Serba dadakan. Serba seadanya. Serba terburu-buru. Kondisi itulah yang kuhadapi akhir-akhir ini. Bagiku biasanya segala sesuatu diperlukan perencanaan serba matang dengan eksekusi yang terarah, terukur, dan cermat. Tapi, sekarang-sekarang tidak seperti itu. Semuanya serba mengikuti kondisi. Hasilnya? rontok.
Seperti biasa, pagi diawali dengan memikirkan rincian dari tema besar yang digagas malam sebelumnya. Lalu keluar dari rumah dengan pikiran kesana-kemari. Tidak hanya pikiran. "Buronan Mertua", motorku yang berumur lima tahun pun terbawa situasi: ia menjajal jl. pelajar pejuang, dago pojok, hingga ujung berung. Dibawah hentakan halilintar, ia menembus hujan deras. Melibas perapatan Gedebage yang dilanda banjir cileuncang. Tapi, seperti diriku, pada akhirnya ia pun ikut-ikutan rontok: mogok di tengah-tengah genangan air.
Semuanya menjadi serba dipaksakan, dan parahnya lagi, target tenggat waktu dilanggar hingga 45 menit. Ku ingat guyonan Armin, ketika mendengar cerita Ilham yang juga rontok seperti diriku saat memburu rincian tema besar. Katanya, "maneh teh rek ngabelaan naon atuh? (kamu tuh mau membela apa sih?)."
Guyonan Armin bagiku terdengar cerdas. Sebagai bahan untuk mentertawakan diri sendiri, guyonan Armin sangat pas. Apa yang sedang kubela sebenarnya hingga tubuh ini dan si Buronan Mertua harus rontok segala?
Aku kadang mengira-ngira, apakah orang-orang itu mempertanyakan kerja yang menjadi bagiannya? Apakah semua ini semata-mata sebagai pembagian kerja belaka, dimana setiap orang memiliki perannya masing-masing dalam produksi sosial? Pembagian kerja demi apa?
Akhir-akhir ini aku sering berpikir mengenai aktivitas yang kulakukan. Berpikir mengenai kondisi serba dadakan, serba seadanya, serba dipaksakan, dan serba-serba lainnya, yang sering kuhadapi. Kenapa aku tetap saja menjalaninya? Apakah ada jalan lain? Bila ada, kenapa aku tak berjalan di sana?
1 komentar:
nice posting... serba bisa nih mas...
salam hangat dan follow juga
Revolusi galau
Posting Komentar