Rabu, 24 Juni 2015

Catatan Kongkow Para Kuli Warta



Berorganisasi itu perlu. Terutama bagi pekerja. Berorganisasi bisa membantu pekerja dalam menghadapi masalah di lingkungan kerjanya. Namun demikian, muncul sedikit fenomena menarik bila berkaitan dengan berorganisasi dalam dunia media massa. Fenomena itu adalah bagaimana sulitnya menggabungkan setiap pekerja media dalam satu wadah organisasi karena perbedaan cara kerja media massa dan sistem pengupahan berdasarkan status hubungan kerja.

Terkait dengan perbedaan cara kerja media massa, maksudnya dengan melihat bentuk-bentuk media massa yang ada di tengah masyarakat. Sekarang ini, terdapat lima bentuk media massa, yakni koran, majalah, online, radio, dan televisi. Kelima media massa itu memiliki perbedaan karakter.

Perbedaan karakter setidaknya bisa dirasakan dari cara seorang pewarta mengemas beritanya. Bagi wartawan koran, sebenarnya dia memiliki waktu kerja yang cukup santai. Deadline bagi wartawan koran biasanya menjelang petang. Jadi, informasi yang didapatkan pada pagi hari masih bisa diperdalam dengan mencari narasumber lain, atau laporan pandangan mata. Bahkan bila sedang santai, sebenarnya wartawan koran bisa bekerja 5 jam dalam sehari. Sementara wartawan majalah lebih panjang lagi deadlinenya tergantung penerbitan majalahnya; mingguan, dwi mingguan, atau bulanan.

Lalu online, cara kerjanya super cepat. Sangat kontras dengan cara kerja wartawan koran atau majalah. Begitu wartawan online mendapatkan informasi, saat itu juga wartawan online harus segera mengemas beritanya. Tidak ada, istilahnya, waktu jeda bagi wartawan online dalam menuliskan berita. Apa yang dia dapat, langsung dia siarkan. Oleh sebab itu, penyajian sebuah berita online akan lebih pendek dibandingkan penyajian berita koran/majalah. Seringkali, berita online hanya menampilkan satu narasumber. Itu pun hanya beberapa paragraf. Meskipun demikian, berita online tidak bisa disepelekan. Sifatnya yang terus menerus me-running sebuah berita terkadang bisa membuat berita memiliki kekayaan yang lebih bagus dibandingkan koran atau majalah.

Perkembangan teknologi saat ini lebih memberikan angin segar terhadap perkembangan media massa online. Berlimpahnya smartphone di masyarakat (utamanya masyarakat perkotaan), membuat berita online berkembang. Masyarakat tidak perlu repot-repot ke loper koran atau majalah hanya untuk mencari perkembangan peristiwa. Namun hanya tinggal surfing di internet melalui smartphone nya. Hal itu juga berdampak kepada tuntutan pemberitaan online yang mengharuskan sebuah berita terus terbarui. Menit demi menit berharga, karena konsumen kini memiliki sarana praktis untuk mengetahui sebuah berita. Wartawan online harus terjaga untuk menyampaikan berita sesegera mungkin agar konsumen tidak lepas.

Selanjutnya, radio. Mirip-mirip dengan online, penyajian berita radio juga sebenarnya harus sesegera mungkin. Akan tetapi, di beberapa stasiun radio, biasanya penyajian berita diatur pada jam-jam tertentu. Bisa saja sebuah berita menjadi breaking news, namun dengan catatan, berita tersebut haruslah yang luar biasa sifatnya. Dalam hal ini, cara kerja wartawan radio tidak seketat cara kerja wartawan on line, namun tidak sesantai wartawan cetak/majalah.

Lalu, televisi. Penyajian beritanya mirip dengan radio. Dalam artian, biasanya penayangan sebuah berita diatur pada jadwal-jadwal tertentu. Biasanya kita melihat di stasiun televisi program-program berita yang diatur berdasarkan jam penayangannya, misalnya tayangan berita pagi, berita siang, atau berita malam. Namun demikian, cara kerja wartawan televisi cukup ketat dan hampir sama tekanannya dengan online. Hanya perbedaannya, wartawan online harus segera mengirim berita karena dituntut aktualitasnya, sedangkan wartawan televisi dituntut tayangan visualnya. Secara praktik, hal tersebut mengharuskan wartawan televisi hadir di setiap peristiwa.

Selain masalah perbedaan cara kerja media massa, masalah pengupahan yang berkaitan dengan hubungan kerja antara wartawan dengan perusahaannya juga berpengaruh dalam pembentukan organisasi pekerja media. Kebanyakan, status wartawan itu bukanlah pekerja tetap. Akan tetapi, kontributor, stringer, atau koresponden. Ketiga status itu berpengaruh terhadap pengupahan yang diterima wartawan. Bagi wartawan berstatus pekerja tetap, dia akan menerima upah secara flat tiap bulannya. Berapapun produktifnya dia mengirimkan sebuah berita, upah yang diterima akan segitu-gitu saja.

Berbeda dengan status non pekerja tetap, dalam beberapa hal (tergantung kondisi keuangan perusahaan), semakin produktif seorang wartawan mengirimkan berita, semakin besar bayaran yang ia terima. Begitu pun sebaliknya. Wartawan tidak tetap diupah berdasarkan berita yang dia kirimkan. Meskipun, seringkali dijumpai di lapangan, upah wartawan non pekerja tetap itu tidak layak. Sistem pengupahan seperti ini sebenarnya sangat menguntungkan perusahaan media. Perusahaan tidak perlu menggelontorkan uang untuk jaminan kesehatan, tunjangan operasional, dan lain-lain seperti halnya kepada wartawan pekerja tetap, namun cukup hanya mengeluarkan uang untuk bayaran berita saja. Akan tetapi dari sisi wartawan, akan menimbulkan semacam efek intensifikasi kerja. Wartawan akan memacu kerjanya dalam mengirimkan berita dengan sedemikian rupa demi mendapatkan bayaran yang besar. Bagi perusahaan, kuantitas berita yang diterima akan banyak, namun komponen upah yang dikeluarkan sedikit.   

Perbedaan-perbedaan itu, cara kerja media massa dan pengupahan, menimbulkan dinamika tersendiri sehingga dalam titik tertentu, menyulitkan bergabungnya pekerja media dalam satu wadah organisasi. Pertama, dari sisi cara kerja yang “sifatnya sesegera mungkin”, seringkali menimbulkan friksi antara wartawan koran, majalah, online, radio, dan televisi. Seringkali, terdapat kasus bagaimana wartawan online dimusuhi oleh wartawan televisi hanya karena lebih dulu menyajikan sebuah peristiwa. Sementara ketika wartawan televisi itu berusaha mengejar peristiwa, sudah terlewat jauh sehingga mereka tidak bisa mengambil gambar (dimana menjadi komponen yang vital dalam penyajian berita untuk televisi).

Di lapangan, kerap ditemui bagaimana wartawan berkumpul hanya berdasarkan jenis perusahaan media massa tempat mereka bekerja. Wartawan on line hanya nongkrong dengan wartawan on line, wartawan koran hanya nongkrong dengan wartawan koran, dan seterusnya. Seperti ada semacam dinding tebal yang menghalangi pekerja media massa tersebut bergabung dalam satu organisasi yang menaungi pekerja dari beragam bentuk media massa.

Dalam beberapa kasus, ada fenomena bagaimana sebuah peristiwa ditahan terlebih dahulu agar semua wartawan (dari berbagai bentuk media massa) bisa meliputnya secara bersama-sama. Setidaknya hal itu bisa mencegah adanya teguran dari perusahaan karena terlambat mengejar sebuah peristiwa. Namun, tampaknya hal tersebut sangat jarang.

Perbedaan cara kerja dengan ditambah perbedaan upah turut memperumit penyatuan pekerja dalam organisasi media massa. Sebagai ilustrasi, katakanlah friksi yang terjadi antara wartawan online dengan televisi. Keduanya sama-sama berstatus pekerja tidak tetap. Keduanya sama-sama dikondisikan menerima upah sesuai banyaknya berita yang mereka kirimkan. Namun demikian, umumnya skala upah yang diterima oleh wartawan online lebih kecil dibandingkan skala upah yang diterima oleh wartawan televisi. Katakanlah, wartawan online menerima bayaran Rp 10.000/berita, sedangkan wartawan televisi menerima upah Rp 250.000/berita.

Bagi wartawan online, dengan bayaran seperti itu, perlu mengakali sebuah peristiwa dengan menyajikannya secara cicilan agar memperoleh bayaran yang lebih besar. Bila ada sebuah peristiwa, katakanlah terjadi jam 2 malam. Peristiwa itu kemudian hanya diketahui oleh wartawan online. Otomatis, karena dituntut ketergesaan dan harapan akan mendapatkan upah, wartawan online memberitakannya. Meskipun hanya memberitakan secara ala kadarnya tanpa kelengkapan yang bagus. Yang terpenting, bisa naik lebih dulu. Selanjutnya, membuat berita lanjutan; meminta keterangan pakar, pihak berwajib, dan lainnya. Semua itu disajikan secara berseri, sehingga sebuah peristiwa, contohnya, bisa disajikan dalam 5 berita berseri. Dengan demikian, dia bisa mendapatkan upah Rp 50.000 dari sebuah peristiwa.

Pola kerja seperti itu, seringkali bersinggungan dengan wartawan televisi. Begitu berita naik di media online, sedangkan peristiwa yang menjadi objek berita sudah terlewat jauh, otomatis wartawan televisi tidak bisa meliputnya. Bagi wartawan televisi, hal ini bisa merugikan dalam dua cara sekaligus. Pertama, dia kebobolan berita (kemudian bisa saja wartawan itu dimarahi habis-habisan oleh atasannya), dan kedua, dia kehilangan sumber upahnya. Lalu, bila wartawan online itu dibujuk untuk menahan berita agar setiap wartawan dari berbagai jenis media massa bisa meliputnya, dia menolak dengan alasan yang realistis. Bila melewatkan saja berita itu, diapun akan kehilangan upahnya. Kemudian bila harus menahan berita dan menayangkannya bersama-sama media lainnya, upah yang dia dapatkan sebagai wartawan online masih jauh di bawah upah yang didapatkan oleh wartawan televisi. Bila harus menahan berita sampai semua pekerja media siap meliput, dia mungkin bisa kehilangan 4 sumber upah.  Alih-alih mendapatkan Rp 50.000, dia mungkin hanya akan mendapatkan Rp 10.000, sedangkan wartawan televisi Rp 250.000, wartawan radio, Rp 30.000, wartawan koran Rp 60.000 dan wartawan majalah Rp 80.000. 

***
Friksi antar pekerja media karena berlandaskan perbedaan seperti itu dijumpai di lapangan. Dan secara menyedihkan, menjadi kendala yang menghalangi pekerja media berembuk dalam satu organisasi yang menaungi pekerja dari berbagai bentuk media massa. Di jaman orientasi bisnis seperti sekarang, ini artinya sebuah kemenangan besar atas penetrasi modal. Intensitas kerja bisa berlangsung stabil bahkan cenderung meningkat, sedangkan sarana perlawanan terhadap penghisapan kerja yang berlebihan akibat penetrasi modal akan sangat lemah karena pekerjanya justru terfragmentasi.

Pada tahun 2009, ilmuwan cum aktivis komunikasi asal Kanada, Vincent Mosco dan Catherine McKercher, pernah menerbitkan buku berjudul The Laboring of Communications: Will Knowledge Workers of the World Unite? Buku ini membahas mengenai dinamika organisasi pekerja media di tengah-tengah perubahan media massa. Aku belum tuntas membaca buku ini (aku berharap bisa menuntaskannya di tengah-tengah rutinitas harian). Namun secara pembacaan sekilas, buku ini membahas kemungkinan pembentukan organisasi pekerja media yang bersatu di tengah-tengah perubahan pola kerja media massa.

Dengan perubahan pola kerja itu, mungkinkah setiap pekerja mengidentifikasi kesamaan di antara mereka sehingga bisa menjadi pemicu kemunculan organisasi yang solid, menjadi sebuah pertanyaan penting. Buku ini mengambil studi kasus di Amerika, dan Kanada. Jauh dari Indonesia. Namun demikian, setidaknya gelombang perubahan media massa, cepat atau lambat, akan terjadi juga di semua tempat. Permasalahan-permasalahan baru akan bermunculan. Dan perubahan cara kerja yang ada sebagai akibatnya, tidak bisa dipandang remeh karena itu akan mempengaruhi kita juga, manusia yang bekerja. 

Tidak ada komentar: