Kamis, 28 Mei 2009

Bahasa Daerah Terancam Punah? Biar Saja Punah Bila Tidak Praktis

Pusat Bahasa telah menghasilkan beberapa kesimpulan awal mengenai eksistensi bahasa daerah di Indonesia. Salah satunya adalah penemuan bahasa daerah yang ternyata telah punah karena minimnya penutur. Kesimpulan itu keluar setelah sebelumnya Pusat Bahasa melakukan penelitian mengenai bahasa daerah di Indonesia. Kesimpulan yang dikeluarkan Pusat Bahasa itu bisa dibaca di Kompas edisi 27 Mei 2009.

Terkait dengan adanya bahasa daerah yang telah punah itu, Kepala Pusat Bahasa Dendy Sugono berkomentar, seperti yang di ambil dari Kompas, hilangnya bahasa daerah akan menghilangkan akar kebudayaan suatu daerah. Selain itu, Sekretaris Jenderal Depdiknas Dodi Nandika juga berkomentar, kepunahan bahasa daerah merupakan kerugian besar bagi pertumbuhan suatu bangsa.

Di sisi lain, pakar capruk ga jelas: abo si eta tea, berpendapat hilangnya bahasa daerah tidak harus berarti hilangnya kebudayaan suatu daerah atau kerugian besar bagi pertumbuhan suatu bangsa. Hal itu bila dikaitkan dengan posisi bahasa daerah bagi penuturnya.

Bahasa adalah sekadar alat untuk berkomunikasi di antara manusia. Pikiran manusia adalah sesuatu yang abstrak, dan bahasa hadir untuk mengkonkretkan pikiran abstrak tersebut. Pikiran yang abstrak itu memang tidak akan utuh, ketika dikonkretkan dalam sebuah bahasa. Ada saja makna yang masih terdengar samar-samar. Contohnya: apa pengertian utuh dari pemikiran “aku cinta kamu”? atau apa pengertian utuh dari pemikiran mengenai “neoliberalisme” yang sedang hip akhir-akhir ini? Saya mah rieut. Tetapi dengan bahasa, manusia yang berkomunikasi setidaknya dapat ‘mendekati’ pengertian yang sama.

Nah, bila ada bahasa daerah yang punah, karena jumlah penuturnya minim hal itu bisa jadi disebabkan bahasa daerah itu terlalu ribet, ketika digunakan oleh penuturnya. Misalnya, bahasa Sunda halus yang konon bagi anak jaman sekarang terlalu rumit. Ada saja cerita bagaimana mayoritas anak muda sunda saat ini “blah-bloh” ketika berkomunikasi menggunakan bahasa sunda dengan orang sunda yang juga menjadi saksi hidup Bandung Lautan Api. Karena tingkatan bahasa sunda yang tidak banyak diketahui dan beberapa kata yang memang terdengar asing di telinga anak muda sunda saat ini, maka perlahan bahasa sunda “karuhun” itu mulai ditinggalkan. Sehingga hasilnya adalah seperti saat ini, bahasa sunda pasar. Campur sari dengan bahasa daerah lainnya atau bahasa “slank”. Tetapi itulah yang umum digunakan oleh kebanyakan orang sunda saat ini. Sebabnya, karena bahasa sunda pasar itu yang ternyata praktis dan mudah dimengerti. Walaupun, di satu sisi, ada saja “budayawan garda terdepan penjaga adat istiadat nenek moyang berumur 50 tahun ke atas” yang selalu mengeluh dan mengeluh tentang tiadanya kesadaran anak muda menjaga tradisinya. Budayawan-budayawan bangkotan itu seringkali mengeluh dengan berpijak dari perasaannya ketika melihat banyaknya pemakaian bahasa sunda pasar oleh mayoritas anak muda saat ini.

Saya pikir, sang budayawan bangkotan setidaknya harus belajar menerima kenyataan, bahwa bahasa sunda karuhun yang dia gemari itu ternyata tidak digemari oleh anak muda sunda di jaman sekarang. Jaman berubah, semuanya tidak akan sama lagi.

Dokumentasi dan Minat Baca

Daripada banyak mengeluh mengenai ketakutan akan hilangnya “akar tradisi dan adat istiadat suatu daerah” disebabkan punahnya bahasa daerah, lebih baik dilakukan sebuah langkah aktif. Setidaknya, ada dua masalah yang cukup penting terkait dengan masalah bahasa daerah ini, yakni dokumentasi dan minat baca.

Seperti telah ditulis di atas, bahasa hanyalah sebuah alat untuk berkomunikasi. Seperti manusia yang selalu mengalami perubahan, begitupun dengan bahasa. Seiring perubahan yang terjadi dalam diri manusia, tidak tertutup kemungkinan sebuah bahasa akan hilang atau sebaliknya, berkembang. Maka dari itu, pengenalan akan kegiatan dokumentasi menjadi penting disini. Salah satu contoh kecilnya, sebutlah kamus bahasa daerah. Kamus berperan penting untuk mendokumentasikan kosakata-kosakata yang terdapat dalam bahasa daerah. Biarlah bahasa daerah musnah, karena jumlah penuturnya berkurang atau tidak ada, asalkan kosakata bahasa daerah tersebut sudah tercetak dalam sebuah kamus, sehingga dapat menjadi pengetahuan bagi generasi selanjutnya. Dengan begitu, walaupun sebuah generasi baru itu tidak lagi paham mengenai bahasa daerah yang sudah atau hampir punah, namun generasi itu masih bisa mengetahui tentang eksistensi sebuah bahasa daerah yang dulu pernah ada.

Dokumentasi itu tidak hanya dalam bentuk kamus saja, bisa juga dalam bentuk karya sastra dan kebudayaan. Kiprah Pusat Bahasa yang berhasil memetakan 442 bahasa dari 2.185 daerah, seperti yang diberitakan juga oleh Kompas, merupakan hal yang patut diapresiasi. Walaupun masih jauh dari sempurna, karena nyatanya masih ada sekitar 304 bahasa daerah di Indonesia belum selesai dipetakan.

Kesadaran akan pentingnya dokumentasi dikalangan masyarakat menjadi hal yang penting di sini. Untuk menumbuhkan kesadaran dokumentasi tersebut, maka yang perlu dilakukan pertama kali adalah menumbuhkan minat dan cinta membaca. Siapapun tahu, dengan membaca, maka cakrawala dunia terbuka. Para nelayan di pulau Madura bisa mengetahui sebuah gua bernama Hira di daratan Arab jauh di sana, karena ia pernah membaca terjemahan kitab al quran yang salah satu isinya menceritakan tempat yang biasa dipakai Nabi Muhammad untuk merenung. Seorang mahasiswa dari Indramayu mengetahui ada sebuah aliran kristen bernama Mormon di daratan Amerika sana, setelah sebelumnya dia membaca laporan seorang wartawan yang meliput mengenai kelompok yang mempunyai dua kitab suci ini di sebuah majalah.

Intinya, punahnya bahasa daerah disebabkan tidak ada lagi penutur bukanlah sebuah masalah. Tetapi masalah sebenarnya adalah ketika tidak ada lagi kesadaran serta pengetahuan mengenai pentingnya dokumentasi dan membaca. Dua hal itulah yang berpotensi menyebabkan hilangnya akar sebuah kebudayaan daerah. Bukan penutur yang tidak ada lagi.

Senin, 25 Mei 2009

Milarian Landong Kanggo Manah

Abo
sare lur. geus subuh
3:03am

Arrie
sare wae ath lieur
wkwkwkw
3:03am

Abo
enya
3:03am

Arrie
mimpi wae mah
heu
ker naon brad?
3:04am

Abo
hehe. teu bisa sare euy
3:04am

Arrie
sami
3:04am

Abo
loba nu hilir mudik di jero hulu
raribut
3:04am

Arrie
hehehehe.....
ho oh... mikiran hirup uink ge
pararusig lah
wuuffff
:P:P
3:05am

Abo
enya bray
teu pararuguh
di imah ente?
3:05am

Arrie
d bumi
hayng sare ngan sien ngimpi uy
ke lamun teu kasapean sien gelo
wkwkwkwwkw
3:06am

Abo
eta pisan lur
unggal peureum...bray raribut
beunta asa sepi da geus subuh
3:07am

Arrie
nya pisan..,,,
peureum nyampak na hareupeun,
beunta ngadon jadi ling-lung uy.
heu
3:08am

Abo
landong na naon atuh kira-kira?
maenya cikohol mah
beuki teu puguh
3:09am

Arrie
wkwkwkwkw..
jigana mah, marley rada bisa poho saeutik mah lur
hehe
3:10am

Abo
hakhakahak
sok atuh ri
aya meureun sapaket mah
meh jempe nu ya di otak
3:10am

Arrie
si odonk ker OL..
tanyakeun lur
3:11am

Abo
naha teu kaciri ol si udunk di urang mah euy
3:11am

Arrie
lain udunk, odonk,, s dony
3:12am

Abo
dony saha?
teu apal urang?
3:12am

Arrie
budak 7 oge...
baheula na mah bageur
3:12am

Abo
ayeuna beuki ganja kitu?
hakahakahak
3:13am

Arrie
ho oh
pisan
eleh lah urg ge
tuh brad bgajakan sum2
3:14am

Abo
sok atuh rada merapat ka palih dinya urang na
3:14am

Arrie
ke gampang, mun aya mah dikabaran
3:15am

Abo
teu sare kalahka melototoan facebook nya euy
dasar
3:16am

Arrie
ho oh..
coba ada marley, dah tidur dari tadi deh...
wkwkw
ke kemis cenah brad
3:16am

Abo
enya lah. kabari we
eh, jigana urang rek offline
nyobaan peureum
doakeun nya?
3:17am

Arrie
okay lur.. ke dikabaran

Sabtu, 23 Mei 2009

Refleksi Job (Bag. 2)

Tidak beberapa lama, terlihat lagi ambulans datang dan bergerak menuju ke arah belakang RS Salamun. Hugo meminta saya untuk mengikuti dan memotret ambulan yang baru datang itu. Saya patuhi perintahnya dan segera balik lagi ke belakang RS Salamun. Namun demikian, ambulan itu tidak terkejar. Mobil itu keburu masuk ke dalam. Lagi-lagi saya terdiam di balik pagar. Berbeda dengan pertama kali saya mendatangi tempat itu, kali ini tidak seramai saat pertama kali. Sudah sepi dari kerumunan wartawan dan warga sekitar. Saya lalu berteduh di pos satpam yang terletak di dekat situ. Hari sudah gelap. Hujan tidak sederas seperti sore. Saat itu saya benar-benar kedinginan dan juga lapar. Saya melamun, memikirkan peristiwa-peristiwa yang terasa cepat dan menegangkan ini. Tiba-tiba Hugo menelepon. Dia akan kembali ke kantor. Sedangkan saya disuruh standby di RS Salamun dan mencari keluarga korban bernama Amalia itu. Jantung saya kembali berdegup kencang. Bagaimana saya mencarinya. Pintu masuk masih dijaga ketat.

    “Tidak tahu bagaimana caranya, pokoknya kamu cari keluarga korban itu!” kata Hugo lewat telepon. Saya iyakan perintahnya, walaupun dalam hati, saya bingung dan gugup luar biasa.

    Setelah menerima telepon itu, saya kembali ke pintu masuk depan RS Salamun. Waktu itu, saya meminjam motor Hendro. Jarak antara bagian belakang dan depan RS Salamun cukup jauh bila ditempuh dengan jalan kaki. Namun demikian, tidak akan terasa jauh bila ditempuh memakai motor. Tetapi, hujan gerimis saat itu, membuatku kerepotan juga ketika mengendarai motor. Pada akhirnya, saya harus merelakan seluruh badan saya basah kuyup.

    Saat itu sekitar pukul 20.00 WIB. Hugo sudah kembali ke kantor untuk menulis berita. Saya masih diam di RS Salamun bersama Hendro dan Pinto. Kang Handri menelepon saya. Menyuruh untuk diam di RS Salamun dan mewawancarai keluarga korban yang datang. Saya amini. Suasana malam itu di RS Salamun cukup berbekas bagi saya. Kebingungan dan ketegangan yang saya rasakan saat itu benar-benar sebuah pengalaman baru bagiku. Saya cukup kesal, karena tidak diperbolehkan masuk saat itu. Saya terus saja melihat pintu masuk yang dijaga oleh perwira TNI AU tersebut. Disela-sela penantian, Pinto bercerita padaku, ada seorang wartawan Kompas yang berhasil masuk ke RS Salamun. Saya tidak mengerti, bagaimana wartawan Kompas itu bisa melewati penjagaan perwira TNI AU di pintu masuk. Mungkin perkataan Hendro ada benarnya. Bila saja pakaian yang kukenakan saat itu tidak basah kuyup dan berantakan amat, mungkin aku bisa masuk.

    Tidak beberapa lama, terlihat ada beberapa keluarga korban yang datang. Keluarga korban yang sedang berjalan menuju pintu masuk RS Salamun itu langsung dikerubungi oleh wartawan. Blitz dan cahaya sorot dari kamera, ditambah riuh wartawan yang mengajukan pertanyaan, membuat suasana semakin hectic. Saya hanya diam saja dan mengikuti kerumunan wartawan itu. Saya hanya mendengarkan apa-apa saja yang dibicarakan oleh keluarga korban dan yang ditanyakan oleh wartawan. Ada perasaan takut untuk bertanya juga, ketika melihat wajah para keluarga korban yang sendu. Pikiran mereka pastinya sedang kacau, mengetahui ada orang terdekat meninggal karena kecelakaan. Dan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan para wartawan itu tidak akan mengurangi kesedihan mereka. Sekeras apa pun para wartawan mencoba untuk bersimpati.

    Sebenarnya, saya tidak ingin mengerjakan tugas mewawancarai keluarga korban ini. Selain akses yang sulit, suasana saat itu juga bagi keluarga korban tentunya merupakan suasana yang sulit. Mereka sedang berduka. Ada perasaan yang mengganggu pikiran saya, ketika saya misalnya mewawancarai mereka dan menggali perasaan mereka yang sedang berduka itu. Lalu setelahnya, dicetak di sebuah suratkabar untuk dibeli oleh pembaca. Walaupun bisa memakai alasan “it’s public right to get the information”, tetapi rasanya hanya seperti menjual kesedihan orang lain untuk meningkatkan tiras surat kabar. Menjual duka demi keuntungan koran. Pikiran seperti itu yang ada didalam benak selama peristiwa berlangsung.

    Tidak beberapa lama, Kang Handri menelepon. Menanyakan apakah saya sudah mendapat wawancara keluarga korban. Saya bilang saja belum, karena akses yang sulit. Kang Handri bertanya lagi mengenai berita apa saja yang didapat selama saya diam di RS Salamun. Saya bilang padanya, bahwa saya hanya mendapat statement dari gubernur yang menjenguk ke RS Salamun dan seseorang yang kebingungan mengenai daftar nama korban yang rupanya mirip dengan saudaranya. Kang Handri lalu menyuruh saya kembali ke kantor. Saat itu pukul 22.00 WIB. Hendro dan Pinto masih diam di RS Salamun. Saya lalu pamitan pada mereka dan segera merapat ke kantor untuk menulis berita.

    Di kantor, saya bertemu dengan Hugo yang masih menulis berita. Ada perasaan tidak enak juga padanya, mengingat saya tidak berhasil mewawancarai keluarga korban. Saya sampaikan pada Hugo, bahwa saya tidak berhasil mendapatkan keluarga korban. Hugo hanya memandang saya dan mengangguk. Dia lalu kembali mengetik. Saya tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran Hugo tentang saya. Tetapi, saya sudah tidak memikirkan apa-apa. Saya hanya ingin menyelesaikan tulisan dan kembali ke rumah untuk istirahat. Saya belum istirahat betul dari pagi. Tubuh benar-benar lelah. Saat itu pukul 22.30 WIB. Tulisan diselesaikan, kira-kira pukul 23.00 WIB.

    Rekan saya, Damar, juga ternyata ditugaskan untuk meliput kecelakaan Fokker 27. Dia ditugaskan bersama wartawan BE, Donny Wahyu Ramdani, ke RSHS. Sama seperti saya, mereka tidak mendapat hasil apa-apa, kecuali statement dari pihak TNI AU. Damar mengatakan pada saya bahwa suasana di RSHS saat itu benar-benar tegang. Dia sendiri hingga takut. Mungkin karena saat itu pihak tentara yang memberikan statement, sehingga memberi pengaruh secara psikologis juga.

    Setelah merokok dan ngobrol sebentar dengan yang lainnya, saya lalu pulang dan tiba ke rumah sekitar pukul 01.00 WIB. Besoknya jam delapan pagi saya sudah berada di kantor lagi. Hari itu cukup sial juga, berita yang saya tulis mengenai statemen gubernur dan seseorang yang kebingungan mencari saudaranya tidak dimuat. Ada berbagai dugaan dalam benak saya mengapa berita tidak dimuat: ruang yang terbatas atau memang berita yang saya dapatkan tidak penting bagi koran tempat saya job training. Saya tidak memikirkan lebih jauh lagi mengapa berita yang saya tulis tidak dimuat. Saya cukup lelah untuk memikirkannya.

   Di kantor saat itu sudah ada asisten redaktur, Nanang Sungkawa. Hari itu giliran Pak Nanang yang piket pagi di kantor untuk memberikan proyeksi pada para wartawan dan mahasiswa job training. Saya beserta Pak Nanang dan Damar membicarakan tentang tindak lanjut dari kecelakaan Fokker 27. Pada awalnya, Pak Nanang menyuruh kami untuk mencari keluarga korban. Dalam hati, saya sudah malas mendengar tugas itu. Saya mencoba menelepon Amy, teman saya yang bertemu di RS Salamun kemarin malam. Telepon tidak di angkat-angkat olehnya. Entahlah, mungkin dia juga malas menerima telepon saya, karena mengetahui bahwa saya pasti ingin mengejar Amalia. Berkali-kali saya telepon tetap tidak diangkat. Akhirnya Pak Nanang menugaskan kami untuk mencari ahli penerbang yang bisa mengomentari kecelakaan ini. Dalam hati saya lega mendengarnya.

    Lebih baik mencari tahu mengenai sebab-musabab kecelakaan Fokker 27, daripada menggali duka para keluarga korban. Dari satu sisi, human interest yang ada dalam duka para keluarga korban itu tentunya memiliki daya jual. Tapi di sisi yang lain, saya ragu, apakah mengekspos duka keluarga korban merupakan hal yang etis untuk dilakukan.

    Akhirnya, saya dan Damar mengerjakan tugas yang diberikan oleh Pak Nanang. Damar langsung merapat ke ITB mencari pakar aeronautika, sedangkan saya merapat ke Universitas Nurtanio yang terletak dekat Bandara Husein Sastranegara. Saat itu saya mewawancarai dosen Fakultas Teknik Penerbangan Unnur, Godfried Suprianto. Berita mengenai kecelakaan Fokker 27 ini nantinya disatukan dengan tulisan Damar dan juga tulisan lainnya dari jaringan Jawa Pos Grup.    

....(Bersambung).

Jumat, 22 Mei 2009

Refleksi Job (Bag. 1)

Empat puluh lima hari melaksanakan job training ini merupakan sebuah pengalaman yang cukup berbekas bagi saya. saya memiliki kesempatan untuk menulis di sepuluh rubrik yang ada, yakni Cover Story, Headline, Megapolitan Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Lifestyle, Bisnis, Bandung Square, Music and Movie, Healthy, dan Bandung Ekspres Junior. Dalam kurun waktu tersebut, tulisan berita yang dimuat sebanyak 74 dan karya foto (foto berita dan bukan) sebanyak 94. Ada juga berita yang tidak dimuat sebanyak tiga berita.

    Selama pelaksanaan job, saya merasa dididik cukup keras. Sepertinya pihak redaksi BE kekurangan wartawan, sehingga kami diperlakukan seperti wartawan betulan. Kami ditugasi kesana-kemari. Bahkan bila ada peristiwa besar pun, kami turut ditugaskan. Contohnya, seperti kejadian jatuhnya pesawat Fokker di bandara Husein Sastranegara beberapa waktu lalu. Saya disuruh stand by di RS Salamun hingga sekitar pukul 22.00 WIB.

    Saya masih ingat, saat itu pukul 17.00 WIB dan hujan deras mengguyur Kota Bandung. Awak redaksi terlihat cukup sibuk. Bukan pemandangan yang seperti biasanya di kantor saat itu. Air hujan yang menimpa atap kantor menimbulkan suara yang cukup berisik, sehingga kesibukan itu terlihat semakin menegangkan. Belakangan saya ketahui dari Kang Handri, ada pesawat militer jatuh. Baru saja saya beres mengetik berita tentang wacana relokasi Factory Outlet dari Dago ke Gedebage, Kang Handri menyuruh saya untuk merapat ke RS Salamun. Membantu wartawan BE yang sudah ada disana duluan, yakni Huyogo Gabriel Yohanes Simbolon atau biasa dipanggil Hugo.

    Hujan masih deras mengguyur. Para redaktur beserta asisten redaktur yang ada di ruang kerja menatap saya. Tiba-tiba perut saya mules dan jantung berdegup cukup keras. Ini peristiwa besar, kata saya dalam hati. Terasa beberapa asisten redaktur ada yang enggan untuk melepas saya meliput. Mungkin karena menganggap saya adalah mahasiswa magang, bukan wartawan. Sehingga mereka kasihan untuk menugaskan saya ke RS Salamun. Apalagi hujan sangat deras mengguyur saat itu. Tetapi, sebenarnya saya tidak ingin dianggap berbeda dengan wartawan lainnya. Saya ingin dianggap sama, sehingga saya bisa merasakan dunia kewartawanan sesungguhnya. Pak Holis Sutandy, salah satu asisten redaktur, menawarkan saya jas hujan anti air yang dimilikinya sesaat setelah saya keluar dari ruangan redaksi. Tetapi saya tolak. Sebenarnya saya malu dan juga risih, saya tidak ingin dianak emaskan. Sialnya, saya juga tidak memiliki jas hujan. Namun, untunglah rekan saya Damar memiliki jas hujan. Langsung saja saya pinjam jas hujannya.

    Hujan deras yang mengguyur saat itu membuatku kesal sekaligus repot. Tapi saya labrak saja. Yang penting, saya bisa secepatnya sampai di RS Salamun. Selama mengendarai motor,  hujan menghalangi pemandangan saya. Jas hujan anti air milik Damar juga ternyata tidak anti air, tetap saja tembus. Dingin benar-benar menusuk badan. Setibanya di RS Salamun sekitar pukul 18.00 WIB, suasana terlihat riuh dan menegangkan. Puluhan wartawan berkumpul di depan pintu masuk RS Salamun. Ada yang menenteng kamera, ada yang sibuk menulis di notebooknya, dan juga ada yang sekadar mengobrol dengan sesama rekan wartawan. Di RS Salamun juga saya bertemu dengan rekan job lainnya dari PR Fm, yakni Hendro Susilo dan Ajeng Pinto.

    Terdengar kabar, bahwa wartawan tidak boleh masuk ke RS Salamun, sehingga mereka semua berkumpul saja di depan pintu masuk. Penasaran. Saya mencoba untuk masuk. Di pintu masuk, terlihat sekitar tiga orang perwira TNI AU sedang berjaga-jaga. Saya mencoba untuk tenang, semakin saya mendekati pintu masuk, perwira TNI AU itu lalu memelototi saya.

    “Mau kemana?!”, kata salah seorang perwira menghentikan saya.

    Sebenarnya, bila ditilik-tilik, perwira itu seumuran dengan saya. Terlihat dari raut wajahnya. Lalu, saat perwira tersebut menghentikan saya, terlihat juga raut ketakutan dari wajah mereka. Mungkin mereka sama kaget dan juga tegangnya seperti saya. Tetapi, karena terlihat takut itulah, saya pikir perwira itu tidak terlihat seperti TNI benar. Sama saja dengan saya. Manusia yang sedang tegang dan takut.

    “Mau kedalam. Ketemu teman,” kata saya kepada perwira itu dengan tetap mencoba terlihat setenang mungkin. Perwira tersebut melihat saya dari ujung kaki hingga kepala. Lalu dia melihat tas saya yang besar.

    “Itu dalamnya apa?! Kamera?!” katanya dengan intonasi yang cukup tinggi ala tentara. Saya langsung gugup. Saya diam cukup lama. Perwira itu kembali bertanya tentang isi tas saya.

    “Iya, kamera,” saya jawab dengan bodoh.

Seharusnya tidak demikian jawabannya. Tapi sudah terlanjur. Perwira tersebut menanyakan apakah saya seorang wartawan. Saya amini, bahwa saya seorang wartawan. Sebenarnya ini pun jawaban yang bodoh, karena dengan begitu, saya tidak bisa memasuki RS Salamun.
Setelah ditolak masuk oleh perwira itu, saya kembali ke depan pintu masuk. Bergabung dengan wartawan lainnya dan juga rekan job, Hendro dan Ajeng.

“Seharusnya busana yang dikenakan tidak menyerupai wartawan, sehingga perwira itu tidak akan curiga,” kata Hendro saat itu.    

Saya tidak mengerti maksud “busana yang tidak menyerupai wartawan”, tetapi bila saya melihat ke wartawan yang ada di sekitar, umumnya mereka membawa tas besar untuk kamera, pakaian kaos atau kemeja yang kasual, terlihat sibuk sendiri atau merenung. Sedangkan busana saya saat itu adalah busana dan celana panjang jeans biasa. Juga menggendong tas biasa. Namun bedanya, semua itu basah kuyup gara-gara perjalanan dari kantor ke RS Salamun.

Saya mencoba mengontak Hugo yang telah terlebih dahulu tiba di RS Salamun. Ternyata dia sudah ada di dalam rumah sakit. Hugo sudah dari sore di RS. Sekitar pukul 15.00 WIB. Sore itu penjagaan tidak seketat seperti yang saya alami, sehingga Hugo bisa leluasa memasuki RS Salamun. Sambil menunggu Hugo keluar, saya menjepret momen di sekitar RS Salamun dan mencoba mencari jalan masuk lainnya bersama Hendro, namun tidak berhasil. Saat itu, bersama Hendro, saya memutari rumah sakit. Ternyata bagian belakang RS Salamun menjadi tempat transit evakuasi jenazah dari Bandara Husein Sastranegara. Beberapa kali ambulans datang dan pergi mengantar mayat. Seperti di pintu masuk, bagian belakang RS Salamun itupun dijaga ketat. Ada wartawan juga berkumpul di situ. Melalui pagar yang dijaga ketat, saya melihat tenda tempat mayat diidentifikasi oleh tim forensik RSHS. Mayat-mayat tersebut dibungkus oleh kantong plastik. Saat berbincang-bincang dengan salah satu pegawai RS Salamun, pegawai itu mengatakan kondisi mayat benar-benar buruk. Kebanyakan badan sudah tidak utuh, karena terkoyak atau tercabik. Cukup mengerikan bila mendengar cerita pegawai itu.

    Diam dibelakang RS Salamun tersebut hasilnya akan sama saja seperti menunggu di depan pintu masuk: tidak akan mendapat hasil apa-apa. Akhirnya saya dan Hendro sepakat untuk kembali lagi ke pintu masuk RS Salamun di bagian depan. Tidak beberapa lama, terlihat Hugo keluar dari pintu masuk. Ternyata kamera serta kartu identitas Hugo ditahan di pos penjaga. Sesaat setelah mengambil kamera dan kartu identitas, Hugo terlihat mencari-cari sesuatu. Dia lalu masuk ke bagian gawat darurat yang terletak di luar pintu masuk. Hugo terlihat berbincang-bincang dengan perawat ruang gawat darurat. Ternyata Hugo mencari seorang keluarga korban yang ada di sana. Namun apes baginya, karena keluarga korban tersebut sudah kembali lagi masuk ke bangsal tempat seluruh keluarga korban berkumpul di dalam RS Salamun. Sudah tidak memungkinkan lagi bagi Hugo untuk masuk ke dalam RS Salamun, setelah dia keluar. Akhirnya dia hanya diam di depan pintu masuk, sama seperti wartawan lainnya. Sayang sekali.

    Belakangan diketahui, keluarga korban yang dicari oleh Hugo itu adalah seorang perempuan yang juga adalah teman SMP saya dulu. Namanya Amalia Fuji. Ironis bagi Amalia ini. Dia baru saja tunangan dengan salah satu korban kecelakaan Fokker 27. Hal itu saya ketahui, ketika bertemu dengan salah seorang kawan saya bernama Amythia Safitri di RS Salamun. Amy baru saja menjenguk Amalia. Hari itu saya tidak bertemu dengan Amalia. Pekerjaan saya saat itu hanya bulak-balik di depan pintu masuk RS Salamun.

....(Bersambung).

Rabu, 20 Mei 2009

ada yang tetap ketika waktu berlalu

Demi masa, demikian yang tertulis di kitab suci, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Ada nada ancaman sekaligus peringatan di dalamnya. Dan memang dalam kitab itu secara berulang-ulang ditegaskan, segala sesuatu yang termaktub di dalamnya memanglah sebuah peringatan. Entah kenapa perulangan akan peringatan itu begitu di tekankan. Apakah memang manusia pada dasarnya bebal? Mudah sekali dibelokan ketika ia mengarungi kehidupan profan ini?

Dan terhadap teks-teks yang ada di kitab itupun telah banyak orang yang menafsirkannya. Dari sekian banyak tafsir yang dilakukan ada dua arus besar yang mendominasi, di antaranya adalah mereka yang menganggap, sudahlah, hidup memang begini. Tidak ada kuasa apapun bagi seorang manusia untuk melakukan apapun. Karena toh, ia memang tidak punya kuasa. Segala sesuatunya sudah di tetapkan. Toh kita hanya bisa melanjutkan hidup untuk kemudian mati.

Di sisi yang lain, berkata tidak. Sebenarnya hidup kita tidak begitu-begitu amat, katanya. Kita mempunyai kebebasan, sebuah freedom of choice. Pasti ada sebuah alasan kenapa kita harus dilahirkan. Dan untuk sebuah alasan ini lah, kita bertebaran di muka bumi. Mencari dalam ketidaktenangan, kesusahan dan lain-lain yang bersinonim dengan ketidaktentraman. Bagaimanapun, sebuah jalan menuju kebenaran hanya satu. Jalan setapak. Dan mereka yang bertebaran itu, suatu ketika akan menuju jalan itu. terlepas dari beribu-ribu jalan yang terbentang di muka bumi ini. Dan itulah sebuah alasan di balik alasan kenapa kita diberi kebebasan, katanya.

Dan saya tidak mau ikut nimrung dalam dua kubu pemikiran itu, walaupun pikiran ini lebih condong kepada sisi yang berkata tidak. Hanya saja, diantara waktu-waktu yang terasa cepat berlalu, ada kegetaran saat membaca kalam itu. Di satu sisi, ada rasa tidak berdaya. Sebuah kecemasan kenapa segala sesuatu harus berlalu dengan cepat. Merasa sia-sia mengingat hal-hal apa saja yang dilewati.

Mungkin hal ini menjadi alasan kenapa kalam itu terus mengulangi dirinya sebagai sebuah peringatan. Manusia tidak nyaman bila diberi peringatan, karena itu berarti secara tidak langsung kelemahan yang ada di dalam dirinya sendiri disingkapkan. Dan menyangkut kelemahan, ia tidak ingin diketahui oleh orang lain, bahkan diri sendiri.  Diri sendiri pun takut padanya. Tetapi seringkali apa-apa yang disingkapkan itu begitu dalam. Ia menelanjangi kita. Membuat diri sangat tidak nyaman.

Sepertinya kebenaran itu tidak pernah kompromi dengan yang namanya waktu. Waktu boleh cepat berlalu, tapi kebenaran seakan-akan terus membayang tak perduli waktu itu telah lama berlalu. Kuatkah saya menghadapi kebenaran?   

Kamis, 14 Mei 2009

Kenangan

Mau tidak mau, mungkin sesuatu yang bercokol di dalam kepala ini harus kusebut kenangan. Walaupun tidak menyenangkan. Tetapi, saya memang tidak mencoba untuk menghapusnya. Tenaga terbuang percuma. Karena seperti serangan dadakan, ketika misalnya kamu mengendarai motor dan berhenti di sebuah perempatan disebabkan lampu merah, tiba-tiba saja kilasan itu mencuat. Tidak bisa diprediksi, apalagi diperhitungkan. Bahkan tukang rokok asongan hingga peminta-minta pun bisa dongkol karena diacuhkan.

Bisa saja kilasan-kilasan itu dihempaskan, ketika lampu berubah warna menjadi hijau lalu kamu memasukan gigi pertama motormu dan mulai tarik gas. Tapi, seperti penyakit masyarakat: dari jaman Adam pun tidak akan hilang-hilang. Akan selalu muncul lagi-muncul lagi. Jadi, misalnya ada seorang Mario Teguh berkhotbah dihadapanku, mengenai pentingnya menatap masa depan dengan tidak terus melongok ke belakang, sebenarnya tidak akan berpengaruh. Tetap saja, kilasan bernama kenangan itu bisa muncul kapan saja. Jadi, mau dibilang menerima…ya, saya menerima. Biarkan terus berkubang di dalam batok kepala ini. Biarkan saya (dipaksa) melongok kebelakang.

Tapi memang, seperti yang pernah diutarakan Ganjar ada benarnya juga. Dia pernah menulis: “aku lebih takut lagu galau di tengah malam, daripada seribu bayonet yang siap menghunus”. Paling bahaya, bila sedang sendiri di sebuah tempat atau suatu waktu. Yang namanya kenangan itu bisa memberi kado yang paling pahit sekaligus ironis di saat-saat seperti itu. Pola pikir langsung terjebak pada pola berandai-andai: andai dulu begini-andai dulu begitu. Paling pahitnya bila sudah terjebak pikiran-pikiran yang cenderung menyalahkan atau mengasihani diri sendiri. Anjing, pikiran paling kacau. Paling enak ngomong ‘anjing’ memang kalau sudah begini.

Bila disebut oportunis, ya, untuk beberapa bagian kenangan itu ada juga yang bertabiat oportunis. Memberi kesenangan semu, tapi menguras tenaga otak sama hati. Ujung-ujungnya…merokok lagi-merokok lagi. Dari sini masalah melebar ke paru-paru sama jantung.

Hmm, kalau penyakit komplikasi memang repot juga. Tapi, biarlah. Kagok komplikasi. Mau jungkir balik bagaimana pun juga kenangan sepertinya memang sudah terpatri. Jadi, kalau realitas tidak singkron dengan kenangan yang dimiliki, ya, harap dimaklum saja lah. Kalau memang dia lebih senang bercengkrama dengan anjingnya yang dia anggap menggemaskan itu, daripada melihat saya mencoba mendekatinya, ya, saya tidak akan macam-macam. Biarlah tetap seperti itu. Kamu di sisi yang lain dan saya akan menyusuri jalan yang lainnya: berdamai dengan kenangan tentang dirimu dan berharap bertemu seseorang yang menjinjing kenangan baru untukku.

Rabu, 13 Mei 2009

Di Bawah Bulan yang Menggantung

Sudah yang kedua kalinya saya mendaki pada malam hari. Pertama, waktu ke Pangrango beberapa waktu lalu. Dan yang kedua adalah pada 9 Mei 2009, ketika bersama delapan orang teman mendaki Manglayang. Berbeda dengan Pangrango, pendakian pada malam hari di Manglayang terasa berbeda, karena di atas kami tergantung bulan purnama.

Saat mendaki Pangrango beberapa waktu lalu, yang kulihat adalah gelap pekat dan kesunyian yang sangat. Hingga membuatku merinding. Di sisi lain, stamina waktu itu terasa tidak fit, sehingga kurang bisa menikmati perjalanan. Ketika tiba di puncak Pangrango pemandangan sedang tidak indah. Kabut terlalu kebal waktu itu. Selain itu juga sejauh mata memandang yang ada hanyalah kegelapan. Walaupun sudah sampai ke puncak, tetapi bila tidak bisa menikmati  pemandangan, rasa-rasanya ada yang kurang. Tetapi, untunglah tidak terjadi apa-apa waktu itu. Saya juga bersyukur bisa merasakan naik ke Pangrango yang setelah dilihat dari ‘tanjakan setan’ pada siang hari, ternyata megah. 

Walaupun begitu, suasana cukup berbeda ketika mendaki Manglayang. Perjalanan terasa nyaman, karena sinar bulan menerangi suasana di sekeliling kami. Pendakian menjadi terasa lebih hangat. Apalagi ketika kami beristirahat duduk-duduk. Indah sekali. Menengadah ke atas, kamu akan melihat bulan purnama yang menggantung. Dan bila kamu melihat jauh ke depan, akan terhampar secuil lampu-lampu dari Kota Bandung yang membentuk garis. Untuk sejenak, seakan-akan kamu diajak untuk berdamai dengan hatimu sendiri.

Senin, 11 Mei 2009

Eh, Dia Lagi

Lelaki itu kembali lagi ke rumah. Kali ini rambutnya nampak jelas memutih. Dia terlihat tua sekarang. Fisiknya memang banyak berubah. Terutama kondisinya yang tidak fit seperti dulu saat masih muda. Namun demikian, ada satu hal yang tidak pernah berubah dari dirinya, yaitu perilakunya yang pendiam. Aku membayangkan dia sebagai lelaki pembawa kesunyian. Berada di dekatnya, seperti berada di gunung Pangrango: tidak terdengar suara angin maupun binatang. Semuanya begitu sunyi. Dan kesunyian lelaki itu seolah-olah tidak lekang oleh waktu.

Terkadang, saya tidak tahu harus marah atau tidak dengan perilakunya itu. Hanya saja, ia selalu bergumul dengan pikirannya sendiri dan tingkah polahnya benar-benar sulit diprediksi. Berada di dekatnya, terkadang lelah hanya untuk menerka apa yang dipikirkan atau diinginkannya. Kalau mau diperbuas, semua yang ada didirinya bisa disebut misteri.

Selain itu, seringkali dia memaksakan kehendaknya. Dan kehendaknya itu, seringkali tidak pas benar dengan apa yang ku mau. Di masa remaja, seringkali kali aku kesal luar biasa bila lelaki itu datang ke rumah. Lebih baik ku bergabung dengan teman-teman sekolah, daripada di dalam rumah dekat dengan dirinya. Namun demikian, terkadang kehendaknya yang terasa memaksa pada awalnya itu, setelah digugu, ternyata terasa manfaatnya. Dan itu yang membuatku kesal.

Itu dulu, waktu jaman sekolah. Sekarang, sebenarnya bukan kesal yang mendominasi, walaupun kadarnya tidak hilang sepenuhnya. Hanya saja, akhir-akhir ini terasa ada cara pandang baru yang tumbuh, ketika berhadapan dengan lelaki itu. Sulit juga untuk dirunutkan seperti bagaimana cara pandang baru itu. Tetapi, garis besarnya adalah seputar kata “menerima”. Pasrah saja menerima apa yang dia lakukan. Lebih baik kuikuti kemauannya, walaupun berat di hati. Lebih baik mencoba memahaminya, walaupun seringkali kesal luar biasa. Lebih baik tidak memikirkan perilakunya yang seringkali tidak terduga itu. Menerima saja. 

Bagaimana pun, dia semakin jelas menua.

Di sisi lain, selalu ada rasa iba juga bila melihat kehidupan lelaki itu sekarang. Apalagi ketika melihat beberapa keinginannya tidak tercapai, karena fisiknya yang melemah termakan usia. Dan sepertinya tidak baik juga bila kehidupannya terus dibebani oleh kehidupanku. Walaupun, kenyataannya, kehidupanku masih jadi beban baginya. Uang kuliah saja masih dia yang bayar.

Mengikuti alurnya sajalah.

Kamis, 07 Mei 2009

Kembali Lagi ke Alam

Kembali lagi mendaki gunung, setelah sebelumnya bergelut dalam rutinitas yang cukup merepotkan. Saking merepotkannya, hingga beberapa buah buku tidak sempat dibaca dan album-album baru dari band favorit tidak sempat didengarkan. Bahkan gitar juga tidak pernah disentuh lagi. Hingga jari jemari saya benar-benar kaku bila dibawa kembali main gitar. Untuk rutinitas yang merepotkan ini, saya sempat berkeluh kepada seorang teman: seakan-akan kehidupan saya direnggut.

Si teman hanya senyam-senyum dan membalas dengan cukup simpel: dunia kerja memang seperti itu.

Memang ada benarnya juga, dunia kerja memang seperti itu. Dan itulah yang membuatku khawatir. Tetapi, kekhawatiran itu, untuk saat ini, setidaknya bisa diredam sementara oleh rencana mendaki gunung Manglayang pada Sabtu, 9 Mei 2009. Lagipula, si teman itu mengatakan, dirinya akan membawa kompor saat mendaki nanti. Itulah yang membuat kekhawatiran saya sirna sementara. Berjalan lagi di gunung bersama orang terdekat, dan melepaskan pikiran untuk terbang liar di alam terbuka.

Beberapa teman kampus juga akan ikut serta mendaki. Keikutsertaan mereka menjadi obat pelepas kerinduan akan kehadiran mereka saat masih sering ada di kampus dulu. Akhir-akhir ini, kampus memang sudah berubah. Teman-teman sudah sibuk dengan urusan akademisnya. Ada perasaan sepi juga ketika berjalan di plaza kampus dan melihat tempat-tempat yang biasa ditongkrongi dulu, sekarang sudah sepi dari kehadiran teman-teman dan digantikan oleh wajah-wajah baru. Wajah-wajah dimana mereka tidak mengenal saya, dan juga sebaliknya.

Fase kembali berubah, dan setiap perubahan belum tentu menyenangkan. Tetapi, mau tidak mau perubahan itu harus dihadapi. Sekarang, saatnya untuk menikmati perjalanan di sisa-sisa fase kehidupan kampus yang sebentar lagi akan berakhir.