Sabtu, 08 Februari 2020

Aurora Journalismo



Lapangan jurnalistik tengah berubah kini. Berubah menjadi sesuatu yang belum diketahui benar. Tapi, satu yang pasti, tuntutan bisnis yang melingkupi perkembangan teknologi digital menjadi pendorong kuat perubahan itu. Kajian Ross Tapsell, dalam Media Power in Indonesia,  menunjukkan adanya perubahan konfigurasi perusahaan media arus utama ke arah oligarki dan kaitan para elitnya dalam relasi-relasi politik, seiring teknologi digital diadopsi dalam industri media. Arah yang mengkhawatirkan bila mengingat media massa selama ini dipandang sebagai sarana yang efektif menyebarluaskan pesan simbolik yang dapat mempengaruhi khalayak. 

Kajian Tapsell itu lebih banyak menggambarkan situasi industri dari sudut pandang konfigurasi institusi media...dan para elit, “mogul” media. Lalu bagaimana dengan pekerjanya? Mereka juga terdampak dengan perubahan-perubahan yang ada saat ini. Kajian-kajian penelitian banyak yang melaporkan para pekerja itu mengalami masa-masa adaptasi yang tidak mengenakkan. Beberapa kajian menunjukkan kecenderungan perusahaan media yang mengarahkan bisnis kepada konvergensi dan dengan demikian harus ada perampingan organisasi atas nama adaptasi. Maka munculah laporan-laporan pekerja media “anu” dirumahkan sekian puluh, sekian ratus, sekian ribu orang. 

Laporan-laporan penelitian juga banyak menyebutkan strategi perusahaan media ke arah konvergensi dengan menggabungkan berbagai platform yang sebelumnya terpisah-pisah. Maka, muncullah laporan-laporan penelitian lain mengenai norma baru jurnalisme bernama multitasking, multiskilled, dan multi-multi lainnya. Ringkasnya, ada intensifikasi kerja, bobot kerja yang lebih berlipat ganda...dan bergulir dalam suatu ritme yang menjadi semakin cepat. Ada istilah bernada guyonan kering mengenai hal ini, yaitu “multitasking, single payment”. Guyonan yang menggambarkan norma-norma baru itu tidak ada kaitannya dengan kesejahteraan wartawan, meskipun tuntutan pekerjaan terhadap mereka semakin meningkat. Feel guyonannya cukup pahit. Semuanya bergulir atas nama adaptasi terhadap keharusan berbisnis merebut perhatian khalayak. 

Richard Sennet pernah melontarkan sesuatu yang selintas terlihat absurd, sesuatu terkait talenta dan hubungannya dengan hantu ketidakbergunaan di tengah bangkitnya teknologi automaton. Ia menyebutnya dalam bahasa Inggris dengan talent and the spectre of uselessness. Ia berkata itu dengan membingkainya dalam situasi kapitalisme dalam konteks kekinian. The Culture of a New Capitalism, kata dia. Ringkasnya, ada ketakutan akan talenta yang menjadi aus dari orang-orang biasa, massa pekerja yang bejibun, di tengah kecenderungan industri memperbesar porsi “kapital konstan” melalui teknologi automatisasi. Ketakutan menyeruak di antara mereka-mereka yang bingung memikirkan siasat untuk mengurusi kehidupannya ketika dunia sumber nafkahnya tiba-tiba tidak membutuhkan jasa mereka lagi. Melihat keseharian sepertinya tampak bagai merasakan diri menjadi besi usang yang teronggok di suatu pojokan. Berkarat pula. 

Angela Phillips, dalam Journalism in Context, menulis tentang keluh kesah wartawan “lama” yang tengah berada di pusaran perubahan ini. Keluh kesah mengenai dunia yang tidak mereka pahami lagi sebagaimana mestinya. Tidak lagi seperti masa-masa lampau yang terlihat tanpa cela, dalam bayangan mereka. Keagungan bekerja secara sosial untuk kepentingan publik, kesucian verifikasi fakta, penulisan informasi yang mendalam, komprehensif - dalam pandangan mereka - seolah-olah kini diobrak-abrik oleh google trend, norma click bait, dan multitasking. 

Keresahan itu kemudian diperparah dengan strategi manajemen merekrut wartawan-wartawan muda. Wartawan yang siap untuk mengadopsi sepenuhnya nilai-nilai kantor tempat mereka bekerja. Phillips kemudian menyebut konflik kultural terjadi antara tenaga-kerja “lama” dan “baru” ini. Konflik yang, kita tahu, bersumber dari keharusan bisnis merebut perhatian khalayak. Sebuah konflik yang dikondisikan oleh sebuah kuasa di tangan para elit dan pasar, bukan oleh para tenaga-kerja ini. Meskipun, seringkali, model-model “kuasa” seperti ini jarang dilihat sehingga yang berlangsung hanyalah konflik antara sesama tenaga-kerja. Sebuah model sirik-sirikan antara tenaga-kerja yang seharusnya bersatu padu bersama membongkar kuasa menjadi lebih berpihak kepada mereka. 

Entah apa reaksi Pierre Bourdieu mengenai ini. Ia melihat kuasa pasar, determinasi struktural ekonomi dalam relasinya dengan praktik orang-orang banyak. Sebuah habitus, misalnya, dipandang olehnya sebagai cermin yang merefleksikan operasi kuasa di dalam field, di dalam lapangan, di dalam ekosistem. Dengan adanya habitus, praktik manusia tidaklah bebas-bebas amat. Ada batasan-batasan struktural yang melingkupi kebebasan mereka. Dan di antara batasan-batasan itu, lapangan jurnalistik dipandangnya bagai pendulum yang berayun ke kutub otonomi dan kutub heteronomi. Atau, kutub yang “bebas” dan “tidak bebas". Bourdieu berpandangan bila pendulum lapangan jurnalistik selalu condong berayun ke kutub heteronomi. Ia tidak menjadi begitu bebas karena ada tekanan-tekanan bisnis. 

Bila masih hidup sampai masa ini, entah apakah ia akan tertawa lebih keras di hadapan pencemoohnya yang bereaksi setelah membaca karya Bordieu, On Television? Atau apakah ia lebih prihatin? Televisi di masa 1970-an tentu berbeda dengan televisi di era hip streaming seperti saat ini. Di masa 1970an, tayangan debat di televisi mungkin berpengaruh terhadap keputusan khalayak dan cukup membuat sinis Bourdieu yang memandangnya tak lebih bagai opera sabun yang penuh setingan. Tapi kini, tayangan debat di televisi pun terpengaruh oleh trending di twitter dan viral di medsos. Para wartawan pun sibuk mengecek google trend di tengah-tengah rutinitasnya mengirim berita minimal 10 tulisan ke kantor. Kalau situasinya seperti ini, lantas bagaimana Bourdieu memandang Imam, teman saya, yang tiba-tiba menggerutu mengenai kehidupannya yang seperti robot karena kesibukan rutin seperti itu?
  

1 komentar:

365sbobet mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.