Sirkus politik pemerintahan
akhir-akhir ini sungguh luar biasa bikin migren. Mulai dari koalisi partai
politik, bergabungnya gerbong Om Prabs, komposisi kabinet Om Joks sampai arah
kebijakannya. Melihat semua dinamika itu, mulai dari penentuan koalisi sampai
arah kebijakan, bagiku terasa cukup turun naik. Tapi, tetap saja ada benang
merahnya: seakan-akan semuanya itu menjauh dari perspektif kerakyatan.
Meliput politik nasional
tahun-tahun terakhir seperti menegaskan anggapan yang muncul di dalam benak,
bahwa semua permainan itu hanyalah manuver-manuver elit. Tidak ada sangkut
pautnya dengan publik. Petinggi parpol sangat berkepentingan dengan sumber daya
yang bisa didapatkan dengan bergabung kepada pemerintahan. Pos-pos
kementerian/lembaga tidak ubahnya seperti sapi perahan untuk memakmurkan kas
partai dan orang-orang elitnya. Cukup mengesalkan bila mengingat sumber
anggaran kementerian/lembaga sebagian diantaranya dari pajak rakyat.
Kemudian, di media
massa, elit-elit partai itu berbicara dengan berbusa-busa mengenai hal-hal yang
seakan sangat luhur: kebangsaanlah, persatuanlah, demi rakyatlah. Mereka bicara
sesuatu hal yang berada di awang-awang. Tapi praktiknya ya seperti itu, pos
yang mereka tempati memberi mereka kuasa, memberi mereka penghasilan untuk
memperkaya diri sendiri dan lingkarannya.
Bahkan Om Prabs saja
rela untuk menjadi menteri. Sikap yang sangat jungkir balik bila mengingat
kiprahnya sebagai capres. Mungkin dia butuh sorotan untuk kepentingan 2024
nanti. Mungkin dia butuh dana untuk mengganti semua pengeluarannya yang telah
terkuras selama kampanye lalu. Dan kemungkinan itu yang kuat. Bila memang orang
bertarung secara ideologis, akan sangat kecil kemungkinannya ia bergabung
dengan pihak yang bertentangan. Tapi, ini lain. Kalau kata Om Prabs, ini demi
keutuhan negara, demi pengabdian kepada negara dan bla-bla-bla lainnya yang
luhur. Bisa saja sikap Om Prabs itu mengandung ideologi, tapi ideologi sapi
perah. Intinya bersiasat untuk mencari penghasilan, bukan kerja-kerja
kerakyatan.
Sikap bagi-bagi
penghasilan terlihat ketika Om Joks mengumumkan adanya pos wakil menteri.
Sebuah pos yang pada periode lalu tidak ada. Setengahnya diisi oleh orang-orang
partai. Setengahnya lagi konon profesional. Terus ada lagi yang relawan semasa kampanye
masuk ke pos kementerian/lembaga ini dan itu. Dari luar, komposisi kabinet kali
ini terlihat gemuk. Berkebalikan dengan keinginan Om Joks yang ingin serba
efisien. Tapi tidak tahulah. Mungkin Om Joks tersandera juga. Komposisi kabinet
kali ini seperti harga yang harus dibayarnya untuk sebuah tampuk kekuasaan yang
telah dipertahankan. Harganya oligarki.
Kemudian kebijakan Om
Joks juga sudah semakin aneh. Ia terus saja menggaungkan investasi dan ekspor,
investasi dan ekspor. Ini seperti mengulang kebijakan Orde Baru lalu, namun
dengan nuansa doktrin murni pasar bebas. Tanpa adanya embel-embel kroni, kolusi
struktural ala Soeharto dulu.
Dan jangan lupa, desas-desus
yang Om Joks katakan tentang kebijakannya itu adalah demi rakyat. Demi
penciptaan lapangan kerja, katanya. Ini juga bikin migren. Doktrin ini
bau-baunya sudah seperti pengharapan buta akan tetesan kemakmuran dari para
kapitalis transnasional. Nubuatku, bila memang ia berkoar tentang penurunan
rasio gini, maka sesumbar investasi dan ekspor ini tidak akan menurunkannya
dengan signifikan. Akan makin banyak orang yang terlibat dalam hubungan
produksi eksploitatif, bekerja dengan intensitas yang tidak berpengaruh apapun
terhadap indeks kebahagiaan dan penghisapan hasil kerja yang semakin kuat oleh
para elit penguasa kapital.
1 komentar:
Numpang promo ya Admin^^
ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat
ayo segera bergabung dengan kami di ionpk.biz ^_$
add Whatshapp : +85515373217 || ditunggu ya^^
Posting Komentar