Sebenarnya saya selalu skeptis terhadap buku-buku ‘motivasi’ dan ‘pengembangan’ diri. Sebutlah buku-buku Dale Carnagie atau Stephen R. Covey, misalnya. Yah, pokoknya buku-buku yang isinya selalu ada embel-embel ‘bagaimana meraih teman sebanyak mungkin’, ‘bagaimana membuat hidup Anda bahagia selalu’…hal-hal seperti itulah. Menurut saya, motivasi-motivasi dan pengembangan diri seperti itu terasa hanya memberikan solusi-solusi praktis saja. Dan ujung-ujungnya, motivasi dan pengembangan diri yang ditawarkan itu seringkali diarahkan kepada keuntungan finansial. Bagaimana meraih profit sebanyak-banyaknya. Jadi, tingginya profit seakan-akan menjadi parameter bagaimana sebuah motivasi dan pengembangan diri itu seharusnya diarahkan. Hal seperti itu, menurut saya, bukan perkara substansif dalam meraih motivasi dan mengembangkan diri secara maksimal.
Namun begitu, hal-hal yang berbau motivasi dan pengembangan diri itu juga begitu digemari oleh sebagian masyarakat di Indonesia. Sebutlah munculnya para motivator akhir-akhir ini yang sering saya dengar, seperi Tung Desem Waringin. Orang ini pernah membuat heboh dengan membuang-buang uang sebanyak seratus juta rupiah di sebuah lapangan luas di Serang, Banten, melalui pesawat terbang. Sontak, orang-orang yang berkerumun di lapangan itu saling berebut mengejar uang yang melayang-layang dihamburkan dari pesawat itu. Banyak aksi saling sikut tanpa melihat kanan-kiri, karena, tentu, uang yang melayang-layang itu terlalu mubazir untuk diacuhkan.
Belakangan diketahui, bahwa tindakannya itu hanyalah sebagai salah satu cara mempromosikan buku terbarunya. Bukunya itu tentang marketing. Judulnya lupa lagi. Tapi, pastinya tidak akan jauh dari ‘Bagaimana Anda Meraih Uang Sebanyak-Banyaknya sampe Mampus’. Tindakan Tung Desem Waringin itu sempat dikecam oleh beberapa pihak. Salah satunya dalam rubrik opini majalah Tempo edisi 9-15 Juni 2008.
Begini tulisan yang tercantum di Tempo: “Tung Desem Waringin bukanlah anak kecil. Ia motivator yang konon nomor satu di negeri ini. Ia terpelajar dan tentu jauh dari sifat anak-anak kecil yang suka kurang ajar, meskipun Tung harus banyak lagi belajar. Terutama belajar menaruh iba kepada orang miskin tanpa menjadikan kemiskinan rakyat sebagai obyek promosi atau pemuas diri”.
Nah, itulah Tung. Konon, cara yang ia lakukan itu adalah taktik marketing yang diulas dalam buku barunya itu. Jadi, intinya, bagaimana membuat masyarakat luas shock akan produk yang akan dipasarkan. Sehingga masyarakat luas akan melihat kepada produk yang ditawarkan tersebut. Menurut saya, bila memang mempunyai pemikiran seperti itu, Tung berhasil. Setidaknya kegiatannya itu diliput oleh media massa dan bahkan diulas di rubrik opini Tempo. Setidaknya Tung berhasil mempraktekkan teorinya tentang merebut perhatian massa, walaupun caranya bodoh.
Lalu, selain Tung, ada motivator lainnya, yakni Mario Teguh. Mario memiliki acaranya sendiri di MetroTv. Dia adalah seorang motivator yang menyuguhkan penampilan sedikit teaterikal. Terutama bila membicarakan bagaimana ia mempresentasikan ide-idenya seputar motivasi dan pengembangan diri. Perhatikan intonasi suaranya yang berubah-rubah saat presentasi. Ada penekanan-penekanan tertentu dalam intonasinya tersebut yang bisa menarik perhatian khalayak yang mendengarkannya (pastinya bukan saya).
Munculnya ‘profesi motivator’ di jaman modern ini, tentu menunjukkan bagaimana beberapa masyarakat memang tertarik terhadap hal-hal berbau motivasi dan pengembangan diri tersebut. Hal itu juga menjelaskan, kenapa buku-buku praktis pengembangan diri selalu laku dipasaran. Bahkan, dalam sampul bukunya seringkali kita melihat stiker bertuliskan ‘best-seller’.
Melihat tingginya antusiasme khalayak terhadap hal-hal berbau pengembangan diri serta munculnya profesi motivator di jaman modern ini, saya merasa, bahwa ada sebuah cermin yang merefleksikan keadaan masyarakat Indonesia saat ini. Fenomena munculnya ‘profesi motivator’ dan juga digemarinya buku-buku pengembangan diri menunjukkan bagaimana rutinitas dunia industri yang kapitalistik dan tuntutan yang ditimbulkannya telah menciptakan ruang hampa dalam diri manusia. Ruang hampa itulah yang menjadi salah satu masalah manusia modern dan mereka berusaha mati-matian untuk mengisinya kembali. Dan salah satu caranya adalah dengan mencari-cari ekstase melalui buku-buku pengembangan diri dan, ya, para motivator itu. Itu juga, bagi saya, memberi suatu siratan, bahwa manusia tidak bisa lepas dari pencarian ekstase spiritual. Apapun bentuk ekstase spiritual itu.
Kecepatan dalam Dunia Industri Kapitalisme
Dalam dunia industri, ‘kecepatan’ menjadi tuhan yang baru. Konsekuensinya, tindak laku manusia pun berorientasi pada bagaimana tuntutan kecepatan itu terpenuhi dengan seefisien mungkin. Maka dari itu, ketergesaan dan kepanikan massal menjadi hal yang lumrah terjadi. Akibatnya, karena tidak ingin tertinggal oleh kecepatan itu sendiri, muncullah gaya hidup instan. Gaya hidup yang mengutamakan hal-hal praktis (pikirin juga itu ‘Bahasa Jurnalistik’). Hal seperti itu juga mengakibatkan manusia kehilangan ‘kedalamannya’ sendiri. Tidak ada waktu bagi manusia untuk berkontemplasi dengan dirinya sendiri di jaman yang menuntut segala sesuatunya berjalan serba praktis dan efisien ini. Terlalu banyak tuntutan yang harus diperhatikan.
Disisi lain, ‘kecepatan’ itu menciptakan sebuah ruang hampa dalam diri manusia yang menggelutinya. Seperti yang pernah diutarakan oleh Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Dunia yang Dilipat: durasi dan tempo kehidupan semakin cepat, akan tetapi semakin cepat bagi sebuah kehampaan dan fatalisme. Sebab, hidup dihabiskan untuk sebuah siklus kerja/hiburan yang berjalan dengan tempo yang tinggi, sehingga memerangkap manusia dalam irama percepatannya, dan sebaliknya, makin mempersempit waktu dan ruang bagi perjalanan kehidupan yang bermakna dan bernilai luhur. Ekstasi percepatan, di satu pihak, meningkatkan durasi kesenangan, di sisi lain, mempersempit durasi spiritual.
Penjelasan dari Yasraf di atas, buat saya, cukup memberikan landasan ketika memperhatikan trend berbau motivasi saat ini. Kita terasing, hampa, namun begitu, kita butuh sebuah bentuk spiritualitas dalam hidup yang hanya satu kali ini. Namun sayangnya, ‘spiritualitas praktis’ seperti motivasi-motivasi yang disampaikan oleh para motivator dan juga yang tercetak di buku-buku pengembangan diri, masih berorientasi pada pengembangan diri yang, ehm, dangkal (bila tidak ingin disebut ‘semu’).
Masalahnya begini, segala khotbah mengenai pengembangan diri dan gambaran mengenai pribadi yang sukses tersebut, selalu dibingkai dalam konteks dunia kerja yang kapitalistik. Ambil contoh misalnya buku ‘7 Habits of Highly Asshole People’ atau ‘Kiat Sun Tzu untuk Menjadi Mucikari Teladan’. Memang dalam buku itu dipaparkan mengenai pribadi yang tangguh, positif, blah-blah-blah. Tetapi, semua itu ujung-ujungnya selalu dalam konteks ‘bagaimana kamu mengambil peluang secara cepat untuk meraup profit sebanyak-banyaknya’. Manusia ingin untung, wajar. Tetapi, ‘untung’ dalam konteks dunia kerja…nanti dulu. Menjadi pribadi sukses dalam dunia kerja bukan berarti kamu sesukses itu. Banyak manajer yang berhasil membawa perusahaannya ke tangga kesuksesan, tapi ternyata istri/suami di rumah menganggap sebaliknya. Bahkan anaknya sendiri pun malah mencibirnya. Atau, banyak pula sebuah perusahaan yang sukses, selalu ekspansi kemana-mana, akan tetapi seringkali tidak memperdulikan hak-hak ulayat.
Lalu, masalah lainnya adalah, bahwa hal-hal yang berbau motivasi itu juga seringkali mendikte seseorang untuk berubah menjadi sesuatu yang terkesan artifisial. Menurut saya, pengembangan diri dan menjadi pribadi yang sukses bukanlah melalui seperangkat tata cara ‘kamu harus begini’ atau ‘kamu harus begitu’. Dalam pengembangan diri, tidak ada yang praktis dan instan. Pengembangan diri, bagi saya, tidak melulu diperoleh melalui sebuah jawaban-jawaban praktis yang tersedia begitu saja dalam sebuah buku atau khotbah para motivator, tetapi seringkali melalui pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan.
Dan para filsuf jaman Yunani kuno itu bertanya-tanya dan itulah yang membuat diri mereka berkembang. Mereka menghabiskan waktu bertahun-tahun menyepi dari keramaian. Mempertanyakan segala sesuatunya. Hasilnya, pemikiran-pemikiran filsuf jaman Yunani kuno itu setidaknya memberikan pengaruh dan landasan yang besar terhadap perkembangan kebudayaan dan peradaban dunia hingga saat ini. Lalu, lihat riwayat nabi kaum muslim, yakni Muhammad. Ia mempunyai kebiasaan menyepi di gua hira tiap tahun. Muhammad menyepi ke gua Hira pastinya bukan untuk sekadar bengong. Tetapi, pasti ada sesuatu yang dipikirkannya. Oleh karena itu, Muhammad Husein dalam buku tentang biografi Muhammad menyebut, periode bertapa ke gua hira itu adalah proses pematangan berpikir Muhammad yang pada gilirannya membawa dia menjadi seorang rasul atau utusan untuk semua orang.
Tentu saja setiap orang memiliki caranya sendiri-sendiri mengenai bagaimana agar dirinya bisa diselamatkan dari kesedihan hidup. Penyelamatan yang saya lakukan sangat mungkin tidak sesuai dengan jenis penyelamatan yang sering Anda lakukan selama ini. Klise memang: semuanya tergantung pada metode yang paling sesuai untuk dirinya sendiri. Terdengar sangat liberal. Dan saya memang tidak pernah memperdulikan apapun sejauh ini. Wallahualam.