Lapangan jurnalistik
tengah berubah kini. Berubah menjadi sesuatu yang belum diketahui benar. Tapi,
satu yang pasti, tuntutan bisnis yang melingkupi perkembangan teknologi digital
menjadi pendorong kuat perubahan itu. Kajian Ross Tapsell, dalam Media Power in Indonesia, menunjukkan adanya perubahan konfigurasi
perusahaan media arus utama ke arah oligarki dan kaitan para elitnya dalam
relasi-relasi politik, seiring teknologi digital diadopsi dalam industri media.
Arah yang mengkhawatirkan bila mengingat media massa selama ini dipandang
sebagai sarana yang efektif menyebarluaskan pesan simbolik yang dapat
mempengaruhi khalayak.
Kajian Tapsell itu lebih
banyak menggambarkan situasi industri dari sudut pandang konfigurasi institusi
media...dan para elit, “mogul” media. Lalu bagaimana dengan pekerjanya? Mereka
juga terdampak dengan perubahan-perubahan yang ada saat ini. Kajian-kajian penelitian
banyak yang melaporkan para pekerja itu mengalami masa-masa adaptasi yang tidak
mengenakkan. Beberapa kajian menunjukkan kecenderungan perusahaan media yang
mengarahkan bisnis kepada konvergensi dan dengan demikian harus ada perampingan
organisasi atas nama adaptasi. Maka munculah laporan-laporan pekerja media
“anu” dirumahkan sekian puluh, sekian ratus, sekian ribu orang.
Laporan-laporan
penelitian juga banyak menyebutkan strategi perusahaan media ke arah
konvergensi dengan menggabungkan berbagai platform yang sebelumnya
terpisah-pisah. Maka, muncullah laporan-laporan penelitian lain mengenai norma
baru jurnalisme bernama multitasking, multiskilled, dan multi-multi lainnya.
Ringkasnya, ada intensifikasi kerja, bobot kerja yang lebih berlipat ganda...dan
bergulir dalam suatu ritme yang menjadi semakin cepat. Ada
istilah bernada guyonan kering mengenai hal ini, yaitu “multitasking, single payment”. Guyonan yang menggambarkan
norma-norma baru itu tidak ada kaitannya dengan kesejahteraan wartawan,
meskipun tuntutan pekerjaan terhadap mereka semakin meningkat. Feel guyonannya cukup pahit. Semuanya bergulir
atas nama adaptasi terhadap keharusan berbisnis
merebut perhatian khalayak.
Richard Sennet pernah
melontarkan sesuatu yang selintas terlihat absurd, sesuatu terkait talenta dan
hubungannya dengan hantu ketidakbergunaan di tengah bangkitnya teknologi automaton.
Ia menyebutnya dalam bahasa Inggris dengan talent
and the spectre of uselessness.
Ia berkata itu dengan membingkainya dalam situasi kapitalisme dalam konteks
kekinian. The Culture of a New Capitalism,
kata dia. Ringkasnya, ada ketakutan akan talenta yang menjadi aus dari
orang-orang biasa, massa pekerja yang bejibun, di tengah kecenderungan industri
memperbesar porsi “kapital konstan” melalui teknologi automatisasi. Ketakutan
menyeruak di antara mereka-mereka yang bingung memikirkan siasat untuk
mengurusi kehidupannya ketika dunia sumber nafkahnya tiba-tiba tidak
membutuhkan jasa mereka lagi. Melihat keseharian sepertinya tampak bagai merasakan
diri menjadi besi usang yang teronggok di suatu pojokan. Berkarat pula.
Angela Phillips, dalam Journalism in Context, menulis tentang
keluh kesah wartawan “lama” yang tengah berada di pusaran perubahan ini. Keluh
kesah mengenai dunia yang tidak mereka pahami lagi sebagaimana mestinya. Tidak
lagi seperti masa-masa lampau yang terlihat tanpa cela, dalam bayangan mereka.
Keagungan bekerja secara sosial untuk kepentingan publik, kesucian verifikasi
fakta, penulisan informasi yang mendalam, komprehensif - dalam pandangan mereka
- seolah-olah kini diobrak-abrik oleh google trend, norma click bait, dan
multitasking.
Keresahan itu kemudian
diperparah dengan strategi manajemen merekrut wartawan-wartawan muda. Wartawan
yang siap untuk mengadopsi sepenuhnya nilai-nilai kantor tempat mereka bekerja.
Phillips kemudian menyebut konflik kultural terjadi antara tenaga-kerja “lama”
dan “baru” ini. Konflik yang, kita tahu, bersumber dari keharusan bisnis
merebut perhatian khalayak. Sebuah konflik yang dikondisikan oleh sebuah kuasa
di tangan para elit dan pasar, bukan oleh para tenaga-kerja ini. Meskipun,
seringkali, model-model “kuasa” seperti ini jarang dilihat sehingga yang berlangsung
hanyalah konflik antara sesama tenaga-kerja. Sebuah model sirik-sirikan antara
tenaga-kerja yang seharusnya bersatu padu bersama membongkar kuasa menjadi
lebih berpihak kepada mereka.
Entah apa reaksi Pierre
Bourdieu mengenai ini. Ia melihat kuasa pasar, determinasi struktural ekonomi
dalam relasinya dengan praktik orang-orang banyak. Sebuah habitus, misalnya, dipandang olehnya sebagai cermin yang
merefleksikan operasi kuasa di dalam field,
di dalam lapangan, di dalam ekosistem. Dengan adanya habitus, praktik manusia tidaklah bebas-bebas amat. Ada
batasan-batasan struktural yang melingkupi kebebasan mereka. Dan di antara
batasan-batasan itu, lapangan jurnalistik dipandangnya bagai pendulum yang
berayun ke kutub otonomi dan kutub heteronomi. Atau, kutub yang “bebas” dan
“tidak bebas". Bourdieu berpandangan bila pendulum lapangan jurnalistik selalu condong
berayun ke kutub heteronomi. Ia tidak menjadi begitu bebas karena ada
tekanan-tekanan bisnis.
Bila masih hidup sampai
masa ini, entah apakah ia akan tertawa lebih keras di hadapan pencemoohnya yang
bereaksi setelah membaca karya Bordieu, On
Television? Atau apakah ia lebih prihatin? Televisi di masa 1970-an tentu
berbeda dengan televisi di era hip streaming seperti saat ini. Di masa 1970an,
tayangan debat di televisi mungkin berpengaruh terhadap keputusan khalayak dan
cukup membuat sinis Bourdieu yang memandangnya tak lebih bagai opera sabun yang
penuh setingan. Tapi kini, tayangan debat di televisi pun terpengaruh oleh
trending di twitter dan viral di medsos. Para wartawan pun sibuk mengecek
google trend di tengah-tengah rutinitasnya mengirim berita minimal 10 tulisan
ke kantor. Kalau situasinya seperti ini, lantas bagaimana Bourdieu memandang
Imam, teman saya, yang tiba-tiba menggerutu mengenai kehidupannya yang seperti
robot karena kesibukan rutin seperti itu?
1 komentar:
Posting Komentar