Minggu, 26 Juni 2011

Mark McGuire


"This is an album about youth and memory, family and nostalgia-- it's a deeply personal, even autobiographical work."
-Joe Colly, October 19, 2010- 

Sabtu, 18 Juni 2011

Cerita Lama

Tulisan di bawah adalah semacam cerita lama yang tidak sengaja ditemukan ketika saya "mengembara" secara ngalor-ngidul di dunia maya. Cerita ini diambil dari blog saya sendiri yang password maupun namanya sudah terlupakan (sehingga saya tidak bisa masuk ke akunnya). Di blog tersebut tertulis tanggal postingannya 23 Agustus 2007. Lumayan lama juga. Tapi, ketika melihat-lihat isinya, lucu juga. Semacam permasalahan-permasalahan romantika apeu jaman pertengahan kuliah...yah, lihat saja sendiri. Semacam gumaman orang linglung ketika saya melihat lagi tulisan itu sekarang. 

Banyak hal yang berubah semenjak itu, memang.


   Terlibat dalam Permainan Bodoh yang Tidak Pernah Ingin di Mainkan


Sinarnya menembus melalui jendela. Kelas sungguh terang karenanya. Dibelakang terdapat beberapa orang yang bercanda. Tawa mereka sungguh keras betul. Sedikit tidak nyaman sebenarnya. Konsentrasi jadi terganggu ketika mengerjakan soal ujian. Tetapi untunglah. Bersyukur kepada Tuhan, bahwa ini menjadi ujian terakhir. Soal-soalnya lumayan susah dan di siang ini, semuanya menjadi terasa berat juga. Mengingat tentang seorang teman yang dua bulan kemarin kuberi sesuatu.

Dua bulan yang lalu kuberi ia apa yang kukubur selama setahun ini. Setelah itu aku tidak pernah melihatnya lagi. Begitu menerima, ia pergi dari hadapanku tanpa mengucapkan beberapa patah kata, kecuali keterkejutan yang tergambar dari raut mukanya. Syukurlah ia tidak marah, buktinya pagi-pagi mengirimkan pesan singkat. Sekedar mengucapkan terima kasih atas sesuatu yang telah kuberi itu. Ada perasaan lega kala itu. Lega karena, untunglah, ia tidak marah. Terbayang dalam benakku bagaimana manisnya ia saat tersenyum.

Sebentar lagi aku akan melihatnya kembali. Ada perasaan takut, bagaimana reaksi dia saat bertemu nanti. Dalam benakku terbayang situasinya tidak akan jauh seperti dulu. Canggung luar biasa. Tetapi mudah-mudahan semua itu akan berubah. Hati masih memeluk harapan. Salah juga diri ini dari dulu, terlalu takut untuk bergerak. Seperti yang sudah-sudah. Kebiasaan yang luar biasa susah untuk dirubah. Saya ingat seorang teman yang mengirim pesan singkat ketika perayaan tujuhbelasan kemarin: sudah 63 tahun Indonesia merdeka, tetapi apakah selama 23 tahun ini anda sudah merdeka? Bebaskeun atuh euy, tong tolangan wae!hehehe….

Pesan singkat itu tidak kubalas. Tetapi pesannya sudah pasti kuterima. Menancap hingga tak bisa hilang dalam pikiranku. Merdeka…saya belum merdeka. Saya belum bebas. Keparat kau, teman. Sekali lagi kenyataan pahit harus kutelan mentah-mentah. Semuanya karena pesan bodoh itu. Sesuatu yang baik tidak selalu manis. Ia bisa menelanjangimu, mempermalukan dirimu sendiri. Dan itu sakit. Perih. Sesuatu yang baik itu bisa membuat luka.

****
Disebelah kananku ada perempuan ini, namanya Nu. Ia baru kukenal ketika memasuki kelas ini. Angkatan 2003, sedang menyusun skripsi. Ia memakai kacamata. Rambutnya panjang diikat. Cocok sekali. Matanya runcing, sedikit terlihat seperti orang Cina. Secara keseluruhan ia cantik. Lebih cantik lagi tatkala kulihat ia dikelas itu, ketika cahaya matahari menembus melalui jendela dan menyentuh wajahnya. Terang sekali. Sepertinya halus bila kusentuh. Dalam benakku terbayang wajah temanku itu, yang pernah kuberi sesuatu dua bulan yang lalu. Sedang apa dia saat ini? Oh, aku ingin bertemu dengannya.

Nu kebingungan mengerjakan soal ujian. Dia bertanya kepadaku dan kuberi tahu cara mengerjakannya…dengan pengetahuan saya yang minim tentunya. Ya, ia sungguh manis. Nyaman pula ngobrol dengannya. Ia menggerutu dengan manjanya. Mengetahui jawaban ujian yang dia kerjakan tidak tepat dengan rumus yang kuberikan. Lalu ia bertanya kepadaku apakah aku mempunyai type-x. Kujawab tidak punya. Ia melihat-lihat kebelakang, mencari-cari orang yang mempunyai type-x. Tidak ada, nampaknya. Lagipula orang-orang yang duduk dibelakang tidak ada yang dia kenal. Sepertinya malas juga dia untuk bertanya. Ia kemudian mengeluarkan handphone dari dalam tasnya dan mulai menghubungi seseorang. Mesra dan manja sekali terdengar pembicaraan Nu dengan seseorang yang ia hubungi itu. Pasti pacarnya, pikir saya. “Yang, ambilin alat tulis aku dong. Bawa ke atas, ya? Nanti kita makan-makan, deh, abis ini. Yah-yah…mau kan, Yang?”, kata Nu setengah berbisik dan…manja.

Waktu ujian sebentar lagi usai, saya sendiri sedikit panik karenanya. Rokok kunyalakan sebagai pereda stress. Ujian kali ini berbeda dengan yang sebelumnya. Tidak ada yang mengawasi. Dosennya sendiri tidak hadir, karena pergi ke luar kota. Ada urusan, katanya. Mahasiswa bebas untuk membuka buku dan nyontek. Walaupun begitu, soalnya minta ampun susah! 45 menit mengerjakan, baru dua soal yang selesai. Masih ada tiga lagi yang harus dikerjakan. Isinya panjang-panjang. Saya sendiri tidak yakin bisa mengisi ketiga soal itu dengan tuntas.

Tidak lama kemudian, ada seseorang diluar yang melihat ke arahku. Ia menunjuk-nunjuk ke orang disebelahku yang tidak lain adalah Nu. Ah, ini sepertinya pacar Nu. Ku senggol tangan Nu, memberitahukan ada seseorang yang mencarinya. Nu melongok ke arah pintu dan tersenyum, lalu menghampiri orang tersebut. Pacarnya botak dan nampak subur sekali. Tentram lahir-batin, tidak heran bila tubuhnya sangat subur, pikir saya. Nu kembali ke tempat duduknya sembari membawa cepuk. Saya menundukkan kepala, menghisap rokok dan pura-pura serius mengerjakan soal ketika ia lewat kehadapanku. Padahal saya tidak ingin ketahuan oleh Nu, bahwa saya memperhatikan ia dan pacarnya. Canggung juga.

Waktu terus bergulir dan terasa lama. Tetapi saya merasa hanya mengerjakan soal yang itu-itu saja. Berkutat di situ-situ saja. Sialan, kenapa rumusnya harus begini panjang? Sudahlah lebih baik nyontek saja untuk masalah perhitungan seperti ini. Ada temanku duduk dibelakang, namanya Annel. Ia gadis yang baik. Ia menawarkan kertas jawabannya kepada ku. “Ini, mau liat ga,” katanya sembari tersenyum. Saya senang bila melihat wanita tersenyum. Mereka selalu terlihat manis.

“Makasih ya,” kubalas senyumnya dan mengambil kertas jawaban dari tangannya. Saat itu siang menjelang sore, tetapi kelas terasa makin terang oleh sinar mentari. Orang-orang terlihat jelas di kelas itu.

“Gimana mau nyontek ga? Nih, mumpung ada yang nawarin kertas jawaban?” saya berkata pada Nu.

“Terserah lo aja, deh. Pokoknya gua nyontek dari lo,” jawabnya.

Waktu ujian sudah jelas habis dan seharusnya sudah saatnya jawaban ini untuk dikumpulkan. Benar saja, tidak lama kemudian, datang orang SBA. Mengumumkan bahwa waktu ujian telah habis dan bagi mereka yang tidak cepat-cepat mengumpulkan tidak akan diterima kertas jawabannya. Orang SBA itu mengambil aba-aba untuk keluar kelas, meninggalkan kami. Beberapa mahasiswa mulai mengejarnya. Betapa brengsek orang itu. Bahkan saya belum sempat mencontek jawabannya Annel. Saya dan Nu hanya bertatapan. Kami berdua sudah pasrah. Biarlah hanya dua soal yang terjawab. Saya pun mengejar orang SBA itu dan mengumpulkan kertas jawaban saya berikut kertas jawaban Nu.

Brengsek. Dari kelima ujian yang kuhadapi, ujian yang terakhir inilah yang paling menyita pikiran. Semua yang ada di dalam benak berseliweran. Rumus, teman yang sangat kurindukan kehadirannya, Nu dan betapa menyebalkannya menjadi diri sendiri; semuanya berputar-putar di otak.

Di luar kelas kunyalakan rokok. Terasa lemas tubuh ini melangkah. Benar kata orang-orang, bila tenaga pikiran yang terkuras, maka pengaruhnya bisa terasa ke seluruh tubuh. Kuperhatikan Nu, masih cantik. Dengan gontai kuberjalan menuju tangga bersama Nu. Ada seorang teman yang mengatakan kalau Nu ini mirip seorang teman yang sejurusan denganku, namanya Imeh. Saya perhatikan wajahnya. Mirip darimana? Jauh gitu. Dandannya jurnal banget, sih, kata temen saya lagi. Saya perhatikan cara dia berdandan. Ah, biasa saja. Lebih bronx si Imeh malah kalau kata saya.

“Berarti si Imeh itu beruntung bisa dimiripin sama gue,” katanya sembari tertawa lepas. Ceria sekali perempuan ini. Saya ingin sekali bisa ceria seperti dia.

Saya hanya tersenyum tidak berkata apa-apa mendengar jawabannya, karena saya sendiri tidak tahu harus menjawab dengan kata apa yang lebih pantas.

Di bawah tangga terlihat pacarnya yang botak dan bertubuh subur itu duduk menunggu kedatangan Nu. Melihatnya, Nu langsung menghampiri lelaki itu lalu memeluknya dengan mesra. Saya sendiri mendadak canggung. Mau pamitan, tapi tak tahu caranya harus gimana? Mereka berdua asyik ngobrol dan tetekbengek lainnya yang biasa dilakukan orang saat pacaran. Sudahlah, tinggalkan saja mereka berdua tanpa basa-basi, pikirku. Tetapi, ketika ku akan menuruni tangga lantai dua, Nu memanggilku dan mengucapkan terima kasih. Saya pun tersenyum dan menjawab, “sama-sama.”

Sampai diluar gedung, sudah tidak ada siapa-siapa lagi di kampus. Sepi. Seperti yang sudah-sudah, pikirku. Bingung sendiri jadinya. Harus kemana lagi dari sini? Pulang ke rumah malas. Ingin nongkrong sebentar, tapi sudah tidak ada siapa-siapa lagi. Rokok ku sambung lagi dan kuputuskan untuk pulang ke rumah. Tidur dan berusaha melupakan kehidupan ku yang sebelumnya, walaupun itu adalah hal yang mustahil. Dari arah gedung kuliah, Nu dan pacarnya baru saja keluar. Sekilas Nu menatapku dan aku cepat-cepat mengalihkan pandangan darinya. Pura-pura tidak melihat. Langkah ini kuteruskan menuju tempat parkir motor di depan.

Ah, Nu, di kelas tadi mungkin seperti pertemuan terakhir. Perkenalan yang tergolong singkat juga. Semester yang baru nanti mungkin tidak akan pernah berjumpa lagi. Beda dunia lagi. Ketika kau mau melihatnya lagi, ia sudah tidak ada. Orang yang menyenangkan kamu itu, Nu.

Lalu temanku ini…yang sangat kurindukan kehadirannya. Bagaimana pikiran dia terhadapku? Apakah ia masih ingat? Lalu apa yang akan dia lakukan nanti? Sebaiknya sikapku harus bagaimana? Jadi ini yang dinamakan putus asa. Patah arang. Saya sendiri sudah mulai kehilangan kepercayaan dan keyakinan terhadap diriku sendiri. Sudah tidak tersisa apa-apa. Hal apa yang bisa ditonjolkan dari diriku selama ini? Tidak ada. Ah, aku ingin pergi sejauh-jauhnya. Melupakan apa yang sudah pernah kujalani selama ini. Menghapus wajah teman-teman yang pernah melintas dalam pikiranku. Menghapus dia yang kusukai selama ini. Menjalani kembali semua dari titik nol.

Sungguh aku merindukannya. Tetapi disisi lain, sungguh takut juga bila aku memikirkan orang yang satu itu. Tentang reaksinya nanti saat bertemu denganku lah yang sangat ku takutkan. Teringat-ingat ketika bertemu ia di kantin dahulu. Tatapannya itu maut. Di satu sisi membuatku merinding. Tetapi disisi lain, kedua mata itu sungguh indah. Tidak akan pernah kulupakan. Kini kau sudah mengetahuinya, teman. Aku menunggumu.

==========================================================

This entry was posted on Thursday, August 23rd, 2007 at 11:00 pm and is filed under Uncategorized. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed.


Rabu, 08 Juni 2011

My Mom Is The Best

Aing      : Mah, beli garpit setengah.... *nyorongin uang Rp 5.000

Mamah  : Nih, ambil aja sebungkus...

Aing      : ;) *dalem hati.

Selasa, 07 Juni 2011

Kehendak



“Oh so strange...hanging out everytime to reach the end. You never know how anything will change.”

-Pathetic Waltz, PS-