Apa yang sebenarnya dicari dari sebuah momentum ‘malam keakraban’, ketika beberapa puluh orang yang pernah sempat hadir bersama dalam kurun waktu tertentu berkumpul kembali? Memuaskan kerinduan untuk merasakan lagi saat-saat yang pernah dilalui bersama? Apabila begitu, lalu untuk apa? Apakah untuk mengingat kembali? Apa manfaatnya bagi diri kita bila kita mengingat saat-saat yang pernah dilalui tersebut?
Ibarat cerita perjalanan. Suatu waktu kita berhenti melangkah. Kita membalikan tubuh kita ke arah belakang. Melihat apa-apa saja yang terbentang dibelakang punggung kita saat melangkah ke depan. Mungkin bila kita berjalan di atas pasir, kita akan melihat alas sepatu kita tercetak di atasnya. Membentuk sebuah alur dimana semakin jauh alur itu, ia akan semakin mengecil. Itu bila angin tidak kencang berhembus. Bila kencang, alur tersebut mungkin akan hilang. Kita hanya melihat pasir-pasir yang beterbangan mengikuti liukan angin yang berdesir.
Mungkin sedikit dari diri kita menginginkan untuk kembali ke belakang. Ke ‘saat yang itu’. Yang terbayang mungkin hanya tawa dan keceriaan. Tapi, ketika menjalani ‘saat yang itu’-pun, seringkali terdengar keluhan-keluhan. Celetukan ketidakpuasan, seperti ‘ah, kenapa, sih, harus begini?!’ atau ‘uh, andai saja semua ini cepat berlalu!’ menjalani ‘saat yang itu’ seringkali kita muak, bahkan ingin cepat-cepat keluar darinya. Tetapi ketika semua itu mengecil ditinggalkan, hati menjadi bergetar. Pikiran dan perasaan akan mengenang ‘ah, betapa manisnya’. Ada kontradiksi disini.
Beberapa hal menjadi tereduksi. Peristiwa-peristiwa yang membuat pait perasaan, memakan hati, melelahkan pikiran dan perasaan sekaligus, seakan-akan dihapuskan dari relung memori. Semuanya dikerdilkan artinya oleh sebuah ajakan atau undangan bertema ‘malam keakraban’. Rasanya seperti menafikkan hal-hal yang melelahkan hati dan pikiran di masa lalu yang kita bahkan tidak ingin mengingatnya atau menjalaninya kembali. Itu hanya untuk melebur dalam ritual pelepas kepenatan dunia urban yang kebetulan diberi tajuk ‘malam keakraban’ dengan embel-embel ‘reuni’-an. Betul, kita terasing dan kita tidak ingin menjadi manusia yang kesepian.
Ini hanya romantisme belaka. Setidaknya begitu ada yang berkomentar. Mungkin ia yang berkomentar mengetahui, di jalan yang profan ini, semuanya berlangsung biasa-biasa saja. Mau kita berhenti sejenak untuk menengok ke belakang, mau kita terus maju kedepan, pada akhirnya, ya, begitu itu, kehidupan. Dan ‘malam keakraban’ yang diembel-embeli reunian, pada akhirnya akan seperti itu juga, biasa-biasa saja.
Menurut saya, memang, tidak ada gunanya untuk mengulangi hal-hal yang telah dilakukan. Bila satu urusan telah selesai dijalankan, maka jalanilah urusan yang lain. Menempatkan diri dalam situasi dan kemungkinan baru. Menyimpan hati yang telah lama dan usang dalam sebuah peti. Bukan untuk melulu dipelototi, apalagi memaksakan untuk memakainya di dada. Padahal kita tahu, ruang dan waktu ini, sudah tidak bisa lagi digetarkan oleh hati yang telah menemukan tempatnya di masa yang sudah lalu. Tetapi, sekadar bukti otentik untuk diri ini saja, seperti, “oh, ya, saya pernah ada di saat yang seperti ini,” sudah. Begitu saja.
Catatan akhir:
Untuk teman-teman Jurnalistik Unpad Angkatan 2004, semoga berbahagia dalam menjalani hidup ini dan sukses selalu di masa sekarang ataupun yang akan datang. Good times, bad times…let it roll, hommies!!!
8 komentar:
menyenangkan memang berkumpul bersama teman2.. apalagi kalo udah lama nggak ketemu.. they give us new spirit for tomorrow.. ^^ hehehe...
bo, maneh lulus iraha?
*pasti lila keneh nya, hahahhaa
jangan percaya ama orang margahayu
buset..maenannya kelurahan!!
ko gw jadi sedih pas baca "NB"-nya..bisa ga ya angkatan 2005 makar kedua?
ko gw jadi sedih pas baca "catatan akhir"-nya..bisa ga ya angkatan 2005 makar kedua?
insyaalloh, dua taun deui, lur.
yakin??? sok ateuhh..
Posting Komentar