan Tuhan di sana, karena mereka dapat melaksanakan lebih banyak firman Yahudi di sana, dan dengan tujuan agar hadir di Israel ketika Mesiah tiba.
Nah, kalo ingin mencocokkan pendapat Tom dan wawancara dengan Yisroel itu, saya punya pendapat, bahwa Yisroel ini bisa digolongkan sebagai kelompok terakhir, yaitu Kaum Haredim. Pemaparan kelompok terakhir yang dilakukan oleh Tom begitu kental dengan pendapat-pendapat Yisroel tentang Pendudukan Israel dalam wawancara dengan majalah Madina. Sedangkan para pembuat keputusan-keputusan di Israel yang implementasinya selalu menghiasi rubrik Internasional-nya Kompas, termasuk ke dalam penggolongan kelompok pertama, yaitu Zionis sekuler. Kaum Zionis ini mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan arah Israel, sehingga kebijakan-kebijakan yang diambilnya mendapat sorotan begitu besar dari lensa kamera. Dan mungkin kita semua bisa merasakan, bagaimana sebuah lensa seringkali tidak bisa menangkap gambar di belakang punggung seseorang berbadan besar yang menjadi sorotan utamanya.
Buat saya, fakta bahwa ada orang Yahudi yang memiliki pemikiran seperti Rabi Yisroel Dovid Weiss tentang Pendudukan Israel serta realitas yang digambarkan Thomas L. Friedman tentang pengelompokan pandangan politik-rohani masyarakat Israel menunjukkan, bahwa Israel sebagai sebuah negara yang kokoh serta memiliki persenjataan kuat ternyata bukanlah sebuah negara dimana setiap penduduknya memiliki kerangka berpikir yang sama terhadap arah yang akan dituju oleh Israel. Setiap kelompok mempunyai harapan serta ambisinya masing-masing tentang Israel (untuk membahas hal ini mungkin perlu nulis panjang lebar lagi), dimana dari bermacam-macam harapan serta ambisi tersebut tidak semuanya bersuara sama menyikapi Pendudukan Israel terhadap Palestina.
Realitas Israel sebagai sebuah negara, dimana terdapat berbagai macam kelompok yang memiliki perbedaan pandangan secara mendalam dan esensial itu, setidaknya bisa jadi bekal bila tiba-tiba kita disodorkan sebuah koran yang headline-nya sedang membahas perkara Israel-Palestina ini, atau tiba-tiba orang tua kamu memasang tv kabel di rumah dan setiap hari mau-tidak mau kamu melihat stasiun Al Jazeerah menayangkan situasi di Jalur Gaza atau Tepi Barat. setidaknya kita punya sedikit gambaran tentang apa yang media massa itu tayangkan tentang Israel-Palestina ini.
Berangkat dari realitas itu juga, setidaknya kita juga bisa mengetahui, bahwa Kaum Yahudi tidak seluruhnya bertabiat penjajah. Dengan pengetahuan itu juga, kita yang tinggal di Indonesia, bisa terus memperluas pemahaman kita tentang konflik politik dan kekuasaan yang terjadi di Timur-Tengah yang ternyata tidak melulu bermotifkan keimanan sebagai dorongan paling utama - walaupun motif ini tidak bisa disangkal keberadaannya secara penuh. Setidaknya kita tidak begitu saja larut dalam gelombang protes di Indonesia sebagai bentuk solidaritas, tetapi ujung-ujungnya malah melahirkan kebencian terhadap pemeluk agama lain. Termakan stereotype atau anggapan umum yang belum teruji kebenarannya, kalo kata MPK mah.
Setiap agama itu tidak sama antara satu dengan yang lainnya, tetapi ada kemungkinan di antara pemeluknya sendiri untuk hidup berdampingan secara harmonis.
catatan:
bila ingin mengetahui tentang pergerakan Kaum Yahudi yang menentang Zionisme serta kependudukan Israel coba kunjungi situs www.nkuk.org
Di masyarakat kebanyakan saat ini apa yang dilakukan oleh Zionisme memang benar-benar kabur. Pergerakan itu terdistorsi sedemikian rupa, sehingga Zionisme bercampur aduk dan masyarakat luas jadi menganggap bahwa Zionisme adalah satu paket dengan agama Yahudi (Yudaisme) secara keseluruhan. Ternyata, kenyataannya Zionisme dan Yudaisme berdiri sendiri-sendiri, walaupun memang ada saling mempengaruhi di antara keduanya. Walaupun begitu, keduanya memiliki karakteristik yang berbeda, bahkan saling bertolak belakang.
Yisroel mengatakan, bahwa sebenarnya Zionisme adalah paham yang sama sekali tidak melandaskan agama, untuk hal ini Yudaisme (agama Yahudi), dalam setiap pergerakannya. Berdasarkan wawancara Yisroel itu, hal yang sebenarnya terjadi dalam Zionisme adalah, bahwa mereka (kaum Zionis) berusaha untuk ‘memutuskan ikatan’ dengan segala tradisi dan kepercayaan masa lalu kaum Yahudi. Hal itu berarti, Zionisme sedang berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkan kepercayaan Yudaisme di segala segi kehidupan masyarakat Yahudi.
“Yudaisme adalah agama yang telah berusia ribuan tahun. Zionisme adalah kepercayaan yang baru berusia sekitar seratus tahun. Zionisme didirikan oleh orang-orang Yahudi yang sepenuhnya tidak relijius,” kata Yisroel dalam wawancaranya di majalah Madina.
Yisroel juga menunjukkan sebuah dokumen berupa catatan harian milik Theodorl Hertzl yang isinya tentang, bagaimana kaum Yahudi modern haruslah menjadi generasi terakhir kaum Yahudi yang melaksanakan ajaran Judaisme. Di catatan harian Hertzl juga, ada tulisan yang menyatakan, bahwa orang Yahudi yang masih taat pada ajaran Yudaisme akan diperlakukan sebagai warga kelas dua di Israel, karena Israel adalah negara kebangsaan dan bukan negara agama. Melihat isi yang terkandung dalam catatan harian itu (bila memang benar begitu), bisa disimpulkan kalau Zionisme adalah sebuah pergerakan yang mempunyai ciri sekuler.
Berdasarkan wawancara Yisroel itu tergambar, bahwa dalam pergerakannya, Zionisme justru ‘menunggangi’ Yudaisme untuk mencapai tujuan politik-kekuasaannya sendiri. Hal ini juga tercermin dalam pernyataannya tentang Pendudukan Israel selama ini. “Awal mulanya,” katanya dalam petikan wawancara, “rencana asli kaum Zionis untuk negara Yahudi adalah Uganda. Pada akhirnya, mereka memilih Palestina, sebab orang Yahudi berdoa setiap hari sesuai petunjuk Torah (Taurat) agar Tuhan membebaskan kami dari keadaan terusir, eksil, ini. Dalam kitab kami, disebutkan penghancuran Kuil Solomon, dan sejak itu bangsa Yahudi menjadi eksil. Kami dianggap tak layak untuk tinggal di suatu negeri sebagai sebuah bangsa. Ini, menurut kitab kami, karena dosa-dosa kami. Kami harus menunggu sampai Tuhan mengakhiri keadaan eksil ini. Kami percaya suatu saat nanti, Tuhan akan melakukan sebuah perubahan metafisikal. Dalam perubahan ini, seluruh dunia akan mengenali keagungan-Nya, dan seluruh umat manusia akan mengabdi dalam damai dan keselarasan.
Kami berdoa setiap hari untuk keadaan ini. Kami tidak berdoa untuk kehadiran sebuah negara-bangsa. Kami berdoa untuk hadirnya perdamaian.”
Dalam kaitannya dengan pendudukan Israel, menurut Yisroel, kaum Zionis mengetahui dengan tepat bagaimana memanfaatkan relijiusitas kaum Yahudi. Bagaimana mereka, kaum Yahudi itu, begitu merindukan sebuah tanah di Palestina, karena disitulah segalanya berawal bagi hamba Yahweh itu. Di tanah itulah reruntuhan kerajaan Salomon berada. Maka, kaum Zionis memanfaatkannya dengan mengajak kaum Yahudi untuk menduduki tanah yang memang mereka rindukan dalam setiap doa-doanya itu.
Dalam kitab Torah terdapat suatu wahyu yang diturunkan kepada Nabi Solomon (Sulaeman dalam Islam), dimana kaum Yahudi diharuskan bersumpah terhadap wahyu tersebut. Menurut Yisroel, sumpah tersebut ditujukan kepada kaum Yahudi untuk tiga hal: pertama, kaum Yahudi tidak boleh mendatangi Palestina dalam jumlah besar. Kedua, kaum Yahudi harus menjadi warga negara yang patuh di setiap negeri dimana kaum Yahudi itu tinggal. Ketiga, jangan mencoba mengakhiri eksil mendahului kehendak Tuhan. Bisa dibilang, sumpah ini adalah sebuah penebusan atas dosa-dosa yang telah dilakukan oleh Bangsa Yahudi.
Bila memang dalam kitab Torah terdapat wahyu seperti demikian, maka pendudukan Israel selama ini jelas-jelas telah melanggar sumpah yang telah diambil oleh Bangsa Yahudi. Terutama sumpah bagian terakhir, yaitu tidak mengakhiri eksil mendahului kehendak Tuhan. Jelas, disamping motif kekuasaan belaka, alasan menjemput Messiah atau penyelamat yang pada gilirannya mengakhiri eksil Bangsa Yahudi merupakan salah satu alasan diantara alasan-alasan lainnya dalam Pendudukan Israel selama ini. Walaupun, untuk alasan ini, kaum Zionis terdengar seperti memanipulasinya agar memperoleh dukungan kuat dari kaum Yahudi relijius seperti yang dikatakan oleh Yisroel (bila memang itu benar). Tetapi, bila mengambil rujukan terhadap Kitab Torah seperti yang telah ditunjukan oleh Yisroel itu, terutama pada bagian wahyu yang berisi sumpah, maka berarti selama ini berdirinya negara Israel telah bertentangan dengan isi Kitab Torah.
Lalu, masih berdasarkan wawancara Yisroel, ada informasi lainnya yang menarik seputar Pendudukan Israel selama ini di Palestina. Kaum Zionis, ketika memulai Pendudukan, sebenarnya mengutip Kitab Injil untuk membenarkan tindakannya itu. Hal itu dilakukan, karena dalam Kitab Torah mengambil tindakan Pendudukan tidak dibenarkan. Namun, dalam Injil, terdapat suatu bagian dimana isinya mengatakan, bahwa Tuhan telah memberikan Palestina sebagai tanah bagi orang Yahudi, tanah yang dijanjikan. Hal itu dimanfaatkan oleh Kaum Zionis untuk memanipulasi orang Yahudi.
Ada satu lagi kutipan wawancara yang cukup menarik juga yang keluar dari Yisroel, “Zionisme adalah antitesa agama. Mereka menghancurkan tanah dan membunuh orang Palestina. Tapi mereka juga menghancurkan jiwa orang Yahudi. Sebetulnya, Anda akan melihat bahwa orang Yahudi yang relijius di mana pun di seluruh dunia, adalah anti-Zionisme. Di mana pun Anda melihat komunitas Yahudi yang relijius, Anda akan menemukan mereka anti-Zionisme.”
Saya jadi inget tulisannya Thomas L. Friedman di buku Dari Beirut ke Jerusalem yang mengangkat tentang pembagian masyarakat di Israel selama penugasannya menjadi kepala biro surat kabar The New York Times di Beirut dan Jerusalem era ’84-’88. Sebelumnya, saya pengen curhat dulu sedikit. Thomas L. Friedman atau Tom ini adalah seorang wartawan yang berdarah Yahudi kental, namun dalam tulisan-tulisannya dia benar-benar tidak mencerminkan bagaimana seorang Yahudi harus bersikap dalam memandang gejolak di Timur Tengah. Inilah yang saya suka dari dirinya: tanpa tedeng aling-aling ia menghajar setiap elemen yang bertikai di Timur Tengah mulai dari Islam, Kristen, Israel, Judaisme, Syiah, Sunni, Maronit…semua dibabat habis olehnya kalau memang perlu dibabat habis. Kasarnya dia tidak pilih-pilih dalam mengkritisi. Pay respect when respect is due. Buku Dari Beirut ke Jerusalem yang ia tulis, yang disebut-sebut sebagai buku anekdot, otobiografi, reportase, dan sejarah serta analisis sejarah Timur Tengah yang orisinal dan mengesankan oleh orang-orang, buat saya mencerminkan sikap seorang wartawan ideal yang sedang berhadapan dengan konflik multidimensional: tidak terikat dan mendekati apa adanya dalam memandang realitas (bila tidak ingin disebut obyektif) serta menawarkan solusi melalui analisisnya yang tajam dan mendalam.
Nah, oke, balik lagi ke obrolan. Selama penugasannya sebagai kepala biro The New York Times di Jerusalem, Tom memandang negara Israel itu terdiri dari empat kelompok besar pengikut. Kelompok besar pertama dan menjadi mayoritas adalah orang Israel sekuler yang tidak taat. Kelompok ini datang ke Israel sebagai pemberontak yang ingin memutuskan adat istiadat nenek moyang Yahudi yang masih memeluk erat Yudaisme. Bagi kelompok pertama ini, membangun sebuah masyarakat dan tentara modern, serta menjalankan hari-hari besar nasional di satu-satunya negara Yahudi di muka bumi, lebih dari cukup untuk menjadi pengganti bagi ibadah dan iman. Ilmu pengetahuan, teknologi dan mengubah gurun pasir menjadi hijau adalah Torah baru mereka dan juga melepaskan upacara keagamaan sebagai ciri penentu identitas Yahudi mereka. Bagi kelompok ini, istilahnya, buat apa mempraktekan ajaran Yudaisme lagi apabila tanah, udara, serta air di sekitarnya sudah murni menjadi milik Kaum Yahudi.
Kelompok kedua, Tom menyebutnya sebagai Zionis relijius. Mereka adalah orang ortodoks modern atau tradisional, yang sepenuhnya mendukung negara Zionis sekuler namun tetap berpendapat bahwa negara Israel bukanlah pengganti Sinagog (tempat ibadat Yahudi). Mereka memandang negara dan sinagog serta cara hidup berdasarkan ajaran Torah sebagai suatu keharmonisan. Mereka percaya bahwa terbentuknya Israel merupakan peristiwa keagamaan dan bahwa Yudaisme dapat berkembang dengan baik di sebuah negara Yahudi modern.
Kelompok ketiga, terdiri dari Zionis relijius namun lebih condong bersifat mesianik. Bagi mereka, kelahiran kembali negara Yahudi bukan sekadar peristiwa keagamaan tapi merupakan langkah awal sebuah proses yang akan memuncak dengan datangnya Mesiah. Menurut pandangan mereka, Israel merupakan alat penting untuk membawa Mesiah dan politik, pertahanan serta kebijakan luar negeri Israel untuk tujuan datangnya Mesiah tersebut.
Kelompok terakhir ialah kelompok orang Yahudi bukan Zionis dan ultra-Ortodoks yang dikenal dalam bahasa Yahudi sebagai kaum Haredim atau “mereka yang diliputi rasa takut kepada Tuhan”. Di Israel, kaum Haredim menempati 15 persen dari populasi Yahudi. Kaum Haredim tidak memandang kelahiran kembali Israel sebagai suatu peristiwa yang memiliki arti relijius yang penting. Mereka percaya bahwa sebuah negara Yahudi akan perlu dirayakan secara relijius hanya setelah datangnya Mesiah dan setelah tegaknya hukum Yahudi secara total. Untuk sementara waktu, mereka puas hidup di bumi Israel, tanpa perduli siapa yang berkuasa, karena mereka merasa lebih dekat dengan Tuhan di sana, karena mereka dapat melaksanakan lebih banyak firman Yahudi di sana, dan dengan tujuan agar hadir di Israel ketika Mesiah tiba.
Nah, kalo ingin mencocokkan pendapat Tom dan wawancara dengan Yisroel itu, saya punya pendapat, bahwa Yisroel ini bisa digolongkan sebagai kelompok terakhir, yaitu Kaum Haredim. Pemaparan kelompok terakhir yang dilakukan oleh Tom begitu kental dengan pendapat-pendapat Yisroel tentang Pendudukan Israel dalam wawancara dengan majalah Madina. Sedangkan para pembuat keputusan-keputusan di Israel yang implementasinya selalu menghiasi rubrik Internasional-nya Kompas, termasuk ke dalam penggolongan kelompok pertama, yaitu Zionis sekuler. Kaum Zionis ini mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan arah Israel, sehingga kebijakan-kebijakan yang diambilnya mendapat sorotan begitu besar dari lensa kamera. Dan mungkin kita semua bisa merasakan, bagaimana sebuah lensa seringkali tidak bisa menangkap gambar di belakang punggung seseorang berbadan besar yang menjadi sorotan utamanya.
Buat saya, fakta bahwa ada orang Yahudi yang memiliki pemikiran seperti Rabi Yisroel Dovid Weiss tentang Pendudukan Israel serta realitas yang digambarkan Thomas L. Friedman tentang pengelompokan pandangan politik-rohani masyarakat Israel menunjukkan, bahwa Israel sebagai sebuah negara yang kokoh serta memiliki persenjataan kuat ternyata bukanlah sebuah negara dimana setiap penduduknya memiliki kerangka berpikir yang sama terhadap arah yang akan dituju oleh Israel. Setiap kelompok mempunyai harapan serta ambisinya masing-masing tentang Israel (untuk membahas hal ini mungkin perlu nulis panjang lebar lagi), dimana dari bermacam-macam harapan serta ambisi tersebut tidak semuanya bersuara sama menyikapi Pendudukan Israel terhadap Palestina.
Realitas Israel sebagai sebuah negara, dimana terdapat berbagai macam kelompok yang memiliki perbedaan pandangan secara mendalam dan esensial itu, setidaknya bisa jadi bekal bila tiba-tiba kita disodorkan sebuah koran yang headline-nya sedang membahas perkara Israel-Palestina ini, atau tiba-tiba orang tua kamu memasang tv kabel di rumah dan setiap hari mau-tidak mau kamu melihat stasiun Al Jazeerah menayangkan situasi di Jalur Gaza atau Tepi Barat. setidaknya kita punya sedikit gambaran tentang apa yang media massa itu tayangkan tentang Israel-Palestina ini.
Berangkat dari realitas itu juga, setidaknya kita juga bisa mengetahui, bahwa Kaum Yahudi tidak seluruhnya bertabiat penjajah. Dengan pengetahuan itu juga, kita yang tinggal di Indonesia, bisa terus memperluas pemahaman kita tentang konflik politik dan kekuasaan yang terjadi di Timur-Tengah yang ternyata tidak melulu bermotifkan keimanan sebagai dorongan paling utama - walaupun motif ini tidak bisa disangkal keberadaannya secara penuh. Setidaknya kita tidak begitu saja larut dalam gelombang protes di Indonesia sebagai bentuk solidaritas, tetapi ujung-ujungnya malah melahirkan kebencian terhadap pemeluk agama lain. Termakan stereotype atau anggapan umum yang belum teruji kebenarannya, kalo kata MPK mah.
Setiap agama itu tidak sama antara satu dengan yang lainnya, tetapi ada kemungkinan di antara pemeluknya sendiri untuk hidup berdampingan secara harmonis.
catatan:
bila ingin mengetahui tentang pergerakan Kaum Yahudi yang menentang Zionisme serta kependudukan Israel coba kunjungi situs www.nkuk.org
3 komentar:
sip..sip bo
bermanfaat yeuh..
jadi inget ibu "yahudi" di kampus bo,,kira2 asup gol mana nya?hahaha
wah, eta mah golongan tersendiri, Wan. Zionis ultra-profit oriented!hakahkahak.
Posting Komentar