Minggu, 28 September 2008
Jumat, 26 September 2008
SELAMAT ULANG TAHUN, BANDUNG!
25 September 2008 ini Kota Bandung merayakan Ulang Tahunnya yang ke-198. Hm, kotaku tercinta lumayan tua. Hampir nyentuh angka dua ratus! Di ulang tahun Kota Bandung ini saya yakin bakal banyak orang Bandung yang mengeluarkan keluhan. Mulai dari ruas jalan yang menjadi tidak sebanding dengan banyaknya jumlah kendaraan, sehingga berdampak pada kemacetan di sana-sini, khususnya pada akhir pekan. Kondisi jalan raya yang tidak layak. Polusi. Sanitasi. Lalu, masalah sampah yang tak kunjung selesai.
Di umur yang mengijak angka 198, Kota Bandung tentunya tidak bisa menghindari berbagai perubahan yang terjadi dan seiring dengan perubahan itu, tentunya ada masalah yang berdatangan. Saya baca Kompas Jabar (06/9), disitu disebutkan, bahwa dari 362 warga Bandung yang dimintai pendapatnya tentang persoalan utama yang paling mendesak untuk diatasi oleh Pemkot Bandung, sebanyak 22 % menganggap sampah adalah persoalan utama dan yang paling mendesak bagi Kota Bandung. Sisa dari responden itu menganggap persoalan utama dari Kota Bandung ada pada kemacetan (11,9%), ketertiban jalan/lalu lintas (9,9%), infrastruktur (8,6%), pengangguran (6,9), pedagang kaki lima (3,9), pendidikan (3,9), keamanan (2,8%), tata kota (2,8%), ekonomi (2,2%), transportasi (2,2%), lain-lain (19,3%) dan terakhir, tidak tahu/tidak jawab (3,6%).
Survey Litbang Kompas itu hanyalah cermin salah satu masalah dari sekian banyak masalah. Jujur, waktu saya baca edisi khusus Kompas Jabar itu yang saya tangkap adalah kesan tentang perkembangan kota ini yang menjadi sedemikian suram. Pelbagai masalah menumpuk. Semua masalah bermuara pada daya kapasitas Kota Bandung untuk memikul beban dari pertumbuhan masyarakatnya yang timpang. Kota Bandung kewalahan memfasilitasi naiknya lonjakan penduduk secara drastis.
Menurut Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin, seperti yang telah dikutip dari Kompas Jabar (06/9), menyebutkan, bahwa pada tahun 1950, sebanyak 600.000 jiwa menetap di Kota Bandung seluas 8.000 hektar. Lalu, pada tahun 2008, penduduk kota ini mencapai sekitar 3 juta orang yang menempati wilayah seluas 17.000 hektar. Kenaikan yang sangat drastis. Dari lonjakan penduduk yang drastis tersebut, menurut saya, masalah melebar kemana-mana. Pelebaran masalah itu bisa dicerminkan salah satunya dari apa yang telah dilakukan oleh Litbang Kompas mengenai masalah yang paling mendesak bagi Kota Bandung itu tadi.
Apa yang saya rasakan selama tinggal di kota ini, kita selaku warga Bandung memang tidak bisa mengantisipasi lonjakan penduduk sebagai dampak urbanisasi. Pembangunan yang terjadi selama ini malah seakan-akan menitikberatkan pada sektor pariwisata dan jasa saja. Seperti menjamurnya outlet-outlet busana atau mall-mall terpandang saja, tetapi untuk masalah pranata-pranata kota dan lingkungannya tidak diberi perhatian penuh. Saya memang tidak belajar Planologi, tetapi setidaknya, sebelum membangun sebuah outlet/butik atau apalah, ya, akses penunjang sarana wisata - seperti tata kota dan jalan raya, misalnya – dibenahi dulu. Jangan membangun sarana wisata belanja, seperti outlet atau mall, tetapi jalan raya tetap gitu-gitu aja, sempit dan banyak lobangnya. Jeblog. Saran saya, daripada memusatkan perhatian pada sektor pariwisata, kita seharusnya memusatkan perhatian dulu kepada masalah yang dirasa oleh sebagian besar penduduk Kota Bandung, seperti pembenahan tata kota, masalah penumpukan sampah, perbaikan ruas jalan yang amburadul dan masalah penyesuaian jumlah penduduk dengan karakteristik Kota Bandung. Itu aja dulu. Kita mulai dari dalem dulu. Kalo masalah dari dalem itu udah bisa dibenahi, saya yakin orang-orang yang dateng ke Bandung juga akan merasa nyaman. Kalo orang-orang udah ngerasa nyaman sama keadaan Kota Bandung, income juga ‘kan setidaknya bisa dipancing. Barulah kita bisa memusatkan perhatian pada sektor pariwisata.
Sok aja pikir, gimana mau nyaman, kalo wisatawan dateng mau belanja, tapi jalan utama buat ke butik kondang itu ternyata amburadul? Belum kemacetannya, ya, bau sampah lagi di sepanjang jalan. Yang ada malah gerutuan, suara sumbang kekesalan. Bukan tidak mungkin, si wisatawan itu bakal mengumpat dan janji sama dirinya sendiri gak bakalan dateng lagi ke Bandung seumur hidupnya. Bisa aja kan? Hilanglah itu pemasukan, jadinya.
Selain masalah, setidaknya masih ada hal lainnya yang mengundang decak kagum dan memercikan harapan dari Kota Bandung ini, khususnya bila bicara tentang kreatifitas sebagian penduduknya. Ya, langsung aja disebut: Helarfest. Kata helar itu sendiri diambil dari bahasa Sunda yang artinya ‘menampilkan potensi untuk mendapatkan perhatian dari sekeliling’ (Tubagus Fiki Chikara Satari, Tempo, edisi 11-17 Agustus 2008). Majalah Tempo di edisi itu juga menulis Helarfest sebagai festival yang mirip keramaian rakyat. Di festival ini, berbagai atraksi seni, tradisional sampai eskperimental dijorjorin. Ada pemutaran film, pameran arsitektur, hingga festival jazz. Festival ini diselenggarakan oleh anak muda yang tergabung dalam Bandung Creative City Forum. Helarfest saat ini telah usai diselenggarakan. Waktu penyelenggaraannya jatuh selama bulan Juli-Agustus 2008 kemarin yang memakai tempat secara terpisah, diantaranya di common room, pvj, taman budaya Dago Tea House, Selasar Sunarya, Tahura Juanda, Tegaleva, Purelounge, GOR Saparua, Balai Kota Bandung, PLN, dll.
Saya sendiri memaknai Helarfest sebagai kulminasi dari pergerakan komunitas kreatif (seni, musik, clothing dll) yang telah hadir semenjak era ’90-an. Di tahun-tahun ‘90an pergerakan kreatif ini mulai bertumbuhan dan masih berjalan secara sporadis, menurut saya. Mulai dari Reverse (RIP), 347 yang masih di Dago, Riotic di Cicadas, PI (?)… dan ga tau entah apa lagi usaha kreatif maupun komunitas yang ada di Bandung saat itu. Hanya saja, sejauh yang saya amati pada tahun ’90-an itu, berbagai komunitas memang saling mengenal, namun untuk usaha bisnisnya masih sporadis. Berupa letupan-letupan. Walaupun letupan – bersuara kecil – namun ia masih terdengar. Nah, kalo situasi sekarang, saya liat mereka, komunitas-komunitas itu, sudah berkembang cukup pesat (omzetnya sampe ada yang miliaran) dan yang lebih penting lagi, sudah mulai mengorganisir dirinya masing-masing.
Nah, saya ingin menekankan pada bagian ini: ‘mengorganisir’. Kata ini, ‘mengorganisir’, mengandung sebuah aktivitas yang berbahaya sekaligus kreatif. Maksud dari berbahaya adalah apabila aktivitas tersebut ditempatkan dalam konteks dikotomi antara pemerintah dan penduduk sebuah kota, dimana dalam hal ini, pemerintah adalah pihak yang seringkali mengabaikan potensi yang seringkali terdapat pada sebagian penduduk tersebut.
‘Mengorganisir’ bisa menjadi senjata yang ampuh bagi pihak yang termajinalkan, ketika kekuasaan tidak lagi ambil perduli terhadap keadaan mereka. Dengan ‘mengorganisir’ sebuah kelompok perlawanan atau kreatif atau apapun, maka ada satu keuntungan yang dapat diraih, yaitu kemandirian. ‘Mengorganisir’ berarti bahu-membahu memperkuat geraklaju kelompok atau dalam hal ini bisa disebut self empowerment tanpa tergantung kepada pihak yang memiliki kekuasaan absolut. Kelompok yang ‘mengorganisir’ dirinya akan menciptakan kekuasaan sendiri untuk bisa meraih tujuannya dibandingkan mereka yang berjalan tercerai berai.
Itulah yang saya maknai dari pagelaran Helarfest kali ini, bahwa sebagian penduduk Kota Bandung sedang menuju proses ‘mengorganisasir’ sebuah pergerakan yang akan membawa kepada satu tujuan, yaitu membuat Kota Bandung sebagai kota kreatif. Emerging Creative City. Hal lain yang menarik dari pagelaran ini adalah, bahwa event ini tidak dimotori oleh Pemkot Bandung, dimana menurut saya hal itu adalah hal yang baik. Setidaknya hal itu bisa menunjukkan kepada Pemkot Bandung sekaligus menginspirasi penduduk Kota Bandung, bahwa penduduk Kota Bandung bisa bereksperimen terhadap pembangunan yang terjadi di Kota Bandung tanpa campur tangan pemerintah kota. Masyarakat sebuah kota, khususnya Bandung, bisa menjadi mandiri dan kuat dengan cara mengorganisir kelompok atau komunitasnya, walaupun pemerintah sendiri tidak memperdulikannya. Ini bisa menjadi tamparan telak bagi pemerintah sekaligus peringatan: kami tidak perlu pemerintahan atau bentuk otoritas apapun yang apatis dan sewenang-wenang.
Oukaylah. Kepanjangan, nih. Akhir kata, selamat Ulang Tahun, Bandung. Cinta selalu lah sama Kota Kembang. Oh, iya, dalam rangka ultah Bandung ada baiknya bila kalian semua kesini.
Selamat menikmati ulang tahun, semuanya. Godspeed.
Selasa, 23 September 2008
yang akhir-akhir ini ngasih inspirasi
Inspirasi pertama dari Enslaved. Band viking black metal asal Norwegia. Musiknya ngasih pencerahan. Pertama kali denger waktu mereka ngeluarin album bertitel 'Isa' di tahun 2004. Denger lagu pertama, 'Lunar Force', bikin stoked. Di tengah-tengah lagu ada semacam hook yang komposisinya ngingetin sama band postmetal-juggernaut, Isis. Black metal tidak pernah terdengar seprogresif dan se-'rock' seperti yang Enslaved lakukan. Mereka mencampur postmetal, progresif sama black metal sekaligus.
Hingga hari ini saya masih ketagihan sama Enslaved. Akhir-akhir ini saya dapat juga album barunya, 'Vertebrae'. Rilisan tahun 2008, paling baru. Sebelumnya saya juga dapet album setelah 'Isa', yaitu 'Ruun' (rilisan tahun 2006). Ketiga album itu jadi masterpiece. Untuk beberapa minggu ini ketiga album itu, khususnya 'Vertebrae', tidak pernah lepas dari winamp. Untuk album 'Vertebrae', musiknya jadi semakin rock. tidak murni black metal. Banyak ngundang pro-kontra juga dari album ini. Tapi, kata saya, sih, musiknya makin seksi. Black metal sendu!ahaha.
WATAIN
Total fukkin blackmetal straight to your black assess!!!Blasphemy as fukk. Band ini benar-benar celaka. Saya baru dapat dari seorang saudara. Ia memberi saya albumnya yang terbaru, Sworn to the Dark. Musiknya kenceng abis. Ala black metal awal, seperti Mayhem dan Gorgoroth. Bener-bener 'jahat': sound gitarnya 'dirty', sehingga ngebuat musiknya seperti angin ribut! bener-bener holocaust... Biasanya, saya tidak suka dengan tipikal black metal yang kencang dan ribut seperti ini. Saya lebih condong ke tipikal U.S. Black Metal, seperti Xasthur, Wolves In the Throne Room, Nachtmystium, Leviathan...yang komposisi musiknya lebih gelap dan kotor. Condong ke ambience. Tapi, untuk black metal seperti Watain ini, mungkin sebuah pengecualian. Musik yang mereka mainkan keren! Lalu, dari segi liriknya pun sangat tradisional black metal: semuanya tentang kejahatan dan pengglorifikasian terhadap satanisme. Dari nama albumnya aja udah nunjukkin mencoba untuk sesetan apa mereka. Belum lagi judul-judul lagunya, kaya Storm of the Antichrist, Satan's Hunger, Darkness and Death, The Lights that Burn the Sun...total ada sebelas lagu. Dengan judul-judul keren, seputar satanisme dan kematian. Uh, nampaknya ini akan menjadi playlist saya untuk beberapa bulan.
GOATSNAKE
Boogie-woogie stoner. Apa yang kamu harapkan dari band heavy shit seperti Stoner/doom ini, selain sound super heavy, vokal ala Ozzy campur Stevie Wonder (?) dan riff-riffnya yang monoton, repetitif, tapi memabukkan? Hell, pastinya jadi inspirasi sekaligus influence saya dalam berkarya. Riff-riffnya awesome! Sabbathian all unite, smoke some joint! Slowburn, yeah.
DYLAN CARLSON
Gitaris favorit saya (siapa itu Malmsteem dan Vai?). Dia adalah frontman band orisinal drone bernama Earth. Sebuah band yang menginspirasi juggernaut drone saat ini, yaitu Sunn O))). Dylan Carlson ini kalo maen gitar, selalu terdengar soulful dan gelap. Coba aja cek. Di seksi musik, saya mengupload lagunya, 'Hung From The Moon', yang diambil dari album terbaru mereka The Bees Made Honey in the Lion Skull. Saya ingin melihatnya live suatu saat (kalo bisa terkabulkan). Dia juga ngasih ide ke saya, kalo lagi ngulik-ngulik riff buat Primate.
Penasaran ingin melihat gimana cara bermainnya. Ada satu yang unik dari permainan Carlson. Jadi, dia bermain sangat minimalis. Tidak over pamer skill, seperti gitaris solo bullshit. Ia bermain di area komposisi, daripada memamerkan skill. Terkadang ia main satu tone saja, hanya untuk dipakai durasi lumayan lama. Sekitar tiga menit. Tapi, hell, satu tone yang memabukkan dan berat. Hail doom and drone!
Oh, ya, Earth ini dibentuk pada tahun 1990. Tau siapa di era '90an yang begitu ngefans sama Earth? Yup, Kurt Cobain. Bahkan, Kurt ini ikut menyumbangkan vokal di era awal Earth terbentuk. Selain itu, Dylan juga adalah bandar kokainnya Kurt Cobain. Pertemanan mereka berawal dari situ. Bahkan, Dylan Carlson pernah menjual senjata kepada Cobain yang kemudian oleh Cobain sendiri dipakai untuk bunuh diri. Weird friendship.
STEPHEN O' MALLEY (Soma)
Dia adalah gitaris favorit saya setelah Dylan Carlson. Dia adalah juga former band drone paling sering dibincangkan saat ini, yaitu Sunn O))). Apa yang sangat saya suka dari Soma adalah, bahwa kreatifitasnya tidak mengenal batas. Dia maniak eksperimentasi. Band proyekannya banyak, KTL, Dommedagsnatt, Burning Witch, Burial Temple Trio, Sunn O))) & Boris, dll. Banyak banget, deh. Itu hanya band. Belum solo. Beuh.
Satu hal yang patut diketahui dari Soma bila membicarakannya sebagai seorang gitaris. Dia bukan tipe gitaris konvensional seperti Malsteem atau Vai atau siapa sajalah yang dianggap master kalo maen gitarnya 'berskill' tinggi. Skill disini skill dalam artian jago shredding, licking, tapping, ato apapun. Soma tidak seperti itu. Ia lebih menggunakan gitarnya untuk tujuan pencapaian sound adiluhung daripada mengejar teknik-teknik gitar konvensional. Maka dari itu, setiap proyek Soma selalu berkutat di wilayah ambience, noise dan drone. Oh, ya, doom juga. Hell, I love his art and work! Hail.
Untuk lebih mengenal Soma coba cek ideologic.
KAKI KING
Ah...finally. The cute one. She erase my headache once in the morning.
Rabu, 17 September 2008
Seperti di Dasar Telaga yang Membeku
Hal remeh-temeh sepertinya memang tidak perlu dibicarakan panjang lebar baginya. Sementara begitu banyak orang yakin, bahwa sekadar berbicara ala kadarnya atau berbasa-basi sekalipun itu dirasakan memang perlu. Setidaknya untuk memecah kecanggungan yang ada atau sekadar memenuhi etika sopan santun bermasyarakat. Tetapi ia begitu menikmati kesunyiannya. Bergumul sendiri dengan hal-hal yang berseliweran di dalam benaknya. Terbawa larut dalam kesunyian yang seolah-olah menyatu dengan dirinya. Tanpa harus menghiraukan kehadiran orang lain disekitarnya.
Dengan kesunyian itu, Ia telah hadir dalam kehidupanku begitu lama. Namun bersamaan dengan itu pula aku benar-benar tidak mengenal dirinya. Semakin lama, semakin sering ia hadir, semakin buram juga gambaran utuh mengenai dirinya. Gambar yang tertangkap olehku hanyalah gambar-gambar yang kasar. Menyerupai sketsa. Dalam kertas putih itu hanyalah garis-garis kasar dan arsiran-arsiran mentah yang hanya merefleksikan sebuah kerangka yang belum selesai. Dalam sketsa itu aku hanya menangkap ia yang sedang membaca surat kabar, termenung sendirian, duduk di depan layar komputer dan kebiasaannya ketika makan. Bagiku, itulah gambaran yang tidak utuh dan belum selesai mengenai dirinya.
“Begitulah ia,” beberapa orang berkata padaku, “engkau yang harus memahaminya. Engkaulah yang harus memiliki insiatif untuk bertanya, karena engkau tidak akan mendapatkan apapun darinya bila engkau tidak memulainya lebih dulu.”
Dari dulu dunia memang berputar seperti itu, dalam hati nyeletuk setiap kali orang-orang mengatakan demikian tentang dirinya. Di obrolan sehari-hari juga, apalagi kalau ada kawan yang curhat tentang masalah kawin-mawin, pasti ada makna-makna yang mirip seperti itu: “ada aksi, pasti ada reaksi, bleh”, blah-blah-blah. Tapi tidak bagiku, ketika berada dekat dengannya. Aku tidak berusaha memahaminya dan juga tidak berusaha memulai lebih dahulu seperti yang disarankan orang-orang. Rasa-rasanya, aku malah meleburkan diri dengan kesunyian yang dibawanya. Walaupun sebelumnya tidak ada niatan dariku untuk larut bersama kesunyiannya itu. Aku sadar ikut seret dalam alirannya menuju muara yang entah kapan tercapai. Tidak memulai aksi dan tidak menunggu reaksi. Seperti musik, mengalun.
Suatu waktu di masa yang sudah lewat lama lampau, tidak sengaja aku pernah melihatnya tiba-tiba menangis. Pemandangan yang baru pada masa itu. Aku duduk di belakangnya. Sejenak melihat kedua telapak tangannya menutupi muka sambil menyeka air mata. Kualihkan pandangan ke sekitar, karena sebenarnya aku tidak ingin melihatnya menangis. Orang-orang hilir mudik tak hirau disekitar kami. Orang-orang yang tiba-tiba terasa seperti manekin berjalan bagiku saat itu: terasa tanpa emosi apalagi air mata, mereka hanya hilir mudik. Ku tunggu hingga ia selesai menangis, tanpa mengeluarkan sepatah-kata atau sekadar menenangkannya melalui isyarat non-verbal. Seperti Ia berenang dan aku di sisi aliran sungainya. Melihat sambil menunggunya menepi.
Tidak beberapa lama, ia menoleh kepadaku. Sejenak aku membalas tatapannya, namun mataku kembali menuju lantai. Menunduk. Aku tidak ingin lama-lama melihat dirinya dalam keadaan seperti itu. “Ayo, kita pergi,” suaranya terdengar berat dan serak melalui telingaku.
Ia telah menepi dari sungainya dan penungguanku pun usai.
Siapapun tahu Alun-alun kota Bandung begitu padat oleh jejalan manusia. Ada pengemis, penjual, pengangguran, pengamen. Beragam jenis profesi dan manusia tumpah ruah di situ. Begitu ramai di Alun-alun. Namun, baru kurasakan bagaimana kesunyian itu pekat. Riuh hingar-bingarnya manusia melenyap. Sementara aku dan dirinya berjalan tanpa suara, tanpa pertanyaan tentang peristiwa yang telah terjadi tadi. Namun begitu, tidak ada kecanggungan. Hanya senyap antara aku dan dirinya. Menara Mesjid Agung begitu tinggi seakan-akan menusuk hitamnya langit yang ditinggal cahaya matahari. Lampu mobil dan motor menyorot. Lampu gedung bernyalaan. Kota ini menawarkan peluang bagi manusia yang ingin mengejar ambisinya. Namun, gedung dan gangnya memberikan keterasingan bagi yang mendiaminya. Di kota ini, ada kesepian yang tak terperi di ruas jalannya yang ramai.
Kami berjalan di antara lampu kota yang kerlap-kerlip itu. Menyusuri jalannya yang riuh dan rasa-rasanya seperti kota ini menunjukkan nyawanya yang dipenuhi hiburan-hiburan dan impian yang tercapai. Namun nasib manusia-manusia yang mendiaminya – Tuhan Maha Mengetahui – tidaklah semua seirama dengan hembusan nafas perkotaan. Denyut jantung kota pada malam hari itu membuktikan hal tersebut. Seperti para pedagang kaki lima yang mengemasi dagangannya, pengemis yang tertidur di trotoar, pengamen yang duduk tetirah di halte bus. Denyut jantung kota di malam itu membawa manusia-manusia yang mendiaminya untuk kembali ke kesunyiannya masing-masing. Memeluk keterasingan dan kesepian seorang diri. Begitu juga kami. Hanya diri sendiri dan Tuhanlah yang mengetahui apa yang berkecamuk di alam pikiran masing-masing orang.
Saat ini, bila kuingat lagi momen di Alun-alun itu, terbayang fragmen puisi Chairil Anwar. ‘Nasib adalah kesunyian masing-masing’, begitu bunyinya. Fragmen itu rasa-rasanya seperti mewakili setiap detil momentum yang hadir di Alun-alun pada masa lampau itu. Potongan puisi itu menggambarkan manusia, seorang individu seutuhnya: Sang Manusia ditakdirkan untuk memeluk kesunyian dalam kesendiriannya hingga liang lahat. Seperti aku dan dirinya, dua manusia yang jelas-jelas berjalan beriringan, namun -Tuhan Maha Mengetahui- bagaimana kesunyian yang tergurat dikeduanya tidak dimaksudkan untuk dibagi. Sunyi adalah perkara yang dimulai, diakhiri dan diterima oleh setiap bagian tubuh manusia, hingga bagian yang terkecil sekalipun. Dibawanya hingga liang lahat seorang diri. Bila telapak tangan itu membuka untuk menerima, maka telapak tangan itu pulalah yang akan menggenggamnya. Namun, seringkali Sang Manusia melepaskan genggamannya. Lari darinya. Manusia, begitu seseorang pernah berkata, tidak menginginkan kesunyiannya sendiri. Manusia ingin bersama dengan sesamanya dan menjadi sama. Melebur dalam kerumunan tanpa nyawa yang seringkali banal. Padahal, kesunyian itu membuatnya otentik.
Catatan tambahan:
Foto oleh Praga saat di Bromo dan editing foto oleh o))) ketika berada di Panoptikon.