Jumat, 27 Maret 2020

Tentara Industri Cadangan




Sering aku merasa heran dengan diri sendiri bisa merasakan kuliah pascasarjana. Apalagi merasakannya dengan uang sendiri, uang yang kukumpulkan dari hasil bekerja selama 8 tahun terakhir. Semua orang di negeri ini tahu, pendidikan adalah hal yang mewah, terutama pendidikan tinggi pascasarjana. Menjadi mewah karena biayanya yang memang tidak murah. Tapi, disinilah ternyata kita. Aku sendiri sering merasa tidak percaya.

                Sudah mau menginjak 1,5 tahun aku menjalani kuliah. Saat ini semua mata kuliah telah ditempuh. Hanya tinggal mengerjakan tesis. Dan bila memikir ke belakang, ke masa-masa masih menjalani perkuliahan, aku sering berpikir bila ternyata metode belajar kuliah pascasarjana ini tidak terlalu spesial-spesial amat. Tidak ada sesuatu hal yang “wah”, yang tiba-tiba membuatmu menjadi begawan pengetahuan bak mercusuar di tengah massa rakyat yang pragmatis. Metode belajarnya umum-umum saja: membaca buku. 

                Di tengah-tengah tugas resensi membaca dan menyajikan presentasi dulu, sering aku merasa geli sendiri. 

“Kalau baca buku begini, sih, aku juga sudah sering melakukannya.” 

“Kalau cuman disuruh baca buku dan membicarakannya di depan orang-orang, sebenarnya tidak perlu repot-repot masuk kuliah.”

Kira-kira begitulah pikiran yang ada di benakku. 

Tapi, tentu semua orang paham, berada di dalam perguruan tinggi saat ini tentunya bukan hanya sekadar belajar pengetahuan baru. Tapi, ada hal-hal lain yang lebih luas dan kompleks. Bagi sebagian orang, dan mungkin alasan ini yang paling umum, ijazah sangat diperlukan untuk mendongkrak karir mereka. Dapat dipahami. Mencari penghidupan yang layak adalah keinginan semua orang, apapun caranya. 

Terlepas dari itu, aku hanya mengingat Pierre Bourdieu yang menukil konsep dari Karl Marx tentang tentara industri cadangan di lingkungan pendidikan tinggi. Menurut Bourdieu, sekian ribu lulusan perguruan tinggi, akan berdampak kepada tekanan perekonomian secara makro. Ribuan sarjana yang membanjiri pasar tenaga kerja juga bisa berdampak kepada persaingan antar sesama pekerja. Dan pada saat bersamaan, kondisi itu akan mempengaruhi cara upah diperhitungkan dalam proses produksi. Mungkin tidak hanya upah saja, tapi juga kontrak mengenai kondisi kerja mereka. Ribuan pekerja yang saling bersaing di antara sesamanya berpotensi memberikan angin segar bagi kapitalis yang tendensi utamanya adalah mengail laba sebesar mungkin dengan ongkos produksi serendah mungkin. 

 Jadi, yah, begitulah. Perguruan tinggi ternyata tidak hanya soal belajar dan mendapat ijazah saja. Ada hal-hal lain yang kompleks di luar hal itu.   

Tidak ada komentar: