Minggu, 05 Januari 2014

Pembungkaman: Apakah Kita Mulai Berkomunikasi dengan Bahasa yang Sudah Mati?

Asap mengepul dari pabrik pengolahan batu kapur yang ada di salah satu gunung di kawasan Karst Citatah, Kabupaten Bandung Barat.

Kami berada di sebuah bukit. Memandang ke arah Gunung Karangpanganten di Desa Gunungmasigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, yang jaraknya sekitar 5 kilometer dari bukit tempat kami berada. Sepetak lahan yang dihiasi tanah berwarna coklat muda dan bebatuan terlihat di gunung tersebut. Luasnya kira-kira setengah kilometer. 

Lahan itu gundul. Tampak kontras dengan rerumputan dan pepohonan hijau yang mengelilinginya. "Waktu hujan turun deras-derasnya beberapa minggu ke belakang, sempat terjadi longsor di lahan itu. Beberapa rumah yang ada di bawahnya sempat tertimbun longsoran. Untungnya tidak ada korban jiwa," kata Nandang, warga di sekitar bukit yang saat itu bersama ku.

Dia bercerita, warga yang tinggal di rumah-rumah yang terkena longsoran itu kini sudah direlokasi. Pengusaha "pemilik" lahan tambang itu yang membiayai relokasi.

"Di daerah ini mah memang rawan bencana. Apalagi kalau musim hujan seperti sekarang. Banyaknya aktivitas pertambangan di Desa Gunungmasigit ini juga membuat potensi bencana semakin meningkat. Lihat saja, banyak lahan yang gundul karena terus-menerus ditambang," ujarnya.

***

Gunung Karangpanganten merupakan salah satu bagian dalam kawasan Karst Citatah. Kekayaan alam berupa batu kapur telah memberikan dinamika tersendiri dalam kehidupan warga yang tinggal di sekitarnya. Banyak dari warga asli di sekitar gunung tersebut bekerja dalam sektor pertambangan.

Bagi sebagian orang, hal tersebut merupakan sebuah anugrah, karena mereka bisa terhindar dari kemiskinan akut akibat pengangguran. Meski faktanya, sebagian besar warga di sekitar Gunung Karangpanganten bekerja sebagai kuli dengan pendapatan yang minim.

Banyaknya warga yang bekerja dalam sektor pertambangan, memunculkan ketergantungan yang cukup besar dalam kehidupan mereka terhadap sektor tersebut. Membicarakan pertambangan dengan mereka, itu berarti berbicara mengenai perut mereka.


Namun demikian, ketergantungan dalam konteks ini adalah sebuah ironi. Bukan ketergantungan berdasarkan kesetaraan yang terjadi. Akan tetapi, penundukan total dari mereka yang sehari-harinya bekerja sebagai kuli tambang kepada para pemilik usaha tambang, atau dibahasakan dengan cara yang lain; warga kampung yang jumlahnya ratusan itu tunduk kepada para investor yang jumlahnya lebih sedikit.

Nandang, warga asli Desa Gunungmasigit yang sehari-hari mengurus domba itu menyadari adanya kondisi tersebut. Baginya, sebagian besar warga di sekitar lokasi pertambangan terlalu takut bila membicarakan segala sesuatu yang menyangkut perusahaan tambang.

Dia mengatakan hal itu terutama dengan merujuk kepada peristiwa longsor yang telah diceritakannya. Saat longsor itu terjadi, dia bercerita, warga sebenarnya menyadari aktivitas pertambangan di sekitar kampung merupakan penyebab utamanya. Tidak semata-mata gejala natural dari alam yang apa adanya. Namun, mereka memilih untuk tidak mempermasalahkannya lebih lanjut.

"Dalam hati, mereka itu sebenarnya menjerit. Tapi, mereka terlalu takut untuk mengeluarkannya. Pada intinya, mereka tidak ingin repot terlibat dalam konflik," ujar Nandang.

***

Saat mendengarkan cerita Nandang, ingatanku terbawa ketika sedang mendatangi kampung yang dimaksud. Pekerjaan ku sehari-hari adalah menulis berita. Kedatanganku ke kampung itu untuk menulis soal informasi longsor yang kudapatkan dari seorang informan.

Saat ku mendatangi kampung tersebut, tersaji di hadapan mata sebuah kontur pemukiman yang letaknya berbukit-bukit menyerupai tangga. Kondisi perumahan di kampung itu umumnya jauh dari layak. Beberapa di antaranya masih berdindingkan bilik. Sementara rumah yang berdindingkan tembok, tampak mengalami retak-retak.

Warga kampung yang terkena longsor biasanya akan sedikit antusias mengetahui ada seorang juru warta mendatangi mereka. Mereka membayangkan kelak akan datang juru selamat yang memberi uang atau bantuan dengan dieksposnya bencana yang mereka alami melalui sebuah berita. Namun tidak demikian halnya dengan warga kampung yang kudatangi saat itu.

Saat ku berjalan di tengah-tengah perkampungan, beberapa warga ada yang lebih memilih diam di dalam rumah. Sementara yang lain memandang dengan tatapan curiga. Suasana kampung saat itu terasa sunyi. Tampak seperti suasana tenang-tenang saja, meski sebagian kecil kampung tersebut terkena dampak longsor.

Bertanya-tanya kepada warga yang kutemui di kampung tersebut, mereka semua mengarahkan kepada satu nama; Juhana. Dia tampak seperti tetua di kampung tersebut, dengan perkiraan umur yang berada di kisaran 50 tahun.

Bertemu denganku, Juhana bertanya dengan nada kecurigaan. Dia memulai bertanya dengan mencari tahu siapakah diriku, darimana diriku, dan apa kepentinganku berada di kampungnya.

"Kartu nama tidak punya? Ya sudah, minta nomor telefon saja," ujarnya saat itu. Permintaan Juhana kuikuti. Aku mencatat nomor telefon dalam secarik kertas blok not, dan kuberikan kepadanya.

Juhana kemudian membawaku ke bagian paling atas bukit. Di sana, aku melihat retakan tanah yang besar. Aku terkejut melihat retakan tanah itu. Perumahan yang berada di bawahnya terancam longsor yang lebih besar dengan adanya retakan tersebut.

Tidak jauh dari lapangan kosong di puncak bukit, terdapat sebuah tebing. Terlihat pula sepetak lahan gundul sehabis ditambang di tebing tersebut. Juhana mengatakan, lahan yang gundul itu sudah tidak ditambang selama dua tahun terakhir.

Pengabaian lain dari keharusan reklamasi. Pikirku saat itu.

Juhana seolah-olah buru-buru meyakinkanku tentang lahan gundul yang kulihat saat itu. "Retakan dan longsor yang terjadi di kampung ini lebih kepada gejala alam. Bukan karena aktivitas tambang itu. Kalau memang penyebabnya aktivitas tambang, tentu sudah jauh-jauh hari kampung kami terkena longsor, saat lahan itu masih ditambang. Tapi, kejadian longsor di kampung ini terjadi baru-baru ini," katanya.

Sering aku berpikir, manusia bisa berbicara apa saja tentang alam. Tapi, alam akan terus bergerak dengan atau tanpa manusia. Alam mempunyai logikanya sendiri yang terlepas dari logika manusia. Dan mendengarkan Juhana berbicara seperti itu, aroma bualan terasa lekat di telingaku.

Selama Juhana berbicara soal tidak adanya korelasi antara pertambangan dan longsor di kampungnya, aku tidak berkomentar apa-apa. Malas berdebat.

Bualan Juhana kemudian berlanjut di akhir kunjungan. Saat aku hendak pamit, Juhana memberikan penekanan dalam kata-katanya. "Saya tidak ingin dalam berita nanti sampai muncul aktivitas tambang menyebabkan longsor keluar berdasarkan nama saya. Tambang tidak ada hubungannya dengan longsor. Warga kampung di sini menggantungkan perut kepada pertambangan. Kalau sampai menyangkut perusahaan dalam pemberitaan, warga di kampung ini tidak akan tinggal diam," ujarnya.

Aku tertegun dengan penekanannya itu. Perasaanku berkecamuk. Ada rasa takut membayangkan diriku diamuk massa. Namun, rasa sedih dan marah lebih mendominasi diriku saat itu.

Aku sedih, karena aku tidak sepantasnya diancam seperti itu. Tidak ada seorangpun yang boleh mengancamku. Dan di atas segalanya, aku marah terhadap pengusaha tambang yang telah membuat Juhana bersikap penuh ketakutan, sehingga mengancamku. Aku marah terhadap pengusaha tambang yang telah membuat warga di kampung tempat Juhana tinggal diselimuti ketakutan.

Sungguh menyedihkan, bagaimana kampung yang warganya hidup dengan standar jauh dari kata layak, harus tunduk kepada segelintir orang yang bergelimang harta dari kekayaan alam dimana warga kampung itu berada. Aku merasakan kemarahan yang sangat pada saat itu.

Penekanan Juhana saat itu kutanggapi dengan dingin. Aku hanya menatap matanya sejenak, dan segera berpaling darinya. Aku melangkah dengan pikiran yang berkecamuk.

***
Dalam perbincangan di bukit, Nandang mengaku, tidak setuju dengan adanya aktivitas pertambangan, bila itu hanya akan berdampak kepada munculnya bencana alam. Dia kemudian bercerita tentang rumahnya yang terletak di sekitar Gunung Karangpanganten, tidak jauh dari kampung tempat Juhana tinggal yang sempat kudatangi beberapa waktu lalu.

"Dulu pernah ada yang akan menambang di dekat kampung tempat rumah saya. Namun, saya menolaknya bersama-sama warga yang lain. Tidak mau, apalagi lingkungan di sini sudah memprihatinkan," katanya.

Nandang, pria yang sehari-harinya mengurus domba dan menyapu di sekitar Goa Pawon itu menolak kehadiran pengusaha tambang di sekitar rumahnya. Aku tidak mengetahui apakah penolakannya itu akan berlangsung lama atau tidak. Akan tetapi, di tengah mistifikasi urusan perut yang tercipta dari pertambangan di wilayah Cipatat, masih ada Nandang yang memilih untuk menolak kehadiran perusahaan tambang di kampungnya.

Penuturan Nandang saat itu seolah-olah menjadi pelipur lara akan perasaan yang berkecamuk ketika sedang berada di Kampung tempat tinggal Juhana. Lega rasanya mengetahui masih ada orang seperti dia. Masih bisa berbicara dengan nada kritis mengenai masalah yang terjadi di sekitar lingkungannya. Berbicara seperti itu di tengah-tengah desakan tuntutan hidup yang seringkali membuat seseorang harus menerima kondisi yang ada-kondisi yang justru seringkali dibentuk oleh segelintir pihak yang memegang kekuasaan.



Bandung, 4 Januari 2014, dengan ditemani segelas 
Wiski Scotch Grant's dan sealbum Left and 
Leaving dari The Weakerthans. 
Tuhan mengetahui betapa mabuknya diriku 
saat menulis ini. 

2 komentar:

yoga zara mengatakan...

wah mantaffffff

abo mengatakan...

halo, yoga zaraandritra