Berorganisasi itu perlu. Terutama bagi pekerja.
Berorganisasi bisa membantu pekerja dalam menghadapi masalah di lingkungan
kerjanya. Namun demikian, muncul sedikit fenomena menarik bila berkaitan dengan
berorganisasi dalam dunia media massa. Fenomena itu adalah bagaimana sulitnya
menggabungkan setiap pekerja media dalam satu wadah organisasi karena perbedaan
cara kerja media massa dan sistem pengupahan berdasarkan status hubungan kerja.
Terkait dengan perbedaan cara kerja media massa, maksudnya
dengan melihat bentuk-bentuk media massa yang ada di tengah masyarakat. Sekarang
ini, terdapat lima bentuk media massa, yakni koran, majalah, online, radio, dan
televisi. Kelima media massa itu memiliki perbedaan karakter.
Perbedaan karakter setidaknya bisa dirasakan dari cara
seorang pewarta mengemas beritanya. Bagi wartawan koran, sebenarnya dia
memiliki waktu kerja yang cukup santai. Deadline bagi wartawan koran biasanya
menjelang petang. Jadi, informasi yang didapatkan pada pagi hari masih bisa
diperdalam dengan mencari narasumber lain, atau laporan pandangan mata. Bahkan
bila sedang santai, sebenarnya wartawan koran bisa bekerja 5 jam dalam sehari. Sementara
wartawan majalah lebih panjang lagi deadlinenya tergantung penerbitan
majalahnya; mingguan, dwi mingguan, atau bulanan.
Lalu online, cara kerjanya super cepat. Sangat kontras
dengan cara kerja wartawan koran atau majalah. Begitu wartawan online
mendapatkan informasi, saat itu juga wartawan online harus segera mengemas
beritanya. Tidak ada, istilahnya, waktu jeda bagi wartawan online dalam
menuliskan berita. Apa yang dia dapat, langsung dia siarkan. Oleh sebab itu,
penyajian sebuah berita online akan lebih pendek dibandingkan penyajian berita
koran/majalah. Seringkali, berita online hanya menampilkan satu narasumber. Itu
pun hanya beberapa paragraf. Meskipun demikian, berita online tidak bisa disepelekan.
Sifatnya yang terus menerus me-running sebuah berita terkadang bisa membuat
berita memiliki kekayaan yang lebih bagus dibandingkan koran atau majalah.
Perkembangan teknologi saat ini lebih memberikan angin segar
terhadap perkembangan media massa online. Berlimpahnya smartphone di masyarakat
(utamanya masyarakat perkotaan), membuat berita online berkembang. Masyarakat
tidak perlu repot-repot ke loper koran atau majalah hanya untuk mencari
perkembangan peristiwa. Namun hanya tinggal surfing di internet melalui
smartphone nya. Hal itu juga berdampak kepada tuntutan pemberitaan online yang
mengharuskan sebuah berita terus terbarui. Menit demi menit berharga, karena
konsumen kini memiliki sarana praktis untuk mengetahui sebuah berita. Wartawan
online harus terjaga untuk menyampaikan berita sesegera mungkin agar konsumen
tidak lepas.
Selanjutnya, radio. Mirip-mirip dengan online, penyajian
berita radio juga sebenarnya harus sesegera mungkin. Akan tetapi, di beberapa stasiun
radio, biasanya penyajian berita diatur pada jam-jam tertentu. Bisa saja sebuah
berita menjadi breaking news, namun dengan catatan, berita tersebut haruslah
yang luar biasa sifatnya. Dalam hal ini, cara kerja wartawan radio tidak
seketat cara kerja wartawan on line, namun tidak sesantai wartawan
cetak/majalah.
Lalu, televisi. Penyajian beritanya mirip dengan radio.
Dalam artian, biasanya penayangan sebuah berita diatur pada jadwal-jadwal
tertentu. Biasanya kita melihat di stasiun televisi program-program berita yang
diatur berdasarkan jam penayangannya, misalnya tayangan berita pagi, berita
siang, atau berita malam. Namun demikian, cara kerja wartawan televisi cukup
ketat dan hampir sama tekanannya dengan online. Hanya perbedaannya, wartawan
online harus segera mengirim berita karena dituntut aktualitasnya, sedangkan
wartawan televisi dituntut tayangan visualnya. Secara praktik, hal tersebut
mengharuskan wartawan televisi hadir di setiap peristiwa.
Selain masalah perbedaan cara kerja media massa, masalah pengupahan
yang berkaitan dengan hubungan kerja antara wartawan dengan perusahaannya juga
berpengaruh dalam pembentukan organisasi pekerja media. Kebanyakan, status
wartawan itu bukanlah pekerja tetap. Akan tetapi, kontributor, stringer, atau
koresponden. Ketiga status itu berpengaruh terhadap pengupahan yang diterima
wartawan. Bagi wartawan berstatus pekerja tetap, dia akan menerima upah secara
flat tiap bulannya. Berapapun produktifnya dia mengirimkan sebuah berita, upah
yang diterima akan segitu-gitu saja.
Berbeda dengan status non pekerja tetap, dalam beberapa hal
(tergantung kondisi keuangan perusahaan), semakin produktif seorang wartawan
mengirimkan berita, semakin besar bayaran yang ia terima. Begitu pun
sebaliknya. Wartawan tidak tetap diupah berdasarkan berita yang dia kirimkan. Meskipun,
seringkali dijumpai di lapangan, upah wartawan non pekerja tetap itu tidak
layak. Sistem pengupahan seperti ini sebenarnya sangat menguntungkan perusahaan
media. Perusahaan tidak perlu menggelontorkan uang untuk jaminan kesehatan,
tunjangan operasional, dan lain-lain seperti halnya kepada wartawan pekerja
tetap, namun cukup hanya mengeluarkan uang untuk bayaran berita saja. Akan
tetapi dari sisi wartawan, akan menimbulkan semacam efek intensifikasi kerja. Wartawan
akan memacu kerjanya dalam mengirimkan berita dengan sedemikian rupa demi
mendapatkan bayaran yang besar. Bagi perusahaan, kuantitas berita yang diterima
akan banyak, namun komponen upah yang dikeluarkan sedikit.
Perbedaan-perbedaan itu, cara kerja media massa dan
pengupahan, menimbulkan dinamika tersendiri sehingga dalam titik tertentu,
menyulitkan bergabungnya pekerja media dalam satu wadah organisasi. Pertama,
dari sisi cara kerja yang “sifatnya sesegera mungkin”, seringkali menimbulkan
friksi antara wartawan koran, majalah, online, radio, dan televisi. Seringkali, terdapat kasus bagaimana wartawan online dimusuhi oleh wartawan televisi hanya
karena lebih dulu menyajikan sebuah peristiwa. Sementara ketika wartawan televisi
itu berusaha mengejar peristiwa, sudah terlewat jauh sehingga mereka tidak bisa
mengambil gambar (dimana menjadi komponen yang vital dalam penyajian berita
untuk televisi).
Di lapangan, kerap ditemui bagaimana wartawan berkumpul
hanya berdasarkan jenis perusahaan media massa tempat mereka bekerja. Wartawan
on line hanya nongkrong dengan wartawan on line, wartawan koran hanya nongkrong
dengan wartawan koran, dan seterusnya. Seperti ada semacam dinding tebal yang
menghalangi pekerja media massa tersebut bergabung dalam satu organisasi yang
menaungi pekerja dari beragam bentuk media massa.
Dalam beberapa kasus, ada fenomena bagaimana sebuah
peristiwa ditahan terlebih dahulu agar semua wartawan (dari berbagai bentuk
media massa) bisa meliputnya secara bersama-sama. Setidaknya hal itu bisa
mencegah adanya teguran dari perusahaan karena terlambat mengejar sebuah
peristiwa. Namun, tampaknya hal tersebut sangat jarang.
Perbedaan cara kerja dengan ditambah perbedaan upah turut
memperumit penyatuan pekerja dalam organisasi media massa. Sebagai ilustrasi,
katakanlah friksi yang terjadi antara wartawan online dengan televisi. Keduanya
sama-sama berstatus pekerja tidak tetap. Keduanya sama-sama dikondisikan
menerima upah sesuai banyaknya berita yang mereka kirimkan. Namun demikian, umumnya
skala upah yang diterima oleh wartawan online lebih kecil dibandingkan skala
upah yang diterima oleh wartawan televisi. Katakanlah, wartawan online menerima
bayaran Rp 10.000/berita, sedangkan wartawan televisi menerima upah Rp
250.000/berita.
Bagi wartawan online, dengan bayaran seperti itu, perlu
mengakali sebuah peristiwa dengan menyajikannya secara cicilan agar memperoleh
bayaran yang lebih besar. Bila ada sebuah peristiwa, katakanlah terjadi jam 2
malam. Peristiwa itu kemudian hanya diketahui oleh wartawan online. Otomatis,
karena dituntut ketergesaan dan harapan akan mendapatkan upah, wartawan online memberitakannya.
Meskipun hanya memberitakan secara ala kadarnya tanpa kelengkapan yang bagus.
Yang terpenting, bisa naik lebih dulu. Selanjutnya, membuat berita lanjutan;
meminta keterangan pakar, pihak berwajib, dan lainnya. Semua itu disajikan
secara berseri, sehingga sebuah peristiwa, contohnya, bisa disajikan dalam 5
berita berseri. Dengan demikian, dia bisa mendapatkan upah Rp 50.000 dari
sebuah peristiwa.
Pola kerja seperti itu, seringkali bersinggungan dengan
wartawan televisi. Begitu berita naik di media online, sedangkan peristiwa yang
menjadi objek berita sudah terlewat jauh, otomatis wartawan televisi tidak bisa
meliputnya. Bagi wartawan televisi, hal ini bisa merugikan dalam dua cara
sekaligus. Pertama, dia kebobolan berita (kemudian bisa saja wartawan itu dimarahi
habis-habisan oleh atasannya), dan kedua, dia kehilangan sumber upahnya. Lalu,
bila wartawan online itu dibujuk untuk menahan berita agar setiap wartawan dari
berbagai jenis media massa bisa meliputnya, dia menolak dengan alasan yang
realistis. Bila melewatkan saja berita itu, diapun akan kehilangan upahnya.
Kemudian bila harus menahan berita dan menayangkannya bersama-sama media
lainnya, upah yang dia dapatkan sebagai wartawan online masih jauh di bawah
upah yang didapatkan oleh wartawan televisi. Bila harus menahan berita sampai
semua pekerja media siap meliput, dia mungkin bisa kehilangan 4 sumber upah. Alih-alih mendapatkan Rp 50.000, dia mungkin
hanya akan mendapatkan Rp 10.000, sedangkan wartawan televisi Rp 250.000,
wartawan radio, Rp 30.000, wartawan koran Rp 60.000 dan wartawan majalah Rp
80.000.
***
Friksi antar pekerja media karena berlandaskan perbedaan
seperti itu dijumpai di lapangan. Dan secara menyedihkan, menjadi kendala yang
menghalangi pekerja media berembuk dalam satu organisasi yang menaungi pekerja
dari berbagai bentuk media massa. Di jaman orientasi bisnis seperti sekarang, ini artinya sebuah
kemenangan besar atas penetrasi modal. Intensitas kerja bisa berlangsung stabil
bahkan cenderung meningkat, sedangkan sarana perlawanan terhadap penghisapan
kerja yang berlebihan akibat penetrasi modal akan sangat lemah karena
pekerjanya justru terfragmentasi.
Pada tahun 2009, ilmuwan cum aktivis komunikasi asal Kanada,
Vincent Mosco dan Catherine McKercher, pernah menerbitkan buku berjudul The
Laboring of Communications: Will Knowledge Workers of the World Unite? Buku ini
membahas mengenai dinamika organisasi pekerja media di tengah-tengah perubahan
media massa. Aku belum tuntas membaca buku ini (aku berharap bisa
menuntaskannya di tengah-tengah rutinitas harian). Namun secara pembacaan sekilas,
buku ini membahas kemungkinan pembentukan organisasi pekerja media yang bersatu
di tengah-tengah perubahan pola kerja media massa.
Dengan perubahan pola kerja itu, mungkinkah setiap pekerja
mengidentifikasi kesamaan di antara mereka sehingga bisa menjadi pemicu kemunculan
organisasi yang solid, menjadi sebuah pertanyaan penting. Buku ini mengambil
studi kasus di Amerika, dan Kanada. Jauh dari Indonesia. Namun demikian,
setidaknya gelombang perubahan media massa, cepat atau lambat, akan terjadi
juga di semua tempat. Permasalahan-permasalahan baru akan bermunculan. Dan
perubahan cara kerja yang ada sebagai akibatnya, tidak bisa dipandang remeh
karena itu akan mempengaruhi kita juga, manusia yang bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar