I
Ini sebenarnya bermula
dari rasa penasaran saja setelah menonton film Contagion. Penasaran kira-kira
apa yang ada dalam benak pembuatnya ketika mengetahui bila dunia saat ini
berjalan sangat mirip dengan apa yang mereka buat delapan tahun lalu. Petikan
wawancara Michelle L.. Norris dengan penulis naskah Contagion, Scott Z. Burns,
akhirnya kutemukan di laman daring the
Washington Post.
Ada satu topik wawancara
yang menarik di laman itu, yakni terkait kepercayaan terhadap otoritas pakar dan
sains dalam membuat film. Awalnya Scott bercerita kepada Michelle tentang rasa
penasarannya mengenai transmisi virus flu burung. Ia penasaran mengenai
kemungkinan jika transmisi virus dari binatang ke manusia seperti halnya dalam
flu burung bisa berubah menjadi transmisi antar manusia. Ia berandai-andai
mengenai dampaknya jika transmisi virus antar manusia itu terjadi di tengah
mobilitas manusia yang sangat tinggi pada saat ini. “Saya penasaran mengenai
apa yang akan terjadi di dunia dimana orang-orang sudah jamak bepergian antar
kota, dimana orang kini bisa bekerja satu minggu di London dan satu minggu
lainnya di New York. Saya penasaran bagaimana gaya hidup tersebut memberikan
peluang bagi suatu virus untuk menemukan pijakannya,” kata dia.
Ia kemudian bertanya
mengenai kepenasarannya itu kepada pakar epidemiologi, Larry Brilliant. Scott
menyampaikan alasannya mengapa ia sampai harus bertanya kepada Larry. “Supaya
film saya memiliki dasar yang kokoh dan tidak keluar dari batasan yang
dimungkinkan oleh sains,” tuturnya.
Jawaban Larry sendiri
kepada Scott cukup merinding-merinding sedap, setidaknya bila membayangkan
percakapan yang terjadi antara keduanya yang mungkin saja lebih dari 8 tahun
yang lalu. “Yah, pertanyaannya bukan tentang ‘seandainya’ hal seperti itu bisa
menjadi sebuah pandemi, tapi tentang ‘kapan’ itu terjadi,” ujar Larry
sebagaimana diucapkan ulang oleh Scott kepada Michelle.
Lebih lanjut, Scott
ditanya mengenai pandangannya ketika pandemi virus corona merebak. Scott
menjawab ada sebuah rasa sedih dan frustasi ketika melihat situasinya. Sedih
karena banyak korban jiwa dalam pandemi itu dan frustasi karena banyak pihak
yang dianggap belum menyerap benar kegentingan situasinya. “Seharusnya pandemi
virus corona bisa dihindari dengan pendanaan yang memadai terhadap setiap sains
yang terkait dengannya,” kata Scott.
Membaca wawancara dengan
Scott itu itu cukup memberikan wawasan mengenai alam pikir orang-orang di AS
saat ini. Jelas, Scott adalah bagian dari mereka mempercayai sains saat
bercerita tentang filmnya. Ia menimang-nimang apakah imaji yang akan diwujudkannya
kelak dalam sebuah film bisa mendekati realitas dengan berpegang pada
kemungkinan-kemungkinan yang didasarkan pada sains. Tapi, entah sebagian besar
orang lainnya. Terlebih bila mengingat bahwa kepercayaan terhadap pakar dan
sains saat ini sebenarnya tengah memanas diserang, terutama di negara “maju”
seperti AS. Contohlah, gerakan bumi datar, gerakan anti-vaksin, atau bahkan
gerakan rasis yang mengaitkan bawaan ras tertentu dalam kerangka evolusi
Darwinisian. Gerakan itu cukup mendapatkan sorotan dan dalam beberapa hal
selalu dikaitkan dengan sebuah konspirasi di dalamnya.
Kecenderungan anti-sains
itu semakin vulgar terlihat di tengah pandemi virus corona saat ini. Di satu
sisi, ada kompleksitas didalamnya karena terkait dengan penghidupan seseorang.
Konsekuensi penanggulangan virus melalui karantina telah membuat banyak orang
kehilangan pekerjaannya. Banyak orang membuah jauh-jauh opsi karantina yang
terbukti secara saintifik meredakan infeksi karena masalah tuntutan
penghidupannya. Kasus ini tentu tidak bisa disederhanakan menjadi persoalan
anti-sains semata. Namun, di sisi lain, ada juga yang berpijak kepada persoalan
ekonomi seperti itu sebagai dasar argumennya dalam menolak penanggulangan virus
corona secara saintifik, tetapi dengan cara berpikir yang degil dan sebaiknya
disebut anti-sains karena saking bodohnya. Ini misalnya terlihat dengan
pernyataan Presiden AS Donald Trump mengenai tes terhadap warganya yang dinilai
berlebihan.
Aaron Blake, wartawan The Washington Post, menulis pernyataan
Trump tentang tes virus yang dinilainya aneh. Sebagaimana dikutip dari laman the Washington Post, Blake menulis bila
Trump terus-menerus mengeluarkan pernyataan aneh mengenai kemungkinan melakukan
tes virus. Hal ini ia katakan dengan merujuk perkataan Trump pada awal Mei
2020. “Ketika anda melakukan tes, maka anda mendapatkan kasus. Ketika anda
melakukan sebuah tes, maka anda akan menemukan ada yang salah dengan
orang-orang. Jika kita tidak melakukan tes sama sekali, kita akan memiliki
jumlah kasus yang sangat sedikit,” kata Trump.
Bagi Blake, implikasi serius yang terkandung dari pernyataan Trump dan luput dinyatakan secara jelas adalah jika seseorang tidak melakukan tes, maka kita juga tidak bisa mengetahui siapa saja yang bisa menyebarkan virus. Begitu juga anda mungkin tidak akan mengetahui cara memperlakukan seseorang dengan benar untuk menghindari kemungkinan terburuk. Dengan kata lain, Trump mendorong ke situasi yang lebih buruk di tengah pandemi virus corona ini.
Blake kemudian mengambil
kesimpulan bila seluruh komentar Trump mengenai tes virus ini membingungkan dan
dalam banyak hal omong kosong belaka. Lebih dari itu, ia menilai, pernyataan
Trump tersebut menunjukkan pengabaian terhadap upaya sungguh-sungguh untuk
meluaskan tes virus. Sebuah pembawaan yang dinilainya bertentangan dengan sikap
Ketua Gugus Tugas Virus Corona AS, Anthony S. Fauci, dan juga pakar kesehatan
lainnya di AS yang sepakat terhadap tes virus sebagai upaya untuk mendatarkan
kurva dan mengatasi penyebaran virus corona.
Bagiku, sikap anti-sains
Trump ini tampaknya lebih kepada beban persaingan yang ia pikul. Terlebih bila
mengingat slogan kampanye yang terus ia dengungkan; buat Amerika hebat kembali.
Dalam sebuah pernyataan pers di laman yang sama, Trump menyatakan, “media suka
mengatakan bahwa kami memiliki kasus yang paling banyak, dan sejauh ini, yang
melakukan paling banyak tes virus. Jika kami melakukan tes yang sangat sedikit,
kami tidak akan memiliki kasus yang banyak. Jadi, dengan kata lain, dengan
melakukan tes-tes ini, kami membuat diri kami tampak buruk”.
Pertama-tama, Trump
mengisyaratkan bila ia sangat peduli pandangan pihak lain. Kesampingkan dahulu
penanggulangan virus, pandangan orang lain setidaknya perlu diperhatikan. Pandangan
negatif tentang Amerika tidak akan membuat Amerika hebat. Ini penuh dengan
intensi persaingan.
Sikap Trump sangat khas pengusung
neoliberalisme sampai ke tulang sum-sum. Ini setidaknya bila merujuk kepada
pemahaman neoliberalisme ala Katerine Marcal. Ia memahami neoliberal sebagai
bentuk kompetisi di dalam pasar. Katerina pernah bilang dalam bukunya Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith,
“perbedaan antara liberalisme dan neoliberalisme adalah bahwa dalam liberalisme,
eksistensi dipandang sebagai jumlah total dan konsekuensi dari pertukaran,
transaksi dan kontrak”. Sementara neoliberalisme “tidak menempatkan
penekanannya pada pertukaran, melainkan berfokus pada kompetisi. Kompetisi
adalah gagasan dasar yang dipakai untuk menafsirkan dunia”. Bila kompetisi
adalah cara pandang untuk menafsirkan dunia, maka seluruh isinya adalah pasar,
tempat transaksi jual-beli dimana segala sesuatunya bisa dikuantifikasi secara
rasional. Neoliberalisme dalam pandangan Katerina hanya menambah bobot
pertukaran dalam pasar dengan memasukkan tuntutan kompetisi.
II
Banyak faktor yang
mempengaruhi kemunculan anti-sains. Keyakinan fundamentalisme terhadap agama,
kepercayaan common sense yang konservatif, kelahiran mesin pencari seperti
google, sampai mekanisme click-bait dalam media digital, semua itu bisa
berpengaruh terhadap meningkatnya kecenderungan anti-sains di masyarakat.
Setidaknya demikian bila memperhatikan apa yang disampaikan oleh Tom Nichols.
Tom Nichols adalah seorang
pakar di bidang hubungan internasional asal AS. Ia termasuk golongan yang
kegerahan terhadap kecenderungan anti-sains yang muncul di masyarakat AS saat ini.
Saking gerahnya, ia sampai meluapkan kekesalannya dalam buku yang berjudul The
Death of Expertise dan terbit tahun 2017. Buku itu dialihbahasakan menjadi
Matinya Kepakaran dan terbit pertama kali di Indonesia setahun setelahnya.
Dalam buku itu, posisinya jelas: kepercayaan terhadap sains dan dengan demikian
kepanjangannya, yakni para pakar, mutlak diperlukan. Memang, ya, di sana-sini
pakar membuat kesalahan. Saran yang dikeluarkan dari mereka tidak jarang
meleset. Tapi, supaya masyarakat berjalan ke arah yang benar, diperlukan
panduan yang didasarkan pertimbangan-pertimbangan yang kokoh. Pertimbangan itu
tidak ujug-ujug turun dari langit, tapi muncul setelah melalui proses riset saintifik
yang seksama dan teliti. Dalam hal inilah, pakar berperan. Itu, setidaknya
intisari Nichols dalam bukunya.
Jadi, Tom Nichols ini
kurang lebih ingin mempertahankan tatanan sosial aristokrasi ala Plato. Sebuah tatanan yang dikendalikan
oleh “orang-orang terbaik” dalam hal pengetahuan. Sebagaimana ditulis Martin
Suryajaya dalam bukunya Sejarah Pemikiran Politik Klasik, aristokrasi adalah “pemerintahan
oleh orang-orang terbaik dalam hal pengetahuan politik, yakni pemerintahan oleh
para filsuf-raja dan filsuf-ratu”. Kebebasan berpendapat dalam demokrasi,
setidaknya bagi Nichols, adalah kumpulan orang-orang awam yang marah menuntut
semua tanda keunggulan, terlepas memang mereka benar unggul atau tidak. Kondisi
demokrasi pada abad 21, dalam pandangannya, telah meningkatkan kadar kebebalan
masyarakat dengan suatu cara pengakuan kebenaran hanya menurut dirinya sendiri.
Jadinya, setiap orang dalam masyarakat demokrasi yang setara justru berjalan
sendiri-sendiri, tanpa adanya kepercayaan dan kerjasama dengan yang lain. Hal
ini justru mengancam demokrasi itu sendiri.
Tapi memang, bagiku,
tentu tidak semudah itu juga bila memikirkan tentang kehidupan sosial dan
bernegara. Sejauh menyangkut negara sebagai pemegang keputusan akhir tentang
arah masyarakat berjalan, perkara bisa sangat-sangat kompleks. Politik, fraksi
kepentingan yang ada di dalam negara, bisa membuat sebuah hasil riset saintifik
menjadi sangat berkabut. Tidak ada jaminan juga bila pakar, sosok yang
menjalankan sebuah riset, “orang-orang berpengetahuan terbaik”, adalah sosok
yang bebas nilai. Mungkin, ya, setiap pakar bisa mengklaim satu-satunya nilai
yang ada dalam dirinya adalah bahwa ia mengemban tugas untuk kepentingan
bersama, kepentingan masyarakat. Ya, setiap pakar bisa mengklaim hal seperti
itu. Namun sebagai manusia, pakar tidak terlepas dari pandangan ideologi
tertentu sesuai dengan kelas dimana ia berada, strata sosial tempatnya berpijak.
Dan kelas, sejauh ia berkaitan dengan siapa yang berkuasa mengambil apa dari
kelas lainnya yang tidak berkuasa dalam strata sosial, bisa mereduksi makna
kepentingan masyarakat bersama menjadi kepentingan sebagiannya saja. Antonio
Gramsci setidaknya memunculkan istilah intelektual organik bukan tanpa sebab.
Namun demikian, terlepas
dari perkara pakar, setidaknya ada benteng bagi sains dimana ia tidak semudah
itu jatuh menjadi sekadar omong kosong hoaks atau upaya penyesatan masyarakat. Sains
memiliki keterikatan kuat dalam hal pengujian secara empiris. Keterikatan itu
menjadi semacam mandatori bagi sains, baik itu sains pasti maupun
sosial-humaniora.
Lebih dari itu, sains
memiliki benteng dalam bentuk metode, metodologi dan paradigma. Ketiga hal
itulah yang menjadi pijakan untuk menentukan bila sebuah riset memang
saintifik, pseudo atau bahkan bukan saintifik sama sekali (dan oleh karenanya
tidak bisa diterapkan). Pengujian demi pengujian adalah yang membuat sains
berproses menjadi kokoh.
Memang, ketiga hal
tersebut bervariasi dan kerap membingungkan bagi kebanyakan orang. Contohlah
misalnya paradigma positivistik, konstruktivis atau kritis, dalam lapangan
pengetahuan sosial-humaniora. Atau, misalnya dalam lapangan pengetahuan ekonomi,
ada mazhab-mazhab ekonomi-politik klasik, neoklasik sampai ekonomi-politik
marxis, yang satu sama lainnya saling menyerang. Memang tidak ada jalan yang
mudah untuk memahami. Dan sejauh dunia yang berputar saat ini menuntut segala
sesuatu terjadi dengan instan, memahami sains dan menyandarkan diri kepadanya
untuk memandu jalan menjadi ujian yang tidak mudah. Tapi, itu harus diupayakan.
2 komentar:
Togel Online Bisa menjadi pilihan anda dalam mencari hasil besar
Posting Komentar