Berhubung pengangguran, iseng-iseng melototin tayangan dua stasiun televisi berita: si tivi 'merah' sama si tivi 'biru'. Soalnya isunya menarik, tentang empat tahun lumpur Lapindo. Iseng-iseng juga ngeliat gimana kedua tivi itu ngarahin beritanya. Soalnya jadi menarik kalau mengaitkan juga antara berita tentang lumpur Lapindo dengan gimana posisi kedua tivi itu berdasarkan kepemilikannya. Si tivi 'merah' dimiliki oleh klan saudagar yang berpengaruh saat ini: Bakrie. Sedangkan si tivi 'biru' dikuasai oleh dude with beard and mustache: Paloh.
Dilihat dari kepemilikan, khususnya kepemilikan tivi 'merah', asumsi saya untuk tivi 'merah' ini apes bila berurusan dengan segala sesuatu mengenai pemberitaan Lapindo. Soalnya, pemilik tivi 'merah', yaitu Bakrie, adalah pihak yang juga terkait dengan kasus Lapindo. Semburan lumpur itu terjadi di wilayah bisnisnya.
Minggu, 30 Mei 2010
Berita, Media, Empire (bag. 1)
Berhubung pengangguran, iseng-iseng melototin tayangan dua stasiun televisi berita: si tivi 'merah' sama si tivi 'biru'. Soalnya isunya menarik, tentang empat tahun bencana lumpur Lapindo. Iseng-iseng juga ngeliat gimana kedua tivi itu ngarahin beritanya. Soalnya jadi menarik kalau mengaitkan juga antara berita tentang lumpur Lapindo dengan gimana posisi kedua tivi itu berdasarkan kepemilikannya. Si tivi 'merah' dimiliki oleh klan saudagar yang berpengaruh saat ini: Bakrie. Sedangkan si tivi 'biru' dikuasai oleh dude with beard and mustache: Paloh.
Dilihat dari kepemilikan, khususnya kepemilikan tivi 'merah', asumsi saya untuk tivi 'merah' ini apes bila berurusan dengan segala sesuatu mengenai pemberitaan lumpur Lapindo. Soalnya, pemilik tivi 'merah', yaitu Bakrie, adalah pihak yang juga terkait dengan kasus Lapindo. Semburan lumpur itu terjadi di wilayah bisnisnya. Kalau melihat kaitan antara bisnis Bakrie, seperti Lapindo dengan tivi 'merah' itu, kira-kira apa yang mungkin terjadi? Khususnya bila menyangkut pemberitaan mengenai Lapindo? relasi-relasi kekuasaan seperti apa yang mungkin terjadi? Apakah pada akhirnya si tivi 'merah' mendapatkan 'kebebasan' dalam meliput berita tentang Lapindo tersebut, ataukah sebaliknya? Ga ada yang tahu, kecuali mungkin petinggi-petinggi tivi 'merah' dan klan Bakrie itu sendiri. Sebaliknya untuk seorang pengangguran, seperti saya, pada akhirnya hanya bisa melototin tayangan berita yang sudah jadinya saja.
Tapi...lebih baik melototin tayangan beritanya saja dulu, daripada berbelit-belit ngomongin masalah kepemilikan yang berada di piramida paling atas. Lagipula, berita adalah komoditi utama media massa*. Konon, praktik media massa terkait erat dengan proses sosial yang berubah-ubah; dinamis dan tak statis. Maka supaya bisa iseng-iseng ngeliat proses sosial yang berubah-ubah tersebut, konon, ada poin yang bisa dijadiin pijakan untuk memahaminya, dan salah satu poinnya yaitu komoditi. Jadi, mari mencoba liat bagaimana penayangan berita empat tahun bencana lapindo di tivi 'merah' dan tivi 'biru' tersebut.
Pemberitaan si Tivi 'Biru' dan Tivi 'Merah'
Pertama-tama, saya tertarik kepada pemberitaan yang ditayangkan oleh tivi 'biru' pada Sabtu (29/05/10) sekitar pukul 13.00 WIB. Durasi pemberitaannya cukup lama, ada kira-kira dua puluh menit. Topik pemberitaannya adalah mengenai korban yang masih bertahan di Lapindo, korban yang belum menerima ganti rugi selama empat tahun, lalu semacam 'human interest' tentang awal mula bencana semburan lumpur, hingga bagaimana pemerintah berusaha menyelesaikan bencana tersebut. Saya pikir, tivi 'biru' secara topik cukup beragam. Mereka berusaha untuk menayangkan berita yang komprehensif mengenai bencana lumpur Lapindo ini. Lalu, saya pindahin itu saluran ke no. 1: si tivi 'merah'. Tayangannya bukan tentang lumpur Lapindo, tapi tentang suatu peristiwa di luar negeri. Tapi, ga lama kemudian...ini dia, berita tentang Lapindo. Berita di tivi 'merah' dibuka dengan topik sama seperti tivi 'biru'; tentang korban yang masih bertahan di sekitar wilayah bencana. Setelah itu, topik berganti mengenai bagaimana senangnya perasaan korban lumpur Lapindo, ketika tinggal di hunian baru yang disediakan oleh pihak Lapindo Berantas sebagai kompensasi atas kerugian yang didapat akibat semburan lumpur:
Reporter: Bagaimana perasaannya tinggal di tempat baru?
Pengungsi: Wah, sudah enak disini. Tempat yang dulu jauh beda dibandingin tempat yang sekarang. Jauh lebih nyaman lah kalo di tempat sekarang.
Setelah wawancara mengenai masalah hati ke hati (baca: perasaan) dengan korban tersebut, berita langsung berganti tema. Kali ini bukan tentang lumpur Lapindo lagi, tetapi mengenai para siswa SMK di Solo yang bisa merakit mobil sendiri. Rencananya pada bulan Agustus 2010 mobil tersebut akan diluncurkan. Mobil itu juga, konon, akan dinobatkan sebagai mobil nasional. Berita ini penting juga, berkaitan dengan investasi kapital dan kemungkinan lapangan pekerjaan baru....
Skip. Balik lagi tentang pemberitaan Lapindo.
Kalau dibandingin antara pemberitaan si tivi 'biru' dan 'merah' mengenai empat tahun bencana Lapindo, secara kuantitatif si tivi 'biru' kayanya cocok disebut sebagai stasiun tivi yang berusaha untuk menyajikan berita dengan komprehensif. Hal itu diliat dari beragamnya topik serta durasi pemberitaan yang cukup lama. Sedangkan si tivi 'merah' secara kuantitatif lebih sedikit mengangkat pemberitaan mengenai Lapindo: tidak lebih dari dua topik. Durasi pemberitaannya pun tidak sepanjang si tivi 'biru'. Lalu, bila dibandingkan secara kualitatif, yaitu diliat dari bobot isi berita, si tivi 'biru' bisa dibilang lebih baik dari si tivi 'merah'. Sebabnya, dalam pemberitaan si tivi 'biru' ada usaha untuk mempertanyakan masalah yang berlarut-larut di Lapindo. Mulai dari masalah pengungsi yang belum mendapat ganti rugi, hingga pihak yang seharusnya bertanggungjawab mengenai permasalahan yang ada di Lapindo. Sedangkan si tivi 'merah' secara isi cenderung deskriptif, dan lebih ditekankan kepada 'human interest' saja (dan itupun 'human interest' mereka yang sudah hidup enak). Dalam hal ini, saya kira pemberitaan tivi 'biru' lebih baik, dibandingkan tivi 'merah'.
Lantas, apakah dengan posisi demikian, artinya tivi 'biru' adalah stasiun terbaik, karena menyajikan berita yang cukup komprehensif? Saya melihatnya, pemberitaan dari kedua stasiun tivi itu berada di ranah persaingan bisnis. Jadi, menurut saya, tidak pada tempatnya dilihat mana yang lebih baik atau buruk dalam konteks pemberitaan yang dilakukan kedua stasiun tivi itu. Lagipula, belum tentu si tivi 'biru' adalah tivi yang berani dalam memberitakan segala sesuatunya. Apa jadinya bila Paloh itu sendiri adalah pemilik Lapindo Brantas? Apakah tivi 'biru' akan memberitakan dengan cukup komprehensif bencana itu, seperti sekarang? Belum tentu. Bisa jadi, pemberitaan tentang bencana Lapindo malah tidak ada sama sekali di tivi 'biru', dan sebaliknya, giliran si tivi 'merah' yang jadi buas memberitakan Lapindo, hingga membongkar sampai ke akar-akar yang boroknya. Siapa yang tau.
Dalam hal ini, saya membayangkan ibarat dua orang pengusaha saling bersaing dan menjadi rival sejak dulu kala, bukan masalah mana dari kedua pengusaha itu yang paling baik. Dan cara bermain bisnis, khususnya dalam hal bersaing dengan rival dalam berbisnis, dikenal jargon: know your enemy, atau diperbuas lagi menjadi: ketahui kelemahan lawan (Saya tidak tahu jargon ini ada di butir keberapa dari petuah bijak Sun Tzu di buku-buku kiat sukses berbisnis itu). Hanya saja menjadi lumrah dalam berbisnis untuk mengetahui kelemahan lawan, lalu memanfaatkannya agar mencapai keuntungan bisnis itu sendiri. Terbuka kemungkinan, bagaimana pemilik tivi 'biru' mengetahui kelemahan pemilik tivi 'merah' (mis. dengan posisi Bakrie yang memiliki saham di Lapindo Brantas dan juga tivi 'merah') lalu memanfaatkannya dengan membuat berita yang komprehensif seperti itu, dengan tendensi akhir menyudutkan tivi 'merah'. Bahkan berekspektasi lebih agar tivi 'merah' itu bangkrut sekalian, supaya tidak ada saingan lagi.
Komposisi Kepemilikan Saham dan Pemberitaan (tivi 'merah')
Namun demikian, lepas dari masalah spekulasi persaingan bisnis, kalau saya ngeliat - secara sekilas - komposisi pemberitaan si tivi 'biru' dan tivi 'merah', dan juga bagaimana institusi kedua tivi itu dalam hal kepemilikan, saya melihatnya ada 'sesuatu'. Pertama, lihat dulu komposisi keluarga Bakrie dalam hal kepemilikan saham di Lapindo Brantas dan tivi 'merah'. Saham Lapindo Brantas, 100% dipegang oleh PT. Energi Mega Persada melalui anak perusahaannya, yaitu PT. Kalila Energy Ltd (84,24%), dan Pan Asia Enterprise (15,76%). PT. Energi Mega Persada sebagai pemilik saham Lapindo Brantas merupakan anak perusahaan Grup Bakrie. Grup Bakrie memiliki 63,53% saham, sisanya dimiliki komisaris EMP, Rennier A.R. Latief (3,11%), Julianto Benhayudi (2,18%), dan publik (31, 53%). Sedangkan Chief Executive Officer (CEO) Lapindo Brantas Inc. adalah Nirwan Bakrie yang merupakan adik kandung pengusaha bernama Aburizal Bakrie itu sendiri.
Lalu untuk komposisi kepemilikan saham tivi 'merah' terdiri dari PT. Visi Media Asia (49%), PT. Redal Semesta (31%), Good Response Ltd (10%) dan Promise Result Ltd (10%). Lihat komposisi PT. Visi Media Asia (VMA) sebagai pemilik saham terbesar. Porsi kepemilikan saham VMA saat ini terdiri dari Anindya N. Bakrie (lebih dari 50%), Rosan P. Roeslani lewat PT Recapital Advisor (20%), dan Erick lewat PT Metropolis Media Nusantara (dibawah 15%). Lihat lagi komposisi pemilik saham terbesar VMA; Anindya N. Bakrie. Anindiya Bakrie adalah anak pertama dari Aburizal Bakrie. Selain itu, sehari-harinya mengurus perusahaan telekomunikasi dan media (Bakrie Telecom, dan VIVA Media Group - antv, tvOne, dan vivanews.com) dan wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Media dan Telematika.
Apa yang didapat bila sekilas melihat komposisi kepemilikan saham di Lapindo Brantas, dan si tivi 'merah'? Kita akan melihat bagaimana semuanya mengerucut ke satu grup, yakni Bakrie. Disini terlihat bagaimana konglomerasi berlaku lewat kepemilikan saham.
Selanjutnya, setelah melihat komposisi pemilik saham, baik di Lapindo Brantas dan tivi 'merah', dimana ternyata dikuasai oleh grup yang sama (bahkan berkeluarga), selanjutnya dilihat sekilas bagaimana pemberitaan tivi 'merah' tentang bencana lumpur di Sidoarjo. Seperti yang sudah di tulis di atas, secara kuantitatif, porsi pemberitaan tivi 'merah', Sabtu (29/05/10), sekitar pukul 13.00 WIB, lebih sedikit mengangkat pemberitaan mengenai Lapindo: tidak lebih dari dua topik. Secara kualitatif, isi berita tivi 'merah' cenderung deskriptif, dan lebih ditekankan kepada 'human interest' saja.
Komposisi kepemilikan saham dan pemberitaan (tivi 'biru')
Selanjutnya beralih ke tivi 'biru'. Tivi Biru dimiliki oleh Media Group, suatu kelompok usaha media yang dipimpin oleh Surya Paloh. Pada awalnya, komposisi kepemilikan saham tivi 'biru' adalah Surya Paloh (75%), dan PT. Bimantara Citra Tbk. (25%). Sejak Juni 2003, Bimantara menjual sahamnya ke PT Centralindo Pancasakti Cellular. Porsi kepemilikan saham tivi 'biru' menjadi Surya Paloh (75%), dan PT Centralindo Pancasakti Cellular (25%). Namun demikian, Centralindo juga dikuasai oleh Surya Paloh. Dengan demikian, Secara de facto, Surya Paloh menguasai 100% saham tivi 'biru'.
Media Grup juga memiliki anak perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, yaitu PT Surya Energi Raya (PT SER). PT SER juga merupakan investor mitra Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemerintah Kabupaten Bojonegoro yakni PT Asri Dharma Sejahtera (ADS) dalam pengelolaan Participating Interest (PI) tambang minyak Blok Cepu. Selain Media Group, Surya Paloh juga merintis usaha Catering sendiri dan mendirikan PT Indocater. Selain itu ia menjabat sebagai Direktur Link Up Coy Singapore, yang bergerak di bidang perdagangan. Hampir sama dengan Bakrie, Paloh memiliki beberapa cabang usaha. Namun demikian, bedanya, tidak terdengar dan tidak terlihat apakah cabang usaha yang dimiliki Paloh berkaitan langsung dengan permasalahan yang ada di Sidoarjo itu.
Setelah melihat komposisi kepemilikan, lanjut ke pemberitaan teve 'biru' tentang empat tahun bencana lumpur Lapindo pada waktu penayangan yang hampir sama dengan tivi 'merah'. Seperti yang juga udah ditulis di atas, secara kuantitatif, tivi 'biru' menyajikan berita dengan cukup komprehensif diliat dari beragamnya topik serta durasi pemberitaan yang cukup lama. Secara kualitatif, atau bobot isi berita, dalam pemberitaan si tivi 'biru' ada usaha untuk mempertanyakan masalah yang berlarut-larut di Lapindo. Mulai dari masalah pengungsi yang belum mendapat ganti rugi, hingga pihak yang seharusnya bertanggungjawab mengenai permasalahan yang ada di Lapindo. Secara kuantitatif dan kualitatif, pemberitaan tivi 'biru' lebih beragam dan komprehensif dibandingkan tivi 'merah'.
Semacam Curhat
Pertanyaan lebih lanjut, apakah melihat kondisi kepemilikan tivi 'merah' dan tivi 'biru' menunjukkan 'sesuatu'? khususnya dalam hal pengaruhnya bagi pola pemberitaan tentang empat tahun bencana lumpur Lapindo? menurut saya ada, dan untuk membuktikannya memang perlu usaha lebih lanjut: analisis isi kuantitatif; untuk menangkap frekuensi pemberitaan dan kecenderungan pemberitaan, analisis isi kualitatif; untuk mengungkap isi pesan yang tersirat, penelitian organisasional menyangkut kondisi redaksional dan perusahaan, serta analisis ekonomi-politik media untuk melihat bagaimana faktor kepemilikan media mempengaruhi rutinitas media massa itu sendiri. Berbagai level penelitian itu sepertinya bisa dielaborasi untuk menggambarkan kondisi media dan pengaruh proses serta relasi sosial dalam pemberitaan secara lebih utuh dan menyeluruh. Saya sadar, tulisan saya ini adalah tulisan yang ompong; semata-mata didasarkan atas pengamatan sekilas, tanpa ada verifikasi melalui serangkaian tata cara penelitian yang ketat. Maklum, pengangguran.
Namun demikian, sekaligus sebagai penutup tulisan bagian kesatu ini, saya teringat mengenai definisi berita yang secara tidak langsung menggambarkan bagaimana media massa tidak terlepas dari pengaruh kepentingan-kepentingan:
Berita mengandung simbol dan imej yang maknanya dapat mempengaruhi khalayak . Namun demikian, dalam industri media, berita juga merupakan salah satu komoditi yang berfungsi untuk mendapatkan nilai-lebih atau profit. Mosco (2009) mencatat:
“Capital turns labor power into a newspaper article or column which, along with other stories and advertising, forms a packaged product. It sells the newspaper package in the marketplace and, if it succesful, earns a profit or surplus value, which it can then invest by expanding its newspaper business or by investing in any other venture that promises additions to capital.”
Di industri media, berita mengalami sebuah proses komodifikasi atau proses merubah dan menambahkan nilai pada barang dan jasa, yang sebelumnya diukur berdasarkan nilai-guna, menjadi komoditi yang diukur berdasarkan nilai-tukar. Dalam mode produksi kapitalis, tujuan proses komodifikasi tidak terbatas pada penciptaan nilai-tukar saja, tetapi juga pada penciptaan nilai-lebih atau profit. Adanya orientasi terhadap profit itu disebabkan oleh kekuatan kapital atas kontrol terhadap alat produksi, salah satunya, dalam perspektif komunikasi, seperti kepemilikan saham atas perusahaan media . Dengan kata lain, selain memiliki nilai-guna dalam hal memberi informasi kepada khalayak, berita sebagai sebuah nilai-tukar berada dalam kondisi yang juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi pemilik media dan penentu kebijakan.
* Bahkan dengan berita, audiens juga menjadi pekerja gratisan bagi media massa (kuantitas jumlah audiens benar-benar berguna bagi media massa untuk dijual kepada pengiklan).
======================
Bandung, 29 Mei 2010. Tulisan ini saya dedikasikan untuk mantan wartawan (Roesli Lahani Yoenoes) yang putar haluan jadi penjual buku, dan menolak menjual buku tentang menulis kepada saya di pelataran mesjid Istiqamah, Bandung, di waktu lampau. "Menulis harus diiringi dengan keinginan, ga boleh asal-asalan" alasannya. (kumaha deui atuh, pak, da kieu we kami mah; pangangguran nu asal-asalan).
Dilihat dari kepemilikan, khususnya kepemilikan tivi 'merah', asumsi saya untuk tivi 'merah' ini apes bila berurusan dengan segala sesuatu mengenai pemberitaan lumpur Lapindo. Soalnya, pemilik tivi 'merah', yaitu Bakrie, adalah pihak yang juga terkait dengan kasus Lapindo. Semburan lumpur itu terjadi di wilayah bisnisnya. Kalau melihat kaitan antara bisnis Bakrie, seperti Lapindo dengan tivi 'merah' itu, kira-kira apa yang mungkin terjadi? Khususnya bila menyangkut pemberitaan mengenai Lapindo? relasi-relasi kekuasaan seperti apa yang mungkin terjadi? Apakah pada akhirnya si tivi 'merah' mendapatkan 'kebebasan' dalam meliput berita tentang Lapindo tersebut, ataukah sebaliknya? Ga ada yang tahu, kecuali mungkin petinggi-petinggi tivi 'merah' dan klan Bakrie itu sendiri. Sebaliknya untuk seorang pengangguran, seperti saya, pada akhirnya hanya bisa melototin tayangan berita yang sudah jadinya saja.
Tapi...lebih baik melototin tayangan beritanya saja dulu, daripada berbelit-belit ngomongin masalah kepemilikan yang berada di piramida paling atas. Lagipula, berita adalah komoditi utama media massa*. Konon, praktik media massa terkait erat dengan proses sosial yang berubah-ubah; dinamis dan tak statis. Maka supaya bisa iseng-iseng ngeliat proses sosial yang berubah-ubah tersebut, konon, ada poin yang bisa dijadiin pijakan untuk memahaminya, dan salah satu poinnya yaitu komoditi. Jadi, mari mencoba liat bagaimana penayangan berita empat tahun bencana lapindo di tivi 'merah' dan tivi 'biru' tersebut.
Pemberitaan si Tivi 'Biru' dan Tivi 'Merah'
Pertama-tama, saya tertarik kepada pemberitaan yang ditayangkan oleh tivi 'biru' pada Sabtu (29/05/10) sekitar pukul 13.00 WIB. Durasi pemberitaannya cukup lama, ada kira-kira dua puluh menit. Topik pemberitaannya adalah mengenai korban yang masih bertahan di Lapindo, korban yang belum menerima ganti rugi selama empat tahun, lalu semacam 'human interest' tentang awal mula bencana semburan lumpur, hingga bagaimana pemerintah berusaha menyelesaikan bencana tersebut. Saya pikir, tivi 'biru' secara topik cukup beragam. Mereka berusaha untuk menayangkan berita yang komprehensif mengenai bencana lumpur Lapindo ini. Lalu, saya pindahin itu saluran ke no. 1: si tivi 'merah'. Tayangannya bukan tentang lumpur Lapindo, tapi tentang suatu peristiwa di luar negeri. Tapi, ga lama kemudian...ini dia, berita tentang Lapindo. Berita di tivi 'merah' dibuka dengan topik sama seperti tivi 'biru'; tentang korban yang masih bertahan di sekitar wilayah bencana. Setelah itu, topik berganti mengenai bagaimana senangnya perasaan korban lumpur Lapindo, ketika tinggal di hunian baru yang disediakan oleh pihak Lapindo Berantas sebagai kompensasi atas kerugian yang didapat akibat semburan lumpur:
Reporter: Bagaimana perasaannya tinggal di tempat baru?
Pengungsi: Wah, sudah enak disini. Tempat yang dulu jauh beda dibandingin tempat yang sekarang. Jauh lebih nyaman lah kalo di tempat sekarang.
Setelah wawancara mengenai masalah hati ke hati (baca: perasaan) dengan korban tersebut, berita langsung berganti tema. Kali ini bukan tentang lumpur Lapindo lagi, tetapi mengenai para siswa SMK di Solo yang bisa merakit mobil sendiri. Rencananya pada bulan Agustus 2010 mobil tersebut akan diluncurkan. Mobil itu juga, konon, akan dinobatkan sebagai mobil nasional. Berita ini penting juga, berkaitan dengan investasi kapital dan kemungkinan lapangan pekerjaan baru....
Skip. Balik lagi tentang pemberitaan Lapindo.
Kalau dibandingin antara pemberitaan si tivi 'biru' dan 'merah' mengenai empat tahun bencana Lapindo, secara kuantitatif si tivi 'biru' kayanya cocok disebut sebagai stasiun tivi yang berusaha untuk menyajikan berita dengan komprehensif. Hal itu diliat dari beragamnya topik serta durasi pemberitaan yang cukup lama. Sedangkan si tivi 'merah' secara kuantitatif lebih sedikit mengangkat pemberitaan mengenai Lapindo: tidak lebih dari dua topik. Durasi pemberitaannya pun tidak sepanjang si tivi 'biru'. Lalu, bila dibandingkan secara kualitatif, yaitu diliat dari bobot isi berita, si tivi 'biru' bisa dibilang lebih baik dari si tivi 'merah'. Sebabnya, dalam pemberitaan si tivi 'biru' ada usaha untuk mempertanyakan masalah yang berlarut-larut di Lapindo. Mulai dari masalah pengungsi yang belum mendapat ganti rugi, hingga pihak yang seharusnya bertanggungjawab mengenai permasalahan yang ada di Lapindo. Sedangkan si tivi 'merah' secara isi cenderung deskriptif, dan lebih ditekankan kepada 'human interest' saja (dan itupun 'human interest' mereka yang sudah hidup enak). Dalam hal ini, saya kira pemberitaan tivi 'biru' lebih baik, dibandingkan tivi 'merah'.
Lantas, apakah dengan posisi demikian, artinya tivi 'biru' adalah stasiun terbaik, karena menyajikan berita yang cukup komprehensif? Saya melihatnya, pemberitaan dari kedua stasiun tivi itu berada di ranah persaingan bisnis. Jadi, menurut saya, tidak pada tempatnya dilihat mana yang lebih baik atau buruk dalam konteks pemberitaan yang dilakukan kedua stasiun tivi itu. Lagipula, belum tentu si tivi 'biru' adalah tivi yang berani dalam memberitakan segala sesuatunya. Apa jadinya bila Paloh itu sendiri adalah pemilik Lapindo Brantas? Apakah tivi 'biru' akan memberitakan dengan cukup komprehensif bencana itu, seperti sekarang? Belum tentu. Bisa jadi, pemberitaan tentang bencana Lapindo malah tidak ada sama sekali di tivi 'biru', dan sebaliknya, giliran si tivi 'merah' yang jadi buas memberitakan Lapindo, hingga membongkar sampai ke akar-akar yang boroknya. Siapa yang tau.
Dalam hal ini, saya membayangkan ibarat dua orang pengusaha saling bersaing dan menjadi rival sejak dulu kala, bukan masalah mana dari kedua pengusaha itu yang paling baik. Dan cara bermain bisnis, khususnya dalam hal bersaing dengan rival dalam berbisnis, dikenal jargon: know your enemy, atau diperbuas lagi menjadi: ketahui kelemahan lawan (Saya tidak tahu jargon ini ada di butir keberapa dari petuah bijak Sun Tzu di buku-buku kiat sukses berbisnis itu). Hanya saja menjadi lumrah dalam berbisnis untuk mengetahui kelemahan lawan, lalu memanfaatkannya agar mencapai keuntungan bisnis itu sendiri. Terbuka kemungkinan, bagaimana pemilik tivi 'biru' mengetahui kelemahan pemilik tivi 'merah' (mis. dengan posisi Bakrie yang memiliki saham di Lapindo Brantas dan juga tivi 'merah') lalu memanfaatkannya dengan membuat berita yang komprehensif seperti itu, dengan tendensi akhir menyudutkan tivi 'merah'. Bahkan berekspektasi lebih agar tivi 'merah' itu bangkrut sekalian, supaya tidak ada saingan lagi.
Komposisi Kepemilikan Saham dan Pemberitaan (tivi 'merah')
Namun demikian, lepas dari masalah spekulasi persaingan bisnis, kalau saya ngeliat - secara sekilas - komposisi pemberitaan si tivi 'biru' dan tivi 'merah', dan juga bagaimana institusi kedua tivi itu dalam hal kepemilikan, saya melihatnya ada 'sesuatu'. Pertama, lihat dulu komposisi keluarga Bakrie dalam hal kepemilikan saham di Lapindo Brantas dan tivi 'merah'. Saham Lapindo Brantas, 100% dipegang oleh PT. Energi Mega Persada melalui anak perusahaannya, yaitu PT. Kalila Energy Ltd (84,24%), dan Pan Asia Enterprise (15,76%). PT. Energi Mega Persada sebagai pemilik saham Lapindo Brantas merupakan anak perusahaan Grup Bakrie. Grup Bakrie memiliki 63,53% saham, sisanya dimiliki komisaris EMP, Rennier A.R. Latief (3,11%), Julianto Benhayudi (2,18%), dan publik (31, 53%). Sedangkan Chief Executive Officer (CEO) Lapindo Brantas Inc. adalah Nirwan Bakrie yang merupakan adik kandung pengusaha bernama Aburizal Bakrie itu sendiri.
Lalu untuk komposisi kepemilikan saham tivi 'merah' terdiri dari PT. Visi Media Asia (49%), PT. Redal Semesta (31%), Good Response Ltd (10%) dan Promise Result Ltd (10%). Lihat komposisi PT. Visi Media Asia (VMA) sebagai pemilik saham terbesar. Porsi kepemilikan saham VMA saat ini terdiri dari Anindya N. Bakrie (lebih dari 50%), Rosan P. Roeslani lewat PT Recapital Advisor (20%), dan Erick lewat PT Metropolis Media Nusantara (dibawah 15%). Lihat lagi komposisi pemilik saham terbesar VMA; Anindya N. Bakrie. Anindiya Bakrie adalah anak pertama dari Aburizal Bakrie. Selain itu, sehari-harinya mengurus perusahaan telekomunikasi dan media (Bakrie Telecom, dan VIVA Media Group - antv, tvOne, dan vivanews.com) dan wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Media dan Telematika.
Apa yang didapat bila sekilas melihat komposisi kepemilikan saham di Lapindo Brantas, dan si tivi 'merah'? Kita akan melihat bagaimana semuanya mengerucut ke satu grup, yakni Bakrie. Disini terlihat bagaimana konglomerasi berlaku lewat kepemilikan saham.
Selanjutnya, setelah melihat komposisi pemilik saham, baik di Lapindo Brantas dan tivi 'merah', dimana ternyata dikuasai oleh grup yang sama (bahkan berkeluarga), selanjutnya dilihat sekilas bagaimana pemberitaan tivi 'merah' tentang bencana lumpur di Sidoarjo. Seperti yang sudah di tulis di atas, secara kuantitatif, porsi pemberitaan tivi 'merah', Sabtu (29/05/10), sekitar pukul 13.00 WIB, lebih sedikit mengangkat pemberitaan mengenai Lapindo: tidak lebih dari dua topik. Secara kualitatif, isi berita tivi 'merah' cenderung deskriptif, dan lebih ditekankan kepada 'human interest' saja.
Komposisi kepemilikan saham dan pemberitaan (tivi 'biru')
Selanjutnya beralih ke tivi 'biru'. Tivi Biru dimiliki oleh Media Group, suatu kelompok usaha media yang dipimpin oleh Surya Paloh. Pada awalnya, komposisi kepemilikan saham tivi 'biru' adalah Surya Paloh (75%), dan PT. Bimantara Citra Tbk. (25%). Sejak Juni 2003, Bimantara menjual sahamnya ke PT Centralindo Pancasakti Cellular. Porsi kepemilikan saham tivi 'biru' menjadi Surya Paloh (75%), dan PT Centralindo Pancasakti Cellular (25%). Namun demikian, Centralindo juga dikuasai oleh Surya Paloh. Dengan demikian, Secara de facto, Surya Paloh menguasai 100% saham tivi 'biru'.
Media Grup juga memiliki anak perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, yaitu PT Surya Energi Raya (PT SER). PT SER juga merupakan investor mitra Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemerintah Kabupaten Bojonegoro yakni PT Asri Dharma Sejahtera (ADS) dalam pengelolaan Participating Interest (PI) tambang minyak Blok Cepu. Selain Media Group, Surya Paloh juga merintis usaha Catering sendiri dan mendirikan PT Indocater. Selain itu ia menjabat sebagai Direktur Link Up Coy Singapore, yang bergerak di bidang perdagangan. Hampir sama dengan Bakrie, Paloh memiliki beberapa cabang usaha. Namun demikian, bedanya, tidak terdengar dan tidak terlihat apakah cabang usaha yang dimiliki Paloh berkaitan langsung dengan permasalahan yang ada di Sidoarjo itu.
Setelah melihat komposisi kepemilikan, lanjut ke pemberitaan teve 'biru' tentang empat tahun bencana lumpur Lapindo pada waktu penayangan yang hampir sama dengan tivi 'merah'. Seperti yang juga udah ditulis di atas, secara kuantitatif, tivi 'biru' menyajikan berita dengan cukup komprehensif diliat dari beragamnya topik serta durasi pemberitaan yang cukup lama. Secara kualitatif, atau bobot isi berita, dalam pemberitaan si tivi 'biru' ada usaha untuk mempertanyakan masalah yang berlarut-larut di Lapindo. Mulai dari masalah pengungsi yang belum mendapat ganti rugi, hingga pihak yang seharusnya bertanggungjawab mengenai permasalahan yang ada di Lapindo. Secara kuantitatif dan kualitatif, pemberitaan tivi 'biru' lebih beragam dan komprehensif dibandingkan tivi 'merah'.
Semacam Curhat
Pertanyaan lebih lanjut, apakah melihat kondisi kepemilikan tivi 'merah' dan tivi 'biru' menunjukkan 'sesuatu'? khususnya dalam hal pengaruhnya bagi pola pemberitaan tentang empat tahun bencana lumpur Lapindo? menurut saya ada, dan untuk membuktikannya memang perlu usaha lebih lanjut: analisis isi kuantitatif; untuk menangkap frekuensi pemberitaan dan kecenderungan pemberitaan, analisis isi kualitatif; untuk mengungkap isi pesan yang tersirat, penelitian organisasional menyangkut kondisi redaksional dan perusahaan, serta analisis ekonomi-politik media untuk melihat bagaimana faktor kepemilikan media mempengaruhi rutinitas media massa itu sendiri. Berbagai level penelitian itu sepertinya bisa dielaborasi untuk menggambarkan kondisi media dan pengaruh proses serta relasi sosial dalam pemberitaan secara lebih utuh dan menyeluruh. Saya sadar, tulisan saya ini adalah tulisan yang ompong; semata-mata didasarkan atas pengamatan sekilas, tanpa ada verifikasi melalui serangkaian tata cara penelitian yang ketat. Maklum, pengangguran.
Namun demikian, sekaligus sebagai penutup tulisan bagian kesatu ini, saya teringat mengenai definisi berita yang secara tidak langsung menggambarkan bagaimana media massa tidak terlepas dari pengaruh kepentingan-kepentingan:
Berita mengandung simbol dan imej yang maknanya dapat mempengaruhi khalayak . Namun demikian, dalam industri media, berita juga merupakan salah satu komoditi yang berfungsi untuk mendapatkan nilai-lebih atau profit. Mosco (2009) mencatat:
“Capital turns labor power into a newspaper article or column which, along with other stories and advertising, forms a packaged product. It sells the newspaper package in the marketplace and, if it succesful, earns a profit or surplus value, which it can then invest by expanding its newspaper business or by investing in any other venture that promises additions to capital.”
Di industri media, berita mengalami sebuah proses komodifikasi atau proses merubah dan menambahkan nilai pada barang dan jasa, yang sebelumnya diukur berdasarkan nilai-guna, menjadi komoditi yang diukur berdasarkan nilai-tukar. Dalam mode produksi kapitalis, tujuan proses komodifikasi tidak terbatas pada penciptaan nilai-tukar saja, tetapi juga pada penciptaan nilai-lebih atau profit. Adanya orientasi terhadap profit itu disebabkan oleh kekuatan kapital atas kontrol terhadap alat produksi, salah satunya, dalam perspektif komunikasi, seperti kepemilikan saham atas perusahaan media . Dengan kata lain, selain memiliki nilai-guna dalam hal memberi informasi kepada khalayak, berita sebagai sebuah nilai-tukar berada dalam kondisi yang juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi pemilik media dan penentu kebijakan.
* Bahkan dengan berita, audiens juga menjadi pekerja gratisan bagi media massa (kuantitas jumlah audiens benar-benar berguna bagi media massa untuk dijual kepada pengiklan).
======================
Bandung, 29 Mei 2010. Tulisan ini saya dedikasikan untuk mantan wartawan (Roesli Lahani Yoenoes) yang putar haluan jadi penjual buku, dan menolak menjual buku tentang menulis kepada saya di pelataran mesjid Istiqamah, Bandung, di waktu lampau. "Menulis harus diiringi dengan keinginan, ga boleh asal-asalan" alasannya. (kumaha deui atuh, pak, da kieu we kami mah; pangangguran nu asal-asalan).
Selasa, 25 Mei 2010
ngalor-ngidul: kota
Kota bisa menjadi tempat yang asing bagi penghuninya. Padahal jajaran gedung yang menjulang serasa menembus langit beserta papan reklame yang terpasang di kiri dan kanan jalan perkotaan konon adalah simbol kemakmuran sebuah kota. Seperti yang pernah kudengar dari pepatah lama: "kemakmuran sebuah masyarakat dimana corak produksi kapitalis muncul, menampakkan dirinya dalam wujud “an immense collection of commodities" atau mengoleksi komoditi sebanyak-banyaknya.”
Bila ku mengitari kota tempatku tinggal sekarang, begitu banyak papan reklame yang menawarkan produk maupun jasa tertentu. Belum lagi suatu altar bagi para manusia urban bernama mall. Bila melihat itu semua, kota memang terlihat makmur. Banyak produk yang ditawarkan (bahkan terlalu banyak), dan juga hiburan. Dari sisi yang lain, hal itu juga akan berarti ada kesempatan untuk sebuah pekerjaan. Dengan terbukanya kesempatan untuk bekerja, maka akan ada peluang untuk mendapatkan hidup ideal (rumah tipe 54/160, mobil pribadi, keluarga sakinah, dsb). Semakin beragam dan bertambah komoditi yang hadir di pasar, semakin terbuka kemungkinan akan lapangan pekerjaan dan juga harapan akan hidup yang lebih baik melalui kerja.
Kota adalah salah satu tempat dimana beragam komoditi itu diproduksi dan didistribusikan. Dengan begitu, ada harapan di dalam kota. Dan itulah yang umumnya membuat kota selalu didatangi manusia yang mencari harapan setiap tahunnya.
Memenuhi harapan personal tiap individu akan kemakmuran adalah cetak biru untuk desain setiap kota. Namun demikian, kota juga sekaligus adalah sebuah ruang yang paling tidak manusiawi, karena setiap bagian yang ada didalamnya diselaraskan dengan intensifikasi kerja dunia industri; dengan pemampatan aktivitas yang semakin padat dan bergulir cepat. Jalan layang serta jalan tol yang memotong waktu tempuh dari rumah ke kantor, pembangunan apartemen di pusat kota yang dekat dengan area bisnis, hingga pelebaran jalan raya untuk memperlancar arus modal yang sempat tersumbat (truk kontainer yang sering lewat rupanya membuat arus jalan raya macet dan lahan warga yang harus dikorbankan melalui persuasi bernama kompensasi).
Fasilitas dan kemudahan yang ada di kota pada akhirnya adalah fasilitas dan kemudahan yang didirikan dengan fondasi yang sakit. Tujuannya adalah melekatkan individu-individu kepada poros kapital yang berputar semakin cepat dan intens. Namun kecepatan dan intensitas yang bukan semata-mata untuk kemudahan manusia sendiri, melainkan penggenjotan nilai-lebih.
Di sisi lain, ada kita, manusia yang bergerak mengikuti ritme kecepatan yang tiada habisnya itu. Pada akhirnya, seringkali kehidupan di kota berputar menjadi terlalu asing. Jalan layang tidak menjadi jaminan perjalanan menjadi nyaman; pikiran melayang kepada tugas yang belum diselesaikan. Ada sebuah taman di tengah kota; tetapi kita begitu terburu-buru. Rumah menjadi tempat singgah, bukan rumah itu sendiri.
Di dalam kota kita mengikuti arus. Terpana sekaligusterpengaruh oleh kemakmuran dalam wujud fisikal. Sementara begitu sulitnya untuk berusaha menembus wujud fisikal dan melihat relasi sosial yang rumit antara agensi dari dua kelas yang kontras, ketika pikiran kita sendiri dilelahkan dengan denyut nadi perkotaan.
Tetapi kita terus menghirup nafas kehidupan, menjalaninya dari hari kehari. Betapapun lelahnya.
===================================================================
Bila ku mengitari kota tempatku tinggal sekarang, begitu banyak papan reklame yang menawarkan produk maupun jasa tertentu. Belum lagi suatu altar bagi para manusia urban bernama mall. Bila melihat itu semua, kota memang terlihat makmur. Banyak produk yang ditawarkan (bahkan terlalu banyak), dan juga hiburan. Dari sisi yang lain, hal itu juga akan berarti ada kesempatan untuk sebuah pekerjaan. Dengan terbukanya kesempatan untuk bekerja, maka akan ada peluang untuk mendapatkan hidup ideal (rumah tipe 54/160, mobil pribadi, keluarga sakinah, dsb). Semakin beragam dan bertambah komoditi yang hadir di pasar, semakin terbuka kemungkinan akan lapangan pekerjaan dan juga harapan akan hidup yang lebih baik melalui kerja.
Kota adalah salah satu tempat dimana beragam komoditi itu diproduksi dan didistribusikan. Dengan begitu, ada harapan di dalam kota. Dan itulah yang umumnya membuat kota selalu didatangi manusia yang mencari harapan setiap tahunnya.
Memenuhi harapan personal tiap individu akan kemakmuran adalah cetak biru untuk desain setiap kota. Namun demikian, kota juga sekaligus adalah sebuah ruang yang paling tidak manusiawi, karena setiap bagian yang ada didalamnya diselaraskan dengan intensifikasi kerja dunia industri; dengan pemampatan aktivitas yang semakin padat dan bergulir cepat. Jalan layang serta jalan tol yang memotong waktu tempuh dari rumah ke kantor, pembangunan apartemen di pusat kota yang dekat dengan area bisnis, hingga pelebaran jalan raya untuk memperlancar arus modal yang sempat tersumbat (truk kontainer yang sering lewat rupanya membuat arus jalan raya macet dan lahan warga yang harus dikorbankan melalui persuasi bernama kompensasi).
Fasilitas dan kemudahan yang ada di kota pada akhirnya adalah fasilitas dan kemudahan yang didirikan dengan fondasi yang sakit. Tujuannya adalah melekatkan individu-individu kepada poros kapital yang berputar semakin cepat dan intens. Namun kecepatan dan intensitas yang bukan semata-mata untuk kemudahan manusia sendiri, melainkan penggenjotan nilai-lebih.
Di sisi lain, ada kita, manusia yang bergerak mengikuti ritme kecepatan yang tiada habisnya itu. Pada akhirnya, seringkali kehidupan di kota berputar menjadi terlalu asing. Jalan layang tidak menjadi jaminan perjalanan menjadi nyaman; pikiran melayang kepada tugas yang belum diselesaikan. Ada sebuah taman di tengah kota; tetapi kita begitu terburu-buru. Rumah menjadi tempat singgah, bukan rumah itu sendiri.
Di dalam kota kita mengikuti arus. Terpana sekaligusterpengaruh oleh kemakmuran dalam wujud fisikal. Sementara begitu sulitnya untuk berusaha menembus wujud fisikal dan melihat relasi sosial yang rumit antara agensi dari dua kelas yang kontras, ketika pikiran kita sendiri dilelahkan dengan denyut nadi perkotaan.
Tetapi kita terus menghirup nafas kehidupan, menjalaninya dari hari kehari. Betapapun lelahnya.
===================================================================
Bandung, 24 Mei 2010. Ketika duduk bersama kawan di trotoar yang terletak di pusat kota sambil memilih menyeruput bajigur alih-alih kopi kapal api seharga Rp 10.000. Sebelum menikmati senja di Bandung, sebelum proyek "eksplorasi menempati ruang kota dengan cara pamalesan dan kontraproduktif untuk ukuran orang kantoran" ini dimulai, kami tidak pernah menyadari apa yang terdapat di sebuah daerah urban: bahwa ada fase yang berubah, dan kita mencari jalan untuk beradaptasi dengannya. Bahwa kesepian dan keterasingan yang hadir saat ini adalah sesuatu yang harus diterima, dan mulai belajar untuk mengenalinya.
Rabu, 19 Mei 2010
.prelude.
Para pemikir berdebat. Saling mengkritisi teori dan paradigma yang konon menentukan bagaimana dunia berjalan saat ini. Tak pelak beberapa bahkan menyerang ke jantung ontologi filsafat itu sendiri. Bahwa esensi makrokoskmos pun adalah sesuatu yang bodoh untuk dibicarakan, karena prinsip verifikasi esensi itu sendiri omong kosong alias meragukan. Beberapa pemikir lantas menjadi nihilistik: tidak ada keabsahan, apa yang riil adalah pengalaman yang bersifat temporer. Akan ada pemahaman yang lain. Cara pandang yang lain. Jadi inilah yang ditawarkan: biarkan dirimu bermain-main dan terbawa hanyut.
Dan inilah yang ada di benakku saat ini: bahwa mereka, para pemikir itu, hanyalah orang-orang yang tidak pernah memikirkan bagaimana cara mereka agar bisa makan. Untuk urusan itu, setidaknya mereka tidak perlu khawatir. Bahkan kedai seperti di pinggiran Kota Paris tempat mereka membicarakan berbagai macam ide-ide abstrak dengan gaya penuturan bahasa langit menunjukkan dari lapisan sosial mana mereka datang.
Dari tempat seperti demikian, mungkin tidak akan terdengar apa yang dibicarakan Usep tentang status pegawai kontraknya. Status yang menunjukkan bagaimana sistem pembagian kerja yang semakin mengkhusus itu, dalam mode produksi kapitalis, pada akhirnya menjadi pembunuh bagi manusia. Pembunuh, karena manusia bisa didepak kapan saja untuk digantikan dengan manusia yang lain. Pembunuh, karena dengan pola demikian, manusia menjadi impersonal: dia bukan apa-apa, selain operator berjiwa baut yang bisa dicari di toko material kapan saja setelah baut itu aus.
Usep masih ada hingga saat ini, dan permasalahannya masih relevan untuk diperbincangkan: mode produksi kapitalisme.
Menjadi hal yang memalukan bila pemikir yang bergulat dengan ide-ide besar,abstrak, dan 'keren', itu bila pada akhirnya hanya berleha-leha menikmati moccachino sambil mengagungkan dirinya sendiri sebagai bagian dari lapisan intelektual. Agen yang baginya berarti menandakan majunya sebuah peradaban. Sementara dirinya menjadi suatu bagian yang eksklusif, memisahkan diri dari orang-orang yang justru membutuhkan pertolongannya. Sungguh memalukan. Karena ide dan pengetahuan bukanlah dimaksudkan untuk membanggakan diri, tetapi untuk merubah realitas sosial yang timpang.
============
Dan inilah yang ada di benakku saat ini: bahwa mereka, para pemikir itu, hanyalah orang-orang yang tidak pernah memikirkan bagaimana cara mereka agar bisa makan. Untuk urusan itu, setidaknya mereka tidak perlu khawatir. Bahkan kedai seperti di pinggiran Kota Paris tempat mereka membicarakan berbagai macam ide-ide abstrak dengan gaya penuturan bahasa langit menunjukkan dari lapisan sosial mana mereka datang.
Dari tempat seperti demikian, mungkin tidak akan terdengar apa yang dibicarakan Usep tentang status pegawai kontraknya. Status yang menunjukkan bagaimana sistem pembagian kerja yang semakin mengkhusus itu, dalam mode produksi kapitalis, pada akhirnya menjadi pembunuh bagi manusia. Pembunuh, karena manusia bisa didepak kapan saja untuk digantikan dengan manusia yang lain. Pembunuh, karena dengan pola demikian, manusia menjadi impersonal: dia bukan apa-apa, selain operator berjiwa baut yang bisa dicari di toko material kapan saja setelah baut itu aus.
Usep masih ada hingga saat ini, dan permasalahannya masih relevan untuk diperbincangkan: mode produksi kapitalisme.
Menjadi hal yang memalukan bila pemikir yang bergulat dengan ide-ide besar,abstrak, dan 'keren', itu bila pada akhirnya hanya berleha-leha menikmati moccachino sambil mengagungkan dirinya sendiri sebagai bagian dari lapisan intelektual. Agen yang baginya berarti menandakan majunya sebuah peradaban. Sementara dirinya menjadi suatu bagian yang eksklusif, memisahkan diri dari orang-orang yang justru membutuhkan pertolongannya. Sungguh memalukan. Karena ide dan pengetahuan bukanlah dimaksudkan untuk membanggakan diri, tetapi untuk merubah realitas sosial yang timpang.
============
Karawang, 19 Mei 2010. Suatu hari dengan sawah yang terbentang luas dekat sebuah perkampungan, dan jalan bebas hambatan untuk arus modal di sisi lainnya yang jauh disana (namun lambat laun kupikir akan sampai juga ke bentangan sawah itu).
Langganan:
Postingan (Atom)