Tiba-tiba terpikir juga untuk menghubungi Ridwan Kamil, seorang dosen arsitektur dan pegiat Bandung Creative City Forum. Saya pikir, bila dia bisa memaknai aktivitas yang ada di bawah jembatan itu setidaknya tulisan bisa lebih menarik dan, syukur-syukur, membuat otoritas berpikir mengenai kesumpekan yang ada di Kota Bandung. Harapannya, tentu akan tersedia lebih banyak ruang publik dan taman kota kedepannya. Hal itu lebih baik, daripada angle tulisan lebih condong ke masalah “kekumuhan”. Saya pikir, angle seperti itu, pada akhirnya, lebih menitikberatkan pada PKL maupun orang-orang yang beraktivitas di bawah jembatan layang sebagai “penyebab utama”-nya. Padahal, sesungguhnya orang-orang di bawah jembatan itu, bagi saya, lebih merupakan konsekuensi dari deru pembangunan ketimbang penyebab utama kekumuhan yang terjadi di bawah jembatan layang.
.Di Bawah Jembatan Layang.
Hampir empat tahun sudah jembatan layang Pasupati menghiasi Kota Bandung semenjak pertama kali diresmikan oleh Presiden RI SBY pada 12 Juli 2005. Dalam perjalanannya, ternyata banyak hal yang dilakukan oleh warga di sekitar jembatan layang itu. Tidak jarang berbagai acara pertunjukkan selalu digelar di lahan kosong di bawahnya. Bahkan terakhir tempat itu digunakan sebagai tempat pemungutan suara pada pemilu legislatif kemarin. Hal itu menunjukkan bagaimana lahan kosong di bawah jembatan layang itu menjadi tempat bersosialisasi serta beraktifitas bagi warga.
Seperti saat Bandung Ekspres menyambangi salah satu daerah di Kelurahan Taman Sari, Kecamatan Bandung Wetan, yang dilalui oleh jembatan layang, pada Minggu (19/4). Di bawah jembatan itu terdapat sebuah panggung kecil yang biasa digunakan oleh warga RW 04, Kelurahan Taman Sari, untuk digunakan sebagai tempat berinteraksi dan beraktifitas. Panggung itu didirikan atas inisiatif warga yang tergabung dalam kelompok usaha bernama Cahaya Karya (CK).
Nandang Hernadi (40), seorang pendiri CK sekaligus penggagas panggung kecil itu, menceritakan kerisauannya akan lahan tidak terurus di bawah jembatan yang menjadi pemicu bagi dirinya untuk memanfaatkan lahan tersebut menjadi tempat interaksi warga. “Dulu mah, saat Pasupati baru selesai. Di bawah sini itu masih menumpuk barang berangkal. Tidak karuan dan juga tidak ada yang ngeberesinnya. Ya udah, akhirnya warga di sini yang ngeberesin,” katanya.
Selain itu, dirinya juga memiliki ambisi untuk mengenalkan budaya Sunda, khususnya perkakas Sunda. Maka jadilah panggung kecil itu seperti saat ini. Walaupun masih belum terlihat adanya perkakas Sunda yang ia maksud, hanya semacam display terbuat dari bambu saja yang terlihat. Nandang mengatakan, masih mengumpulkan dana agar bisa merealisasikan ambisinya tersebut.
“Saya sih, kepinginnya panggung ini nanti jadi tempat anak muda menyalurkan potensinya, misalnya dalam kesenian gitu. Daripada kerjaannya hanya main tidak jelas,” katanya.
Tempat yang sebenarnya tidak terurus ini, justru menjadi lahan bagi warga di sekitarnya untuk beraktivitas dan berinteraksi. Mereka memanfaatkan lahan kosong yang masih ada di tengah deru pembangunan yang seringkali tidak menyisakan lahan kosong yang dianggap tidak menghasilkan keuntungan apapun. Seperti yang di utarakan oleh pelatih tim sepak bola PS Galamas sekaligus ketua RT 04 RW 04, Kel. Taman Sari, Kec. Bandung Wetan, Jajat Sudrajat (58). Disebabkan lahan untuk bermain bola habis terbabat oleh pembangunan, kata dia, maka timnya pun pindah tempat ke bawah jembatan layang.
Saat itu, terlihat timnya yang terdiri dari warga RT 04 dan masih duduk di bangku SMP sedang giat bermain bola. Lokasi tempat latihan bermain bola itu tepat berada di belakang panggung kecil yang diprakarsai oleh Nandang. “Walaupun tempat ini berisik dan kebul, tapi karena tidak ada tempat lagi. Ya, sudah. Lebih baik disini,” kata Jajat sambil memperhatikan timnya latihan bola.
Jajat mengatakan, dirinya pernah mendengar bahwa tempat di bawah jembatan layang itu akan dibuat menjadi taman. Namun demikian, dia tidak setuju bila nantinya lahan untuk bermain bola menjadi tidak ada. “Baiknya sih lahan ini diperbagus, tapi jangan lupakan juga lahan untuk main bolanya. Kalau diperbagus, tapi ga ada lahan buat main, sama aja. Malah pareum atuh nanti sepak bola di daerah sini,” katanya dengan tidak melepaskan pandangannya ke tim bola yang sedang dilatihnya itu.
Selain dimanfaatkan oleh warga untuk beraktifitas dan berinteraksi, lahan kosong di bawah jembatan layang itu juga dimanfaatkan oleh pedagang. Seperti Ningsih (20), salah satu pemilik warung nasi yang terletak di bawah jembatan layang. Disebabkan lahan jualannya di daerah Cikapayang saat ini telah menjadi taman, maka ia memutuskan untuk pindah. Ningsih mengatakan, cukup menikmati jualan di bawah jembatan layang. “Tapi, ga enaknya kalau ada pemuda atau pengamen yang mabuk atau bikin ribut gitu. Suka ngerepotin,” katanya. (hari/job).
.Makna.
Banyaknya aktifitas di bawah jembatan layang menjadi konsekuensi atas semakin menyempitnya ruang publik yang ada di Kota Bandung. Hal itu diutarakan oleh Dosen Arsitektur ITB sekaligus Ketua Bandung Creative City Forum (BCCF), Ridwan Kamil, kepada Bandung Ekspres, Minggu (19/4).
Menurutnya, ketika pemukiman padat dirubah menjadi jembatan layang sepanjang 700 meter dan lebar 80 meter, maka lahan kosong dibawahnya bisa menjadi tempat bagi warga untuk beraktifitas dan berinteraksi. Hal itu, kata dia, menunjukkan kebutuhan akan ruang publik oleh warga.
Digunakannya lahan kosong oleh warga di kolong jembatan layang itu, menurutnya, bukanlah hal yang salah untuk dilakukan. “Di luar negeri, seperti Jepang saja, kolong jembatan digunakan menjadi restoran. Jadi, tidak ada masalah,” katanya.
Namun demikian, ujar dia, hal yang harus dilakukan saat ini adalah bagaimana pemerintah kota Bandung jeli melihat potensi yang ada di kolong jembatan ini. Menurutnya, kolong jembatan layang itu seharusnya dilihat sebagai lahan yang memiliki potensi dengan warga setempat yang menjadi kontributor utamanya.
Ridwan menambahkan, potensi tersebut tidak selalu di ukur dengan angka ekonomis saja. Melainkan bisa juga diukur dengan sumbangan kreatifitas warga setempat. “Hal yang perlu ditekankan saat ini adalah bagaimana pemerintah berdialog dengan warga setempat berkaitan dengan lahan kosong di bawah jembatan layang tersebut dan memfasilitasi kebutuhan akan ruang publik untuk berinteraksi bagi warga,” katanya.
Terkait dengan permasalahan kolong jembatan layang ini, Ridwan juga memberikan bocoran mengenai rencananya bernama Urban Farming yang akan dilakukan bersama Bandung Creative City Forum. Proyek Urban Farming ini adalah semacam proyek yang menyatukan antara dunia urban dan agraris. “Rencananya, di lahan kosong dibawah jembatan layang itu nanti kita akan menanam padi,” katanya.
Proyek tersebut, kata Ridwan, berangkat dari konsep memelihara ruang hijau yang ada di kota. Mengingat, kata dia, keberadaan ruang hijau di Kota Bandung saat ini cukup mengkhawatirkan. “Bila proyek ini terealisasi, harapannya terdapat hubungan yang saling menguntungkan antara pemerintah dan warga. Warga dapat menikmati hasil pertanian, begitupun pemerintah,” katanya.
Proyek Urban Farming ini, kata Ridwan, saat ini sedang menunggu disetujui oleh pemerintah kota. “Mudah-mudahan saja proyek ini bisa direalisasikan, sehingga kita bisa turut meningkatkan lahan hijau juga di kota Kota Bandung,” katanya. (hari/job).