Sabtu, 02 Januari 2016

Damai/Perang





Perang. Kebanyakan orang membencinya dan berusaha menghindarinya. Tapi, perang nyatanya selalu melekat dalam dinamika masyarakat.

Di pelajaran sejarah sekolah dulu, banyak cerita zaman kolonial mengenai peperangan di berbagai wilayah. Dari cerita-cerita tersebut, muncul nama-nama yang ditahbiskan sebagai pahlawan nasional. Dan kita yang duduk di bangku sekolah---dan tidak sedang berperang---wajib menghafal nama-nama pahlawan (selain rentetan waktu peristiwa perang) agar bisa lulus ujian.

Dalam waktu yang lebih terkini, kita melihat ke beberapa negara di timur tengah, dimana peperangan masih terjadi. Gerombolan teroris ISIS dikabarkan terus melakukan pencaplokan wilayah dengan menyulut pertempuran. Perlawanan pun muncul dari pihak-pihak yang menentangnya sehingga dalam pemberitaan, kita sering mendengar adanya letupan perang. Mundur sedikit ke belakang, Amerika sempat menggempur habis-habisan Irak beberapa waktu setelah menara WTC dibom oleh teroris yang diduga bermarkas di negara yang sempat diperintah oleh Saddam Husein tersebut.

Perang, betapa pun kita berusaha keras menghindar, nyatanya tetap mewarnai kehidupan masyarakat hari ini. Dan mungkin, suatu saat entah kapan, kita terpaksa mengangkat senjata untuk berperang, meskipun kita telah berupaya mati-matian untuk menghindarinya.

Berbicara mengenai perang, membaca The World Untill Yesterday dari Jared Diamond cukup memberikan perspektif yang segar. Secara garis besar, buku itu sebenarnya bercerita mengenai ragam kebiasaan masyarakat tradisional, khususnya yang ada di wilayah Papua. Beragam aspek masyarakat tradisional diulas oleh Diamond, termasuk soal peperangan.

Ada sebuah pernyataan yang cukup menggelitik dilontarkan oleh Diamond mengenai peperangan. Katanya, masyarakat modern tidak terbiasa menerima perang seperti halnya masyarakat tradisional. Akibatnya, dalam sebuah momen perang besar di masyarakat modern (perang dunia I dan II), individu bisa mengalami kondisi pertentangan antara nilai-nilai yang telah ditanamkan sejak dini dengan realitas yang individu tersebut alami pada saat peperangan. Kondisi tersebut berbeda dengan masyarakat tradisional.

Diamond menuliskan, dalam masyarakat tradisional, anak-anak telah sejak dini akrab dengan perang. Dia memaparkan laporan antropologi dari peperangan antara suku Dani Wilihiman dengan Asuk Balek di Papua sekitar tahun 1961. Laporan itu menunjukkan ada bocah-bocah Dani Wilihiman yang menusuk-nusukkan tombak kecil mereka ke laki-laki Asuk Balek yang sekarat. Lalu, ada laporan bocah-bocah Dani Wilihiman menembakkan anak panah ke arah bocah-bocah dari suku Dani Widaia (sekutu Asuk Balek) di bawah bimbingan orang tuanya.

Mengenai ini, Diamond menulis, "orang-orang Papua tradisional sejak masih kanak-kanak telah melihat prajurit pergi dan pulang dari pertarungan, melihat jenazah dan luka para kerabat serta sesama anggota klan yang terbunuh lawan, mendengar cerita-cerita pembunuhan, mendengar pertarungan dibicarakan sebagai ideal tertinggi dan menyaksikan prajurit yang dengan bangga bercerita mengenai pembunuhan-pembunuhan yang mereka lakukan dan dipuji-puji karenanya."

Kondisi seperti itu berbeda dengan yang dialami masyarakat modern. Diamond menulis, "dalam masyarakat negara barat kini, kami tumbuh sambil mempelajari kode moralitas universal yang disebarkan setiap minggu di rumah-rumah ibadah kami dan dikodifikasikan dalam hukum-hukum kami. Perintah Allah keenam semata mengatakan, 'Jangan Membunuh'--tanpa membedakan seperti apa kami harus berperilaku terhadap warga negara kami sendiri dan terhadap warga negara lain. Kemudian, setelah kira-kira 18 tahun pelatihan moral semacam itu, kami ambil para pemuda, latih mereka jadi prajurit, beri mereka senjata api, dan perintahkan mereka untuk melupakan semua ajaran masa kecil bahwa membunuh itu salah.

Tidak mengherankan kalau banyak prajurit modern tidak tega membidik dan menembak musuh ketika bertempur. Yang akhirnya membunuh seringkali menderita gangguan stress pasca-trauma jangka panjang (misalnya, kira-kira sepertiga prajurit Amerika yang turun berperang di Irak atau Afghanistan). Ketika mereka pulang, bukannya berbangga pernah membunuh, mereka malah bermimpi buruk dan tidak membayangkan soal itu sama sekali, terkecuali kepada sesama veteran
."

Bila direnungkan tulisan-tulisan Diamond di atas, seperti ada semacam konsekuensi bagi kita, masyarakat yang hidup di sebuah era yang konon disebut modern. Dan konsekuensi tersebut bisa dalam artian baik sekaligus tidak baik. Bagiku, cerita mengenai prajurit yang frustasi karena trauma menembak, menunjukkan sebuah warisan beratus-ratus tahun dari tatanan masyarakat industri yang ditopang oleh pembagian kerja yang sangat terspesialisasi.  


Lazimnya spesialisasi, akan memberikan dampak kepada perkembangan manusia semasa hidupnya. Ketika seorang akuntan yang bertahun-tahun terbiasa berkutat dengan kalkulasi arus uang perusahaan tiba-tiba diwajibkan memegang senjata untuk membunuh orang, tentu dia akan menjadi kaku dan ketakutan. Dalam spesialisasi, ada hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh manusia, namun di ekstrim yang lain, ada hal-hal yang sangat dikuasai oleh manusia. Semua itu terbentuk dari kebiasaan yang tertanam sedari dini.


Saya masih belum paham benar, apakah spesialisasi itu sebuah keharusan atau sangat ditentukan oleh lingkungan? Namun yang saya tahu, bibit-bibit spesialisasi mulai berkembang ketika manusia menemukan teknik pengolahan besi menjadi perkakas, dimana hal tersebut berdampak luas kepada pola hidup masyarakat secara umum. Di zaman besi pula, sebagian masyarakat sudah berpola hidup menetap dan mengalami pembagian kerja: sebagian di antaranya mempraktikkan pertanian, sebagian lain mengurus altar religi, sebagian lain mengolah besi untuk dijadikan perkakas dan sebagian yang lain menjadi prajurit untuk menjaga keamanan atau melindungi penguasa kampung. 


Spesialisasi di masyarakat pemburu-peramu berpola hidup nomaden mungkin tidak seekstrim masyarakat pertanian atau industri yang berpola hidup menetap. Di masyarakat pemburu-peramu, memang ada pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki, dimana perempuan berurusan dengan mengurus persediaan makanan, sedangkan laki-laki keluar goa untuk mencari makanan. Namun di jaman pemburu-peramu, setiap anggota suku bisa berperan multifungsi: dia bisa menjadi orang yang mencari buah-buahan dan rusa liar di hutan untuk mengumpulkan bahan makanan dan prajurit sekaligus bila ada suku lain yang menyerang gerombolannya. Sepertinya masuk akal bila ada yang menyebutkan, masyarakat jaman dulu terbiasa dengan perang. Kehidupan jaman dulu tidak serumit sekarang. Pembagian kerja pada jaman pemburu-peramu tidak sekompleks jaman sekarang: jaman industri.

1 komentar:

silvi landa mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.