Sering aku merasa heran
dengan diri sendiri bisa merasakan kuliah pascasarjana. Apalagi merasakannya
dengan uang sendiri, uang yang kukumpulkan dari hasil bekerja selama 8 tahun
terakhir. Semua orang di negeri ini tahu, pendidikan adalah hal yang mewah,
terutama pendidikan tinggi pascasarjana. Menjadi mewah karena biayanya yang memang
tidak murah. Tapi, disinilah ternyata kita. Aku sendiri sering merasa tidak
percaya.
Sudah mau menginjak 1,5 tahun aku menjalani kuliah.
Saat ini semua mata kuliah telah ditempuh. Hanya tinggal mengerjakan tesis. Dan
bila memikir ke belakang, ke masa-masa masih menjalani perkuliahan, aku sering
berpikir bila ternyata metode belajar kuliah pascasarjana ini tidak terlalu
spesial-spesial amat. Tidak ada sesuatu hal yang “wah”, yang tiba-tiba
membuatmu menjadi begawan pengetahuan bak mercusuar di tengah massa rakyat yang
pragmatis. Metode belajarnya umum-umum saja: membaca buku.
Di tengah-tengah tugas resensi membaca dan menyajikan
presentasi dulu, sering aku merasa geli sendiri.
“Kalau
baca buku begini, sih, aku juga sudah sering melakukannya.”
“Kalau
cuman disuruh baca buku dan membicarakannya di depan orang-orang, sebenarnya
tidak perlu repot-repot masuk kuliah.”
Kira-kira
begitulah pikiran yang ada di benakku.
Tapi,
tentu semua orang paham, berada di dalam perguruan tinggi saat ini tentunya bukan
hanya sekadar belajar pengetahuan baru. Tapi, ada hal-hal lain yang lebih luas
dan kompleks. Bagi sebagian orang, dan mungkin alasan ini yang paling umum,
ijazah sangat diperlukan untuk mendongkrak karir mereka. Dapat dipahami.
Mencari penghidupan yang layak adalah keinginan semua orang, apapun caranya.
Terlepas
dari itu, aku hanya mengingat Pierre Bourdieu yang menukil konsep dari Karl
Marx tentang tentara industri cadangan di lingkungan pendidikan tinggi. Menurut
Bourdieu, sekian ribu lulusan perguruan tinggi, akan berdampak kepada tekanan
perekonomian secara makro. Ribuan sarjana yang membanjiri pasar tenaga kerja juga
bisa berdampak kepada persaingan antar sesama pekerja. Dan pada saat bersamaan,
kondisi itu akan mempengaruhi cara upah diperhitungkan dalam proses produksi.
Mungkin tidak hanya upah saja, tapi juga kontrak mengenai kondisi kerja mereka.
Ribuan pekerja yang saling bersaing di antara sesamanya berpotensi memberikan
angin segar bagi kapitalis yang tendensi utamanya adalah mengail laba sebesar
mungkin dengan ongkos produksi serendah mungkin.
Jadi, yah, begitulah. Perguruan tinggi
ternyata tidak hanya soal belajar dan mendapat ijazah saja. Ada hal-hal lain
yang kompleks di luar hal itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar