Sekilas pandang, posisi ruang tamu dari bagian villa itu memang terkesan mewah. Bagaimana tidak, duduk di ruang tamunya, mata dihadapkan langsung pada kolam renang yang terletak pas di depan ruang tamu. Selain itu, pemandangan dari ruang depan yang langsung menghadap ke gunung Krakatau yang menjulang tinggi ditengah laut seolah-olah mencuri pandangan mu dari kejauhan. Menggodamu.
Bagiku, tentu ini adalah kemewahan. Karena bukan sesuatu yang bisa ku nikmati setiap hari. Tetapi, buat Mahmud, perkara villa ini bukan sekadar kemewahan. Tidak seperti diriku yang langsung terkesima akan desain interior dan segala kemewahan yang ada di villa itu, perhatian Mahmud langsung tertuju pada kursi di ruang depan yang saat itu kududuki. Dia memegang kaki kursi, lalu menyusuri bagian demi bagian kursi itu dengan tangannya. Kemudian ia jongkok, dan melihat lebih dekat pada bagian sandaran kursi. Tentu saja aku penasaran. Lantas kuikuti juga arah pandangannya.
Perhatiannya ternyata tertuju pada bahan anyaman sandaran kursi. Dia mengusap-usap bahan anyaman itu. “Terbuat dari plastik. Pasti buatan Cina,” katanya.
Saya tertawa mendengarkan perkataannya itu, karena kukira apa yang akan dikatakannya mengenai kursi itu adalah berkaitan dengan bentuknya yang mewah atau terlihat eksklusif. Tetapi dugaanku ternyata meleset.
“Cina itu juara kalau masalah produk seperti ini. Membuat bahan furnitur seperti kursi ini dengan memakai bahan sintetis, kaya plastik. Kalau produk lokal, biasanya bahannya itu ‘kan anyaman rotan atau bambu,” katanya sambil mengelus-elus sandaran kursi yang kududuki.
Perbedaan bahan kursi antara Cina dan Indonesia itu pastinya membawa perbedaan juga kepada kualitas dan harga yang ditawarkannya. Dan khusus yang terakhir ini, harga yang ditawarkan, pikiran Mahmud terbang lebih tinggi.
“Dengan bahan seperti ini juga yang ngebuat industri lokal tumbang satu-persatu,” katanya lagi.
Dalam kesehariannya, Mahmud adalah seorang wirausahawan. Bagi dia, masalah Cina dan produknya yang berjamuran dimana-mana sekarang ini tentunya sangat familiar. Makanya, berbeda dengan diriku yang begitu memasuki villa langsung terkesima dengan pemandangan “nampak luar”-nya yang terkesan elegan, sebaliknya Mahmud seperti memiliki semacam insting yang membuatnya tidak begitu saja terbuai oleh kemewahan yang terlihat didepan pelupuk mata.
Entahlah, tapi apa yang ada dalam pikiranku, insting seperti itu terasah dalam diri Mahmud, karena memang mau-tidak mau kelak akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupannya.
Setiap orang tentunya tahu, terkait kemajuan Cina dalam ekonomi, bagaimana produk-produk dari negara itu saat ini membanjiri perdagangan dunia. Negara yang pernah dipimpin oleh Sun Yat Sen itu, sedang mengalami surplus produksi beberapa tahun belakangan, dan siap untuk mengambil alih dominasi perdagangan dunia. Dan dengan harga produk-produknya yang murah, tentunya menjadi sesuatu yang menggiurkan di mata konsumen.
Tapi untuk orang-orang seperti Mahmud, hal ini tidak lain adalah fase yang menentukan hidup dan matinya. Sebab, hukum persaingan dalam perekonomian pasar bebas hanya mengenal mereka yang kuat. Siapa yang kuat mengimbangi lajunya, dia selamat. Sedangkan mereka yang lemah, akan menemui dirinya ternyata tidak memiliki apa-apa. Tidak ada solidaritas sosial dalam hukum persaingan pasar bebas. Dan ini juga yang membuat Mahmud mengeluhkan penguatan infrastrukur industri lokal yang masih centang-perenang, sehingga membuat ongkos produksi tetap mahal. Karena bila hal itu tidak dibenahi, maka tentu saja semakin banyak orang-orang yang berkeluh-kesah seperti Mahmud akan menemui kuburannya dalam iklim persaingan dengan Cina.
Mahmud sendiri sepertinya cukup yakin akan hal itu. Setidaknya dia sendiri memandang, kinerja pemerintah dalam memback up pengusaha lokal, tidak pernah dan tidak akan bisa maksimal. Di fajar pembukaan gerbang pasar bebas di Indonesia, mau tidak mau pemerintah sendiri justru akan kewalahan dengan tekanan asing. Dan cepat atau lambat, pada akhirnya pemerintah akan menyingkapkan dirinya sebagai institusi yang tak punya kuasa terhadap tekanan modal dengan sekadar menjadi alat permainan - dibalik jubah ‘deregulasi’-nya - bagi korporasi.
“Sekarang mah sebenarnya tinggal tunggu waktu aja sih. Tunggu perlahan-lahan ‘orang-orang lokal’ yang lemah tumbang satu-persatu,” katanya lagi, “dan sekarang mah buat saya, setidaknya ada tiga hal yang harus dilakuin: lindungi dirimu, lindungi keluargamu, dan lindungi teman-temanmu.”
Tujuan yang terdengar mulia buat saya. Tetapi saya sendiri tidak yakin apakah ketiga hal itu bisa dilakukan, ketika diri sendiri saja tidak memiliki apa-apa. Bila begitu, bagaimana mau melindungi yang lain, yang diluar diri kita?
Kembang Api Penanda Permulaan Zaman Edan
Villa yang kudiami saat itu letaknya di Tanjung Lesung. Suatu daerah berupa pantai dekat Pandeglang. Saat itu menjelang tahun baru 2010. Sebelumnya keluarga besar memang berencana untuk merayakan pergantian tahun di Tanjung Lesung. Alhamdulillah rencana itu bisa terealisasi, dan keluarga besarku bisa berkumpul kembali.
Menjelang pukul dua belas malam, beberapa saudaraku yang tua dan muda berkumpul di jalan depan villa. Saudaraku yang masih kanak-kanak kebanyakan sudah terlelap tidur. Kami berencana untuk menyalakan kembang api yang sebelumnya dibeli di Bandung. Kurang lebih ada enam kotak kembang api yang kami bawa.
Mahmud membawa kotak-kotak kembang api itu ke tengah lapangan yang terletak di depan villa. Dia kebagian tugas untuk menyalakan kembang api. Saya sendiri mencari posisi yang enak untuk bisa memotret kembang api. Sedangkan yang lainnya ada yang duduk-duduk di trotoar, dan ada juga beberapa yang membantu Mahmud mempersiapkan kembang api untuk dinyalakan.
Tepat pergantian tahun, tempat kami ramai oleh letusan kembang api. Tidak hanya kami saja yang menyalakan kembang api, tetapi orang-orang di villa sebelah kami pun ikut menyalakannya. Lalu, café yang terletak kurang lebih satu kilo dari villa kami mengadakan juga acara menyalakan kembang api. Suasana begitu riuh oleh letusan kembang api. Langit malam dihias oleh corak-corak api yang berwarna-warni. Semua orang menengadah ke atas langit, ikut sorak-sorai bersamaan kembang api meletus di langit yang gelap itu. Namun keponakanku yang masih berumur 6 tahun nampaknya tidak senang dengan suasana seperti itu. Dia terus saja menangis, mungkin kaget dengan suara letusan kembang api yang baru didengarnya. Kedua orang tuanya kerepotan menenangkan keponakanku itu. Kemudian mereka langsung menggiring keponakanku itu ke kamar untuk membawanya tidur.
Letusan-letusan kembang api di pergantian tahun itu bagiku seperti menandakan permulaan jaman yang tidak jelas; antara harapan dan bayangan gelap yang entah nasib apa yang ada didalamnya. Letusan kembang api itu seakan-akan menjadi sebuah perayaan yang menandai terjalinnya kerja sama perdagangan antara Asean dan Cina yang akan dimulai pada Januari 2010. Dan Indonesia sebagai salah satu anggota Asean, sudah pasti diharuskan untuk berpartisipasi di dalamnya. Terlepas dari tanggapan banyak pihak, bahwa Indonesia tidak siap untuk bersaing di pasar bebas.
Ku pernah membaca sebuah berita yang isinya mengatakan, bahwa diprediksi “banyak pengusaha yang akan berubah menjadi pedagang begitu FTA Asean-Cina diberlakukan”. Betapa memuakannya melihat bagaimana orang-orang memperhalus segala sesuatu. Isi berita itu sesungguhnya mengatakan secara tidak langsung, bahwa nantinya akan semakin banyak orang yang jatuh miskin akibat tak cukup kuat bertahan dalam iklim persaingan pasar bebas. Jadi, bukan sekadar masalah bagaimana kamu seperti beralih profesi, dari dokter umum, menjadi dokter gigi. Ini adalah proses pemiskinan sistematis, bukan proses alih profesi.
Dan baiklah, walaupun kita mengikuti alur pikiran sesuai berita tersebut, yang menyebutkan bahwa banyak pengusaha akan menjadi pedagang begitu FTA Asean-Cina berlangsung, lalu pada akhirnya pedagang akan menjadi apa? Gembel? Atau manajer? Yang mana untuk yang terakhir tidaklah mungkin. Satu yang jelas, sedikit goncangan akan terjadi sebagai proses seleksi antara mereka yang kuat dan yang dilemahkan, lalu selebihnya, bangsa ini akan menemukan dirinya (kembali) berada di bawah kendali kekuatan lain yang berada diluar dirinya. Cukup puas mendistribusikan produk, atau bekerja di bawah kendali kekuatan yang berada diluar dirinya, ketimbang menghasilkan sesuatu dengan jerih payahnya sendiri.
Bandung, 12 Januari 2010
Bagiku, tentu ini adalah kemewahan. Karena bukan sesuatu yang bisa ku nikmati setiap hari. Tetapi, buat Mahmud, perkara villa ini bukan sekadar kemewahan. Tidak seperti diriku yang langsung terkesima akan desain interior dan segala kemewahan yang ada di villa itu, perhatian Mahmud langsung tertuju pada kursi di ruang depan yang saat itu kududuki. Dia memegang kaki kursi, lalu menyusuri bagian demi bagian kursi itu dengan tangannya. Kemudian ia jongkok, dan melihat lebih dekat pada bagian sandaran kursi. Tentu saja aku penasaran. Lantas kuikuti juga arah pandangannya.
Perhatiannya ternyata tertuju pada bahan anyaman sandaran kursi. Dia mengusap-usap bahan anyaman itu. “Terbuat dari plastik. Pasti buatan Cina,” katanya.
Saya tertawa mendengarkan perkataannya itu, karena kukira apa yang akan dikatakannya mengenai kursi itu adalah berkaitan dengan bentuknya yang mewah atau terlihat eksklusif. Tetapi dugaanku ternyata meleset.
“Cina itu juara kalau masalah produk seperti ini. Membuat bahan furnitur seperti kursi ini dengan memakai bahan sintetis, kaya plastik. Kalau produk lokal, biasanya bahannya itu ‘kan anyaman rotan atau bambu,” katanya sambil mengelus-elus sandaran kursi yang kududuki.
Perbedaan bahan kursi antara Cina dan Indonesia itu pastinya membawa perbedaan juga kepada kualitas dan harga yang ditawarkannya. Dan khusus yang terakhir ini, harga yang ditawarkan, pikiran Mahmud terbang lebih tinggi.
“Dengan bahan seperti ini juga yang ngebuat industri lokal tumbang satu-persatu,” katanya lagi.
Dalam kesehariannya, Mahmud adalah seorang wirausahawan. Bagi dia, masalah Cina dan produknya yang berjamuran dimana-mana sekarang ini tentunya sangat familiar. Makanya, berbeda dengan diriku yang begitu memasuki villa langsung terkesima dengan pemandangan “nampak luar”-nya yang terkesan elegan, sebaliknya Mahmud seperti memiliki semacam insting yang membuatnya tidak begitu saja terbuai oleh kemewahan yang terlihat didepan pelupuk mata.
Entahlah, tapi apa yang ada dalam pikiranku, insting seperti itu terasah dalam diri Mahmud, karena memang mau-tidak mau kelak akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupannya.
Setiap orang tentunya tahu, terkait kemajuan Cina dalam ekonomi, bagaimana produk-produk dari negara itu saat ini membanjiri perdagangan dunia. Negara yang pernah dipimpin oleh Sun Yat Sen itu, sedang mengalami surplus produksi beberapa tahun belakangan, dan siap untuk mengambil alih dominasi perdagangan dunia. Dan dengan harga produk-produknya yang murah, tentunya menjadi sesuatu yang menggiurkan di mata konsumen.
Tapi untuk orang-orang seperti Mahmud, hal ini tidak lain adalah fase yang menentukan hidup dan matinya. Sebab, hukum persaingan dalam perekonomian pasar bebas hanya mengenal mereka yang kuat. Siapa yang kuat mengimbangi lajunya, dia selamat. Sedangkan mereka yang lemah, akan menemui dirinya ternyata tidak memiliki apa-apa. Tidak ada solidaritas sosial dalam hukum persaingan pasar bebas. Dan ini juga yang membuat Mahmud mengeluhkan penguatan infrastrukur industri lokal yang masih centang-perenang, sehingga membuat ongkos produksi tetap mahal. Karena bila hal itu tidak dibenahi, maka tentu saja semakin banyak orang-orang yang berkeluh-kesah seperti Mahmud akan menemui kuburannya dalam iklim persaingan dengan Cina.
Mahmud sendiri sepertinya cukup yakin akan hal itu. Setidaknya dia sendiri memandang, kinerja pemerintah dalam memback up pengusaha lokal, tidak pernah dan tidak akan bisa maksimal. Di fajar pembukaan gerbang pasar bebas di Indonesia, mau tidak mau pemerintah sendiri justru akan kewalahan dengan tekanan asing. Dan cepat atau lambat, pada akhirnya pemerintah akan menyingkapkan dirinya sebagai institusi yang tak punya kuasa terhadap tekanan modal dengan sekadar menjadi alat permainan - dibalik jubah ‘deregulasi’-nya - bagi korporasi.
“Sekarang mah sebenarnya tinggal tunggu waktu aja sih. Tunggu perlahan-lahan ‘orang-orang lokal’ yang lemah tumbang satu-persatu,” katanya lagi, “dan sekarang mah buat saya, setidaknya ada tiga hal yang harus dilakuin: lindungi dirimu, lindungi keluargamu, dan lindungi teman-temanmu.”
Tujuan yang terdengar mulia buat saya. Tetapi saya sendiri tidak yakin apakah ketiga hal itu bisa dilakukan, ketika diri sendiri saja tidak memiliki apa-apa. Bila begitu, bagaimana mau melindungi yang lain, yang diluar diri kita?
Kembang Api Penanda Permulaan Zaman Edan
Villa yang kudiami saat itu letaknya di Tanjung Lesung. Suatu daerah berupa pantai dekat Pandeglang. Saat itu menjelang tahun baru 2010. Sebelumnya keluarga besar memang berencana untuk merayakan pergantian tahun di Tanjung Lesung. Alhamdulillah rencana itu bisa terealisasi, dan keluarga besarku bisa berkumpul kembali.
Menjelang pukul dua belas malam, beberapa saudaraku yang tua dan muda berkumpul di jalan depan villa. Saudaraku yang masih kanak-kanak kebanyakan sudah terlelap tidur. Kami berencana untuk menyalakan kembang api yang sebelumnya dibeli di Bandung. Kurang lebih ada enam kotak kembang api yang kami bawa.
Mahmud membawa kotak-kotak kembang api itu ke tengah lapangan yang terletak di depan villa. Dia kebagian tugas untuk menyalakan kembang api. Saya sendiri mencari posisi yang enak untuk bisa memotret kembang api. Sedangkan yang lainnya ada yang duduk-duduk di trotoar, dan ada juga beberapa yang membantu Mahmud mempersiapkan kembang api untuk dinyalakan.
Tepat pergantian tahun, tempat kami ramai oleh letusan kembang api. Tidak hanya kami saja yang menyalakan kembang api, tetapi orang-orang di villa sebelah kami pun ikut menyalakannya. Lalu, café yang terletak kurang lebih satu kilo dari villa kami mengadakan juga acara menyalakan kembang api. Suasana begitu riuh oleh letusan kembang api. Langit malam dihias oleh corak-corak api yang berwarna-warni. Semua orang menengadah ke atas langit, ikut sorak-sorai bersamaan kembang api meletus di langit yang gelap itu. Namun keponakanku yang masih berumur 6 tahun nampaknya tidak senang dengan suasana seperti itu. Dia terus saja menangis, mungkin kaget dengan suara letusan kembang api yang baru didengarnya. Kedua orang tuanya kerepotan menenangkan keponakanku itu. Kemudian mereka langsung menggiring keponakanku itu ke kamar untuk membawanya tidur.
Letusan-letusan kembang api di pergantian tahun itu bagiku seperti menandakan permulaan jaman yang tidak jelas; antara harapan dan bayangan gelap yang entah nasib apa yang ada didalamnya. Letusan kembang api itu seakan-akan menjadi sebuah perayaan yang menandai terjalinnya kerja sama perdagangan antara Asean dan Cina yang akan dimulai pada Januari 2010. Dan Indonesia sebagai salah satu anggota Asean, sudah pasti diharuskan untuk berpartisipasi di dalamnya. Terlepas dari tanggapan banyak pihak, bahwa Indonesia tidak siap untuk bersaing di pasar bebas.
Ku pernah membaca sebuah berita yang isinya mengatakan, bahwa diprediksi “banyak pengusaha yang akan berubah menjadi pedagang begitu FTA Asean-Cina diberlakukan”. Betapa memuakannya melihat bagaimana orang-orang memperhalus segala sesuatu. Isi berita itu sesungguhnya mengatakan secara tidak langsung, bahwa nantinya akan semakin banyak orang yang jatuh miskin akibat tak cukup kuat bertahan dalam iklim persaingan pasar bebas. Jadi, bukan sekadar masalah bagaimana kamu seperti beralih profesi, dari dokter umum, menjadi dokter gigi. Ini adalah proses pemiskinan sistematis, bukan proses alih profesi.
Dan baiklah, walaupun kita mengikuti alur pikiran sesuai berita tersebut, yang menyebutkan bahwa banyak pengusaha akan menjadi pedagang begitu FTA Asean-Cina berlangsung, lalu pada akhirnya pedagang akan menjadi apa? Gembel? Atau manajer? Yang mana untuk yang terakhir tidaklah mungkin. Satu yang jelas, sedikit goncangan akan terjadi sebagai proses seleksi antara mereka yang kuat dan yang dilemahkan, lalu selebihnya, bangsa ini akan menemukan dirinya (kembali) berada di bawah kendali kekuatan lain yang berada diluar dirinya. Cukup puas mendistribusikan produk, atau bekerja di bawah kendali kekuatan yang berada diluar dirinya, ketimbang menghasilkan sesuatu dengan jerih payahnya sendiri.
Bandung, 12 Januari 2010