I
Membaca War and Peace karya Leo Tolstoy di satu
sisi cukup membingungkan. Perlu ada gambaran mengenai dataran Rusia untuk
mengimajinasikan medan pertempuran yang dipaparkan Leo Tolstoy. Manuver-manuver
prajurit di bawah pimpinan Kutuzov dan Napoleon di Borodino, misalnya, akan
cukup sulit dibayangkan. Gambaran seperti apa Rusia dan lebih spesifik, kawasan
yang bernama Borodino, cukup sulit menumbuhkannya di dalam benak bagi seseorang
yang seumur hidupnya tinggal di negara yang berjarak 6.963 kilometer dengan
Rusia.
Dan yang dirasa-rasa
lebih melelahkan, novel War And Peace bersandar
kepada suatu peristiwa yang nyata. Latar belakang novel itu berdasarkan sebuah
peristiwa yang kini menjadi sejarah Rusia, yakni invansi Napoleon Bonaparte ke
Moskow sekitar tahun 1812. Jujur saja, pengetahuan mengenai sejarah negara
sendiri belumlah tuntas, dan kini muncul pengetahuan baru mengenai sejarah
negara lain yang sangkut pautnya dalam keseharian tidak ada. Sangat banyak
tokoh diceritakan dalam War and Peace.
Saya malas juga mencari tahu apakah
tokoh-tokoh itu memang benar ada dalam sejarah Rusia atau rekaan Tolstoy.
War and Peace tidak hanya melulu menceritakan perang
antara Rusia dan Perancis. Tapi, ada bumbu-bumbu lain di kisahnya, salah
satunya asmara. Kisah-kisah asmara muncul dari kehidupan keluarga-keluarga
ningrat yang hidup di Rusia pada masa itu. Ada 5 keluarga ningrat yang diceritakan, yakni
keluarga Bezhukovs, Kuragins, Bokonskys, Rostovs, dan Drubetskoys. Dari setiap
keluarga, ada cerita dari tiap-tiap anggotanya. Kisah asmarapun muncul dari
anggota-anggota keluarga tersebut.
Terdapat informasi
yang berlimpah mengenai anggota setiap keluarga itu, mulai dari tabiat atau
karakter seseorang, atau posisi sebuah keluarga di tengah-tengah keluarga
aristokrat lainnya. Anggota-anggota keluarga ini, entah apakah mereka memang
benar-benar ada di Rusia pada zaman dulu atau tidak. Atau, entah apakah Tolstoy
menggambarkan realitas keluarga-keluarga aristokrat Rusia yang memang dulu ada,
riil, namun dengan orang-orangnya yang diceritakan secara fiktif. Yang
kuketahui sejauh ini hanya Napoleon dan Kutuzov yang memang benar-benar ada
dalam sejarah Rusia.
Yang menakjubkan
dari novel Tolstoy ini adalah halamannya yang sangat tebal, mencapai 1.417 halaman.
Kisah beberapa anggota keluarga ningrat dipaparkan oleh Tolstoy dan yang
diceritakan bukan hanya 1-2 orang saja. Tapi, banyak. Percayalah, banyak.
Mungkin karena itu juga novel ini menyita halaman yang sangat tebal. Di satu
sisi kamu harus memaparkan tentang alur peperangan Rusia dan Perancis beserta
dinamika di dalamnya. Di sisi lain, kamu juga memaparkan tentang kisah-kisah
personal dari para anggota keluarga ningrat yang ada di Rusia: bagaimana dikisahkan
seseorang memutuskan bergabung dengan militer dan bertempur, lalu di sisi lain,
dikisahkan seseorang mengalami konflik batin dan memutuskan bergabung dengan
Freemason, atau seseorang yang lainnya dilanda kegelisahan yang ditimbulkan
oleh perkara asmara. Masih banyak segi-segi kisah yang dipaparkan oleh Tolstoy
dan ini membuat novelnya menjadi kaya warna.
Tidak bisa
dibayangkan bagaimana usaha Tolstoy dalam menyusun novel ini. Riset, merangkai
imajinasi, menyusun plot, merancang tokoh, menuangkan gagasan dalam tulisan, pastilah
membutuhkan energi yang sangat besar. Apalagi bila jumlah halamannya sudah
mencapai ribuan seperti itu. Benar-benar luar biasa. Dan yang lebih luar
biasanya lagi, War and Peace bukanlah
satu-satunya karya yang dihasilkan Tolstoy.Tercatat Tolstoy telah mengeluarkan
sampai 40 buku, mencakup cerita pendek, esai, dan novel. Setahuku, ada novel
tebal lainnya selain War and Peace,
yakni Anna Karerina.
Dulu saya pernah
membaca terjemahan Indonesia Anna
Karerina. Tapi, saya curiga terjemahan itu telah melalui beberapa editing
di sana-sini sehingga ceritanya tidak utuh seperti yang aslinya. Saya curiga
ceritanya telah diringkas sedemikian rupa. Dugaan itu muncul ketika melihat
jumlah halaman novel terjemahan Anna
Karenina yang lebih sedikit dibandingkan novelnya berbahasa inggris. Meski
demikian, melihat gambaran umum cerita Anna
Karerina melalui novel terjemahan itu, saya tidak terlalu menyukainya.
Ceritanya suram dan terlalu melankolis. Apalagi gambaran ceritanya tentang
seorang perempuan yang bunuh diri karena alasan cinta.
Ini berbeda dengan War and Peace. Sesuai dengan judulnya,
novel ini tidak melulu bercerita perang. Ada juga persoalan asmara. Tapi,
persoalan asmara ini menarik karena menggambarkan pula kondisi sosiologis masa
Rusia yang masih aristokratik. Masa-masa sebelum komunisme bangkit sehingga
muncul tokoh-tokoh populer semacam Lenin sampai Stalin.
Membaca persoalan
asmara di War and Peace, tampaknya
konsep asmara di Rusia zaman aristokrat dulu tidak seperti saat ini, dimana
hubungan asmara semata-mata adalah persoalan antar individu. Bagiku, kisah
asmara di War and Peace mencerminkan hubungan
yang dipengaruhi oleh status sosial keluarga. Pantas-tidaknya seseorang
tertarik kepada lawan jenisnya tidak hanya mempertimbangkan perasaan
semata-mata, tetapi juga mempertimbangkan posisi yang ditaksir di tengah-tengah
keluarga aristokratik. Awalnya memang bermula dari rasa ketertarikan, tapi
dalam prosesnya, status sosial keluarga yang menjadi pertimbangan dominan.
Ada dalam suatu
kisah, ketika Pangeran Andrei Bolkonsky menyukai Sophia, tidak disetujui.
Alasannya, latar belakang sosial Sophia dianggap tidak sebanding dengan prince
charming Andrei. Drama kemudian berjalan dari sini.
Hal seperti itu
jarang dijumpai di film-film ataupun cerita-cerita modern. Umumnya, pada zaman
ini, saat dua pasangan saling tertarik, cerita fokus kepada romantisme
melankolis kedua pasangan itu. Tidak pada bagaimana antar orang tua saling
membicarakan pasangan yang tepat bagi anaknya dengan melihat posisi keluarga
lain, baik dari segi politik, ekonomi, dan budaya, yang terefleksikan dalam
percakapan-percakapan keseharian.
Seorang teman yang
kini tinggal di AS, menyampaikan mengenai kondisi sosial terkait dengan
perkawinan di AS. Setidaknya bila sebuah pasangan memutuskan menikah, izin
keluarga tidak terlalu diperlukan. Jadi, meskipun salah satu keluarga tidak
menyetujui pernikahan itu, bukanlah ganjalan-ganjalan amat bagi pasangan
tersebut. Mereka masih bisa melangsungkan pernikahan, dengan atau tanpa persetujuan
orang tua.
Menurut kawanku itu,
muncul kesepahaman di antara orang-orang AS bahwa ketika mencapai usia dewasa
(18 tahun ke atas), seseorang bertanggungjawab penuh terhadap pilihannya.
Termasuk dalam hal memilih pasangan. Oleh sebab itu, kata kawanku lagi,
orang-orang di sana tidak terlalu merecoki pilihan-pilihan yang diambil oleh
anggota keluarganya dalam hal pernikahan. Terdengar sangat mengagung-agungkan
kebebasan individual, setidaknya bagiku.
Kebiasaan individualistis
seperti itu, kupikir, ada kaitannya juga dengan sejarah terbentuknya negara
tersebut. Awal mulanya AS berdiri, salah satunya sebagai bentuk perlawanan
terhadap kerajaan Inggris. Para kolonis mencari peruntungan dengan mencari
dataran baru, mencari lapak usaha baru yang tidak direcoki oleh tetek bengek
monarki. Para kolonis itu hadir dengan semangat enterpreneurship-kemandirian dalam
berusaha- yang menggelora dan menggebu-gebu.Dari gambaran besarnya, kehadiran
para kolonis itu terkait dengan geliat ekspansi akibat akumulasi modal yang
tercipta di Inggris. Semangat enterpreneuship itu menganggungkan kebebasan
individu dalam memupuk kekayaan. Semangat itu berbeda dengan semangat monarki
yang lebih mementingkan manner sebuah
klan dalam mempertahankan eksploitasinya terhadap rakyat jelata.
II
Hal lain yang
kupetik dari kisah asmara yang terdapat dalam War and Peace adalah bahwa jalinan hubungan asmara yang didahului
oleh proses menjodohkan, atau makcomblang,
setidaknya tidak semata-mata produk “budaya timur” saja. Nyatanya, di Rusia pun proses makcomblang
ala hikayat Siti Nurbaya telah ada. Hal ini juga membawaku kepada
kesimpulan lain, bahwa kondisi sosiologis masyarakat, atau corak produksi
masyarakat, mempengaruhi munculnya kebiasaan makcomblang. Bukan semata-mata “adat timur” atau “adat barat” saja.
Latar belakang masyarakat
di novel War and Peace masih kental
dengan corak feodal. Ikatan kekerabatan masih kental di masyarakat yang
bercorak feodal. Penguasaan tanah dan lahan garapan oleh sebuah keluarga besar,
merupakan hal yang umum di masyarakat feodal. Berbeda halnya dengan zaman
kapitalisme, saat keluarga-keluarga besar yang menguasai tanah dengan jumlah
yang besar jarang ditemui lagi.
Pada zaman ini kita
menemukan lahan-lahan garapan yang dimiliki oleh korporasi- sebuah entitas yang
coraknya jauh berbeda dengan keluarga. Korporasi dijalankan dengan
aturan-aturan yang rigid, digerakkan oleh logika yang rasional-formal
berbasiskan perhitungan untung-rugi, dan akumulasi modal menjadi panglimanya.
Tidak ada hubungan kerja yang diistilahkan hamba sahaya dan tuan dalam kapitalisme,
tetapi yang ada adalah hubungan kerja berdasarkan kontrak di atas hitam putih
(meski benang merah eksploitasi masih ada, baik di masa feodalisme maupun
kapitalisme. Eksploitasi yang sama itu hanya dijubahi oleh pakaian yang
motifnya berbeda).
Lantaran sebuah
keluarga memiliki kekuasaan yang muncul dari kepemilikan atas tanah, tampaknya akan
menjadi dasar yang “rasional” bila dalam hal perkawinan, latar belakang posisi
keluarga (kekayaannya) calon pasangan sang anak sangat dipertimbangkan. Bisa
jadi itu ada kaitannya juga dengan motif menjaga garis keturunan sebuah
keluarga. Modal yang terakumulasi secara menahun oleh sebuah keluarga, dalam
bentuk kepemilikan tanah dan akibat politis yang muncul darinya (jumlah hamba
sahaya dan posisi politik di pemerintahan), sangat disayangkan bila tidak
berkembang atau stagnan hanya karena penerus keluarga berpasangan dengan
seseorang yang tidak memiliki apa-apa. Sementara bila calon pasangan itu
berasal dari keluarga yang kekayaannya sama atau lebih tinggi, tentu akan lebih bagus karena bisa mendongkrak
akumulasi modal.
Tentang persoalan
kepemilikan tanah sebuah keluarga ini, di novel War and Peace kita bisa membaca di sana-sini bagaimana seorang
pangeran dari keluarga tertentu berurusan dengan kekayaannya dalam bentuk tanah
itu. Ada seorang tokoh pangeran bernama Pyotr “Pierre” Kirillovich Bezhukov,
misalnya, yang diceritakan sebagai seseorang yang pada awal mulanya menjadi
kaum ningrat ibarat terkena ‘durian runtuh’. Saat Count Bezhukov tua sekarat,
Pierre tidak masuk nominasi pewaris. Alasannya, Pierre tergolong anak tidak sah
atau di kita disebutnya “anak haram”. Tapi, nyatanya Count Bezhukov tua memilih
Pierre untuk menerima seluruh warisan kekayaan keluarga. Klan Bezhukov
diceritakan sebagai keluarga dengan kekayaan berupa tanah (estate) paling
berlimpah di Rusia.
Atau di keluarga
yang lainnya, kita akan bertemu dengan Andrei Bolkonsky. Berbeda nasibnya
dengan keluarga Bezhukov, keluarga Bolkonsky mengalami kesulitan finansial.
Salah satunya karena terdampak perang. Dalam War and Peace, kita akan membaca salah satu kisah Pangeran Andrei
yang membereskan hutang-hutang dan penjualan aset lahan serta bangunan milik
keluarganya. Pangeran Andrei sendiri kurang begitu bersemangat ketika masuk
dalam urusan pengelolaan aset keluarganya itu. Dia sendiri lebih kerasan hidup
di dunia militer.
III
Menyebutkan konsep
pernikahan pada zaman sekarang berbeda dengan zaman feodal bisa jadi terlalu
menggeneralisir. Di Indonesia, keluarga masih menjadi pertimbangan utama. Di negara-negara
bercorak kerajaan di Eropa, masih ditemui adanya pernikahan yang dipengaruhi
pertimbangan keluarga kerajaan. Lagipula, novel War and Peace banyak mengisahkan keluarga-keluarga elit di
Rusia. Kita tidak tahu bagaimana keadaan
warga biasa di Rusia saat itu. Mungkin saja pertimbangan keluarga masih ada,
meski dengan derajat berbeda (tidak terlalu ketat mempertimbangkan latar
belakang sosial, politik, dan budaya, keluarga lain).
Setiap lapisan sosial masyarakat memiliki
perilaku dan kondisinya sendiri-sendiri. Dalam satu titik, bisa jadi ada
nilai-nilai yang mirip. Tapi di titik yang lainnya, bisa jadi ada nilai-nilai
yang sama sekali bertentangan dan tidak bisa didamaikan.
Struktur masyarakat
yang didominasi oleh corak tertentu (feodalisme atau kapitalisme) akan berpengaruh
terhadap cara pandang masyarakatnya. Akan muncul etika-etika dari kelas yang
menikmati surplus modal. Dan, etika-etika itu belum tentu sama dengan lapisan
masyarakat dimana surplus modal itu diambil. Meskipun, ada Antonio Gramsci yang
mengemukakan konsep hegemoni, dimana nilai-nilai suatu kelas yang berkuasa akan
dianggap sebagai kewajaran oleh lapisan masyarakat yang dikuasai.
3 komentar:
Saya sangat senang membaca ulasan kamu tentang War and Peace. Saya sendiri menamatkan buku ini tahun 2015, setahun sebelum BBC meluncurkan adaptasinya yang berdurasi 6 episode itu.
Yang paling membuat saya salut adalah bagaimana kamu bisa menghubungkan tulisan Tolstoy dengan Gramsci, terutama mengenai kelas elit. Pada masa pra-Revolusi Bolshevik, kaum elit Rusia memang terasingkan dari masyarakatnya sendiri karena kuatnya adopsi budaya Prancis, termasuk dalam penggunaan bahasa Prancis. Posisi bahasa sendiri secara sosiolinguistik memang tidak netral, dan karenanya menjelang serta dalam penguasaan Prancis (Napoleon) atas Rusia, terjadi kepanikan di kalangan bangsawan untuk melepaskan diri dari Bahasa Prancis.
Ulasan War and Peace saya ada di sini (jika kamu tertarik).
https://medium.com/@astridafn/the-peace-the-war-and-the-lives-in-between-e1a4fe2178f2
All is fair in love and war 😁
keren bang analisisnya.
Posting Komentar