Kamis, 03 Juli 2008

Tentang Kenangan


Albert Hourini, pakar sejarah Libanon, melihat Beirut sebelum pecah perang saudara pada tahun 1975 dengan satu kata: Levantine. Sebuah kata yang secara harfiah berarti “terbit”. Di mana matahari terbit, katanya. Levantine ini mulanya adalah sebuah sebutan geografis yang diberikan kepada semua daerah dan negara yang berbatasan dengan Laut Tengah bagian Timur.
   
    Pada perkembangannya, Levantine, berubah menjadi pandangan yang tumbuh secara alamiah di kalangan masyarakat Laut Tengah bagian Timur. Sebuah pandangan yang membuat akur setiap identitas, suku, sekte, maupun agama yang memang majemuk di wilayah itu. Menyatukan, karena Levantine-mereka percaya-memuat pengertian bahwa bila mereka tidak ingin melupakan masa lalu kesukuannya, maka mereka bisa melihat setiap peninggalan yang ada di gerbang kota dimana dia tinggal.

    Menurut Hourini, seperti itulah Libanon dengan Beirutnya. Masyarakat majemuk di mana berbagai kelompok, yang berbeda pada tingkat ketaatan relijius yang diwarisi dalam ikatan kekeluargaan, hidup bersama dalam suatu kerangka kerja umum.

    “Menjadi Levantine berarti hidup dalam dua dunia atau lebih sekaligus pada waktu yang sama, tanpa menjadi anggota dari salah satu dunia itu,” katanya.

    Saat kekaisaran Ottoman ambruk sesudah perang dunia I, gagasan Levantine ambruk juga. Di Basra, Aleksandria, dan Smyrna, Levantine menemui kuburannya sendiri, tapi tidak di Beirut. Di kota ini, kalangan elit Kristen dan Islam masih saling kontak, melakukan bisnis dan menghasilkan pandangan-pandangan baru. Terjadi keseimbangan kekuasaan yang dinamis dan sehat antara sekte Islam dan Kristen.

    Tom L. Friedman, wartawan New York Times, mencatat bahwa keseimbangan kekuasaan antara Islam dan Kristen memungkinkan Beirut menganut suatu ideologi tertentu atau ideologi nasionalis dan menyembunyikan berbagai campuran budaya yang perlu bagi masyarakat Levantine. Lagipula, katanya lagi, “Beirut merupakan kota yang tidak punya sumber daya alam apapun kecuali kecerdikan kependudukan yang multilingual.”

    Itu sebelum 1975. Sejarah tentunya punya jalan sendiri. Perang saudara di wilayah itu masih meninggalkan jejaknya hingga kini. Phalangis, Maronit, Hizbullah, Druz…sebut apapun nama kelompoknya di Libanon, maka topik yang dibicarakan berarti benteng, kotak, pemisahan…kekuasaan. Tidak ada kemajemukan, karena yang dibicarakan adalah kepentingan kelompok.

    Mungkin kutipan percakapan antara Gadi dan Georgie di ‘film propaganda’ berjudul Two Fingers from Sidon, yang ditujukan bagi para tentara Israel yang akan menginvasi Libanon pada tahun 1982 buatan Angkatan Darat Israel cocok untuk menggambarkan situasi perang saudara di libanon: “kebenaran yang ada ialah begini: Orang Kristen benci orang Drus, Syiah, Sunni, dan Palestina. Orang Drus benci orang Kristen. Bukan. Oh, ya, begitu. Orang Drus benci orang Kristen, Syiah dan Siria. Orang Syiah sudah dipermainkan oleh semua orang tadi selama bertahun-tahun, jadi orang Syiah benci semua orang. Orang Sunni benci siapa saja yang oleh pemimpin mereka ditunjuk untuk dibenci, dan orang Palestina membenci satu sama lain. Sekarang, mereka mereka semua punya satu objek kebencian yang sama: kita, orang Israel. Mereka ingin menghancurkan kita kalau bisa, Tapi tidak bisa, berkat angkatan darat Israel. Bukan seluruh angkatan darat Israel, melainkan cuma bangsat-bangsat itu, yaitu para prajurit Israel yang ada di Libanon.”

    Dengan begitu, bersamaan dengan Libanon jatuh kedalam perang saudara, maka gagasan Levantine pun turut hancur seluruhnya di kawasan Laut Tengah bagian Timur. Di Kota Beirut, dimana tiap gerbangnya menandakan keberagaman kultural, menjadi puing-puing reruntuhan yang menandakan hilangnya masa lalu. Banyak dari penduduknya yang beremigrasi, mereka tidak tahan hidup dimana orang Islam dan Kristen tinggal dalam benteng dan kubu yang terpisah dan terasing. Tapi ada juga yang bertahan. Nabil Tabbara, salah satunya. Seorang arsitek dan profeser arsitektur yang pindah profesi menjadi pembuat lukisan dan mengambil foto-foto dari sisa-sisa pusat kota Beirut yang terancam hilang selamanya oleh perang saudara.

    Dia berani duduk di wilayah Garis Hijau (zona perang) dengan hanya bersenjatakan kamera Nixon dan pensil gambar. Beberapa milisi atau tentara yang lewat kadang mencemoohnya: “lihat cara duduk yang goblok itu sambil melukis puing-puing sementara roket dan peluru lalu-lalang di atasnya.” Tapi Tabbara menundukkan kepalanya untuk mengenang kembali sisa-sisa masa mudanya dengan membuat lukisan.

    Seperti yang dikatakan Tabbara, yang dilakukannya saat itu adalah memusatkan diri pada sesuatu yang amat dekat dengan dirinya yang sedang sekarat, yaitu akar generasinya. Akar generasi yang oleh perang saudara itu sedang berjalan kearah yang pasti: kematian.

    “lukisan-lukisan ini mengungkapkan kegembiraanku sendiri, karena suasana itu merupakan hal yang sangat penting dalam kenanganku. Variasi dari satu toko kepada toko berikutnya memberikan arti kehidupan dan kebersamaan. Sekarang orang-orang telah terbagi kedalam kelompok-kelompok mereka masing-masing. Apakah Anda juga termasuk dalam salah satu kelompok? Inilah yang dinamakan benteng-isme,” katanya menjelaskan kepada Thomas L. Friedman tentang kegiatannya itu.

    Tabbara adalah salah satu yang bertahan dan tidak mau pergi dari Beirut. Ada, seperti yang dikatakan Tabbara, akar generasinya di kota itu. Identitas yang menandakan dia ada di Beirut dan, lebih jauh lagi, di muka bumi ini. Walaupun Beirut saat itu adalah kota yang hampir luluh lantak lenyap untuk selamanya. Tapi, Tabbara melukis reruntuhannya sebagai bagian dari kenangan yang dimilikinya saat masih muda, dimana Beirut miliknya adalah kehangatan orang yang bercampur-baur di pasar.

Tentang orang-orang ini, yang bertahan diantara puing-puing reruntuhan perang saudara, Friedman menulis: mereka tidak meninggalkan Beirut, tetapi Beirutlah yang meninggalkan mereka.

4 komentar:

luthfi adam mengatakan...

great story! i'm enjoying reading this article...

Yas Dong mengatakan...

saya terharu, bo. Keren banget. Orang-orang yang kayak bapak itu seringan dianggap utopis. Enggak, kata saya. Dia hebat, sayangnya tidak ada yang (mau) melihat.

abo si eta tea mengatakan...

jadi, saya lagi baca buku Dari Beirut ke Jerussalem karya Tom L. Friedman. Buku ini tuh jadinya semacam reportase super subyektifnya si wartawan The New York Times itu selama sepuluh tahun tugas di Libanon sama Palestina.
buat saya buku ini bagus, keren banget. penyajiannya jadi kaya humor sinikal gitu. banyak cerita-cerita absurd tentang perang di kedua negara itu yang dia sajiin dengan gaya satir gitu. cerita tentang Tabbara cuman salah satu cerita absurd kelakuan orang yang berada di bawah ancaman roket sama bayonet di kedua negara itu.
buku bagus lah pokoknya. coba cari, cocok buat yang pengen jadi wartawan!hahaha. naooonn deuihh, jiga promosi kieu! heu, geus ah.

Yas Dong mengatakan...

ah, bisa aja maneh bo. Urang akan cari setelah KKN. Nuhun