Ada awan hitam menggelayut jauh di atas atap-atap rumah. Begitu tebal awan itu, hingga sinar mentari harus merayap susah payah mencari celah agar bisa meluncur ke tanah bumi. Dan di bawah awan hitam itu, bayang-bayang manusia yang bergerak lincah di permukaan tanah semakin memudar. Padahal, saat itu siang seharusnya berada pada titik yang paling terang. Awan hitam yang menggumpal itulah penyebabnya. Yang menghalau sinar matahari untuk menghujam bumi. Menjadikan siang begitu temaram di bawah naungannya.
Beberapa tahun kebelakang, bila awan-awan hitam itu terlihat mulai menutupi langit dan setiap bayangan di permukaan bumi berangsur memudar, buru-buru kuseduh kopi dan segera duduk di teras rumah. Kunantikan tetesan air hujan pertama yang jatuh ke tanah. Kunantikan bagaimana jalan yang kering dan berdebu diguyur oleh air yang digiring oleh awan hitam itu. Lalu, bila hujan turun, akan terdengar bunyi yang menyatu seperti sebuah simponi. Ada orkestra, ketika air hujan itu menghantam seng, mengalir di pipa paralon, atau jatuh beradu dengan air hujan lainnya yang tertampung di sebuah ember. Suara-suara gemercik itu bisa mengantarkan imajinasimu untuk mengalun di alam pikiranmu sendiri.
Tetapi, akhir-akhir ini aku tidak menantikan datangnya sebuah hujan. Perasaanku terhadap hujan sudah jauh berbeda dibandingkan dulu. Berada di siang yang mendung bukanlah ide yang bagus buatku saat ini. Seperti ada fragmen-fragmen yang mencuat dari dalam benak bila awan hitam di atasku itu sudah mulai bergerak dan menghimpun kekuatan untuk menghalau sinar matahari. Fragmen-fragmen itu selalu merengek agar bisa dilekatkan dalam benak. Sekuat tenaga aku selalu berusaha membuang jauh-jauh fragmen-fragmen itu, tetapi seiring dengan semakin tebalnya gumpalan awan hitam, semakin pekat pula fragmen-fragmen itu di dinding alam pikiranku.
Seperti hari ini. Hari yang menjadi permulaan tahun. Ada awan hitam yang menghalau sinar mentari. Ada suara yang menggebu-gebu seperti gemuruh kecil, ketika angin berhembus kencang. Ranting-ranting pohon bergoyang gontai didera angin. Suara daun yang saling bergesekan terasa meringis bagai didera pilu karena terombang-ambing oleh kencangnya angin. Hujan memang belum turun jua, namun gumpalan awan hitam yang sedari pagi menggantung di bentangan langit itu membuat pikiran risau.
Ku bayangkan bagaimana langit begitu terang benderang di balik gumpalan awan hitam itu,. Kontras dengan keadaan permukaan bumi yang berada di bawah awan hitam yang terasa suram. Mungkin di balik awan hitam itu ada awan-awan putih sehalus kapas. Awan-awan yang halus dan polos. Kubayangkan bagaimana awan-awan putih itu sebagian bercampur dengan awan hitam. Sesekali juga mungkin nampak kilatan-kilatan petir dari awan hitam di bawah. Pastinya langit dibalik awan hitam itu akan terlihat lebih terang benderang dan menakjubkan. Berbeda dengan keadaan di permukaan bumi.
Kubayangkan Ikarus. Ia juga pernah memandang lurus kelangit. Ia malah berpikir untuk menembus langit itu. “Aku ingin bertemu Tuhan di surga,” katanya kepada diri sendiri. Dan ternyata terbanglah ia dengan sayap terbuat dari lilin yang menempel di punggungnya.
Tidak seperti diriku yang cukup melamun di bawah awan hitam, Ikarus berhasil menembus sang awan dan terus melesat menembus langit. Ia terbang melewati bintang-bintang. Terus melayang di angkasa raya yang megah. Hingga suatu saat, tak sadar Ikarus ternyata terbang mendekati sang surya. Sayap-sayap lilin yang menempel dipunggungnya pun perlahan meleleh. Terlambat bagi Ikarus untuk menyadari, bahwa sayap-sayap lilin itu tidak tahan terhadap tempaan panas sinar Sang Surya. Dan jatuhlah Ikarus ke permukaan bumi. Ia jatuh dan mendarat di sebuah danau. Danau yang indah dan menakjubkan. Begitu indah dan menakjubkan danau beserta pemandangan alamnya itu, sehingga Ikarus terlena untuk terus berdiam selamanya disana dan melupakan keinginannya untuk ke surga bertemu Tuhan.
“Toh, Tuhan ada juga disini. Di Danau ini. Kiranya diriku tak usah lagi mencari-cari surga,” Ia bergumam.