Ga sengaja nemuin catatan-catatan tugas masa kuliah dulu. Tulisan di bawah ini adalah salah satunya. Di foldernya di tulis 'semester 4'. Itu berarti tulisan ini dibuat sekitar tahun 2005-2006... Yah, walaupun waktu dibuat tulisannya tergolong dah lama, tapi pas diliat-liat lagi isinya, kaya nya masih bisa lah itu disebut "masih nyambung" sama sikon saat ini. Yah, silahkan saja dilihat.
Indonesia adalah negara yang kaya akan hasil buminya. Banyak kekayaan alam yang dihasilkan di negara ini, seperti batu bara, tembaga, perak dan emas. Namun sayangnya, dari sekian banyak kekayaan alam yang terdapat di Indonesia, negara ini masih belum dapat mengolahnya dengan baik. Hal itu terjadi karena Indonesia masih belum menguasai teknologi yang berkaitan dengan pengolahan sumber-sumber kekayaan alam tersebut, sehingga kekayaan-kekayaan alam itu belum bisa didistribusikan dan dinikmati secara merata kepada seluruh rakyat Indonesia.
Dalam hal ini contohnya adalah kekayaan alam Indonesia berupa emas yang terdapat di daerah Papua. Di daerah ini banyak terkandung emas, namun dikarenakan minimnya penguasaan teknologi yang berhubungan dengan pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam tersebut, maka negara Indonesia masih belum bisa memanfaatkannya dengan baik. Maka dari itu, untuk mengatasi kelemahan tersebut, Indonesia mengadakan suatu kerja sama ekonomi dengan negara yang memiliki penguasaan teknologi yang sanggup mengelola sumber-sumber kekayaan alam tersebut agar kelak dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.
Negara lain yang mempunyai penguasaan atas teknologi tersebut adalah Amerika Serikat (AS), melalui salah satu jajaran korporasi multinasionalnya yang bernama Freeport. Kerjasama yang dilakukan antara Indonesia dan Amerika ini ditujukan agar dapat menjadi suatu momentum yang baik bagi teraihnya keuntungan di kedua belah pihak.
Pada dasarnya, ketika Indonesia melakukan kerjasama dengan AS, Indonesia telah mempraktekkan suatu teori yang dikeluarkan oleh Harrod-Domar, yaitu teori tentang tabungan dan investasi. Teori Harrod-Domar ini menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara akan meningkat apabila tabungan dan investasi dari pihak luar itu tinggi. Sebaliknya, apabila tabungan dan investasi suatu negara rendah, maka pertumbuhan ekonomi suatu negara akan berjalan lambat.
Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa masalah pembangunan pada intinya merupakan masalah menambahkan investasi modal. Dalam hal ini, penanaman modal adalah inti dari permbangunan ekonomi suatu negara. Bila suatu negara mengalami keterbelakangan ekonomi, maka hal itu disebabkan karena kurangnya penanaman modal di suatu negara yang mengalami keterbelakangan ekonomi itu. Kalau ada modal dan modal itu diinvestasikan, maka hasilnya adalah pembangunan ekonomi.
Investasi yang dilakukan pemerintah AS melalui korporasinya bernama Freeport kepada Indonesia untuk mengelola emas di Papua, merupakan modal bagi Indonesia untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. Dengan penguasaan teknologi AS, diharapkan emas yang terkubur di wilayah Papua akan dapat diolah dengan baik dan dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Papua. Sehingga hal tersebut dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dalam teori Harrod-Domar, ketika investasi atau penanaman modal di suatu negara itu meningkat, maka pertumbuhan ekonomi suatu negara itu juga akan naik. Akan tetapi, akhir-akhir ini di media massa sering diekspos bagaimana masyarakat Papua tidak merasa puas dengan kehadiran Freeport di wilayah tersebut. Masyarakat Papua yang protes itu pada intinya menyuarakan bahwa kehadiran Freeport tidak memberikan kontribusi apa-apa terhadap perkembangan ekonomi di wilayah sekitarnya. Protes masyarakat Papua itu sebenarnya telah berlangsung lama, namun baru-baru ini saja terekspos besar-besaran setelah terjadi insiden pengrusakan kantor perwakilan Freeport di Jakarta dan kerusuhan di Universitas Cenderawasi Papua yang mengakibatkan empat orang aparat kepolisian dan empat orang lagi rakyat sipil tewas.
Lalu, sebenarnya apa yang terjadi? Berdasarkan teori Harrod-Domar, penanaman modal yang tinggi dalam suatu negara akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Akan tetapi, yang terjadi di Indonesia, khususnya daerah Papua, malah sebaliknya. Ketika ada investor asing, seperti Freeport, yang menanamkan modalnya di Indonesia, masyarakat Papua malah memprotesnya dengan keras dan menuntut agar korporasi multinasional itu segera ditutup dengan alasan tidak banyak memberi kontribusi bagi masyarakat di sekitarnya. Setelah Freeport berdiri sekian lama, nyatanya wilayah tersebut masih saja berada dalam situasi keterbelakangan. Masih banyak masyarakat Papua yang berada di bawah garis kemisikinan dan banyak pula masyarakat Papua yang meninggal karenanya. Wilayah disekitar Freeport seperti tidak tersentuh oleh kehadiran korporasi multinasional tersebut.
Maka bisa dibilang suatu hal yang wajar apabila akhir-akhir ini masyarakat Papua marah kepada pemerintah Indonesia dan Freeport, karena hak-hak masyarakat Papua atas kekayaan alamnya sendiri seolah-olah dicampakkan begitu saja. Kehadiran Freeport seakan-akan hanya menguntungkan negara induknya saja, yaitu AS, tapi tidak dengan Indonesia itu sendiri. Hal tersebut merupakan kenyataan ironis, mengingat Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan alamnya itu.
Mungkin kasus Freeport diatas dapat dijelaskan melalui pendapat yang dikemukakan oleh Paul Baran tentang teori hasil pemikirannya yang dinamakan dengan teori “Sentuhan yang Mematikan” dan Sinkretisme. Menurutnya, adanya intervensi negara kapitalis maju seperti AS dalam bentuk penanaman modal di negara-negara, meminjam istilah Prebisch, kapitalis pinggiran, seperti salah satunya Indonesia, akan mengakibatkan negara-negara kapitalis pinggiran tersebut terhambat kemajuannya dan akan terus hidup dalam keterbelakangan.
Baran menyatakan, perkembangan kapitalisme di negara-negara pinggiran, sistem kapitalisme seperti terkena penyakit sinkretisme. Orang yang dihinggapi penyakit ini tetap kerdil dan tidak bisa tumbuh besar. Hal itu bisa terjadi karena disebabkan karakteristik perkembangan kapitalisme di negara maju dan negara pinggiran. Perkembangan kapitalisme di negara maju tidak akan sama dengan perkembangan kapitalisme di negara pinggiran. Menurut Baran, mapannya sistem kapitalisme di negara-negara maju dimungkinkan terjadi, karena harta yang terakumulasi berada di tangan para pedagang dan tuan tanah kemudian diinvestasikan ke bidang industri.
Berbeda halnya dengan yang terjadi di negara-negara kapitalis pinggiran seperti Indonesia. Yang terjadi di negara-negara kapitalis pinggiran ini justru sebaliknya. Munculnya kekuatan ekonomi asing telah membuat terhambatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara ini. Dengan kehadiran kekuatan ekonomi asing dalam bentuk modal kuat dari negara kapitalis maju ke negara-negara dunia ketiga (negara-negara kapitalis pinggiran), membuat surplus yang terjadi disana, diambil oleh kaum pendatang, melalu berbagai macam cara. Ketika surplus yang terjadi di negara kapitalis pinggiran diambil oleh kaum pendatang, maka yang terjadi di negara tersebut bukanlah akumulasi modal, melainkan penyusutan modal.
Teori Paul Baran tersebut mungkin dapat menjelaskan kenapa kekayaan alam yang begitu melimpah ruahnya di Papua tidak dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Papua itu sendiri. Hal itu terjadi karena kekayaan alam Papua yang melimpah ruah tersebut, sebagian besar ditarik ke negara asal Freeport itu berdiri, yaitu AS. Apabila ada rakyat Indonesia yang memang merasakan dampak dari kehadiran Freeport tersebut, saya yakin, dari keseluruhan populasi rakyat Indonesia, hanya segelintir orang saja yang dapat merasakan manfaatnya. Bila memang kekayaan alam Papua sebagian besarnya ditarik ke negara kapitalis maju benar, maka secara tidak langsung Indonesia ini sedang dirampas kekayaan alamnya oleh negara kapitalis maju tersebut. Bisa dibilang juga Indonesia ini mengalami suatu bentuk imperialisme gaya baru. Suatu penjajahan dalam bentuk yang lebih halus, yaitu penjajahan dalam bentuk kerjasama ekonomi.