Pertama kali kulihat sebuah foto dalam LCD Nikon D-70 temanku. Didalamnya terpampang sebuah wajah perempuan yang cantik dan, menurutku, mempunyai suatu daya tarik. Lama sekali kupandangi foto perempuan itu. Sebelumnya aku tidak begitu ‘ngeh’ dengan kehadirannya. Tapi, setelah kulihat fotonya dalam kamera itu, aku tersadar bahwa ia sebenarnya mempunyai daya tarik. Lama kupandangi wajahnya yang manis itu, kulihat bibirnya yang merah ketika dia tersenyum sambil menyandarkan wajahnya miring ke pintu. Pose yang memikat.
Dari semua bagian wajahnya yang paling menarik perhatianku adalah matanya. Adalah mata, sepasang mata, yang membuatku tidak bergeming ketika melihat wajahnya. Matanya begitu indah, seakan-akan aku terpayungi ditengah-tengah padang pasir yang gersang. Dan suatu waktu, aku mendapat kesempatan untuk bertatap muka dan berbincang-bincang dengannya. Ketika kuajak dia duduk dan mulai berbicara, pelan-pelan kutatap lekat-lekat matanya yang teduh itu. Aku tidak peduli lagi bila ia merasa aku suka kepadanya. Satu-satunya keinginanku adalah melihat matanya, menikmati tatapan matanya yang menentramkan itu. Ya, matanya bagiku memiliki daya tarik tersendiri. Sementara dia berbicara, aku menikmati sepasang mata yang sedang menatap wajahku.
Sekarang, aku berada di sudut kamar yang pengap oleh asap rokok, ditemani oleh sound Telephone Tel Aviv dari mp3 yang ada di komputerku. Di sudut kamar ini aku mengenang kembali mata-mata perempuan yang lewat dalam perjalananku. Dalam satu titik aku mengenang, bagaimana mata-mata yang mempesona itu membuatku tergoda untuk menyelaminya. Layaknya telaga rahasia yang tidak sengaja kutemukan di suatu bukit.
Dari semua bagian wajahnya yang paling menarik perhatianku adalah matanya. Adalah mata, sepasang mata, yang membuatku tidak bergeming ketika melihat wajahnya. Matanya begitu indah, seakan-akan aku terpayungi ditengah-tengah padang pasir yang gersang. Dan suatu waktu, aku mendapat kesempatan untuk bertatap muka dan berbincang-bincang dengannya. Ketika kuajak dia duduk dan mulai berbicara, pelan-pelan kutatap lekat-lekat matanya yang teduh itu. Aku tidak peduli lagi bila ia merasa aku suka kepadanya. Satu-satunya keinginanku adalah melihat matanya, menikmati tatapan matanya yang menentramkan itu. Ya, matanya bagiku memiliki daya tarik tersendiri. Sementara dia berbicara, aku menikmati sepasang mata yang sedang menatap wajahku.
Sekarang, aku berada di sudut kamar yang pengap oleh asap rokok, ditemani oleh sound Telephone Tel Aviv dari mp3 yang ada di komputerku. Di sudut kamar ini aku mengenang kembali mata-mata perempuan yang lewat dalam perjalananku. Dalam satu titik aku mengenang, bagaimana mata-mata yang mempesona itu membuatku tergoda untuk menyelaminya. Layaknya telaga rahasia yang tidak sengaja kutemukan di suatu bukit.
9 komentar:
Yah,kok, selese. Ceritakan mata-mata lain yang mempesona, dong, Bo.
...sepasaaaang mata booolaaa...dari balik...
yoi, soundtrack angkatan '45. gua angkat senjata deh...melawan imperalisme belanda...
ah, gua ga tau kudu nyeritain pa lagi :)
anjritttt...si Abo kasmaran...hahahahahahaa
saha atuh bo si mata indah teh?
kasmaran? hahah...ngarana ge napak tilas.
tilas saha atuh kang...ih meni beuki nu tilas nya...hahahahaha
apal peribahasa supir truk pantura: tilas tapi raos?
wkwkwkwkwk,,dasar supir!!
Posting Komentar