Jumat, 09 September 2011

silumantulen mixtape vol 1: midnight folks

Mungkin kalau mau ngomong secara ‘ketat’, tulisan ‘Mixtape’ di atas harusnya diganti menjadi ‘Mixmp3’. Soalnya, ya, karena bentuk file yang diunggah di sini berbentuk file digital, bukan pita kaset. Tapi, masa bodohlah. Soalnya, terasa tak enak dilidah kalau melafalkan ‘Mixmp3’. Kagok. Terus, seperti keliatan kurang keren gitu…. Jadi, ya, kagok negro juga. Mending sebut dengan istilah ‘Mixtape’ saja. Istilah di jaman ketika kaset masih jaya-jayanya di era 90an. Istilah ketika antara teman masih sering tukeran kaset kompilasinya sendiri. Istilah ketika jari-jemari masih merasakan sedikit nyeri, karena sering menekan tombol fast forward dan rewind yang keras di pemutar kaset. Istilah ketika masih ada rasa kesal dan marah yang muncul, karena melihat pita kaset pabaliut gara-gara head nya sudah butut. Yup, good ol’ times never dies.

Heup ah. Saatnya untuk sedikit kata pengantar buat ‘bingkisan’ dari silumantulen.

Di postingan kali ini, saya hanya ingin sedikit memberi ‘bingkisan’ berupa lagu-lagu yang sering didengarkan akhir-akhir ini. Lagu-lagunya itu sendiri dikompilasi dan diberi titel ‘silumantulen mixtape vol 1’.  Khusus untuk kompilasi volume pertama ini, lagu-lagu yang  ada di dalamnya merupakan lagu-lagu yang memiliki genre yang spesifik, yakni folk. Mungkin lebih tepatnya adalah lagu yang bergenre folk bernuansa ballad, country, dan blues (semenjak varian dari folk itu sendiri beragam). 

Pertama kali saya menyukai musik-musik bergenre folk ini adalah ketika menonton film Elizabethtown. Kalau kalian sudah ada yang pernah menonton film itu, mungkin kalian ingat adegan di akhir-akhir film, ketika Drew Baylore (Orlando Bloom) mengendarai mobil untuk pulang ke kotanya seusai acara pemakaman ayahnya sambil mendengarkan kompilasi lagu yang diberikan oleh Claire Colburn (Kirsten Dunst). Di setiap tempat baru yang dilewati, Baylore mendengarkan lagu sesuai dengan yang diinstruksikan oleh Colburn dalam sebuah catatan yang ada di bungkus kompilasi lagunya. Nah, di adegan itu, lagu-lagu yang diputar oleh Baylore langsung masuk ke telinga saya. Apalagi visual-visual yang ditampilkan dalam adegan itu juga bagus; seputar hal-hal yang ada dalam sebuah perjalanan, seperti jalan raya, kota, suasana alam di Amerika. Antara visual dan lagu terasa saling mendukung.

Bermula dari film itulah kemudian saya mencari album soundtracknya.Album soundtrack Elizabethtown ini sebagian besar diisi oleh artis-artis yang membawakan musik folk. Mulai dari Patty Griffin hingga Jeff Finlin. Bahkan Elton John pun ada di album ini membawakan ‘My Fathers Gun’ dari album Tumbleweed Connection (1970). Mungkin kalian juga bisa googling album Ost. Elizabethtown kalau berminat. Link downloadnya juga berserakan di mana-mana di dunia maya ini. Nah, bermula dari mendengarkan album soundtrack Elizabethtown inilah kemudian saya tertarik untuk mencari-cari lagi musik folk hingga saat ini.

Di silumantulen mixtape vol 1 ini ada tiga artis yang saya ambil dari album Ost. Elizabethtown, yakni Patty Griffin, I Nine dan Eastmountainsouth. Selebihnya adalah artis-artis dari hasil pencarian musik folk selama ini. Artis-artis itu dipilih berdasarkan pilihan personal belaka: lagu mereka memberi soundtrack dalam keseharian. Ada masa-masanya ketika lagu-lagu itu mengiringi di saat kehidupan lagi terasa apeu (seperti sekarang-sekarang ini), ada masanya juga ketika lagu-lagu itu mengiringi di saat kehidupan lagi woles. Pastinya, lagu-lagu yang ada di mixtape ini berkesan secara personal.

Okelah, tanpa berbasa-basi lebih lanjut lagi. Saya mengucapkan selamat mendengarkan. Pastinya mixtape ini saya dedikasikan kepada mereka para penikmat musik yang berpikiran terbuka, mereka yang selalu terinspirasi oleh musik, dan mereka yang berusaha menikmati hidup betapa pun berat tantangan yang ada di dalamnya. Mudah-mudahan mixtape ini bisa menjadi pelipur lara, atau minimal mengiringi, ketika kamu beristirahat pada malam hari sesudah menjalani fase-fase hidup yang sedang ditempuh, baik itu fase yang menyebalkan ataupun sebaliknya.

Memelintir kata AC/DC: for those about to rock…I salute you! Cheersh :)

============================================================================

SILUMANTULEN MIX TAPE VOl 1: MIDNIGHT FOLKS track list:

01. Heirlooms of August - A Flower My Love Grows

02. Mark Kozelek - Celebrated Summer

03. Patty Griffin - Long Ride Home

04. Corrosion of Conformity - Stare Too Long

05. Sun Kil Moon - Lost Verses

06. Sleepy Sun - Ooh Boy

07. Jesse Sykes and the Sweet Hereafter - Morning It Comes

08. Hindi Zahra - Fascination

09. I Nine - Same In Any Language

10. Eastmountainsouth - Winter


Selasa, 06 September 2011

Ngaler-Ngidul: Ramadhan Tahun Ini

Secara personal, Ramadhan tahun ini terasa sedikit menenangkan bagiku. Bisa berada jauh dari rumah dan beraktivitas tanpa risau akan hal-hal mengenai pekerjaan yang belum kunjung didapat. Saban siang membaca buku Martin tentang Alan Badiou, nonton film sepuasnya dari laptop, ngobrol dengan saudara-saudara yang lama tak bersua, menghisap ganja sendirian di kamar pada malam hari, menunggu siaran bola Indonesia vs Iran bareng keluarga besar (berikut tidak jadi nonton, karena sinyalnya terganggu), bercanda dengan keponakan yang lucu-lucu. Semuanya terasa menyenangkan. Rumah almarhum Amih dan Apih di Tasikmalaya, tempatku tinggal selama Ramadhan, memang juara.

Berkunjung ke rumah di Tasikmalaya sudah seperti ritual yang wajib dilakukan setiap tahunnya bagi keluarga besar kami. Tanpa hadir ke Tasikmalaya setiap Ramadhan, rasa-rasanya seperti ada yang kosong saja. Entahlah, mungkin memang sudah faktor kebiasaan saja semenjak ‘kami’ kecil dulu. Selain itu, rumah almarhum nenek dan kakekku di Tasikmalaya itu juga bagiku selalu terasa nyaman. Rumahnya bergaya arsitektur jaman Belanda. Cukup besar ukurannya. Bahkan terdapat hingga dua puluh kamar kosan yang berjejer dari mulai bagian samping rumah hingga ke bagian belakangnya. Mungkin karena gaya arsitekturnya yang berasal dari jaman kolonial itulah mengapa rumah itu bisa nyaman. Biasanya rumah bergaya jadul seperti itu, hawa-hawanya selalu bikin adem. Walaupun siang hari terasa menyengat, tetapi bila berada di dalam rumah tetap saja terasa dingin. Entahlah, mungkin itu gara-gara pengaruh teknik membangun rumahnya. Tak tahu juga. 

Salah satu bagian dari rumah itu yang paling kusenangi adalah teras depannya. Sangat nikmat bila sore-sore kamu diam di teras depan rumah sambil menyeduh kopi dan berbicara apa saja dengan saudara lainnya sambil mata tertuju ke arah jalan raya yang ada di depan. Orang-orang lalu lalang, pedagang hilir-mudik, dan perempuan cantik kadang melenggang. Atau bila malam hari tiba, ketika jalanan kota sudah mulai sepi, dan keluargaku yang lain sudah terlelap tidur, aku menghisap ganja di teras itu. Mengambang lambat bersama asap herbal diantara senyapnya kota yang tertidur…

Aku teringat ucapan Mas Dede mengenai pengaruh hubungan kekeluargaan dan budaya mudik (pulang ke kampung halaman) di Indonesia ini bagi buruh-buruh. Dengan masih adanya hubungan kekeluargaan yang cukup mengikat, dan ikatan ini salah satunya tercermin dari budaya pulang ke kampung halaman setahun sekali, membuat kondisi buruh di Indonesia setidaknya lebih mending daripada kondisi buruh di sebagian besar daratan anglo-saxon sana. 

“Setidaknya kalau buruh-buruh itu dipecat, mereka punya tempat pelarian agar tidak menjadi depresi. Setidaknya memberi jeda atas rentetan masalah yang dihadapi. Ikatan keluarga yang masih kental cukup membantu dalam hal ini. Berbeda dengan orang-orang anglo-saxon yang ikatan keluarganya tidak seerat Indonesia. Rentan stress dan depresi bila ada buruh sana (Eropa) yang dipecat, karena tidak memiliki tempat pelarian, seperti kampung halaman dan ikatan keluarga yang kental,” katanya kepadaku suatu waktu.

Aku belum pernah ke luar Indonesia, dan sejauh ini belum merasakan seperti apa PHK itu. Bahkan akupun masih belum bekerja. Selain itu, ucapan Mas Dede mengenai kadar depresi antara buruh Eropa dan Indonesia terkait PHK dan ikatan keluarga itu pun perlu dibuktikan lebih lanjut kebenarannya. Hanya saja, ketika aku meninggalkan Tasikmalaya, dan berada kembali di Bandung, aku teringat ucapan temanku itu. Terutama mengenai pulang kampung yang memberikan jeda atas permasalahan yang sedang di hadapi. Kupikir memang terdapat perbedaan setibanya aku di Bandung: beberapa urusan menjadi terpikirkan kembali untuk segera dibereskan agar tidak menjadi kegelisahan yang terus berlanjut. Ini tidak seperti seminggu kemarin di Tasikmalaya, ketika berada di tempat dimana rasa-rasanya --- mengutip E.S Ito --- “tidak ada kemalangan, kesusahan, dan kesedihan."

Ramadhan Tahun Ini

Secara personal, Ramadhan tahun ini terasa sedikit menenangkan bagiku. Bisa berada jauh dari rumah dan beraktivitas tanpa risau akan hal-hal mengenai pekerjaan yang belum kunjung didapat. Saban siang membaca buku Martin tentang Alan Badiou, nonton film sepuasnya dari laptop, ngobrol dengan saudara-saudara yang lama tak bersua, menghisap ganja sendirian di kamar pada malam hari, menunggu siaran bola Indonesia vs Iran bareng keluarga besar (berikut tidak jadi nonton, karena sinyalnya terganggu), bercanda dengan keponakan yang lucu-lucu. Semuanya terasa menyenangkan. Rumah almarhum Amih dan Apih di Tasikmalaya, tempatku tinggal selama Ramadhan, memang juara.

Enter The Void

Rating:★★★
Category:Movies
Genre: Cult
“[..] it's the story of someone who is stoned when he gets shot and who has an intonation of his own dream.” –Gaspar Noe, sutradara Enter the Void-

Oscar adalah semacam pedestrian di Jepang yang berasal dari Amerika. Sehari-harinya Oscar menjual narkoba untuk menopang kehidupan di negeri matahari terbit itu. Suatu saat teman Oscar yang juga tinggal di Jepang, yakni Victor, ingin membeli narkoba darinya. Lalu bertemulah mereka di suatu bar kecil di Tokyo. Namun tak disangka, pertemuan itu ternyata adalah jebakan. Tiba-tiba saja polisi berhamburan masuk ke dalam bar. Rupanya Victor menjadi informan bagi pihak kepolisian Jepang.

Panik mengetahui dirinya dijebak, Oscar lantas berlari ke arah toilet untuk membuang narkoba di kloset. Berharap bisa menghilangkan barang bukti. Namun upaya menghilangkan barang bukti itu ternyata gagal, karena Oscar keburu ditembak di dalam toilet tersebut oleh polisi yang berusaha untuk menangkapnya.

Adegan penembakan Oscar di sebuah toilet bar kecil bernama “The Void” itu menjadi titik awal dimulainya film Enter the Void ini. Tema besar film ini memang berusaha untuk menggambarkan mengenai pengalaman seseorang ketika jiwanya lepas dari tubuh dan mulai bergentayangan. Selama hampir lebih dua jam setengah (!), kita akan disuguhi oleh visualisasi mengenai bagaimana ‘arwah’ Oscar ini gentayangan.

Mula-mula, setelah Oscar ditembak dan arwahnya mulai bergentayangan, kita akan dibawa mengembara ke potongan-potongan masa kecil Oscar. Kemudian pengembaraan arwah Oscar berlanjut dengan menggentayangi orang-orang terdekatnya. Maksud ‘menggentayangi orang-orang terdekat’ ini sebenarnya lebih kepada upaya penggambaran tentang bagaimana kematian Oscar memberi dampak terhadap orang-orang terdekatnya.

Di film ini kita akan melihat bagaimana kehidupan Linda, adik perempuan Oscar, yang hancur, karena di tinggalkan keluarga satu-satunya itu. Apalagi Linda hidup di negeri yang jauh dari negeri asalnya. Lalu kita juga akan melihat bagaimana sobat karib Oscar, Alex, yang juga ikut terkena imbas akibat kematian Oscar. Dia terpaksa harus sembunyi dan menghindari kejaran polisi Jepang, karena hubungannya antara Oscar dengan pemasok narkoba utama di Jepang. Semuanya dilihat dari kacamata orang-pertama ---dalam film ini, artinya dari sudut pandang Oscar sebagai arwah gentayangan.

***
Saya pikir setidaknya terdapat empat poin yang membuat film ini menarik. Keempat poin itu adalah kematian, psikedelik, narkoba, dan seks. Di sini saya akan mencoba menjabarkan mengenai empat poin tersebut.

Untuk poin pertama, kematian. Oke. Inilah rahasia umum umat manusia yang masih mengandung misteri (setidaknya buat mereka yang masih hidup). Dikarenakan misterinya, telah banyak orang yang berbuat sesuatu kepada kematian ini. Mulai dari mencoba menjelaskannya, hingga tergerakkan oleh nya. Tetapi, karena sebenarnya ‘sesuatu’ setelah kematian merupakan hal yang asing bagi kehidupan, maka manusia tentunya tidak dapat berbuat melebihi bayangannya sendiri. Dengan lain perkataan, imajinasi menjadi sesuatu hal yang penting di sini. Imajinasi dapat bergerak liar tanpa terkungkung bayangannya sendiri. Oleh sebab itulah, menjadi menarik melihat bagaimana imajinasi seseorang mengenai kematian divisualisasikan. Setidaknya kita bisa mengetahui ‘versi’ kematian seperti apakah yang diyakini seseorang itu. Mungkin setelah melihat film Enter the Void sampai habis, kamu bisa mendapatkan bayangan seperti apa konsep kematian yang divisualisasikan dalam film ini.

Poin kedua, psikedelik. Hoho, ok. Sebut saya jadul, tapi saya senang aroma tahun 60-70an. Terutama segala hal berbau psikadelik, mulai dari subkulturnya, fashionnya, musiknya, bahkan hingga rambut afro ala Gil Scott Heron saya ambil semua. Termasuk ‘warna’ yang bercirikan psikadelik (campuran warna-warna cerah yang seringkali bergerak secara spiral). Nah, dalam film Enter the Void ini kita akan disuguhkan oleh tatanan-tatanan warna psikadelik yang indah seperti itu. Bersamaan dengan arwah Oscar melayang dari satu tempat ke tempat lainnya, seringkali kali kita akan diselingi oleh gambaran-gambaran (mungkin metafora alam kematian) berbentuk absurd yang berwarnakan psikadelik. Gambaran-gambaran itu berputar-putar dan bertransformasi, sehingga komposisi warna di dalamnya pun turut terbentuk sedemikian rupa. Cukup menyenangkan melihatnya. Hal ini, warna-warna psikadelik ini, juga akan membawa kita pada poin ketiga, yakni narkoba.

Yup, narkoba. Satu hal yang membuat dunia ini menjadi sedikit woles dan penuh hiburan. Bila narkoba disebut di sini, itu berarti maksudnya adalah semacam ‘rokok herbal’. Bukan narkoba semacam etep, heroin, atau apa lah yang berbau kimia dan diinjeksi kedalam darah sendiri. Narkoba di sini maksudnya adalah segala hal yang bersifat halusinogen, entah itu rokok herbal atau mushroom.

Oke, lalu apa hubungannya ‘rokok herbal’ sebagai narkoba dengan film Enter the Void? Jawabannya juga simpel; dengan menghisap ‘rokok herbal’ sambil nonton Enter the Void akan membuat kamu stoned dengan sangat woles! Melihat bagaimana gambar, warna, hingga sudut pandang kamera yang bergerak liar ---nih, saya kasih tau --- akan membuat halusinasi kamu (sebagai dampak asap ‘rokok herbal’) juga bergerak lincah dan liar. Coba saja, ketika nonton film ini, lampu kamar kamu matikan, sehingga cahaya satu-satunya hanyalah berasal dari layar tivi dan api ‘rokok herbal’. Biarkan cahaya dan visual dari film Enter the Void mendominasi penerangan di kamar kamu yang sempit itu. Lalu kamu bakar itu beberapa linting ‘rokok herbal’, dan rasakan efek ‘pengembaraan-asap-herbal-karunia-alam’-nya. Saya pikir hal seperti itu seharusnya menjadi tripping yang sangat ‘psikedelik’. Yo man…

Nah, poin terakhir yang membuat film ini menarik: seks. Anjis, adegan seksnya lumayan banyak. Apalagi adegan perempuan telanjang...beuh. Cocoklah. Teknik flying-camera, warna-warni psikadelik kota Tokyo, gambar-gambar absurd, narkoba, get stoned, seks, perempuan telanjang…it’s a hell of a trip.

PS: oya, film ini durasinya minta ampun panjangnya. Sekitar dua jam setengah. Jadi…tontonlah dengan woles :)