Gedung milik Internal Revenue Service (IRS) atau lembaga pemerintah pengumpul pajak di Austin, Texas, AS, ditabrak pesawat pada Jumat (19/2) waktu Indonesia, atau Kamis waktu AS. Pelaku dari aksi penabrakkan itu diketahui bernama Joseph Andrew Stack. Berdasarkan beberapa media massa, Stack merasa frustrasi, karena sengketa pajak dengan pemerintah. Sengketa pajak itu juga menyebabkan Stack gagal memulai bisnis sebanyak dua kali dan mengalami kebangkrutan semenjak tahun 1999.
Sebelum menabrakkan pesawat ke gedung RIS, Stack terlebih dahulu membakar rumahnya, dan meninggalkan sepucuk surat yang bernada ancaman serta sikap anti-pemerintah. Sejauh ini, ada dua korban meninggal serta tiga belas orang mengalami luka-luka.
Memori WTC
Tragedi yang menimpa Stack itu seakan-akan mengembalikan ingatan kolektif atas aksi penghancuran WTC yang terjadi pada 11 September 2001 yang sampai saat ini pelakunya belum tertangkap. Pola yang terjadi antara penghancuran WTC dan gedung milik IRS mirip: seseorang menabrakkan pesawatnya ke gedung yang menjadi target sasaran.
Namun demikian, ada pemaknaan yang berbeda diantara kedua aksi penabrakkan pesawat tersebut. Penabrakkan WTC dimaknai sebagai serangan terorisme. Pemaknaan itu sendiri muncul atas pernyataan Presiden AS pada masa itu, yakni George W. Bush. Pernyataan Presiden Bush itu langsung diimplentasikan dengan penyerangan ke dua negara berdaulat, yakni Irak dan Afghanistan. Pihak pertahanan AS berargumen, bahwa di kedua negara itulah markas teroris yang bertanggungjawab atas penghancuran WTC berada, sehingga harus dihancurkan.
Presiden Bush dalam pernyataannya atas respon penghancuran WTC saat itu juga memberikan batasan yang jelas bagi negara-negara yang berkepentingan. Batasan tersebut adalah, apakah bersama AS untuk menumpas terorisme, atau, bila menolak, berhadap-hadapan langsung dengan AS. Pembatasan tersebut bersifat dilematis dalam beberapa hal, karena menyangkut kedaulatan sebuah negara. Negara yang ikut dengan AS harus siap dengan konsekuensi kedaulatannya di intervensi oleh AS atas nama 'memerangi terorisme', atau dilabelkan sebagai negara pendukung terorisme bila menolak bergabung, dan disisi lain, beberapa negara harus siap dimusuhi oleh rakyatnya sendiri, karena dianggap menjadi 'antek' AS dengan bergabung bersama AS.
Hingga saat ini, penyerangan ke Irak dan Afghanistan tak kunjung membuahkan hasil. Di Irak, agresi yang dilancarkan AS itu malah menghasilkan kerugian serta korban jiwa yang tidak sedikit dari pihak AS. Beberapa pihak mulai berkomentar, bahwa agresi AS ke Irak justru hanya bertujuan untuk mengeruk minyak, dan mempraktikkan imperialisme ekonomi melalui perusahaan multinasionalnya.
Penabrakkan Gedung IRS bukan Terorisme
Berbeda dengan WTC, penabrakkan gedung milik IRS itu dimaknai bukan sebagai aksi terorisme. Dari pihak otoritas, seperti Walikota Austin, Texas, Lee Leffingwell, mengatakan, bahwa tindakan yang dilakukan oleh Stack itu bukanlah dikategorikan sebagai tindakan terorisme. Bahkan pihak Gedung Putih mengeluarkan pernyataan, bahwa penabrakkan pesawat ke gedung milik IRS tidak nampak seperti aksi terorisme.
Beberapa media massa yang ada di Indonesia, maupun di Amerika, memaknai peristiwa tersebut lebih berdasarkan kepada sisi motif psikologis dari pelaku, seperti 'kemarahan', atau 'frustrasi'. Hampir tidak ada yang menyangkut pautkan atau melabelkan peristiwa itu sebagai tindakan terorisme.
Padahal bila bercermin kepada kejadian WTC, tindakan seperti penabrakan pesawat ke sebuah gedung jelas merupakan suatu tindakan terorisme, karena dampaknya akan terasa ke masyarakat luas. Terlebih lagi bila gedung yang ditabrak tersebut erat kaitannya dengan kepentingan publik. Dilihat dari pernyataan pihak otoritas, serta bercermin dari peristiwa lalu, tersirat bahwa terorisme nampaknya bukanlah masalah definisi, tetapi terkait erat dengan masalah kepentingan.
Sistem Pajak Bermasalah
Peristiwa yang menimpa Stack jelas merupakan suatu tragedi, dan tragedi tersebut dipicu oleh sistem pajak. Oleh karena itu, jelas menunjukkan bagaimana sistem perpajakan yang ada sekarang ini jauh dari kata ideal. Bahkan pada saat pertama kali kemunculannya, sistem pajak memang bukanlah sistem yang sehat dan berorientasi untuk kesejahteraan publik. Sistem pajak hanyalah berfungsi sebagai salah satu instrumen negara untuk mendapatkan penghasilan, selain dari BUMN, dan penjualan Surat Hutang Negara (SUN).
Pada gilirannya pendapatan negara yang dihasilkan oleh pajak, BUMN, serta SUN tersebut digunakan untuk membayar cicilan hutang yang tidak akan terlunasi kepada bank. Bukan dikembalikan lagi kepada publik (dalam bentuk infrastruktur, atau membantu orang miskin). Dan bank, sebagai otoritas finansial suatu negara, faktanya bukanlah institusi publik, tetapi independen terlepas dari negara. The Fed di AS terpisah dengan negara, dan bahkan di Indonesia, struktur BI pun tidak ada sangkut-pautnya dengan pemerintahan. Padahal lembaga tersebut mengurusi hal yang krusial bagi kelangsungan perekonomian masyarakat, yakni masalah keuangan.
Hubungan antara bank dengan pemerintahan itu menunjukkan bahwa bank pada akhirnya menjadi wadah bagi segelintir orang untuk memantapkan hegemoninya. Pada akhirnya sistem pajak yang diberlakukan oleh negara sebagai representasi rakyatnya, bukanlah berorientasi kepentingan publik, melainkan hanya memakmurkan segelintir individu yang bersembunyi dibalik kedok bank. Oleh sebab itu, tidak perlu heran, dan pada saat yang bersamaan, kita perlu merenung, mengapa ada orang yang bertindak sedemikian ekstrimnya dengan menabrakkan pesawat ke gedung-gedung semacam WTC, dan IRS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar