Sabtu, 02 Juni 2012

buruh migran

Setelah ditunggu beberapa hari, tulisan tentang buruh migran ini tak kunjung dicetak juga. Entah apa pertimbangannya, apakah masalah ruang, topik yang tak sesuai dengan rubrik, atau apa...pastinya, suatu saat aku akan bertanya kepada yang empunya kebijakan.

Masalah buruh migran adalah masalah politis. Meskipun ia terkait erat juga dengan permasalahan ekonomi. Selama ini, di tempat ku bekerja, ekonomi selalu dikaitkan dengan masalah pertumbuhan dan pertumbuhan. Namun, tidak pernah dipersoalkan darimana pertumbuhan itu berasal dan diciptakan. Paradigma yang ada, adalah bahwa pertumbuhan masuk ranah pelaku usaha, para juragan, para ketua asosiasi pengusaha...tanpa mereka, tidak akan ada lapangan kerja, dan kemakmuran ekonomi.

Sudah sekian lama raja selalu disorot lebih, ketimbang para hamba sahaya yang setiap hari menyediakan cangkir anggur dan jubah kebesaran untuk kemegahan sang raja dan istananya. 
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Urgensi Perda Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

Pemerintah daerah diharapkan memiliki perda mengenai perlindungan tenaga kerja indonesia (TKI), meskipun revisi UU. No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja saat ini masih dalam proses finalisasi. Pasalnya, perlindungan terhadap TKI masih minim.

“Selama ini, perda mengenai TKI di seluruh Indonesia hanya 127. Sebanyak 95 persen dari isi perda itu hanya mengurus masalah retribusi. Sangat sedikit yang menyentuh masalah perlindungannya. Ini sekaligus menjadi tantangan bagi provinsi Jabar yang memiliki jumlah TKI terbanyak di Indonesia,” kata pakar hukum Universitas Indonesia (UI), Heru Susetyo, dalam seminar “Urgensi Perda Perlindungan TKI di Jawa Barat”, Hotel Topas, Jln. Pasteur, Rabu (30/5).

Kurangnya perlindungan terhadap TKI, menurut Heru, juga tercermin dari UU No. 39 tahun 2004 yang saat ini masih dalam proses revisi. Menurutnya, pasal yang membahas tentang perlindungan TKI dalam undang-undang itu hanya berjumlah delapan pasal. “Jumlahnya masih sangat kurang. Akan lebih bagus bila peraturan tersebut diamandemen, sehingga mampu merespon kebutuhan TKI maupun pemerintah,” katanya.

Heru menambahkan, bentuk perlindungan terhadap TKI perlu dirumuskan dan mencakup perlindungan bagi TKI saat masih berada di dalam negeri, perlindungan ketika TKI berada di negeri tujuan, perlindungan ketika TKI sudah purna penempatan, perlindungan terhadap TKI perempuan, dan perlindungan terhadap TKI yang tidak memiliki dokumen.

“Perlindungan terhadap TKI itu sebenarnya menyangkut permasalahan hak asasi manusia juga. Oleh sebab itu, tidak cukup hanya perlindungan dari aspek sosial atau masyarakat saja. Namun, perlu adanya perlindungan dari segi hukum. Dalam hal ini, kehadiran negara diperlukan,” kata Heru.

TKI Terbanyak dari Jabar

Minimnya perlindungan terhadap TKI seperti yang tercermin dari kurangnya undang-undang maupun peraturan daerah tersebut menjadi tantangan bagi provinsi Jabar. Pasalnya, berdasarkan data kementerian tenaga kerja dan transmigrasi tahun 2010, jumlah penempatan TKI dari Jabar menempati porsi terbesar.

Jumlah terbesar berasal dari Cirebon sebanyak 129.717 TKI, kemudian diikuti Indramayu 95.581 TKI, Subang 95.180, Cianjur 89.182, Sukabumi 55.207, dan selebihnya berasal dari Jawa Timur serta Lombok. Remitansi (pengiriman uang) oleh TKI yang berasal dari Jabar tersebut berjumlah Rp 4triliun per tahunnya.

Di tempat yang sama, pengamat masalah perburuhan sekaligus alumni Akademi Buruh Migran Turin-Italia 2011 Organisasi Buruh Internasional, Muhammad Iqbal, mengatakan, sebanyak 1.228 TKI asal Jawa Barat dari 2.349 TKI seluruh Indonesia dipulangkan dari Jeddah Arab Saudi. Menurut dia, TKI asal Jabar yang dipulangkan tersebut adalah yang bermasalah.

Masalah yang menimpa TKI tersebut berupa permasalahan eksternal maupun internal. Untuk masalah eksternal mencakup sistem pengiriman yang amburadul, gaji yang tak dibayar, pelecehan seksual, kekerasan fisik, TKI “ilegal”, dan korban trafficking. Sementara permasalahan internal yang biasa melanda TKI mencakup stress, gegar budaya, permasalahan keluarga, dan masalah penyesuaian diri.

Menurut Iqbal, untuk mengatasi permasalahan yang melanda TKI, peran kelembagaan baik di dalam negeri maupun luar negeri perlu diperkuat. Penguatan lembaga dalam negeri mencakup peran lembaga pemerintah, penyelenggara penempatan (BNP2TKI), pemerintah daerah, khususnya daerah kantung pengirim TKI, dan menghilangkan peran calo, sedangkan penguatan lembaga di luar negeri mencakup penguatan peran perwakilan RI.

“Penguatan peran kelembagaan itu harus diiringi dengan pembagian tugas yang jelas antara institusi pemerintah dari pusat hingga daerah. Mulai dari tahap pra penempatan, penempatan, hingga purna penempatan,” kata dia.

Sementara itu, Erwin Kustiman, wartawan Pikiran Rakyat yang juga menjadi pembicara seminar, memaparkan mengenai perlindungan TKI dari segi pemberitaan media massa.

Menurutnya, media massa jangan memandang persoalan buruh migran secara sederhana. Namun, masalah potensi remitansi, ketersediaan lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi, serta kesejahteraan masyarakat di daerah asal juga harus menjadi bahan pertimbangan.

“Meskipun persoalan bagaimana mendorong negara agar mampu mengangkat harkat martabat warganya di kampung sendiri adalah jauh lebih mendasar,” katanya.

Erwin menambahkan, nilai remitansi dari kehadiran buruh yang memberikan potensi ekonomi yang besar bagi negara hendaknya tidak lantas membuat lupa permasalahan eksploitasi buruh migran sebagai suatu fenomena sosial.

Ditemui di sela-sela acara, Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jabar, Hening Widiatmoko, mengharapkan, revisi UU No. 39 Tahun 2004 dapat memberi keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk mengelola TKI. Menurutnya, porsi pemda selama ini hanya menyentuh tahap pra pemberangkatan TKI saja.

Selain itu, Hening mengakui, Jabar belum memiliki perda yang mengatur perlindungan terhadap TKI. “Dengan diselenggarakannya seminar ini, kami mulai menuju ke sana (pembuatan perda perlindungan TKI). Sekarang, hal terpenting adalah duduk bersama pihak yang berkaitan dengan masalah TKI. Membicarakan apa yang dibutuhkan dalam penyusunan perda perlindungan TKI ini,” katanya.